I.
Pengantar
Joachin Fiore
(1135-1202) dikenal sebagai salah satu pemikir apokaliptik yang berpengaruh
setelah pengarang Kitab Wahyu. Warisan spiritualnya melampaui abad pertengahan
dan masih hidup hingga saat ini. Meskipun dalam Konsili Lateran IV (1215) Paus
Inocentius III mengutuk karyanya (De unitate seu essentia Trinitatis) yang merupakan kritik Joachim atas
pemikiran Petrus Lombardus tentang Trinitas, namun oleh Dante ia dipuja sebagai
seorang yang “dianugerahi roh kenabian”. Oleh Thomas Aquinas ia dinilai gagal
memahami ketajaman pemikiran Petrus Lombardus, namun oleh kaum Fransiskan
Spiritual ia dipandang sebagai bentara gerakan mereka. Joachim Fiore adalah
seorang tokoh yang penuh kontroversi namun sekaligus memainkan peran penting
dalam perkembangan teologi abad pertengahan.[1]Dalam
abad 20, Joachim dipandang sebagai figur berbahaya oleh beberapa tokoh. Eric
Voegelin menilai Joachim bertanggung jawab atas munculnya “semangat Gnostik”
dalam politik modern, sedangngkan Henri de Lubac melihat bahwa Joachim menjadi
inisiator bagi lahirnya konsep-konsep sejarah yang terbagi dalam tiga tahap
dengan Kristus sebagai pusatnya.[2]
Secara garis besar
makalah ini akan membahas pandangan teologi sejarah Joachim Fiore. Makalah ini
terbagi atas tujuh bagian. Bagian pertama makalah ini adalah pengantar, dan
dilanjutkan bagian kedua yang akan memaparkan riwayat hidup Joachim Fiore. Pada
bagian ketiga akan dipaparkan konteks pemikiran, khususnya pemikiran mengenai
teologi sejarah pada zaman sebelum Joachim Fiore yang diwakili oleh gagasan
teologi sejarah Eusebius Caesarea dan Agustinus. Selanjutnya pada bagian
keempat akan dipaparkan konteks sosial yang melatarbelakangi pemikiran Joachim
Fiore. Pada bagian kelima, yang menjadi bagian inti makalah ini, akan
dipaparkan gagasan teologi sejarah Joachim Fiore. Bagian kelima dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama membahas tentang “dua pembabakan sejarah” dan bagian
kedua tentang “tiga pembabakan sejarah” dalam teologi sejarah Joachim Fiore.
Selanjutnya pada bagian keenam akan dibahas pengaruh pemikiran Joachim Fiore
bagi zaman setelah dirinya. Terakhir, bagian ketujuh, pemakalah akan menampilkan
relevansi pemikiran Joachim Fiore yang sekaligus merupakan penutup makalah ini.
II.
Riwayat
Hidup
Joachim lahir pada
tahun 1135 di Celico, Italia Selatan. Terdapat dua tradisi mengenai
asal-usulnya. Tradisi yang pertama merujuk pada kutipan dalam Expositio in
Apocalypsim di mana Joachim
menyebut dirinya sebagai petani. Tradisi ini kurang meyakinkan, dan dinilai
sebagai sebuah referensi dan alegori biblis. Tradisi kedua, merujuk pada
penulis awal biografinya, Joachim adalah anak dari seorang notaris pengadilan
kerajaan Norman.[3]
Joachim dididik di Cosenza, dan setelah menyelesaikan studinya ia sempat
bekerja sebagai notaris di kanselir kerajaan Palermo bersama dua notaris
ternama dari Kerajaan Norman, yaitu Peregrinus dan Sanctorus. Ia kemudian
berhenti dari pekerjaannya sebagai notaris dan memutuskan berziarah ke Tanah
Suci (1168).[4]
Dalam ziarahnya ke Tanah Suci, tepatnya di Gunung Tabor, dikisahkan
bahwa ia mendapat visiun. Visiun tersebut adalah yang pertama dari tiga visun
yang ia alami, dua lainnya ia alami di biara Cistercian, Casmari. Dalam visiun
pertama ini Joachim dianugerahi kemapuan untuk membaca dan memahami teks-teks
Kitab Suci. Dalam dua visiun lainnya di biara Cistercian (1184) Joachim
dianugerahi “kecerdasan spiritual” (Spiritum intelligentiae), yang memampukan dia mengiterpretasikan pola-pola sejarah dan
perkembangan sejarah menuju akhir zaman sebagaimana diwahyukan dalam teks-teks
Kitab Suci. Setelah mengalami visiun di Casmari, Joachim memperoleh pemahaman
yang lebih matang tentang apokaliptik sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya
yang utama, yakni Liber
concordia Novi ac Veteris Testamenti, Expositioin Apocalypsim, Psalterium decem
chordarum, dan Liber figurarum. Joachim mengembangkan pola “dua” dan “tiga”
pembabakan dalam teologi sejarahnya. “Pola dua” didasarkan pada dua Perjanjian
dalam Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan “pola tiga”
didasarkan pada tiga pribadi Trinitas.[5]
Setelah mendapat pewahyuan di Tanah Suci ia kembali ke Italia, dan dalam periode waktu tertentu ia tinggal di sebuah gua dekat biara Yunani, dekat gunung Etna di
Sisilia. Setelah itu, Joachim masuk biara Cistercian di Sambucina, Sisilia,
tanpa menerima jubah. Akan tetapi karena tidak mengenakan jubah, Gereja
mengkritiknya sebagai seorang pengkhotbah awam, dan karenanya ia kemudian mau
mengenakan jubah Cistercian di Corazzo.[6]
Tahun 1168 ia ditahbiskan, dan tahun 1177 dipilih menjadi abbas di Corazzo.
tahun 1191 ia meninggalkan Corazzo dan tinggal di Fiore, di mana ia mendirikan
ordo baru yaitu ordo St. John yang mendapat persetujuan Paus pada tahun 1196.[7]
Ia meninggal tahun 1202 di Calabria, ujung selatan Italia.[8]
Dalam Konsili Lateran IV (1215) pemikiran Joachim, khususnya tentang
Trinitas, dianggap sesat dan dikutuk oleh Gereja. Dalam karyanya De unitate
seu essentia Trinitatis Joachim secara terang-terangan menentang Sentences
Petrus Lombardus. Dalam Sentences (Book i, Dist. 5, Ch. 1) Petrus
Lombardus mengajukan pertanyaan, apakah Bapa memperanakkan esensi ilahi, atau
apakah Bapa memperanakkan Putera, atau apakah esensi ilahi memperanakkan
dirinya sendiri, ataukah esensi ilahi tidak memperanakkan atau diperanakkan.
Petrus Lombardus kemudian menyimpulkan bahwa karena esensi ilahi adalah sesuatu,
dan sungguh merupakan sesuatu yang tertinggi, dan karena sesuatu tidak
memperanakkan dirinya sendiri, esensi ilahi dengan demikian tidak diperanakkan
atau memperanakkan.[9]
Joachim menganggap bahwa ketika Petrus Lombardus menyebut esensi ilahi
sebagai “sesuatu” maka Petrus Lombardus memaksudkan sebuah konsep kuaternitas,
bukan Trinitas, yang terdiri dari tiga pribadi ilahi dan esensi bersama
dari ketiganya sebagai realitas keempat. Akibatnya, Joachim menuduh Petrus
Lombardus sebagai heresi.[10]
Sayangnya, Konsili Lateran justru melihat Joachim salah memahami pandangan
Trinitas Petrus Lombardus dan justru menganggap Joachim sebagai heresi. Dalam
konsili Lateran IV, Paus Inocentius III menyatakan: “kami, dengan berlandaskan
pada persetujuan Konsili Suci berkeyakinan dan sepengakuan dengan Petrus
Lombardus...”. Dengan demikian, jelas bahwa menurut Paus Inocentius III Petrus
Lombardus tidak sedang mengusung paham kuaternitas, tetapi Joachim –
dalam pemahamannya atas Petrus Lombardus- salah menilai esensi analogi Petrus
Lombardus.[11]
Joachim menulis tiga karya besar, yakni: Concordance to the New and
Old Testaments (1189), Exposition of the Apocalypse (1196), dan Psaltery
of Ten Strings (1200). Tahun 1254 karyanya dipublikasikan di Paris oleh
seorang Fransiskan bernama Gerard dari Borgo San Donnino dengan judul The
Eternal Gospel.[12]
III.
Konteks Pemikiran
Dalam alam pikir Kristen, Joachim diperhitungkan sebagai
salah satu teolog sejarah yang berpengaruh. Bersama dengan Eusebius Caesarea
dan Agustinus, Joachim disebut memiliki pengaruh yang besar bagi pandangan Kekristenan tentang sejarah. Padangan apokaliptik teologi
sejarah Joachim disejajarkan dengan optimistis teologi politik Eusebius
Caesarea dan pesimistis teologi internalisasi Agustinus.[13]
Teologi sejarah Eusbius (260-340) dan Agustinus (354-430) lahir dalam rentang
waktu antara tahun 315 sampai 425 di mana terjadi perubahan dramatis dalam
dunia kuno, khususnya dalam dunia Kekristenan.
Pertama peralihan dari Kekaisaran Romawi kepada Kekristenan dan kemudian
kejatuhan Kekaisaran Kristen oleh invasi kaum Barbar serta kelemahan-kelemahan
internal Kekaisaran Kristen.[14]
Eusebius melihat bahwa aliansi antara kekuasaan politik
kekaisaran Roma dengan Gereja Katolik merupakan bentuk penyelenggaraan Ilahi.
Eusebius menemukan legitimasi atas pemikirannya ini bukan hanya dalam
Perjanjian Lama yang menggambarkan Kerajaan Israel sebagai kerajaan Allah di
dunia, tetapi juga di dalam nubuat mesianik yang diinterpretasi sebagai ramalan
atas pemerintahan kaisar Konstantinus.[15]
Karya Eusebius, Chronica,
adalah usaha paling ambisiusnya dalam membandingkan sejarah sekular dengan
kejadian-kejadian dalam Kitab Suci. Karya ini diterjemahkan Hieronimus dan
menjadi kerangka sejarah umum Kekristenan selama beberapa abad. Lebih jauh,
identifikasi Eusebius atas takdir Gereja dan Roma dapat dilihat sebagai versi
Kristiani dari teologi politik Yunani dan Romawi kuno, yang menolak pembedaan
antara agama dan politik. Gereja dan kekaisaran adalah “dua kekuatan yang
mengalir dari satu aliran”. Pandangan Eusebius kemudian menjadi akar bagi
perkembangan pandangan pemerintahan teokrasi Kristen tentang sejarah, entah itu
variasi dari kekaisaran ataupun dari kepausan.[16]
Berbeda dengan pandangan Eusebius
yang cenderung optimis, teologi sejarah
Agustinus dalam arti tertentu berciri pesimistik dan sekular. Pandangan
Agustinus bersifat pesimistik dalam arti bahwa doktrinnya tentang dosa asal
meyakinkan dia bahwa harapan akan keadaan yang lebih baik di dalam dunia lahiriah adalah sebuah ilusi. Sejarah dunia
dan kerajaan-kerajaan sejak zaman Adam selalu merupakan sebuah tragedi. Sama
seperti Bapa-bapa Gereja lainnya, Agustinus meyakini bahwa penyelenggaraan
Allah bekerja dalam sejarah, namun ia menegaskan bahwa penyelenggaraan tersebut
bekerja secara tersembunyi.[17]
Oleh karena itu dalam City
of God Agustinus mensekulerkan sejarah dunia dengan menghapus aura
kesakralannya. Ia melihat kebangkitan dan kejatuhan kekaisaran-kekaisaran,
termasuk Roma, tidak ada hubungannya dengan “rencana Allah”. “Rencana Allah”
yang dimaksud Agustinus adalah didirikannya Kota Allah yang tak dapat dilihat,
yang berisikan orang-orang pilihan dari berbagai masa- sebuah komunitas yang
keanggotaannya akan menjadi nyata secara penuh pada akhir zaman. Bahkan
sebagian dari diri Gereja itu sendiri bercorak
sekular. Bagi Agustinus, perselisihannya dengan Donatisme menunjukkan bahwa
Gereja, sekalipun diperlukan sebagai sarana keselamatan, namun di akhir zaman
akan tetap memerlukan penyucian oleh Kristus.
Selama Gereja masih berada di dunia maka Gereja masih merupakan “tubuh
campuran” (corpus permixium) antara
mereka yang dipilih dan mereka yang tidak ditentukan untuk selamat.[18]
Menurut Agustinus, Roma 5:5 menjelaskan
bahwa kodrat dan nilai dari setiap individu (di dalam waktu) didasarkan pada
kasih yang dihidupinya, apakah cinta kasih (caritas)
Roh Kudus ataukah hawa nafsu (cupiditas).
Selanjutnya dalam City of God,
Agustinus menyatakan bahwa terdapat dua kota yang dibentuk oleh dua macam
kasih, yakni kota dunia yang
diciptakan oleh cinta akan diri sendiri namun merendahkan Allah, dan kota surgawi yang diciptakan oleh kasih
akan Allah namun memandang rendah diri sendiri.[19]
Baik Eusebius maupun Agustinus sedikit saja menggunakan
dimensi apokaliptik Kristiani dalam teologi sejarah mereka, yaitu keyakinan
bahwa Allah telah mewahyukan akhir dari pergumulan antara yang baik dan yang
jahat dalam akhir sejarah yang telah mendekat, dan bahwa pewahyuan tersebut
mengharuskan Gereja untuk hidup dalam terang akhir zaman. Keduanya sama-sama
meyakini bahwa pesan-pesan apokaliptik sebagaimana dikumpulkan dari pewahyuan
dalam Perjanjian Lama, Injil, tulisan-tulisan Paulus, ataupun tulisan-tulisan
Yohanes sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi di akhir zaman. Akan tetapi
keduanya tidak melihat pesan apokaliptik sebagai peristiwa yang sudah dekat
atau melihat urgensi makna apokaliptik untuk memperkuat atau mendorong aksi di dunia.[20]
Baik Eusebius maupun Agustinus menerjemahkan simbol-simbol
apokaliptik dalam Kitab Suci ke dalam diskursus mereka tentang sejarah.
Eusebius membaca kenabian mesianik dalam Perjanjian Lama sebagai prediksi atas
kekaisaran Konstantinus, sementara Agustinus menginterpretasikan apokaliptik
Yohanes sebagai sebuah pesan tentang pertentangan yang terus berlanjut antara
yang baik dan yang buruk di dalam Gereja, yang mana ia samakan dengan kerajaan
milenial yang dijanjikan dalam kitab Wahyu bab 20. Bahkan Agustinus menentang
segala usaha dalam mengaitkan interpretasi Kitab Suci untuk mengaitkan
peristiwa saat ini dengan tanda-tanda akhir zaman, sebagaimana dikatakan Yesus
kepada para rasul-Nya (Kis.1:7).[21]
IV.
Konteks Sosial
Teologi sejarah yang dikonstruksi Eusebius dan Agustinus
mendominasi selama tujuh abad sebelum Joachim. Akan tetapi teologi sejarah Abad
ke-12 memiliki konteks yang berbeda. Muncul ketertarikan baru dalam pandangan
tentang makna sejarah, terutama berkaitan dengan pembaruan peran Gereja.[22]
Dalam zaman ketika Joachim hidup, Kekristenan Barat - institusi Gereja,
kedaulatan Gereja, dan bentuk-bentuk peribadatan – berada dalam bahaya. Di
dalam Gereja korupsi merajalela di antara para uskup dan para raja, sementara
badai ketidaksetiaan mengancam umat Kristen. Di tengah badai tersebut, Joachim
melihat adanya kebaikan di masa depan, yakni datangnya “manusia spiritual”,
para rahib yang akan mereformasi Gereja Latin, memanggil Gereja Yunani (yang
oleh Gereja Latin dianggap sesat) untuk kembali bersatu
dengan Gereja Roma, dan membawa orang-orang Yahudi kembali kepada iman akan
Kristus. Di bawah kepemimpinan “pemimpin spiritual”, sejarah akan mengarah ke
zaman yang menakjubkan, yang menurut Joachim dipenuhi suasana damai, tanpa
perang, tanpa skandal, tanpa kecemasan dan kekerasan, sebab Allah akan
memberkati dan menguduskan zaman tersebut, sebab dalam zaman tersebut Allah
akan berhenti dari segala pekerjaannya.[23]
Aspek-aspek lain yang turut melatarbelakangi konteks teologi
sejarah abad ke-12 adalah beragam peristiwa yang terjadi di Eropa, seperti
perang salib, bangkitnya heresi, dan pembaruan teologi. Beberapa pemikir
melibatkan diri pada persoalan-persoalan tersebut, sebut saja Rupert dari Deutz,
Hugo St. Victor, Anselmus dari Havelberg, Hildegard dari Bingen, Otto dari
Freising, dan Gerhoh dari Reischersberg.[24]
Joachim hidup di zaman, yang oleh para ahli modern, dianggap sarat dengan
peristiwa-peristiwa historis penting dan karenanya diberi banyak label: “abad
duabelas yang panjang”, periode “reformasi” dalam struktur Gereja Katolik,
zaman “renaissance” dalam kehidupan intelektual dan kebudayaan, serta zaman
transformasi kehidupan religius.[25]
V.
Pemikiran Joachim Fiore
5.1 Dua Pembabakan
Sejarah
Sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan-tulisan awalnya,
Joachim meyakini bahwa waktu manusia (human
time) dapat dibagi dalam dua periode (tempora)
yaitu periode Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Joachim melukiskan dua
Perjanjian tersebut seumpama dua pohon. Pohon pertama tumbuh sejak Adam dan
berakhir dengan kelahiran Kristus, sedangkan pohon kedua bertumbuh sejak zaman
Uziah (raja Yehuda) dan berakhir pada saat kedatangan Kristus yang kedua.
Menurut perhitungan Joachim, setiap pohon memiliki 63 generasi yang dibagi ke
dalam tiga kelompok dengan 21 generasi dalam setiap kelompok. Generasi-generasi
dalam pohon pertama bersifat badaniah, sedangkan generasi-generasi dalam pohon
kedua lebih bercorak spiritual.[26]
Pohon perjanjian lama dibagi sebagai berikut: dari Adam
sampai ke Ishak, dan kemudian 42 generasi dari Yakub sampai dengan kedatangan
Kristus yang pertama kali. Pohon Perjanjian Baru yang dimulai sejak Raja Uziah
(sezaman dengan nabi Yesaya, nabi yang menurut Joachim merupakan nabi pertama
yang mulai mewartakan Injil) juga terbagi dalam tiga kelompok. Dua di antara
tiga kelompok tersebut menyiratkan 42 generasi yang bermula sejak kedatangan
Kristus sampai dengan munculnya Antikristus. Lamanya setiap generasi dalam
Perjanjian Baru adalah 30 tahun, sebab angka ini merepresentasikan usia Kristus
ketika ia mulai memiliki murid-murid. Munculnya Antikristus diperkirakan
terjadi pada tahun 1260 (42 generasi pasca kelahiran Kristus dari 30 tahun
setiap generasi). Duabelas suku Israel tumbuh dari cabang Yakub, sedangkan
duabelas Gereja (tujuh di Asia dan lima Gereja-gereja Metropolitan; Roma,
Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem) tumbuh dari cabang Yesus
Kristus. Yesus Kristus muncul dari cabang Yehuda, sehingga kedatangan Yesus
yang kedua akan muncul dari cabang Gereja Katolik.[27]
Kitab Wahyu secara khusus menjadi kerangka bagi Joachim dalam
memahami periode-periode historis yang direpresentasikan setiap cabang. Ia
memahami tujuh materai dari kitab Wahyu (Why. 5) merepresentasikan tujuh periode penyiksaan orang Yahudi dalam
Perjanjian Lama, dan sesuai dengan metodologi konkordansi, ia berasumsi bahwa
akan terdapat tujuh penganiayaan dalam Gereja. Orang Yahudi dianiaya oleh
orang-orang Mesir, Kanaan, Syria, Asyur, Kaldea, Mades, dan Yunani, sedangkan orang-orang Kristen dianiaya oleh
orang-orang Yahudi, para penyembah berhala, dan secara serentak oleh orang
Persia, Goths, Vandal, dan Lombard,
serta oleh kaum Muslim, dan pada zaman Joachim oleh kekaisaran Jerman. Masih
ada dua penganiayaan lagi yang tersisa. Dua penganiayaan terakhir (materai
keenam dan ketujuh) akan terjadi secara bersamaan sebab kedatangan kedua
Kristus sudah dekat.[28]
Menurut Joachim, ia hidup dalam generasi ke-40
dalam tahap kedua, yaitu zaman Putera, Perjanjian Baru, dan Gereja, atau dalam
periode menjelang terbukanya materai keenam yang juga akan diikuti terbukanya materai
ketujuh dalam generasi ke 41 dan 42. Generasi ini akan ditandai dengan
penganiayaan oleh kepala keenam dan ketujuh hewan buas dalam
Wahyu 12, di mana kepala ketujuh melambangkan Antikristus. Perkiraan ini
menunjuk pada tahun 1200-1260, meskipun hanya dalam Liber Figurarum
Joachim secara eksplisit menyebut tahun 1260, sebagai akhir dari dua generasi
tersebut.[29]
Joachim memprediksikan bahwa dalam
generasi-generasi ini juga akan muncul dua ordo manusia spiritual (viri
spirituales) yang akan membimbing manusia lain menuju kepada zaman baru.
Ordo yang satu lebih kontemplatif dan yang lain lebih aktif. Ia juga
memprediksikan bahwa dalam tempora keenam pada zaman kedua, seorang Paus
akan datang. Ia diutus dari Babilonia ke Yerusalem untuk memperbarui Gereja dan
melawan anti-Kristus.[30] Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan selama masa
hidup Joachim, seperti kematian Gregorius VII di tempat pembuangan, penyerangan
terhadap Paus Paskalis II oleh Raja Henry V (1099-1118), skisma kepausan di
bawah Alexander III (1159-1181), menjadi tanda bahwa saat terbukanya materai
keenam sudah semakin dekat.[31]
5.2 Tiga
Pembabakan Sejarah
Pola
Trinitaris dalam pembabakan sejarah merupakan hasil dari
visiun kedua di Casamari tahun 1184 dan berpengaruh dalam pandangannya tentang
apokaliptik. Selain itu, visiun ini juga menjadi dasar bagi refleksi Joachim tentang Trinitas. Tentang visiun
tersebut Joachim menulis sebagai berikut:
“ketika aku masuk ke dalam Gereja untuk berdoa kepada Allah yang
Mahakuasa, di depan altar yang kudus, tiba-tiba aku dihampiri ketidakpastian
akan imanku kepada Trinitas. Sulit dipahami bahwa tiga pribadi adalah Allah
yang satu dan Allah yang satu adalah tiga pribadi. Ketika ketidakpastian iman
itu melanda diriku, Roh Kudus berkenan menunjukkan kepadaku misteri Trinitas
yang kudus. Allah sendiri menjanjikan kepada kita bahwa segala pemahaman
tentang kebenaran dapat ditemukan dalam Trinitas (Yoh. 16:13). Aku kemudian mendoakan
Mazmur, dan kemudian gambaran tentang sepuluh tali mazmur muncul dalam
pikiranku. Misteri Trinitas yang kudus bercahaya begitu cemerlang dan dalam
keadaan demikian aku berseru “adakah Allah yang sehebat Allah kami?” (Mzm.
77:14).[32]
Hal ini menunjukkan bahwa gagasan Trinitas Joachim
muncul bukan dari sebuah usaha intelektual, melainkan berasal dari pengalaman
spiritual. Hal ini sesuai dengan pemahaman tentang konsep dirinya yang lebih
dikenal sebagai seorang manusia spiritual ketimbang sebagai seorang teolog atau
seorang filsuf. Pandangannya tentang Trinitas berakar pada pengalaman spritual
dan pada meditasinya atas Kitab Suci. Bagi Joachim berpikir tentang Trinitas
bukanlah sebuah persoalan yang harus dipecahkan layaknya teka-teki, melainkan
lebih pada sebuah latihan spiritual atas pikiran. Joachim menyatakan: “makhluk
rasional (manusia) harus dibentuk/dilatih untuk menjadi serupa dengan kebaikan
tertinggi (Allah)”.[33]
Konsep sentral pemikiran Joachim tentang tiga
pembabakan sejarah ialah bahwa sejarah umat manusia terbentang dalam tiga
pembabakan yang saling tumpang tindih. Masing-masing pembabakan tersebut
diidentifikasikan dengan tiga pribadi Trinitas (Bapa, Putera, dan Roh Kudus),
serta merefleksikan relasi ketiganya. Tahap pertama dimulai sejak Adam sampai
dengan Yesus Kristus, dicirikan dengan scientia (pengetahuan). Tahap
kedua dimulai sejak raja Uzia sampai tahun 1260, dicirikan dengan sapientia
(kebijaksanaan). Tahap ketiga dimulai sejak St. Benediktus sampai dengan akhir
zaman, dicirikan oleh plenitude intellectus, yakni rahmat untuk
menyingkap pesan dalam teks Kitab Suci. Rahmat plenitude intellectus
mengalir dari kedua Perjanjian (Perjanjian Lama dan Baru), sebagaimana Roh
Kudus yang berasal dari Bapa dan Putera. Zaman Bapa direpresentasikan oleh
duabelas suku, zaman Putera oleh duabelas rasul, dan zaman Roh Kudus oleh
duabelas manusia spiritual.[34]
Oleh karena terdapat gerak maju dalam sejarah
menuju keselamatan, maka dalam tahap pertama, yaitu zaman Bapa, manusia hidup
menurut daging. Dalam tahap kedua, zaman Putera, manusia hidup diantara dua
kutub, yaitu antara daging dan roh. Selanjutnya pada tahap ketiga, yaitu zaman
Roh Kudus, manusia hidup menurut Roh. Ketiga tahap itu saling terkait dan
dihubungkan oleh zaman Putera (tahap kedua), yaitu zaman Gereja. Tahap kedua
berakar pada zaman Bapa, dengan Harun yang menandakan imamat dan Yesaya yang
melambangkan evangelisasi. Tahap ketiga berakar pada tahap pertama dan kedua,
dengan Elia atau muridnya Elisa bersama St. Benediktus yang menandakan cara
hidup spiritual monastik yang mendominasi zaman ketiga.[35]
Menurut Joachim ordo para rahib memiliki peran penting
dalam menyongsong kedatangan zaman Greath Sabbath. Kehidupan monastik
memiliki asal-usul ganda. Kemunculan pertama kehidupan monastik dimulai dalam
zaman Bapa, tepatnya dalam kehidupan para nabi, seperti Elia dan Elisa, yang
menegur para raja Israel karena kesalahan mereka. Dalam zaman Putera,
monastisisme Kristen berkembang di Gereja Timur. Menurut Joachim bahkan setelah
Gereja Timur menolak Roma (yang dianggap sebagai heresi), di Gereja Timur masih
tersisa beberapa Abbas dan murid-murid mereka yang menggambarkan kesempurnaan
hidup monastik. Selanjutnya ordo para rahib berkembang di Gereja Latin dalam
periode Benediktus Nursia yang menjadi mediator antara para rahib Gereja Timur
dan Barat. Joachim kemudian beranggapan bahwa usaha untuk memperjuangkan kehidupan
monastik yang sempurna berpindah ke Gereja Katolik Roma, berkembang secara
khusus di Italia, Gaul, dan Jerman. Menurut Joachim, sejak saat itu kehidupan
monastik yang berpindah dari Gereja Timur ke Gereja Barat, diberkati oleh
Trinitas yang Mahakudus, berkembang pertama-tama dalam Ordo Cluny, dan kemudian
dalam Ordo Cistercian. [36]
Tiga zaman ini juga menggambarkan relasi permusuhan
antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Joachim menaruh perhatian pada nasib
bekas “umat pilihan Allah”, orang Yahudi, dalam relasinya dengan umat Kristen
yang ia pandang sebagai penerima rahmat Allah berkat kedatangan Kristus dan
Gereja-Nya. Di antara umat Kristen, Joachim juga membedakan antara orang
Kristen Yunani atau anggota Gereja Timur dan orang Kristen Latin atau anggota
Gereja Kristen Barat (yang taat pada Paus di Roma). Orang-orang Yunani
menurutnya adalah orang-orang yang pertama menerima iman Kristen, namun karena
kesesatan mereka dan penolakan mereka atas kepausan Roma maka mereka menderita
hukuman yang berat, kehilangan kerajaan dan semangat hidup membiara.
Orang-orang Kristen Latin, penerima kekuasaan kekaisaran dan semangat monastik,
menjadi pengejewantahan rencana Allah dalam sejarah. Gereja Latin menjadi
representasi “Yehuda baru” dan Roma adalah “Yerusalem Baru”.[37]
Joachim berasumsi bahwa orang-orang Yahudi hidup
dalam zaman pertama, orang non-Yahudi pada zaman kedua, dan keduanya akan
hidup secara bersama-sama pada zaman ketiga, yakni zaman Roh kudus yang penuh
dengan pengampunan dan penghiburan. Dalam karyanya Tractus Joachim
menyatakan bahwa baik orang Kristen Yunani dan orang-orang Yahudi akan
bersama-sama masuk dalam Gereja pada akhir zaman kedua. Dalam zaman ketiga akan terjadi sebuah
metamorfosis, sebuah zaman baru, zaman quasi-utopia.[38]
Zaman ketiga diwarnai pembaruan global yang mulai di dalam
tubuh Gereja dan kemudian mengalir keluar Gereja. Zaman di mana Roh akan
bertindak secara bebas, masyarakat akan menjadi damai, dan karakter
kontemplatif akan mengatur dan mewarnai seluruh tatanan. Tatanan ini akan
menjadi puncak dari gerak naik sejarah, dan dimulai pada zaman St. Benediktus.[39]
Misi Roh Kudus yang dimulai pada saat Pentekosta, akan meluas
dan semakin subur. Meskipun para pengkritik menyebut bahwa Joachim membahayakan
peran Kristus dalam sejarah keselamatan, namun Joachim menegaskan bahwa Roh
Kudus tidak menggantikan peran kristus melainkan melanjutkan karya yang sudah
dimulai oleh Kristus. Dalam diri manusia spiritual dalam zaman ketiga, Kristus
akan memerintah secara lebih kuat. Gereja itu sendiri tidak akan secara radikal
dihancurkan atau diubah, sebagaimana diyakini oleh sebagian pengikutnya,
melainkan gereja akan terus bertahan sampai Akhir, meskipun gereja
bertransformasi dari ecclesia active kepada
sebuah ecclesia contemplativa.[40] Gereja
spiritual tidak akan menggantikan Gereja purba melainkan
menaikkan Gereja purba kepada level yang lebih tinggi.[41]
Elia merupakan figur penting dalam pemikiran
Joachim, sebab ia menjadi simbol Roh Kudus dalam zaman pertama dan ketiga. Ia
diidentifikasikan dengan api karena ia menurunkan api Ilahi di Gunung Karmel
ketika mengutuk para nabi dewa Ba’al, dan ia juga diangkat ke surga dengan
kereta kuda berapi. Ia juga mempermaklumkan prosesi Roh Kudus dari Bapa, dan ia
juga akan mempermaklumkan prosesi Roh Kudus dari Putera dalam akhir zaman
kedua. Ia dihubungkan dengan Musa yang berbicara dengan Yesus dalam kisah
trasnfigurasi di Gunung Tabor (tempat Joachim memperoleh visiun pertama), dan
dalam Injil ia dihubungkan dengan Yohanes Pembaptis yang kemudian menjadi
bentara kehadiran pertama Kristus di dunia.[42]
Elia adalah figur yang sempurna untuk melukiskan
pola dua dan tiga dalam pembabakan sejarah, atau perkembangan
historis dan spiritual yang saling terhubung dalam pemikiran Joachim. Pola
dua atau pola historis lebih tradisional karena pola ini menghadirkan gerak
maju sejarah dari zaman Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, yang akan berakhir
saat kedatangan Kristus yang kedua. Pola Trinitarian lebih bersifat
inovatif karena menempatkan tahap ketiga dalam sejarah, dan menempatkan
kemajuan spiritual menuju tahap yang lebih sempurna yang berasal dari (bukan
menggantikan) Perjanjian Baru dengan akarnya pada Perjanjian Lama. Elia
merepresentasikan perkembangan spiritual dalam sejarah sebagaimana perannya
yang krusial dalam menggambarkan pewahyuan Trinitas dalam sejarah; prosesi Roh
Kudus dari Bapa dan Putera, dan inisiasi ke dalam tahap ketiga, yang merupakan
buah dari tahap pertama dan kedua.[43]
Selain itu, dalam membaca tiga pembabakan sejarah
dalam teologi sejarah Joachim, kita tidak bisa lepas dari simbol Tetragrammaton[44]
(IEUE) yang sangat diperlukan untuk memahami pemikiran Joachim tentang
aktivitas pewahyuan Ilahi dalam sejarah. Tetragrammaton pertama kali
muncul dalam Expositio
in Apocalypsim dan Psalterium Decem Chordam. Kedua karya
ini ditulis berdasarkan visiun Paskah di Casamari yang menjelaskan makna
Trinitas. Dalam pembacaannya atas Wahyu 1:8 (tentang Alfa dan Omega) dan
komentarnya tentang apokaliptik, Joachim menunjukkan Alpha (Α) dan Omicron (Ο) merepresentasikan
Trinitas dan kesatuan pribadi dalam Trinitas. Ia membuktikan ini dengan
menggunakan Tetragrammaton yang tampak sebagai kesatuan dalam Omicron,
dan dibagi ke dalam IE di puncak Alpha, dan EU dan UE masing-masing di bagian
bawah huruf Alpha. Bagi Joachim, ini membuktikan bahwa Trinitas telah
diwahyukan dalam kitab orang Yahudi melalui nama Allah Yang Mahasuci.[45]
Dalam Psalterium decem chordam Joachim
menguraikan Tetragrammaton IEUE (lihat
gambar). IE adalah nama yang merujuk pada Bapa, EU adalah Putera, dan UE adalah
Roh Kudus. IEUE adalah satu nama, namun nama tersebut tidak dapat secara
sederhana ditujukan hanya kepada Bapa, atau hanya kepada Putera, atau hanya
kepada Roh Kudus, tetapi secara bersama-sama ditujukan kepadea ketiganya. Tetragrammaton
tersebut digambarkan di pusat rosa (yang merepresentasikan Omicron)
dengan inskripsi di sekitarnya yang
berbunyi: Deus omnipotents, Sancta Trinitas unus Deus.[46]
Dalam Liber
Figurarum Joachim menggambarkan tiga pusat lingkaran yang saling terkait
melukiskan bagian waktu sejak penciptaan sampai akhir dunia dan aktivitas
pribadi Trinitas dalam tiga zaman. Gambar Alpha (Α) dan Omega (Ω)
mengindikasikan relasi antara tiga pribadi. Dalam Alpha, Bapa (IE) mengutus
Putera (EU) dan Roh Kudus (UE) dan ketiganya satu sebagai IEUE digambarkan di
tengah. Dalam huruf Omega yang merepresentasikan misi Trinitas dalam sejarah,
Roh Kudus (E) mengalir baik dari Bapa (I) maupun Putera (U). Prosesi rangkap
dua ini ditujukan ke dalam sejarah, sebagaimana dapat dilihat di bawah Omega.
Alpha dan Omega bersatu dalam ketiga lingkaran yang saling tersambung di mana
keduanya bertemu di tengah lingkaran pertama dengan IEUE di dalam lingkaran
kecil yang menandakan kesatuan, dan kemunculan ke dalam sejarah dengan Bapa
(IE) dalam lingkaran pertama, Putera (EU) dalam lingkaran kedua, dan Roh Kudus
(UE) di lingkaran ketiga. Lingkaran pertama adalah zaman Perjanjian Lama, dan
lingkaran kedua dan ketiga adalah zaman Perjanjian Baru, meskipun lingkaran
ketiga merepresentasikan kepenuhan spiritual dari kedua Perjanjian. Di sini
hubungan antara nama Adonai dan Tetragrammaton juga secara eksplisit
dijabarkan di pusat dari ketiga lingkaran.[47]
VI.
Pengaruh
Tulisan Joachim memiliki pengaruh
atas salah satu gerakan dalam ordo Fransiskan yang disebut sebagai kelompok
Fransiskan Spirituales, atau yang juga dikenal sebagai kelompok Fraticelli[48].
Kelompok ini secara radikal menafsirkan dan menghidupi Anggaran Dasar St.
Fransiskus Assisi dan memegang teguh pesan kemiskinan religius-injili St.
Fransiskus. Pendirian mereka ini bersebrangan dengan sebagian besar anggota
tarekat yang disebut kaum Conventuales. Pemimpin Gereja cenderung
mendukung kaum Conventuales sebab cara hidup kaum spirituales seakan menjadi
kritik yang tajam terhadap kehidupan para pemimpin Gereja saat itu, mengingat
pada periode 1198-1303 Gereja berada pada puncak kekuasaannya. Selain itu, bagi
hierarki Gereja, dengan mendukung kaum Conventuales sama artinya dengan
memasukkan tarekat dalam struktur kegerejaan
sekaligus tarekat dapat menjadi aparat yang dapat diandalkan bagi
kepentingan kepausan.[49]
Kelompok ini mengadopsi ajaran Joachim, dan meyakini bahwa sosok St.
Fransiskus adalah pelopor munculnya zaman ketiga. Ordo yang didirikannya, atau paling kurang anggota
ordo yang mengikuti ajarannya, merupakan representasi dari salah satu dari dua
ordo “manusia spiritual” yang akan menuntun manusia lain memasuki zaman akhir.
Kelompok ini, yang pada pertengahan abad XIII dijumpai di Palermo, Paris,
Norbonne, dan Roma, membaca karya asli Joachim Fiore maupun pseudo-Joachimite.
Bersama ordo Florensian dan Cistercians, kelompok ini menganggap diri mereka
sebagai salah satu ordo yang dimaksud Joachim akan muncul pada zaman Roh Kudus.[50]
Selain itu, karya Joachim juga
rupanya memiliki pengaruh atas ekspedisi Christopher Columbus. Columbus menduga
bahwa penemuan “dunia baru” dan “orang-orang baru” adalah tanda-tanda akhir
zaman yang sudah mendekat. Penemuan-penemuan ini juga meyakinkan Columbus bahwa
ia telah menemukan “surga dunia”. Menurut Columbus, masih tersisa 150 tahun
lagi sebelum akhir zaman tiba. Dalam periode tersebut Spanyol akan menggantikan
Yerusalem dan membangun Bait Allah, dan di Spanyol sendiri pada tahun 1470-an
berkembang harapan akan kedatangan Mesias. Columbus meyakini bahwa ia sedang
membuka misi Kekristenan yang baru.[51]
Dalam karyanya, Libro de las profecias, Columbus menyajikan justifikasi
dan apologetik atas programnya tersebut, yang kemudian ia persembahkan kepada
penguasa Katolik; raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dalam karya tersebut
pengaruh Joachim Fiore sangat terasa, terutama dalam bagia ketiga buku tersebut
yang berjudul Propechies of The Future. Bagian tersebut diapit oleh
kutipan pernyataan dari pseudo-Joachim tentang akhir zaman yang akan terbit
dari Spanyol dan tentang penemuan pulau-pulau alkitabiah dan penemuan
benua-benua baru yang tidak diketahui. Sayangnya banyak bagian dalam karya
Columbus tentang Joachim yang sengaja dihilangkan oleh pihak inkuisisi Gereja
ataupun oleh rekan-rekan Joachim untuk
menjauhkan karya Columbus dari pengaruh doktrin Joachim Fiore yang dianggap
sesat. Selain itu, Columbus yang adalah anggota Ordo III Fransiskan juga sangat
dipengaruhi oleh sumber-sumber yang berasal dari Joachite-Fransiskan.[52]
VII.
Penutup
Cara Joachim menafsirkan Kitab Suci, jika dipandang dari zaman
sekarang, mungkin akan terkesan sebagai sebuah tafsir literer yang memandang
Kitab Suci sebagai sebuah laporan sejarah. Akan tetapi menyalahkan metode
tafsir Joachim dengan kaca mata perkembangan ilmu tafsir modern justru membawa
kita jatuh pada kesalahan diakronik. Kita hidup dalam zaman yang berbeda dengan
zaman Joachim. Untuk itu, cara tafsir Joachim perlu dilihat berdasarkan konteks
masa hidupnya. Jika melihat konteks zaman itu, dengan kemajuan ilmu tafsir
Kitab Suci yang berkembang ketika itu, maka cara Joachim membaca Kitab Suci
patut diapresiasi.
Joachim mampu menunjukkan keterkaitan teks-teks dalam Kitab Suci dan
mampu menghubungkannya menjadi sebuah pola yang kemudian dia aplikasikan pada
gagasan teologi sejarahnya. Selain itu, pembacaan Joachim atas teks-teks
apokaliptik dalam Kitab Suci, seperti kitab Wahyu, menunjukkan juga bahwa ia
tangkas dalam menafsirkan simbol-simbol dalam Kitab Suci dan menerapkannya
dalam pandangan apokaliptiknya. Dapat disimpulkan bahwa Joachim memiliki
kecerdasan khusus dalam membaca dan menafsirkan Kitab Suci. Akan tetapi perlu
diingat, menurut kesaksian Joachim sendiri, kecerdasan yang ia miliki bukan
hasil usaha intelektualnya, melainkan anugerah yang ia peroleh dalam
visiun-visiun yang ia alami.
Selain soal ketangkasannya dalam menafsirkan Kitab Suci, tahap-tahap
perkembangan sejarah sebagaimana dikemukakan Joachim juga menunjukkan harapan
dan kerinduan dalam diri Joachim akan terwujudnya sebuah suasana penuh damai.
Menurut Joachim suasana penuh damai tersebut akan terwujud pada zaman ketiga
atau zaman Roh Kudus. Harapan dan kerinduan akan situasi damai ini juga menjadi
kerinduan setiap manusia, khususnya orang Kristen. Sama seperti Joachim yang
merindukan zaman penuh kedamaian, kita pun pasti memiliki kerinduan yang sama.
Kita pasti merasa muak ketika menyaksikan beragam tindak ketidakadilan,
korupsi, pelecehan martabat manusia, atau tindakan-tindakan lain yang
menghancurkan masyarakat. Kita menghendaki terciptanya komunitas masyarakat
yang hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.
Jika Joachim, berangkat dari tafsirnya atas Kitab Suci, dengan yakin
dapat memastikan saat munculnya zaman ketiga, maka kita yang hidup di zaman ini
menempuh jalan yang berbeda. Kita tidak bisa memastikan secara pasti kapan
persisnya peristiwa “akhir zaman” (yang digambarkan Joachim sebagai suasana
yang penuh dengan kedamaian) akan terjadi. Daripada berspekulasi dan secara
pasif menunggu saat munculnya zaman itu, lebih baik adanya jika kita berusaha
mewujudkan suasana damai tersebut sejak saat ini, mulai dari diri kita sendiri
dan dari lingkungan tempat kita tinggal. Atau meminjam istilah dalam injil
“berjaga-jagalah”. Sejak kini kita berjaga-jaga menantikan datangnya akhir
zaman yang penuh misteri dengan mengusahakan terciptanya kedamaian bagi diri
kita, sesama, dan lingkungan alam di sekitar kita.
Daftar
Pustaka
Brown, Stephen F. & Juan Carlos Flores (Eds.). Historical Dictionary of Medieval
Philosophy and Theology. Maryland: Scarecrow Press. 2007.
Douglas, J. D. dan Philip W. Comfort (Eds.). Who’s Who in Christian History.
Illinois: Tyndale House Publishers Inc.
1992.
Effendi, Bahtiar
& Hendro Prasetyo (Eds.). Radikalisme
Agama. Jakarta: PPIM. 1998.
Hames, Harvey J. Like
Angels on Jacob’s Ladder: Abraham Abulafia, The Franciscans and Joachimism.
Albany: State University of New York
Press. 2007.
Herrera, R. A. Reasons
For Our Rhymes: An Inquiry into the Philosophy of History. Michigan: Wm. B.
Eerdmans Co. 2001.
Riedl, Matthias (ed.). A
Companion to Joachim of Fiore. Boston: Brill. 2017.
[1] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An
Overview, dalam Matthias Riedl (ed.),
A Companion to
Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 20.
[2] Alfredo
Gatto, The Life and Works of Joachim of
Fiore - An Overview, hal. 11.
[3] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An
Overview, hal. 21.
[4] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An
Overview, hal. 22.
[5] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder:
Abraham Abulafia, The Franciscans and Joachimism, Albany: State University
of New York Press, 2007, hal. 12.
[6] Stephen F.
Brown & Juan Carlos Flores (eds.),
Historical Dictionary of Medieval Philosophy and Theology, Maryland:
Scarecrow Press, 2007, hal. 156.
[7] J. D. Douglas
dan Philip W. Comfort (Eds.), Who’s Who
in Christian History, Illinois: Tyndale House Publishers, Inc., 1992, hal.
369.
[8] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes: An Inquiry into the
Philosophy of History, Michigan: Wm. B. Eerdmans Co., 2001, hal. 35.
[9] Sven Grosse, Thomas
Aquinas, Bonaventure, and the Critiques of Joachimist Topics from the Fourth
Lateran Council to Dante,
dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston:
Brill, 2017, hal. 147.
[10] Sven Grosse, Thomas
Aquinas, Bonaventure, and the Critiques of Joachimist Topics from the Fourth
Lateran Council to Dante,
hal. 147.
[11] Sven Grosse, Thomas
Aquinas, Bonaventure, and the Critiques of Joachimist Topics from the Fourth
Lateran Council to Dante,
hal. 148.
[12] J. D. Douglas
dan Philip W. Comfort (Eds.), Who’s Who
in Christian History, hal. 369.
[13] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston:
Brill, 2017, hal. 2.
[14] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 2.
[15] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal.2.
[16] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 2-3.
[17] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 3.
[18] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 4.
[19] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 4.
[20] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 4.
[21] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 4-5.
[22] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 5.
[23] Brett Edward
Whalen, Joachim the Theorist of History
and Society, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 89-90.
[24] Bernard McGinn,
Introduction: Joachim of Fiore in the
History of Western Culture, hal. 5.
[25] Brett Edward
Whalen, Joachim the Theorist of History
and Society, hal. 90.
[26] Harvey J. Hames,
Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
12-13
[27] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
13.
[28] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
13.
[30] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
17-18.
[31] Brett
Edward Whalen, Joachim the Theorist of
History and Society, hal. 99-100.
[32] Peter Gemeinhardt, Joachim
the Theologian: Trinitarian Speculation and Doctrinal Debate, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 50.
[33] Gemeinhardt, Joachim
the Theologian: Trinitarian Speculation and Doctrinal Debate, hal.
51.
[34] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes: An Inquiry into the
Philosophy of History, hal. 37.
[35] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
13-14.
[36] Brett
Edward Whalen, Joachim the Theorist of
History and Society, hal. 102-103.
[37] Brett Edward
Whalen, Joachim the Theorist of History
and Society, hal. 89.
[38] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 37-38.
[39] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 38.
[40] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 38-39.
[41] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 39.
[42] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
14.
[43] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
15.
[44] Merujuk pada
literatur rabinik, Tetragrammaton
adalah kata dalam sastra Ibrani yang terdiri
dari empat huruf yud-hey-vav-hey (יהוה) dan digunakan dalam Kitab
Suci Ibrani untuk menunjuk pada nama Allah. Disadur dari https://www.myjewishlearning.com/article/the-tetragrammaton/ diunduh pada tanggal 27 Maret 2019, pkl. 21.00 wib.
[45] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder,
hal. 15.
[46] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
15.
[47] Harvey J.
Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
15-16.
[48] Fraticelli (Frater, bhs. Latin berarti saudara) merupakan ejekan
terhadap mereka yang hendak menerapkan keterarahan batin dan spiritualitas
Fransiskus Assisi secara lebih raadikal, terutama dalam hal-hal yang
menyangkutkemiskinan relijius-injili. Bdk. Eddy Kristiyanto, OFM, Fraticelli, dalam Bahtiar Effendi &
Hendro Prasetyo (Eds.), Radikalisme Agama,
Jakarta: PPIM, 1998, hal. 62.
[49] Bdk. Eddy Kristiyanto, OFM, Fraticelli, hal. 64-65.
[50] Harvey
J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal.
3, 11.
[51] R.
A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal.
34
[52] R.
A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal.
34-35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar