oleh: Louis, Haward, Risman
I.
Pendahuluan
Sebagai bagian dari kelompok
kategorial dalam Gereja Katolik Indonesia, Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik
sudah begitu familiar di kalangan umat beriman. Kelompok kategorial ini
sejatinya bukan berasal dari Indonesia, tetapi kemudian masuk ke Indonesia dan
menjadi wadah bagi hasrat umat beriman dalam pengabdiannya kepada Tuhan demi
mencapai kekudusan. Kelompok ini sendiri sudah berkembang ke berbagai negara di
berbagai belahan bumi dengan jumlah pengikut yang tidak sedikit, termasuk di
Indonesia. Di seluruh Indonesia, diperkirakan terdapat 100 buah kelompok doa
karismatik dengan peserta mencapai hampir 5.000 orang.[1]
Meskipun memiliki jumlah anggota yang terbilang cukup banyak, akan tetapi masih
sangat banyak umat beriman yang belum mengenal secara mendalam kelompok
kategorial ini.
Berangkat dari situasi yang telah
dijelaskan di atas, maka dalam tulisan singkat ini akan dibahas secara singkat
mengenai Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik. Secara garis besar, tulisan
singkat ini terbagi atas dua bagian. Bagian pertama merupakan pembahasan
mengenai Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik, yang berisi penjelasan mengenai
kelompok ini, termasuk di dalamnya sejarah terbentuknya kelompok kategorial
ini, awal kedatangannya ke Indonesia, dan inti ajarannya. Sedangkan bagian
kedua tulisan ini merupakan kesimpulan.
II.
Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik
Istilah “karismatik” yang digunakan dalam Pembaruan Karismatik Katolik muncul karena adanya istilah “karisma” dalam 1 Korintus 12:7-10.[2] Karisma searti dengan bakat istimewa untuk dapat “menilai dalam Roh Kudus”, apakah gejala-gejala tersebut sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran Alkitab, dengan ajaran Gereja dan tradisi hidup umatnya, dan akhirnya dengan Kristus sendiri.[3] Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik diartikan sebagai usaha umat Katolik untuk menyadari dan meyakini secara lebih penuh kedewasaan kristiani mereka. Maksudnya agar umat dapat menghayati kehadiran Roh Kudus secara lebih intensif, sebab kehadiran Roh Kudus telah mereka terima melalui Sakramen Baptis dan Penguatan.[4]
2.1
Sejarah Terbentuknya Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik
2.1.1
Sejarah Awal
Gerakan Karismatik Katolik tampaknya merupakan gerakan yang
dibawa dari luar (pentakostalisme). Akan tetapi, sebenarnya semangat aslinya
berasal dari dalam Gereja Katolik sendiri, “dari Katolik”, “kembali ke
Katolik”. Karisma-karisma dan semangat untuk mencapai kesempurnaan hidup yang
ditunjukkan oleh tokoh-tokoh mistik Katolik, seperti Fransiskus Assisi,
Bonaventura, Yohanes Salib, dsb., menjadi inspirasi bagi banyak tokoh di luar
Gereja Katolik. Salah satu tokoh yang menjawab dorongan untuk mencapai kesempurnaan
hidup adalah John Wesley. Dari sinilah semangat menuju kesempurnaan itu
bercampur dengan beragam warna semangat kerohanian yang sudah ada di sana
(Amerika) sebelumnya. Gerakan yang dibawa John Wesley kemudian membuahkan
gerakan pentakostalisme yang memandang pengudusan sebagai sebuah proses yang
tidak terpisahkan dari Roh Kudus dan segala bentuk karismanya.
Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik yang pertama kali tercatat dalam sejarah modern diperkirakan dimulai di Duquesne (baca: du-kein), daerah Pittsburgh, Amerika pada tahun 1967. Peristiwa ini kemudian terkenal dengan istilah The Duquesne Weekend.[5] Tanggal 16-18 Februari 1967 dikenal sebagai tanggal lahirnya Pembaruan Karismatik Katolik. Pada saat itu kurang lebih tigapuluh orang dosen dan mahasiswa/i dari Universitas Duquesne mengadakan retret akhir pekan. Dalam retret itu mereka secara khusus mendalami empat bab pertama dalam Kisah Para Rasul. Mereka datang dengan kerinduan yang kurang lebih seragam, yakni mengalami pertobatan melalui pentakosta baru. Yang mereka lakukan hanyalah berdoa bersama berdasarkan empat bab pertama dalam Kisah Para Rasul.[6] Dalam retret itu mereka merasa bahwa Roh Kudus mencurahkan diri-Nya atas mereka. Ada yang memuji Allah dalam bahasa-bahasa baru, ada yang menangis sukacita, ada yang berdoa dan menyanyi. Mereka berdoa sejak pkl. 22.00 hingga pkl 05.00. Kejadian ini kemudian dikenal sebagai “Duquesne Weekend” yang secara formal menandai lahirnya Pembaruan Karismatik Katolik.
2.1.2
Pembaruan Karismatik Katolik Sampai ke Indonesia
Pada
umumnya tahun 1976 dianggap sebagai titik awal Karismatik Katolik secara resmi
mulai di Indonesia. Sebelum itu (mungkin sudah sejak tahun 1972) beberapa orang
sudah memperkenalkan gerakan ini secara sendiri-sendiri di beberapa tempat.
Tidak bisa dikatakan dengan pasti siapa yang pertama kali melakukan ini, karena
tampaknya gerakan ini mulai pada waktu yang hampir bersamaan.[7]
Sr.
Bernadette, RGS mulai memperkenalkan persekutuan doa Karismatik di susteran
Gemabala Baik, Jakarta. Akan tetapi, atas permintaan Mgr. Leo Soekoto, SJ
kegiatan tersebut dihentikan. Permintaan Mgr. Leo Soekoto untuk menghentikan
kegiatan Sr. Bernadette, RGS dapat dimaklumi, sebab di Indonesia gerakan ini
masih terbilang sangat baru, dan sebagai pemimpin Gereja lokal Mgr. Leo Soekoto
tentu sangat berhati-hati dalam memberi izin kepada gerakan ini. Di Bogor,
kehadiran persekutuan doa Karismatik diperkenalkan oleh P. Makmun, OFM, yang
sebelumnya pernah belajar persekutuan doa Karismatik Immanuel di Brisbane, di
bawah bimbingan Brian Smith. Namun sayang beliau meninggal dini dalam sebuah
kecelakaan sepeda motor, dan usaha yang dirintisnya pun ikut terhenti.
Perkembangan doa Karismatik di Bandung dan Lembang tidak dapat dipisahkan dari
peran Sr. Yohana, OCD. Akan tetapi karena karyanya ditentang pemimpin Karmel di
Roma dan diberi pilihan untuk tetap menjadi Karmelit atau pergi, Sr.Yohana
memilih untuk meninggalkan biaranya dan kembali ke Amerika. Di Malang usaha
serupa dimulai oleh Rm. Yohanes Indrakusuma, O.Carm.
Tahun
1976 menjadi titik penting. Berawal dari inisiatif Sr. Yohana yang ingin
mengundang Paul O’Brien, SJ (Superior SJ
Thailand) dan Rm. Herbert Schneider, SJ (Dosen Kitab Suci di Loyola School of
Theology, Manila) yang belum diwujudkan, maka Mgr. Leo Soekoto, SJ mengambil
alih inisiatif itu dengan mengundang kedua imam tersebut untuk secara resmi
memperkenalkan gerakan ini di Indonesia. Dari sini kemudian (masih pada tahun
1976) diadakan berbagai seminar dan pertemuan yang berkaitan dengan persekutuan
doa Karismatik ini bersama kedua imam Yesuit tersebut. Atas restu Mgr. Leo
Soekoto, SJ, rangkaian pertemuan ini menjadi awal bertumbuh dan meluasnya
gerakan Karismatik Katolik di Indonesia.
