Selasa, 24 Februari 2015

Keluhuran Martabat Manusia


Isu mengenai hukuman mati bisa dikatakan masih selalu hangat untuk dibicarakan, sebab isu ini selalu menimbulkan pro dan kontra. Dari sisi kelompok yang pro terhadap  hukuman mati, pertimbangan argumen mereka adalah pemberian hukuman yang setimpal, demi menyelamatkan banyak orang, atau demi mencegah terjadinya tindak  kejahatan yang lebih lanjut. “Lebih baik satu orang mati daripada seluruh bangsa”, itulah pertimbangan untung-rugi dari kelompok pro. Sedangkan dari kelompok kontra, pelaksanaan hukuman mati bagi mereka merupakan sebuah perendahan terhadap martabat manusia, bukankah hukum dibuat untuk mengabdi kepada kemanusiaan? Lantas apakah pelaksanaan hukuman mati menunjukkan pengabdian hukum kepada kemanusiaan? Itulah pertanyaan yang diutarakan oleh kelompok kontra. Tulisan singkat ini dibuat tidak dimaksudkan pertama-tama untuk memberi argumen mengenai perdebatan atas pelaksanaan hukuman mati, tetapi lebih untuk menunjukkan keluhuran martabat manusia. Berikut ini disajikan beberapa argumen.
Gereja Katolik Roma, sama seperti agama-agama lainnya, menaruh hormat pada pribadi manusia. Dalam pandangan Gereja Katolik, manusia menurut kodratnya merupakan gambar dan rupa Allah, manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah. Karena keluhuran kodratnya ini maka manusia melampaui ciptaan lain. St. Thomas Aquinas, salah satu teolog besar abad pertengahan, memandang keluhuran manusia didasarkan pada tiga hal (martabat intrinsik manusia), yakni gambar dan rupa Allah, makhluk bebas dan berakal budi, serta memiliki suara hati. Disebut sebagai martabat intrinsik sebab hal ini merupakan sebuah anugerah, bukan pencapaian manusia.
Penghormatan terhadap martabat manusia juga ditunjukkan oleh salah satu filsuf Barat Modern, yakni Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia memiliki nilai intrinsik, yaitu “martabat”. Nilai intrinsik inlah yang oleh Kant menjadikan manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Dalam pandangannya tentang moral, salah satu dari ketiga kaidah moral yang diajukan Kant adalah penghormatan terhadap pribadi manusia. Kaidah moral tersebut berbunyi demikian: “bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana”. Oleh karena itu, sebagai implikasi langsung dari kaidah moral ini Kant menolak segala jenis tindakan yang menjadikan manusia sebabagai sarana belaka dalam mencapai tujuan, salah satunya adalah tindakan bunuh diri. Bagi Kant, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang merendahkan martabat manusia, sebab dalam tindakan bunuh diri seseorang menggunakan dirinya hanya sebagai sarana untuk lepas dari penderitaan. Selain itu, sebagai makhluk bermartabat yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya sebab manusia adalah makhluk rasional, yang dengan akal budinya mampu menentukan dirinya, mempertanyakan dirinya, dan me nentukan tujuan-tujuannya.
Hal serupa juga diungkapkan Viktor Frankl dalam refleksinya tentang manusia. Menurut Viktor Frankl, berangkat dari teori logoterapi, manusia baginya adalah makhluk yang oleh hasratnya didorong untuk menemukan makna hidup, tidak seperti hewan yang didorong oleh naluri. Di samping itu, manusia menurut Viktor Frankl juga memiliki kemampuan untuk menentukan kesiapaannya: menentukan dirinya sendiri, apa yang ingin dicapainya, dan ingin menjadi seperti apakah dirinya. Hal lain yang diungkapkan Viktor Frankl mengenai manusia adalah berkaitan dengan kemampuan manusia. Kemampuan khas yang dimiliki manusia antara lain kebebasan, tanggung jawab, dan cinta. Dengan kebebasannya manusia mampu menentukan pilihannya atas berbagai situasi hidupnya, menyerah pada keadaan yang tidak mengenakkan atau terus berjuang menghadapi segala tantangan hidup. Dengan kebebasannya manusia telah menentukan sikap dan jalan hidupnya, karena itu atas pilihan yang telah ia buat manusia diharuskan untuk dapat mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Dengan cinta seseorang dapat mengenal manusia lain secara menyeluruh dengan segala keunikannya, baik itu kekurangan, kelebihan, maupun segala potensi dalam diri orang yang dicintainya.

Dari berbagai pandangan di atas bisa dilihat betapa luhurnya martabat manusia. Keluhurannya ini membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena kebebasan, rasio serta kemampuan-kemampuan lain yang ia miliki, manusia menjadi tuan atas dirinya. Ia bebas untuk memilih atau bertindak, ia mampu mempertanyakan dirinya, menentukan dirinya (kesiapaannya), bisa membedakan yang baik dan yang jahat, dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah ia pilih atau lakukan, serta dapat membangun relasi dengan sesama dan lingkungannya dengan berbagai macam situainya. Karena keluhurannya inilah maka sudah sepantasnya jika martabat manusia dihargai. Di samping itu, perlu diingat pula bahwa segala kemampuan yang dimiliki manusia seperti yang sudah disebutkan di atas bukanlah hasil pencapaian dirinya, tetapi seperti yang dikatakan St. Thomas Aquinas dan Immanuel Kant, semuanya itu merupakan nilai intrinsik manusia. Oleh karena itu, siapakah manusia itu sehingga ia memiliki hak untuk melenyapkan nilai-nilai tersebut yang ada di dalam dirinya sendiri atau pada manusia lain?

Senin, 16 Februari 2015

Pembagian Kitab Suci Hindu




Veda merupakan sumber utama Hinduisme. Tradisi ajaran Veda dikenal sebagai Sruti, artinya ajaran yang diperoleh melalui pendengaran (wahyu), didengar oleh para Rshi ribuan tahun yang lalu dan merupakan hukum abadi. Veda juga mencakup banyak hal yang secara teknis disebut Smrti, yakni apa yang diingat (remembered, tradition), yang dipakai untuk merinci serta menjelaskan komunikasi Sruti yang seringkali masih samar dan tidak jelas.
Veda merupakan Kitab Suci golongan pertama. Dalam arti luas Veda meliputi: keempat Samhita (kumpulan syair), yakni Rg-Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharva Veda, Kitab-kitab Brahmana (tentang kurban dan mitosnya), Kitab-kitab Aranyaka (tulisan dari hutan), dan Kitab-kitab Upanishad. Dalam arti sempit, Veda hanya meliputi keempat Samhita, yang kepentingannya berkaitan denan yajna (ritual kurban menurut kitab Veda). Rigveda berisi mantra dan rumusan doa suci, Yajurveda berisi instruksi upacara, Samaveda berisi pendasaran lagu/syair, dan Atharaveda berisi jampi-jampi, ramalan, magi, dsb., yang sebagian besar berada di luar wilayah ritual kurban.
Smrti (yang diingat, tradisi) merupakan Kitab Suci golongan kedua. Smrti meliputi buku-buku lain yang tidak termasuk Sruti, ditulis oleh tokoh-tokoh yang dihormati. Smrti ditulis demi kepentingan praktis masyarakat, berisi petunujuk hidup berbagai aturan masyarakat, dan memiliki dampak yang lebih langsung bagi masyarakat  jika dibandingkan dengan Sruti. Dalam arti sempit Smrti meliputi Kitab-kitab Dharmasastra (hak dan kewajiban umat Hindu menurut status mereka) seperti Manu-smrti, Yajnavalkya-smrti, dan Visnu-smrti. Di antara Smerti dalam arti sempit, Manu-Smrti menduduki posisi penting. Menurut tradisi Hindu, Manu adalah nenek moyang seluruh umat manusia di masa sekarang dan sebagai pemberi hukum universal. Sang Manu selamat dari banjir besar yang membunuh seluruh umat manusia karena campur tangan Yang Ilahi. Sedangkan dalam arti luas Smrti meliputi Ithihasa-Purana (epos Ramayana dan Mahabrata) dan delapan belas Puranas (berisi mitos-mitos, legenda, perilaku yang benar dari pengikut berbagai jalan spiritual).*

*Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku Filsafat Asia-Selatan (Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme) bagian Teks-teks Suci Hinduisme, karya Dr. Matius Ali


Minggu, 15 Februari 2015

dead sea scroll

Naskah Laut Mati dan Pengaruhnya Bagi Dunia Kitab Suci

1.        Sejarah Singkat (Titik Permulaan Penemuan Naskah-Naskah Qumran)
April 1947, Mohamad ed-Di’b, seorang Bedouin dari suku Taamireh, secara tak sengaja menemukan tujuh gulungan naskah Qumran. Tujuh gulungan yang ditemukan itu pada awalnya dibagi ke dalam dua peti. Peti pertama yang berisi empat gulungan kemudian dibeli oleh Mar Athanasius Teshue Samuel, seorang uskup agung Gereja Ortodoks Syria di Yerusalem. Sementara peti lainnya yang berisi tiga gulungan dibeli oleh E.Y. Sukenik, seorang sarjana dari Hebrew University. Ketujuh gulungan yang mula-mula ditemukan tersebut adalah Piagam Perkumpulan Sektarian Yahudi, Hikayat Para Bapa Bangsa, Lagu Pujian Syukur, Komentar atas Habakuk, Gulungan Perang, dan dua salinan kitab Nabi Yesaya,
Pada tahun 1955, seorang agen dari Israel membayar $ 250.000 kepada Samuel untuk keempat gulungan yang ada padanya, dan kemudian keempat gulungan tersebut disatukan dengan ketiga gulungan lain yang ada pada Sukenik. Sekarang ketujuh gulungan tersebut dipamerkan di museum Shrine of the Book di Yerusalem. Masih pada tahun 1955, kaum Bedouin kembali menemukan Sembilan gua lain yang mengandung berbagai gulungan yang sama kunonya. Sebuah gua ditemukan lagi pada tahun 1956. Sehingga jumlah keseluruhan gua kini menjadi sebelas, dan kesebelas gua tersebut seluruhnya berada di sekitar Wadi Qumran, di dekat ujung barat-laut Laut Mati.

2.      Isi Naskah Laut Mati
Seluruh gulungan naskah laut mati, dengan beberapa pengecualian kecil, merupakan teks religius orang Yahudi. Gulungan-gulungan tersebut merupakan kumpulan manuskrip Perjanjian Lama tertua yang pernah ditemukan, setidak-tidaknya seribu tahun lebih tua daripada berbagai teks Ibrani tradisional dari periode awal abad pertengahan, yang dijadikan landasan bagi semua terjemahan Alkitab sekarang ini. Berbagai tulisan religius ini terbagi menjadi dua jenis, yakni biblis dan bukan biblis. Teks-teks biblis merupakan salinan dari Alkitab Ibrani dan mengisi hampir sekitar seperempat dari jumlah keseluruhan gulungan yang ada, yakni salinan dari tiap-tiap kitab di dalam Alkitab orang Yahudi, kecuali kitab Ester. Sedangkan teks-teks bukan biblis merupakan salinan-salinan teks religius yang tidak ditemukan dalam Alkitab, seperti Yubileum, 1 Henokh, dan Kesaksian Dua Belas Bapa Bangsa.

3.        Sumbangan Naskah Laut Mati Bagi Dunia Kitab Suci
·           Sebelum penemuan naskah-naskah Laut Mati banyak ahli yang meragukan akan banyaknya teks kitab suci yang ditulis dalam bahasa Aram. Namun setelah penemuan naskah-naskah Laut Mati ini semua anggapan tersebut dijungkirbalikkan, sebab sebagian dari teks-teks kitab suci yang ditemukan itu ditulis dalam bahasa Aram, bahasa yang dianggap sebagai bahasa yang tidak produktif, meskipun sebagian besar teks yang ditemukan tersebut merupakan teks berbahasa Ibrani. Selain itu, sebagian teks yang ditemukan itu juga ditulis dalam bahasa Yunani. Hal ini setidaknya memberikan kita gambaran mengenai keadaan sosiolinguistik dalam masyarakat Yahudi abad pertama, yakni penggunaan bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani yang digunakan baik dalam bahasa lisan maupun tulisan.
·           Penemuan naskah Laut Mati juga menunjukkan kepada kita sisi Ilahi dan sisi insani dalam penulisan Kitab Suci, yakni bagaimana Allah bekerja melalui diri manusia dalam penulisan dan penyalinan Kitab Suci. Adalah sesuatu yang luar biasa sebab dalam seribu tahun hampir tidak terdapat perubahan yang penting dalam teks-teks tersebut yang dari generasi ke generasi disalin dengan tangan. Selain itu, penemuan naskah Laut Mati ini juga menunjukkan kepada kita bentuk naskah yang lebih tua dari naskah Kitab Suci yang pernah ditemukan.
·           Dari teks-teks Laut Mati ini kita juga dapat melihat adanya beberapa persamaan antara komunitas Qumran dengan jemaat Kristen awal. Kedua kelompok ini sama-sama muncul dari jemaat Yahudi yang sama dan Kitab suci yang sama yakni Kitab Suci Perjanjian Lama. Selain itu dari  penemuan teks-teks Laut Mati ini kita juga mendapat gambaran mengenai konsep “guru kebenaran” yang dipercayai oleh komunitas Qumran yang dalam keyakinan umat Kristen terwujud dalam pribadi Yesus Kristus sebagai seorang Mesias. Dari teks-teks Laut Mati ini kita juga dapat melihat adanya konsep tentang akhir zaman yang dipercayai oleh komunitas Qumran akan segera datang. Hal yang sama juga nampak dalam beberapa teks perjanjian baru seperti dalam injil Yohanes. Meskipun kita tidak dapat serta-merta mengatakan bahwa injil Yohanes dipengaruhi oleh ajaran komunitas Qumran, tetapi paling tidak ada kemungkinan bahwa karangan antara keduanya berasal dari aliran yang sama yang ada di Palestina saat itu.



Daftar Pustaka
Tuinstra, E.W. Naskah-Naskah dari Laut Mati. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982
Wise, Michael.dkk. Naskah Laut Mati (diterjemahkan oleh Sunardi, Dono F.X). Jakarta:    Serambi, 2008
   



Kamis, 12 Februari 2015

Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik


oleh: Louis, Haward, Risman


I. Pendahuluan
            Sebagai bagian dari kelompok kategorial dalam Gereja Katolik Indonesia, Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik sudah begitu familiar di kalangan umat beriman. Kelompok kategorial ini sejatinya bukan berasal dari Indonesia, tetapi kemudian masuk ke Indonesia dan menjadi wadah bagi hasrat umat beriman dalam pengabdiannya kepada Tuhan demi mencapai kekudusan. Kelompok ini sendiri sudah berkembang ke berbagai negara di berbagai belahan bumi dengan jumlah pengikut yang tidak sedikit, termasuk di Indonesia. Di seluruh Indonesia, diperkirakan terdapat 100 buah kelompok doa karismatik dengan peserta mencapai hampir 5.000 orang.[1] Meskipun memiliki jumlah anggota yang terbilang cukup banyak, akan tetapi masih sangat banyak umat beriman yang belum mengenal secara mendalam kelompok kategorial ini.
            Berangkat dari situasi yang telah dijelaskan di atas, maka dalam tulisan singkat ini akan dibahas secara singkat mengenai Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik. Secara garis besar, tulisan singkat ini terbagi atas dua bagian. Bagian pertama merupakan pembahasan mengenai Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik, yang berisi penjelasan mengenai kelompok ini, termasuk di dalamnya sejarah terbentuknya kelompok kategorial ini, awal kedatangannya ke Indonesia, dan inti ajarannya. Sedangkan bagian kedua tulisan ini merupakan kesimpulan.
II. Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik

            Istilah “karismatik” yang digunakan dalam Pembaruan Karismatik Katolik muncul karena adanya istilah “karisma” dalam 1 Korintus 12:7-10.[2] Karisma searti dengan bakat istimewa untuk dapat “menilai dalam Roh Kudus”, apakah gejala-gejala tersebut sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran Alkitab, dengan ajaran Gereja dan tradisi hidup umatnya, dan akhirnya dengan Kristus sendiri.[3] Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik diartikan sebagai usaha umat Katolik untuk menyadari dan meyakini secara lebih penuh kedewasaan kristiani mereka. Maksudnya agar umat dapat menghayati kehadiran Roh Kudus secara lebih intensif, sebab kehadiran Roh Kudus telah mereka terima melalui Sakramen Baptis dan Penguatan.[4]
2.1 Sejarah Terbentuknya Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik
2.1.1 Sejarah Awal
Gerakan Karismatik Katolik tampaknya merupakan gerakan yang dibawa dari luar (pentakostalisme). Akan tetapi, sebenarnya semangat aslinya berasal dari dalam Gereja Katolik sendiri, “dari Katolik”, “kembali ke Katolik”. Karisma-karisma dan semangat untuk mencapai kesempurnaan hidup yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh mistik Katolik, seperti Fransiskus Assisi, Bonaventura, Yohanes Salib, dsb., menjadi inspirasi bagi banyak tokoh di luar Gereja Katolik. Salah satu tokoh yang menjawab dorongan untuk mencapai kesempurnaan hidup adalah John Wesley. Dari sinilah semangat menuju kesempurnaan itu bercampur dengan beragam warna semangat kerohanian yang sudah ada di sana (Amerika) sebelumnya. Gerakan yang dibawa John Wesley kemudian membuahkan gerakan pentakostalisme yang memandang pengudusan sebagai sebuah proses yang tidak terpisahkan dari Roh Kudus dan segala bentuk karismanya.

Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik yang pertama kali tercatat dalam sejarah modern diperkirakan dimulai di Duquesne (baca: du-kein), daerah Pittsburgh, Amerika pada tahun 1967. Peristiwa ini kemudian terkenal dengan istilah The Duquesne Weekend.[5] Tanggal 16-18 Februari 1967 dikenal sebagai tanggal lahirnya Pembaruan Karismatik Katolik. Pada saat itu kurang lebih tigapuluh orang dosen dan mahasiswa/i dari Universitas Duquesne mengadakan retret akhir pekan. Dalam retret itu mereka secara khusus mendalami empat bab pertama dalam Kisah Para Rasul. Mereka datang dengan kerinduan yang kurang lebih seragam, yakni mengalami pertobatan melalui pentakosta baru. Yang mereka lakukan hanyalah berdoa bersama berdasarkan empat bab pertama dalam Kisah Para Rasul.[6] Dalam retret itu mereka merasa bahwa Roh Kudus mencurahkan diri-Nya atas mereka. Ada yang memuji Allah dalam bahasa-bahasa baru, ada yang menangis sukacita, ada yang berdoa dan menyanyi. Mereka berdoa sejak pkl. 22.00 hingga pkl 05.00. Kejadian ini kemudian dikenal sebagai “Duquesne Weekend” yang secara formal menandai lahirnya Pembaruan Karismatik Katolik.
2.1.2 Pembaruan Karismatik Katolik Sampai ke Indonesia
Pada umumnya tahun 1976 dianggap sebagai titik awal Karismatik Katolik secara resmi mulai di Indonesia. Sebelum itu (mungkin sudah sejak tahun 1972) beberapa orang sudah memperkenalkan gerakan ini secara sendiri-sendiri di beberapa tempat. Tidak bisa dikatakan dengan pasti siapa yang pertama kali melakukan ini, karena tampaknya gerakan ini mulai pada waktu yang hampir bersamaan.[7]
Sr. Bernadette, RGS mulai memperkenalkan persekutuan doa Karismatik di susteran Gemabala Baik, Jakarta. Akan tetapi, atas permintaan Mgr. Leo Soekoto, SJ kegiatan tersebut dihentikan. Permintaan Mgr. Leo Soekoto untuk menghentikan kegiatan Sr. Bernadette, RGS dapat dimaklumi, sebab di Indonesia gerakan ini masih terbilang sangat baru, dan sebagai pemimpin Gereja lokal Mgr. Leo Soekoto tentu sangat berhati-hati dalam memberi izin kepada gerakan ini. Di Bogor, kehadiran persekutuan doa Karismatik diperkenalkan oleh P. Makmun, OFM, yang sebelumnya pernah belajar persekutuan doa Karismatik Immanuel di Brisbane, di bawah bimbingan Brian Smith. Namun sayang beliau meninggal dini dalam sebuah kecelakaan sepeda motor, dan usaha yang dirintisnya pun ikut terhenti. Perkembangan doa Karismatik di Bandung dan Lembang tidak dapat dipisahkan dari peran Sr. Yohana, OCD. Akan tetapi karena karyanya ditentang pemimpin Karmel di Roma dan diberi pilihan untuk tetap menjadi Karmelit atau pergi, Sr.Yohana memilih untuk meninggalkan biaranya dan kembali ke Amerika. Di Malang usaha serupa dimulai oleh Rm. Yohanes Indrakusuma, O.Carm.
Tahun 1976 menjadi titik penting. Berawal dari inisiatif Sr. Yohana yang ingin mengundang  Paul O’Brien, SJ (Superior SJ Thailand) dan Rm. Herbert Schneider, SJ (Dosen Kitab Suci di Loyola School of Theology, Manila) yang belum diwujudkan, maka Mgr. Leo Soekoto, SJ mengambil alih inisiatif itu dengan mengundang kedua imam tersebut untuk secara resmi memperkenalkan gerakan ini di Indonesia. Dari sini kemudian (masih pada tahun 1976) diadakan berbagai seminar dan pertemuan yang berkaitan dengan persekutuan doa Karismatik ini bersama kedua imam Yesuit tersebut. Atas restu Mgr. Leo Soekoto, SJ, rangkaian pertemuan ini menjadi awal bertumbuh dan meluasnya gerakan Karismatik Katolik di Indonesia.
Berawal dari pertemuan-pertemuan itu, selanjutnya dibentuk sebuah kelompok inti yang terdiri dari 20 orang dan secara rutin mengadakan persekutuan doa di Aula Susteran Ursulin, di Jalan Pos. Jumlah peserta terus bertambah, dan pada tanggal 14 Januari-25 Februari 1977 untuk pertama kalinya diadakan seminar dalam bahasa Indonesia yang bertemakan Hidup Baru dalam Roh Kudus. Setelah itu, kelompok ini diundang oleh Rm. Sugiri, SJ untuk memulai sebuah persekutuan doa di Paroki Mangga Besar. Pada 1983, KWI (saat itu masih bernama MAWI) mengeluarkan dokumen resmi pertama yang berkaitan dengan pembaruan Karismatik, yang berjudul Pedoman Para Uskup Indonesia mengenai Pembaruan Karismatik Katolik. Dokumen ini memperlihatkan segi positif dan negatif Pembaruan Karismatik Katolik, serta menyatakan bahwa gerakan ini sebagai gerakan pembaruan yang autentik di dalam Gereja Katolik. Kemudian pada tahun 1993 KWI mengeluarkan surat gembala berjudul Aneka Karunia, Satu Roh: Surat Gembala mengenai Gerakan Pembaruan Karismatik, dan pada 1995 KWI mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh: Pedoman Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia.
2.2 Inti Semangat Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik
            Gerakan Karismatik memberi perhatian pada pembaruan hidup dalam Roh Kudus. Melalui ibadat dan karya amal seseorang dibawa kepada pertobatan (metanoia) dan kepenuhan hidup dalam roh. Sebaliknya pertobatan dan kepenuhan hidup dalam Roh akan menghidupkan ibadat dan karya amal.[8] Pembaruan sikap dan mental selalu diperlukan demi menjauhkan diri dari dosa dan mendekatkan diri pada Tuhan. Hal ini disadari umat Katolik sejak Gereja Purba yang memohon dan berusaha agar Roh Kristus melalui berbagai macam karunia seperti karunia mengajar, karunia memimpin, karunia melayani (1 Kor. 12:18) makin hari makin hidup di dalam diri umat, agar umat dapat mencerminkan Kristus di dalam dirinya.
            Gagasan tentang Karisma dalam Gereja Katolik merupakan bahan perdebatan yang cukup panjang. Dalam rancangan Konstitusi Lumen Gentium tahun 1963 didiskusikan mengenai persoalan karisma di kalangan umat. Dalam diskusi tersebut, Kardinal Ruffini (Oktober 1963) menentang pendapat mengenai banyaknya karisma di kalangan umat. Menurutnya karisma adalah sesuatu yang sangat jarang dan benar-benar merupakan sebuah pengecualian. Posisi berbeda diambil oleh Kardinal Suenens (gagasan inilah yang kemudian diterima). Ia berpendapat bahwa karisma tersebar luas di kalangan umat, baik yang luar biasa maupun sederhana, dan semuanya berguna dalam menjawab kebutuhan Gereja.
            Di dalam gerakan karismatik kita juga sering menjumpai penggunaan istilah “pencurahan/pemenuhan Roh”. Pada mulanya istilah yang digunakan adalah “pembaptisan dalam Roh”. Namun istilah “Pembaptisan dalam Roh” sering menimbulkan pengertian yang keliru di antara kalangan umat beriman, sebab istilah ini seolah-olah mengandaikan adanya “pembaptisan baru” di samping sakramen baptis yang telah diterimanya. Oleh karena itu, daripada menimbulkan salah pengertian, istilah “pembaptisan dalam Roh” diganti dengan istilah “pencurahan/pemenuhan Roh” atau istilah lain yang serupa dengan itu.
            Dalam gerakan Karismatik istilah “pembaptisan dalam Roh” perlu dibedakan dari istilah “pencurahan/pemenuhan Roh”. Istilah “pembaptisan dalam Roh” merupakan istilah untuk orang yang pertama kali menerima sakramen baptis. Orang yang telah menerima baptisan Roh selalu menghadapi kemungkinan kemunduran iman, karena roh jahat tidak berhenti melakukan serangan-serangan, dan karena itu seseorang memerlukan pencurahan Roh. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa; “Baptisan Roh” hanya terjadi satu kali dalam hidup seorang percaya (saat menerima sakramen baptis), tetapi “pencurahan/pemenuhan Roh” dapat terjadi berulangkali, dan orang yang telah “dibaptis dengan Roh” tidak otomatis depenuhi dengan Roh secara kontinyu. Ia dapat mengalami kemunduran, dan karenanya ia membutuhkan pencurahan Roh.[9]
            Selain itu, dalam Gerakan Karismatik Katolik sering juga didengar istilah “bahasa Roh” dan “penyembuhan” serta “eksorsisme”. Berkaitan dengan bahasa Roh, Rasul Paulus mengakui akan adanya anugerah ini, bahkan ia sendiri mengakui bahwa ia menerimanya. Dalam 1 Korintus 14:13-19 ia mengakui bahwa ia berdoa dan berkata-kata dalam bahasa Roh. Akan tetapi hal paling penting adalah bagaimana bahasa Roh yang digunakan seseorang dapat berguna bagi pembangunan jemaat. Seseorang yang bisa berkata-kata dalam bahasa Roh diharuskan untuk dapat menafsirkannya demi pembangunan jemaat. Apabila bahasa Roh itu tidak dapat ditafsirkan maka sebaiknya orang itu diam. Selain itu, kriteria lain dalam bahasa Roh adalah adanya sebuah motivasi yang luar biasa istimewa untuk untuk semakin sadar mengusahakan hidup yang lebih penuh cinta kasih.
            Selanjutnya adalah fenomena penyembuhan dan eksorsisme. Dalam Gerakan Karismatik Katolik kedua fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari kuasa Nama Yesus. Akan tetapi kuasa Nama Yesus digunakan seolah-olah itu adalah mantra gaib dalam doa penyembuhan atau eksorsisme, bahkan dengan cara-cara tertentu yang malah mendatangkan kesan artifisial atau sensaional. Hal yang seharusnya dilakukan dalam mendoakan orang yang sakit atau kerasukan setan dalam menggunakan kuasa Nama Yesus adalah dengan sikap tenang, sabar, dan teguh dalam iman. Sedangkan berkaitan dengan eksorsisme, dalam Gerakan Karismatik Katolik eksorsisme sendiri dibagi ke dalam dua kategori, yakni eksorsisme kecil (exorcismus minor) yang dilakukan dalam ritus pembaptisan (diberikan oleh imam atau diakon tertahbis) dan eksorsisme agung/besar (exorcisme solemnis/magnus) yang dilakukan ketika orang yang didoakan memperlihatkan tanda yang jelas bahwa ia kerasukan setan (diberikan oleh imam yang memenuhi syarat dan mendapat izin dari uskup setempat).
            Akan tetapi, hal lain yang tidak dapat disangkal adalah bahwa Gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik menuai pro dan kontra. Dari sisi kontra, biasanya penolakan terhadap gerakan ini didasarkan pada penilaian bahwa liturgi kelompok ini yang meriah tidak sesuai dengan liturgi Gereja Katolik yang identik dengan ketenangan. Selain itu penolakan terhadap kelompok ini didasarkan penilaian bahwa kelompok ini tidak murni Katolik, tetapi mendapat pengaruh dari kelompok pentakostalisme di luar Gereja Katolik, sehingga ada yang beranggapan bahwa kelompok ini dapat mengancam kemurnian identitas Katolik. Sedangkan dari sisi pro, pembelaan terhadap kelompok ini didasarkan pada pandangan bahwa gerakan karismatik sejatinya berasal dari dalam Gerja katolik sendiri (merujuk pada karisma-karisma di dalam pribadi para mistikus Gerja Katolik, seperti Fransiskus Assisi, Bonaventura) yang kemudian ditiru oleh kelompok di luar Gereja Katolik dan dibawa kembali ke dalam Gereja Katolik. Selain itu, pembelaan juga di dasarkan pada dukungan Gereja Katolik sendiri terhadap gerakan ini, misalnya saja pandangan tentang karisma, yakni bahwa setiap anggota Gereja dianugerahi beragam karisma yang berguna bagi perkembangan hidup jemaat.
2.3 Sumbangsih Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik bagi Gereja Katolik Indonesia
            Jika kita melihat sejarah sebelum munculnya gerakan pembaruan karismatik Katolik di Indonesia, saat itu banyak umat Katolik di Indonesia yang pergi ke gereja/persekutuan doa di luar Gereja Katolik untuk mengalami situasi pentakosta. Dengan munculnya Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik di Indonesia, kerinduan umat Katolik untuk mengalami situasi pentekosta terpenuhi. Di sini Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik menjadi wadah bagi terpenuhinya hasrat umat untuk mengalami situasi pentekosta dan menjadi wadah bagi umat dalam mengabdi Tuhan dan menjawabi panggilan Tuhan dengan cara yang ia inginkan.
            Di samping itu, di dalam Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik dijumpai berbagai bidang pelayanan yang tidak hanya melayani kepentingan intern mereka, tetapi juga melayani kepentingan Gereja Katolik setempat, dan bahkan juga pelayanan di luar Gereja. Adapun bidang-bidang pelayanan tersebut adalah bidang pewartaan, bidang refleksi, bidang pembinaan, bidang evangelisasi, bidang kepemudaan, bidang media komunikasi, dan bidang sosial kemasyarakatan (sosmas). Misalnya saja dalam bidang pewartaan, Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik berusaha untuk melakukan penginjilan dan pelayanan yang sejalan dengan iman Katolik lewat Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP), dan Sekolah Pendalaman dan Pelayanan Iman Katolik (SIP).
IV Penutup
            Setelah melihat sejarah, semangat, dan kontribusi Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik bagi Gereja Indonesia, maka pada bagian akhir tulisan kami mencoba memberi kesimpulan.
            Pertama, yang menjadi semangat dasar dalam kelompok Pembaruan Karismatik Katolik adalah pembaruan hidup dalam Roh Kudus.
            Kedua, sama seperti kelompok kategorial lainnya, Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik juga bertujuan membawa umat kepada kekudusan, meskipun cara yang ditempuh agak berbeda. Kelompok Karismatik mengajak anggotanya memperoleh kekudusan dengan mengajak para anggotanya untuk mengalami “peristiwa pentakosta”.
            Ketiga, Kelompok ini terbentuk secara spontan tanpa melalui perencanaan yang sistematis sebelumnya.
            Keempat, Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik menjadi wadah untuk menjawab hasrat (desire) umat dalam mengabdi kepada Tuhan dan menjawab panggilan Tuhan. Harus diakui bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mengabdi dan menjawabai panggilan Tuhan, dan di sinilah peran Kelompok Pembaruan Karismati Katolik dalam memenuhi hasrat umat tersebut.

















Daftar Pustaka
Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik.
             Jakarta: OBOR. 1983.
Ramadhani, Deshi, SJ. Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?.Yogyakarta:
Kanisius. 2008.
Sugiri, L., SY, dkk., Gerakan Karismatik, Apakah Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985.

Sumber Internet



[2] Deshi Ramadhani, SJ, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 17               
[3] L. Sugiri, SY, dkk, Gerakan Karismatik, Apakah Itu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), hlm. 13.
[4] Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik,
                (Jakarta: OBOR, 1983),  hlm. 8.
                        4  http://bersatulahdalamgerejaKatolik.blogspot.com/2014/01/, diunduh pada tanggal 30 Oktober 2014,
                Pkl. 21.00 wib.
[6] Deshi Ramadhani, SJ, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, hlm. 53.
[7] Deshi Ramadhani, SJ, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, hlm. 65.
[8] Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik, hlm. 8.

[9] L. Sugiri, SY, dkk, Gerakan Karismatik, Apakah Itu, hlm. 178.