Berawal
dari pertemuan-pertemuan itu, selanjutnya dibentuk sebuah kelompok inti yang
terdiri dari 20 orang dan secara rutin mengadakan persekutuan doa di Aula
Susteran Ursulin, di Jalan Pos. Jumlah peserta terus bertambah, dan pada
tanggal 14 Januari-25 Februari 1977 untuk pertama kalinya diadakan seminar
dalam bahasa Indonesia yang bertemakan Hidup Baru dalam Roh Kudus. Setelah itu,
kelompok ini diundang oleh Rm. Sugiri, SJ untuk memulai sebuah persekutuan doa
di Paroki Mangga Besar. Pada 1983, KWI (saat itu masih bernama MAWI)
mengeluarkan dokumen resmi pertama yang berkaitan dengan pembaruan Karismatik,
yang berjudul Pedoman Para Uskup
Indonesia mengenai Pembaruan Karismatik Katolik. Dokumen ini memperlihatkan
segi positif dan negatif Pembaruan Karismatik Katolik, serta menyatakan bahwa
gerakan ini sebagai gerakan pembaruan yang autentik di dalam Gereja Katolik. Kemudian pada tahun 1993 KWI
mengeluarkan surat gembala berjudul Aneka
Karunia, Satu Roh: Surat Gembala mengenai Gerakan Pembaruan Karismatik, dan
pada 1995 KWI mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh: Pedoman Pembaruan Karismatik
Katolik Indonesia.
2.2
Inti Semangat Kelompok Pembaruan Karismatik Katolik
Gerakan Karismatik memberi perhatian
pada pembaruan hidup dalam Roh Kudus. Melalui ibadat dan karya amal seseorang
dibawa kepada pertobatan (metanoia)
dan kepenuhan hidup dalam roh. Sebaliknya pertobatan dan kepenuhan hidup dalam
Roh akan menghidupkan ibadat dan karya amal.[8]
Pembaruan sikap dan mental selalu diperlukan demi menjauhkan diri dari dosa dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Hal ini disadari umat Katolik sejak Gereja Purba
yang memohon dan berusaha agar Roh Kristus melalui berbagai macam karunia seperti
karunia mengajar, karunia memimpin, karunia melayani (1 Kor. 12:18) makin hari
makin hidup di dalam diri umat, agar umat dapat mencerminkan Kristus di dalam
dirinya.
Gagasan tentang Karisma dalam Gereja
Katolik merupakan bahan perdebatan yang cukup panjang. Dalam rancangan
Konstitusi Lumen Gentium tahun 1963
didiskusikan mengenai persoalan karisma di kalangan umat. Dalam diskusi
tersebut, Kardinal Ruffini (Oktober 1963) menentang pendapat mengenai banyaknya
karisma di kalangan umat. Menurutnya karisma adalah sesuatu yang sangat jarang
dan benar-benar merupakan sebuah pengecualian. Posisi berbeda diambil oleh
Kardinal Suenens (gagasan inilah yang kemudian diterima). Ia berpendapat bahwa
karisma tersebar luas di kalangan umat, baik yang luar biasa maupun sederhana,
dan semuanya berguna dalam menjawab kebutuhan Gereja.
Di dalam gerakan karismatik kita juga
sering menjumpai penggunaan istilah “pencurahan/pemenuhan Roh”. Pada mulanya
istilah yang digunakan adalah “pembaptisan dalam Roh”. Namun istilah
“Pembaptisan dalam Roh” sering menimbulkan pengertian yang keliru di antara
kalangan umat beriman, sebab istilah ini seolah-olah mengandaikan adanya
“pembaptisan baru” di samping sakramen baptis yang telah diterimanya. Oleh
karena itu, daripada menimbulkan salah pengertian, istilah “pembaptisan dalam
Roh” diganti dengan istilah “pencurahan/pemenuhan Roh” atau istilah lain yang
serupa dengan itu.
Dalam gerakan Karismatik istilah
“pembaptisan dalam Roh” perlu dibedakan dari istilah “pencurahan/pemenuhan
Roh”. Istilah “pembaptisan dalam Roh” merupakan istilah untuk orang yang
pertama kali menerima sakramen baptis. Orang yang telah menerima baptisan Roh
selalu menghadapi kemungkinan kemunduran iman, karena roh jahat tidak berhenti
melakukan serangan-serangan, dan karena itu seseorang memerlukan pencurahan
Roh. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa; “Baptisan Roh” hanya terjadi satu
kali dalam hidup seorang percaya (saat menerima sakramen baptis), tetapi
“pencurahan/pemenuhan Roh” dapat terjadi berulangkali, dan orang yang telah
“dibaptis dengan Roh” tidak otomatis depenuhi dengan Roh secara kontinyu. Ia
dapat mengalami kemunduran, dan karenanya ia membutuhkan pencurahan Roh.[9]
Selain
itu, dalam Gerakan Karismatik Katolik sering juga didengar istilah “bahasa Roh”
dan “penyembuhan” serta “eksorsisme”. Berkaitan dengan bahasa Roh, Rasul Paulus
mengakui akan adanya anugerah ini, bahkan ia sendiri mengakui bahwa ia
menerimanya. Dalam 1 Korintus 14:13-19 ia mengakui bahwa ia berdoa dan
berkata-kata dalam bahasa Roh. Akan tetapi hal paling penting adalah bagaimana
bahasa Roh yang digunakan seseorang dapat berguna bagi pembangunan jemaat.
Seseorang yang bisa berkata-kata dalam bahasa Roh diharuskan untuk dapat
menafsirkannya demi pembangunan jemaat. Apabila bahasa Roh itu tidak dapat
ditafsirkan maka sebaiknya orang itu diam. Selain itu, kriteria lain dalam
bahasa Roh adalah adanya sebuah motivasi yang luar biasa istimewa untuk untuk
semakin sadar mengusahakan hidup yang lebih penuh cinta kasih.
Selanjutnya
adalah fenomena penyembuhan dan eksorsisme. Dalam Gerakan Karismatik Katolik
kedua fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari kuasa Nama Yesus. Akan tetapi
kuasa Nama Yesus digunakan seolah-olah itu adalah mantra gaib dalam doa
penyembuhan atau eksorsisme, bahkan dengan cara-cara tertentu yang malah
mendatangkan kesan artifisial atau sensaional. Hal yang seharusnya dilakukan
dalam mendoakan orang yang sakit atau kerasukan setan dalam menggunakan kuasa
Nama Yesus adalah dengan sikap tenang, sabar, dan teguh dalam iman. Sedangkan
berkaitan dengan eksorsisme, dalam Gerakan Karismatik Katolik eksorsisme
sendiri dibagi ke dalam dua kategori, yakni eksorsisme kecil (exorcismus minor) yang dilakukan dalam
ritus pembaptisan (diberikan oleh imam atau diakon tertahbis) dan eksorsisme
agung/besar (exorcisme solemnis/magnus)
yang dilakukan ketika orang yang didoakan memperlihatkan tanda yang jelas bahwa
ia kerasukan setan (diberikan oleh imam yang memenuhi syarat dan mendapat izin
dari uskup setempat).
Akan
tetapi, hal lain yang tidak dapat disangkal adalah bahwa Gerakan Karismatik
dalam Gereja Katolik menuai pro dan kontra. Dari sisi kontra, biasanya
penolakan terhadap gerakan ini didasarkan pada penilaian bahwa liturgi kelompok
ini yang meriah tidak sesuai dengan
liturgi Gereja Katolik yang identik dengan ketenangan. Selain itu penolakan
terhadap kelompok ini didasarkan penilaian bahwa kelompok ini tidak murni
Katolik, tetapi mendapat pengaruh dari kelompok pentakostalisme di luar Gereja
Katolik, sehingga ada yang beranggapan bahwa kelompok ini dapat mengancam
kemurnian identitas Katolik. Sedangkan dari sisi pro, pembelaan terhadap
kelompok ini didasarkan pada pandangan bahwa gerakan karismatik sejatinya
berasal dari dalam Gerja katolik sendiri (merujuk pada karisma-karisma di dalam
pribadi para mistikus Gerja Katolik, seperti Fransiskus Assisi, Bonaventura)
yang kemudian ditiru oleh kelompok di luar Gereja Katolik dan dibawa kembali ke
dalam Gereja Katolik. Selain itu, pembelaan juga di dasarkan pada dukungan
Gereja Katolik sendiri terhadap gerakan ini, misalnya saja pandangan tentang
karisma, yakni bahwa setiap anggota Gereja dianugerahi beragam karisma yang
berguna bagi perkembangan hidup jemaat.
2.3
Sumbangsih Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik bagi Gereja Katolik Indonesia
Jika
kita melihat sejarah sebelum munculnya gerakan pembaruan karismatik Katolik di
Indonesia, saat itu banyak umat Katolik di Indonesia yang pergi ke gereja/persekutuan
doa di luar Gereja Katolik untuk mengalami situasi pentakosta. Dengan munculnya
Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik di Indonesia, kerinduan umat Katolik untuk
mengalami situasi pentekosta terpenuhi. Di sini Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik
menjadi wadah bagi terpenuhinya hasrat umat untuk mengalami situasi pentekosta
dan menjadi wadah bagi umat dalam mengabdi Tuhan dan menjawabi panggilan Tuhan
dengan cara yang ia inginkan.
Di
samping itu, di dalam Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik dijumpai berbagai
bidang pelayanan yang tidak hanya melayani kepentingan intern mereka, tetapi
juga melayani kepentingan Gereja Katolik setempat, dan bahkan juga pelayanan di
luar Gereja. Adapun bidang-bidang pelayanan tersebut adalah bidang pewartaan,
bidang refleksi, bidang pembinaan, bidang evangelisasi, bidang kepemudaan,
bidang media komunikasi, dan bidang sosial kemasyarakatan (sosmas). Misalnya
saja dalam bidang pewartaan, Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik berusaha
untuk melakukan penginjilan dan pelayanan yang sejalan dengan iman Katolik
lewat Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP), dan Sekolah Pendalaman dan Pelayanan
Iman Katolik (SIP).
IV Penutup
Setelah
melihat sejarah, semangat, dan kontribusi Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik
bagi Gereja Indonesia, maka pada bagian akhir tulisan kami mencoba memberi
kesimpulan.
Pertama, yang menjadi semangat dasar dalam
kelompok Pembaruan Karismatik Katolik adalah pembaruan hidup dalam Roh Kudus.
Kedua, sama seperti kelompok kategorial
lainnya, Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik juga bertujuan membawa umat
kepada kekudusan, meskipun cara yang ditempuh agak berbeda. Kelompok Karismatik
mengajak anggotanya memperoleh kekudusan dengan mengajak para anggotanya untuk
mengalami “peristiwa pentakosta”.
Ketiga, Kelompok ini terbentuk secara
spontan tanpa melalui perencanaan yang sistematis sebelumnya.
Keempat, Gerakan Pembaruan Karismatik
Katolik menjadi wadah untuk menjawab
hasrat (desire) umat dalam mengabdi
kepada Tuhan dan menjawab panggilan Tuhan. Harus diakui bahwa setiap orang
memiliki cara yang berbeda dalam mengabdi dan menjawabai panggilan Tuhan, dan
di sinilah peran Kelompok Pembaruan Karismati Katolik dalam memenuhi hasrat
umat tersebut.
Daftar Pustaka
Pedoman Pastoral
Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik.
Jakarta: OBOR. 1983.
Ramadhani, Deshi, SJ. Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?.Yogyakarta:
Kanisius.
2008.
Sugiri, L., SY, dkk., Gerakan Karismatik, Apakah Itu? Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1985.
Sumber
Internet
[2] Deshi Ramadhani, SJ, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 17
[3] L. Sugiri, SY, dkk, Gerakan Karismatik, Apakah Itu?,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), hlm. 13.
[4] Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik,
(Jakarta: OBOR, 1983), hlm. 8.
Pkl. 21.00 wib.
[6] Deshi Ramadhani, SJ, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, hlm.
53.
[7] Deshi Ramadhani, SJ, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, hlm.
65.
[8] Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia Mengenai Pembaruan Karismatik Katolik,
hlm. 8.
[9] L. Sugiri, SY, dkk, Gerakan Karismatik, Apakah Itu, hlm.
178.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar