Senin, 04 November 2019

Murid yang Dikasihi



1.                  Pengantar
Makalah ini akan secara sederhana mengulas sosok “murid yang dikasihi”. Sebelum masuk ke dalam  tafsir simbolis tentang sosok misterius ini, pertama-tama akan ditampilkan beragam tafsir historis mengenai sosok ini. Tafsir historis ini terutama dilakukan dengan mengulas kehadirannya dalam injil Yohanes, dan dengan membandingkan sosok ini dengan tokoh-tokoh lain yang kerap disandingkan bersamanya dalam kisah-kisah injil Yohanes, seperti tokoh Petrus dan Ibu Yesus. Selain itu akan dilihat pula tafsir lain mengenai keterkaitan sosok ini dengan sosok Lazarus. Bagian terakhir makalah ini akan mengulas makna simbolis dari sosok misterius ini. Kira-kira makna apa yang terkandung atau hendak disampaikan oleh sosok misterius ini.
2.                  Perdebatan Seputar Identitas Sosok “Murid yang Dikasihi”
Sosok anonim “murid yang dikasihi” adalah tokoh yang unik dalam Injil Yohanes. Sosok misterius tersebut beberapa kali muncul dalam keseluruhan injil Yohanes. Lima kali ia  disebut secara eksplisit sebagai “murid yang dikasihi” (13:23; 19:26; 20:2; 21:7; 20). Dalam Yoh. 13:23 untuk pertama kalinya secara eksplisit sosok misterius itu disebut “murid yang dikasihi”.[1] Ia adalah orang yang duduk di sebelah kanan Yesus dan bersandar pada-Nya dalam perjamuan terakhir (sebagaimana relasi antara Yesus dan Bapa dalam 1:18) dan menanyakan identitas orang yang akan mengkhianati Yesus (13:23-25). Ia juga orang pertama yang “melihat” ke dalam kubur Yesus dan “percaya”(20:4-8), serta yang pertama mengenali Yesus ketika menampakkan diri di Galilea (21:7).[2] Selain itu, sosok ini juga diidentifikasikan sebagai salah satu murid Yohanes Pembaptis yang kemudian mengikuti Yesus (1:35), atau sebagai “murid yang lain” yang bersama Petrus masuk ke dalam halaman istana Imam Besar (18:15-16), atau bahkan ia juga diidentifikasikan sebagai Lazarus (11:5).
Menurut Rudolf Schnackkenberg, “murid yang dikasihi” tidak termasuk ke dalam kalangan dua belas murid dan juga tidak ikut ambil bagian dalam keseluruhan karya Yesus. Kemungkinan ia merupakan saksi dari peristiwa-peristiwa terakhir dalam hidup Yesus dan merupakan murid dari Yerusalem. Schnackkenberg tidak memisahkan figur “murid yang dikasihi” dengan penulis Injil, dalam arti bahwa penginjil Yohanes mengacu pada “murid yang dikasihi” tersebut. Menurutnya “murid yang dikasihi” adalah figur yang menjadi sumber bagi Injil Yohanes. Lebih lanjut, menurutnya penulis injil Yohanes adalah seorang yang terdidik, seorang Helenis keturunan Yahudi, dan merupakan seorang teolog yang hebat, sebab ia menggunakan sumber dari “murid yang dikasihi” sambil menggunakan sumber-sumber lain, menginterpretasikan sumber-sumber tersebut secara teologis, dan memasukkannya ke dalam injil yang digunakan dalam pelayanan Komunitas injil Yohanes.[3]
Raymond Brown menolak apabila sosok “murid yang dikasihi” dilihat hanya sebagai simbol imaginatif dan bukan sebagai sosok historis. Menurutnya apabila “murid yang dikasihi” ini hanyalah simbol imaginatif atau jika ia tidak pernah ada bersama Yesus, maka hal ini akan menghancurkan komunitas Yohanes yang melihat diri mereka sebagai pewaris tradisi yang berdasarkan pada kesaksian historis akan Yesus.[4] Lebih lanjut, menurut Brown, dengan menjadikan sosok “murid yang dikasihi” sebagai pembanding dengan Petrus, maka Injil Yohanes memberi kesan bahwa “sosok murid yang dikasihi” tidak termasuk ke dalam kalangan dua belas murid. Menyamakan sosok ini dengan Yohanes juga menyederhanakan asal-usul kekristenan dengan mereduksi iman Kristen seolah-olah hanya berasal dari kalangan duabelas murid. Mengutip Cullmann, menurut Raymond Brown kita tidak tahu nama sosok “murid yang dikasihi”, namun kita dapat menduga bahwa: ia adalah “mantan murid Yohanes Pembaptis” (1:35-40), ia mulai mengikuti Yesus di Yudea ketika Yesus berada sangat dekat dengan Yohanes Pembaptis. Ia ikut ambil bagian dalam akhir hidup Yesus selama di Yerusalem. Ia dikenal oleh Imam Besar. Relasinya dengan Yesus berbeda dengan Petrus yang menjadi representasi dari duabelas murid.[5]
3.                  Murid yang Dikasihi & Petrus
Dalam Injil Yohanes, salah satu kekhasan “murid yang dikasihi” ialah keterkaitannya dengan sosok Petrus. Dalam lima kisah dari tujuh kemunculannya dalam Injil, sosok ini selalu dikaitkan dengan Petrus. Menurut Raymond E. Brown, dalam Injil Yohanes “murid-murid yang lain” hampir tidak disebut dengan nama, kecuali Petrus yang ia yakini menjadi representasi dari “murid-murid yang lain” yang selalu diperbandingkan dengan figur “murid yang dikasihi”.
3.1       Bersandar dekat kepada-Nya (13:23) dan duduk dekat Yesus (13:25)
Latar ruang tempat perjamuan terakhir menurut Rudolf Schnackenberg memiliki signifikasi dalam memperkenalkan sosok “murid yang dikasihi”. Ia duduk (berbaring?) di samping Yesus selama perjamuan terakhir, dan bahkan “bersandar” pada Yesus. Tampaknya  ia adalah sosok kepercayaan Yesus, yang kepadanya Yesus menyatakan diri-Nya secara lebih dibandingkan kepada yang lain. Oleh karena itu ia mampu menyampaikan pewahyuan Yesus melebihi yang lain. Bahkan dalam injil ini, oleh editor, “murid yang dikasihi” dikaitkan dengan orang yang memberi kesaksian dalam Injil ini. (20:24).[6]
Menurut Raymond E. Brown posisi meja perjamuan dalam Yoh. 13:21-30 mengikuti gaya triclinium Romawi, yakni  tiga “tempat berbaring”(couches) dalam sebuah pola tapal kuda (U), disusun mengitari sebuah meja yag menjadi pusat. Jika duabelas murid hadir dalam perjamuan tersebut, maka terdapat lima murid pada setiap “tempat berbaring” di bagian samping, dan dua murid bersama Yesus di “tempat berbaring” bagian tengah/atas (tempat kehormatan) atau disebut lectus medius, dan “murid yang dikasihi” berada di sebelah kanan Yesus (13:23).[7]
Mungkin saja, Yudas duduk di sebelah kiri Yesus, sehingga Yesus dapat memberikannya makanan. Sebagai bendahara Yudas mungkin memiliki jaminan atau bahkan tempat kehormatan di antara para murid. Jika dalam ay. 24 Petrus meminta murid yang dikasihi untuk bertanya kepada Yesus, maka bisa jadi posisi Petrus dalam perjamuan tersebut berada jauh dari Yesus, sebab ia tidak bisa berbicara secara langsung kepada Yesus. Oleh karena ia dapat dilihat oleh murid yang dikasihi, bisa jadi ia duduk di couch bagian kanan, dan berada pada posisi paling ujung, meningat ia menjadi murid terakhir yang kakinya dibasuh oleh Yesus.[8]
Di sini “murid yang dikasihi” tampil sebagai sosok yang dekat dengan Yesus. Ia duduk di tempat kehormatan dalam perjamuan dan bahkan ia bersandar dekat kepada Yesus. Sebaliknya Petrus tampaknya duduk jauh dari Yesus. Bahkan Petrus membutuhkan bantuan dan perantaraan “murid yang dikasihi” untuk menyampaikan pertanyaannya kepada Yesus. Hal ini menggambarkan kedekatan dan kedalaman relasi antara Yesus dan “murid yang dikasihi”.
3.2       Di Halaman Istana Imam Besar ( 18:15-17, 25-27)
Ada beragam spekulasi mengenai “murid yang lain” dalam kisah ini. Ada yang mengaitkan sosok “murid yang lain” dengan “murid yang dikasihi”. Menurut Raymond E. Brown, ada beberapa hal yang menguatkan dugaan ini, yaitu “murid yang lain” ini selalu dikaitkan dengan Petrus, hal mana juga menjadi ciri khas “murid yang dikasihi” (13:23-26, 20:2-10, 21:7, 20-23). “Murid yang dikasihi” juga pastilah mengikuti Yesus selama jalan salib-Nya, sebab murid yang dikasihi juga hadir di dekat salib (19:25-27). Fakta bahwa “murid yang lain” ini dengan setia menyertai Yesus sampai masuk ke halaman istana Imam Besar menunjukkan kasih mendalam sang murid kepada Yesus, yang juga menjadi ciri khas “murid yang dikasihi”.[9]
Selain itu, jika “murid yang lain” adalah “murid yang dikasihi”, maka kemungkinan “murid yang dikasihi” tidak termasuk kalangan duabelas murid. Menurut Bultmann, jika ia bagian dari duabelas murid, maka paling kurang ia bernasib sama seperti Petrus, yaitu kesulitan masuk ke dalam istana Imam Besar. Sebaliknya, “murid yang lain” tersebut justru secara bebas dan tanpa hambatan masuk ke dalam istana Imam Besar, sebab ia mengenal Imam Besar.[10] Dalam hal ini, jika “murid yang lain” adalah “murid yang dikasihi”, maka sekali lagi ia menungguli Petrus. Ia mengenal Imam Besar dan dapat secara bebas masuk ke dalam halaman istana Imam Besar, sedangkan Petrus tidak dapat masuk. Bahkan berkat bantuan “murid yang lain” itulah Petrus dapat masuk ke dalam istana Imam Besar. Lebih parah lagi, “murid yang dikasihi” ini dengan setia mengikuti Yesus sampai pada peristiwa penyaliban (19:26), sebaliknya Petrus justru menyangkal Yesus (18: 17, 25-27).
3.3       Di Kubur Yesus (20:1-10)
Meskipun“murid yang dikasihi” berlari mendahului Petrus dan lebih dulu sampai di kubur (ay.4), namun ia hanya menjenguk ke dalam kubur tanpa masuk ke dalamnya (ay.5), dan ia percaya (ay.8). Sebaliknya, Petrus yang sampai kemudian justru lebih dulu masuk ke dalam kubur (ay. 6), namun selanjutnya tentang Petrus tidak disampaikan mengenai disposisi imannya. Menurut Rudolf Schnackenburg ayat 8 menjadi inti dari teks ini.[11] “Murid yang dikasihi” mampu melihat makna dari kain kapan dan kain peluh yang terletak di tanah, sedangkan Petrus tidak. Disposisi batin Petrus setelah melihat kubur kosong tidak dijelaskan, sedangkan “murid yang dikasihi” diceritakan percaya, maka tampaknya dalam hal ini peran “murid yang dikasihi” mempunyai arti penting.
“Murid yang dikasihi” memahami situasi, yakni meskipun melihat sekilas namun ia percaya. Percaya seperti apa? Seturut konteks, tanpa diragukan lagi, percaya yang dimaksud ialah kepercayaan yang penuh akan Yesus yang bangkit. Nilai dari kisah ini bertumpu pada iman yang murni dan kuat dari “murid yang dikasihi”. Hal ini juga dikonfirmasi oleh 21:7 di mana sang murid karena melihat mukjizat penangkapan ikan, berkata kepada Petrus: “itu Tuhan”. Dapat dikatakan sang murid dapat mengenal jejak dan tanda-tanda Tuhan, karenanya ia adalah murid yang ideal dan menjadi teladan iman.[12]
3.4       Penampakan di Galilea (21:6-14)
Pengakuan “murid yang dikasihi” dalam ay.7 mempengaruhi ay. 12 (tidak ada di antara murid-murid yang berani bertanya  kepada-Nya: “siapakah Engkau?”, sebab mereka tahu dia adalah Tuhan). Keragu-raguan para murid akan sosok Tuhan yang menampakkan diri hilang setelah pengakuan “murid yang dikasihi” (21:7). Setelah pengakuan itu, para murid menjadi yakin bahwa Tuhanlah yang sedang makan bersama mereka. Pengakuan “murid yang dikasihi” mengubah alur cerita sekaligus membantu para murid untuk mengenali Yesus.[13]
Lebih jauh, menurut Schnackenberg, ketertarikan editor mudah untuk diidentifikasi. Sebagaimana dikisahkan dalam 20:1-10, “murid yang dikasihi” adalah figur yang pertama meyakini kebangkitan Yesus (20:8). Sejalan dengan itu, dalam bab 21, sang editor mengkontraskan kedua figur tersebut dan secara khusus memberi penekanan pada “murid yang dikasihi”. Ia dapat melihat tanda-tanda kebangkitan Yesus dan dengan segera bisa mengenali sosok Yesus, sedangkan Petrus baru bergerak setelah diberitahu “murid yang dikasihi”. Sekali lagi ia mengungguli Petrus.
Akan tetapi, yang tidak boleh dilupakan adalah tindakan spontan Petrus. Setelah mendengar perkataan “murid yang dikasihi”: “itu Tuhan”, tanpa banyak pertimbangan ia memakai pakaian lalu terjun ke dalam danau, berenang ke darat, dan kemudian menghela jala yang penuh ikan itu ke darat (7b, 8b, 11). Tindakan Petrus yang spontan berbeda dengan para murid yang “tetap” di perahu dan sambil menghela jala mereka menuju ke darat.[14] Murid-murid lain menyibukkan diri mereka dengan jala yang penuh ikan (8). Dalam hal ini Petrus selangkah lebih maju.[15]
4.         Di Dekat Salib (19:26-27)
Dalam kisah ini ditampilkan dua sosok penting dalam injil Yohanes yang nama pribadinya tidak diungkapkan oleh penginjil, yaitu “murid yang dikasihi” dan “ibu Yesus”. Meskipun keduanya adalah sosok historis, namun nama pribadi keduanya tidak ditampilkan oleh penginjil, sebab peran penting keduanya dalam injil Yohanes terletak bukan pada riwayat historisnya, melainkan terutama dalam simbol kemuridan. Di samping itu, hanya dalam bagian ini “murid yang dikasihi” ditampilkan tidak bersama dengan Petrus, selebihnya sosok “murid yang dikasihi” selalu dikaitkan dengan Petrus.
Agak aneh memang bahwa Yesus mempercayakan ibu-Nya kepada murid-Nya, dan bukan kepada saudara-saudara yang memiliki hubungan darah dengan Dia. Yesus juga memiliki sejumlah saudara. Dalam injil Yohanes saudara-saudara Yesus diceritakan bersama dengan Yesus, para murid, dan Ibu-Nya pergi ke Kapernaum (2:12). Akan tetapi setelah krisis iman (6:60-69) ketika banyak murid meninggalkan Yesus (6:66), dikisahkan bahwa saudara-saudara-Nya tidak lagi mempercayai Yesus (7:5), dikarenakan kebutaan mereka terhadap segala sesuatu yang melampaui tanda-tanda fisik mukjizat. Seturut tradisi, mereka inilah yang seharusnya menjadi penjamin hidup ibu Yesus. Dengan demikian, “murid yang dikasihi” adalah model cara beriman dalam injil Yohanes, sebab tidak ada bukti bahwa ia memiliki hubungan kekerabatan dengan Yesus, namun karena imannya oleh Yesus ia diangkat menjadi saudara. Relasi yang didasari iman inilah yang kemudian membentuk inti dari sebuah komunitas baru.[16]
Sebelumnya, istilah saudara digunakan untuk menunjuk mereka yang memiliki hubungan darah, bukan iman, dengan Yesus (2:12, 7:3, 5). Setelah kebangkitan istilah saudara digunakan untuk menunjuk relasi dengan Yesus yang didasarkan pada iman, bukan kekerabatan. Di luar makam kosong, Yesus menyuruh Maria Magdalena untuk “pergi kepada saudara-saudara-Ku”, yang merujuk pada para murid-Nya, dan katakan kepada mereka, “bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu”, yang mengindikasikan bahwa mereka merupakan bagian dari satu keluarga yang sama (20:17). Penggunaan kata saudara menjadi sesuatu yang lumrah bagi mereka yang menerima kesaksian “murid yang dikasihi”. Jika “murid yang dikasihi” menjadi saudara Yesus di kayu salib, ia adalah yang pertama dari saudara-saudara yang lain. [17]
Ungkapan Yesus dalam 19:26-27 ini juga sekaligus membentuk sebuah rangkuman bagi pelayanan Yesus. Pelayanan yang dimulai sejak pernikahan di Kana menjadi lengkap dalam pembentukan relasi baru antara “wanita” dan “pria” dalam peristiwa salib. Pernyataan Yesus kepada ibunya “mau apakah engkau dari pada-Ku ibu? Saat-Ku belum tiba” (2:4), kini terjawab dalam peristiwa salib. Yesus kemudian mempercayakan ibu-Nya kepada “murid yang dikasihi”, sebuah tindakan yang sesuai dengan praktik orang Yahudi, di mana seorang putera mengharapkan pemeliharaan hidup ibunya yang akan hidup sendirian. “Sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya” (19:27).[18]
Selain sebagai saudara, dalam injil Yohanes, sebutan “ibu dan saudara-saudara” Yesus juga memiliki arti kemuridan.Yang menarik, kemuridan dalam injil Yohanes juga mencakup peran para wanita, bukan hanya para pria. Para wanita memiliki peran penting dalam injil Yohanes, sebut saja Ibu Yesus yang menunjukkan imannya dalam pesta perkawinan di kana (2:4-5), wanita samaria yang membawa orang-orang kepada Yesus (4:39), Marta yang mengakui bahwa Yesus adalah anak Allah (11:27), Maria Magdalena yang menjadi orang pertama yang melihat penampakan Tuhan dan memberitakannya kepada para murid (20:17-18), dan beberapa wanita yang dengan setia turut mengikuti jalan salib Yesus (19:25). Pentingnya peran para wanita dalam komunitas Yohanes dapat dilihat dari pola injil Yohanes yang membandingkan mereka dengan tokoh-tokoh pria dalam tradisi sinoptik. Kemuridan menjadi hal utama dalam kategori orang Kristen menurut Yohanes dan murid yang utama adalah “murid yang dikasihi”. [19]
5.         Lazarus
Tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa “murid yang dikasihi” tidak lain adalah Lazarus. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa ia secara eksplisit dikatakan sebagai seorang yang dikasihi Yesus (11: 3, 5, 11, 36). Kisah Yesus membangkitan Lazarus dari kematian dianggap dapat terjadi pertama-tama karena Yesus mengasihi Lazarus. Tindakan kasih tersebut selalu berasal dari Yesus, dan tidak disebutkan bagaimana tanggapan Lazarus terhadap kasih yang Yesus tunjukkan kepadanya. Dalam 11:3 saudari-saudari Lazarus menjadikan “kasih Yesus kepada Lazarus” sebagai argumen untuk mendorong Yesus supaya bertindak. Dalam 11:5 sang narator yang berbicara tentang kasih Yesus kepada Lazarus. Dalam 11:11 Yesus sendiri menyebut Lazarus sebagai “saudara kita”, yang menunjukkan bahwa para rasul juga menjadi bagian dalam relasi ini. Dalam 11:36 orang-orang Yahudi yang melihat Yesus menangisi kematian Lazarus menyimpulkan bahwa Yesus sudah pasti sangat mengasihi Lazarus.[20]
Kasih Yesus kepada Lazarus juga tercermin dalam inisiatif yang diambilnya untuk datang mengunjungi Lazarus dan untuk membangkitkan Lazarus (11:7-16). Ketika Yesus mengajak murid-murid-Nya untuk kembali ke Yudea (11:7), para muridnya menentangnya dan mengingatkan Yesus akan peristiwa penolakan oleh orang-orang Yahudi atas diri-Nya (10:31, 39). Para murid mencemaskan keselamatan Yesus, akan tetapi Yesus mengabaikan saran para murid.[21] Selain itu, reaksi para murid juga menunjukkan bahwa kenekatan Yesus untuk mengunjungi Lazarus tidak dapat dipahami sebagai relasi manusiawi belaka. Oleh karena Yesus mengasihi Lazarus maka kemudian dapat dipahami jika Ia rela mempertaruhkan keselamatan diri-Nya demi Lazarus, orang yang dikasihi-Nya itu.[22]
6.         Makna Simbolik “Murid yang Dikasihi”
Setelah secara singkat melihat tafsir historis atas sosok “murid yang dikasihi”, paling kurang terdapat beberapa hal yang kiranya hendak disampaikan oleh sosok ini. Pertama, ia selalu diidentifikasikan sebagai seorang “murid”, sebutan yang juga digunakan untuk menunjuk pada pengikut Yesus yang lain. Ia tidak disebut sebagai seorang rasul atau tetua, atau sebutan-sebutan lain yang membedakan dia dengan pengikut Yesus lainnya. Iman yang ia tunjukkan adalah contoh, dan ia menjadi model bagi semua murid. Sebagai penerima kasih Yesus dan model beriman, “murid yang dikasihi” adalah paradigma bagi kemuridan universal.[23]
Hal ini tentu saja agak berbeda jika sosok ini dibandingkan dengan Petrus yang menjadi representasi duabelas murid. Dalam teks di mana kedua tokoh ini disandingkan, tampaknya sosok “murid yang dikasihi” selalu lebih unggul dibandingkan Petrus. Ia menjadi teladan dalam hal kemuridan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan Petrus, terutama dalam peristiwa “penyangkalan”. Murid yang dikasihi dengan setia mengikuti Sang Guru dalam jalan salib, dan bahkan dengan cerdas dapat membaca tanda-tanda kebangkitan dan mengenali sosok Sang Guru pasca kebangkitan. “murid yang dikasihi” begitu dekat dengan Yesus. Sebaliknya Petrus justru menyangkal identitasnya sebagai murid Sang Guru, ia lari menjauh dari jalan salib Sang Guru. Petrus juga agak lambat dalam mempercayai kebangkitan Yesus, ia bahkan dapat mengenal Yesus pasca kebangkitan melalui bantuan “murid yang dikasihi”.
Kedua, tugas utama murid yang dikasihi adalah menjadi saksi Kristus. Injil memelihara kesaksiannya ini, dan melalui injil ia meneruskan kesaksiannya akan tindakan dan perkataan Yesus (21:24). Tampaknya ia yang berbicara pada akhir kisah penyaliban, “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini - kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran - supaya kamu juga percaya” (19:35). Serupa dengan itu, semua pengikut Yesus juga menjadi saksi, Yohanes Pembaptis (1:19, 32, 34) dan wanita Samaria (4:39) secara ekplisit menjadi saksi Yesus, dan pada perjamuan terakhir Yesus berkata kepada para murid-Nya bahwa mereka semua adalah saksi-Nya (15:27). Kesaksian murid yang dikasihi menentukan arah bagi kesaksian murid yang lain. [24]  
Ketiga, sosok “murid yang dikasihi” hendak menggambarkan relasi kasih, khususnya kasih antara Yesus dan para pengikut-Nya. Dalam injil Yohanes, relasi kasih antara Yesus dan para pengikut-Nya tidak bisa dilepaskan dari relasi kasih antara Yesus dan Bapa. Relasi kasih antara Yesus dan Bapa menjadi model relasi antara Yesus dan para murid, dan juga relasi kasih di antara para murid. Relasi ini pertama-tama didasarkan pada dua perintah yang diberikan Yesus kepada para muridnya, pertama ialah perintah agar para murid memegang teguh sabda Yesus yang Ia sendiri terima dari Allah, dan yang kemudian Ia sampaikan kepada mereka. Mematuhi sabda Yesus adalah ekspresi fundamental cinta para murid kepada Yesus, dan menjadi manifestasi kehadiran Yesus dan kasih Bapa (14:15, 21, 23-24, 1Yoh. 3:23a).[25]
Perintah kedua ialah para murid harus mengasihi sebagaimana Yesus telah mengasihi mereka. “Perintah baru ini” bersifat timbal balik, berpusat pada komunitas iman dan menjadi model relasi kasih di antara para murid sebagaimana ditunjukkan Yesus. Yesus mengasihi para pengikut-Nya dengan menyerahkan nyawa bagi mereka; mereka pun sekarang harus menunjukkan cinta yang sama sebagaimana ditunjukkan Yesus, bahkan sampai menyerahkan nyawa satu sama lain (13:34, 15:13, 1Yoh. 3:16, 23b). Perintah untuk “saling mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi” adalah perintah yang mudah diingat para pendengar, sehingga dapat dijadikan standar perilaku untuk semua jaringan jemaat yang tersebar. Perintah ini memiliki beberapa implikasi. Bagi komunitas Yohanes ketaatan kepada “perintah” ilahi memiliki posisi sentral dalam kehidupan beriman, dan perintah baru yang menekankan cinta kasih sama sekali tidak berlawanan dengan esensi cinta kasih sebagaimana menjadi dasar dan esensi taurat.[26]
Selain itu, kita bisa mengartikan “murid yang dikasihi” sebagai sosok simbolis yang menunjuk pada sebuah makna universal bagi setiap orang yang dikasihi Yesus atau mereka yang mejadi kekasih Kristus. Mereka itu adalah para pengikut Kristus atau bahkan mereka yang tidak/belum termasuk ke dalam kalangan para pengikut Kristus, sebagaimana ditulis dalam Yoh. 10:6: “Aku juga mempunyai domba-domba lain yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala”.
Kekasih Allah adalah kepunyaan Dia dan Dia menjadi miliknya karena Allah adalah kekasih jiwa, si jantung hati. Orang yang mengasihi Allah akan merasa aman dan terjamin karena tahu siapa yang memilikinya. Para pencinta Allah ini universal sifatnya, melampaui batas-batas agama dan suku. Mereka tidak lain adalah para mistikus yang tidak membutuhkan yang lain, kecuali kesatuan dengan Allah, sang kekasih jiwa: “berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8). [27]
Injil Yohanes juga menggunakan perumpamaan mengenai pokok anggur untuk menunjukkan arti penting perintah untuk mengasihi dan menghubungkannya dengan persahabatan. Tema-temanya saling terkait seperti sulur-sulur anggur. Ayat awal berbicara tentang relasi antara Yesus dan Bapa “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya” (15:1). Unsur utama dalam perumpamaan ini terfokus pada janji kasih ilahi. Yesus menjelaskan bahwa kasih berasal dari Bapa, yang mencitai Dia, dan cinta yang Yesus terima dari Bapa ia teruskan kepada para murid. Oleh karena itu bagi para murid “tinggal di dalam Yesus” berarti tinggal di dalam kasih-Nya, sebagaimana ranting-ranting terhubung pada pokoknya, memperoleh kehidupan darinya sehingga menghasilkan buah (15:9). Sebagai pokok anggur, Yesus “menghasilkan anggur” melalui kasih yang ditunjukkan oleh para murid-Nya, dan dengan menunjukkan kasih para murid mengungkapkan kasih yang mereka terima dari Yesus sang pokok anggur.[28] “Murid yang dikasihi” laksana ranting yang berbuah banyak. Ia tinggal di dalam Yesus dan menghasilkan banyak buah (15:5). Ia berbeda dengan Petrus yang diutus pergi dan menghasilkan buah melalui jalan kemartiran (15:16), “murid yang dikasihi” tetap tinggal dan menghasilkan buah melalui injil keempat ini.
Pokok anggur dan ranting-rantingnya juga menggambarkan komunitas persahabatan. Model persahabatan yang digambarkan dalam Yoh. 15 mencakup hubungan timbal balik dengan Yesus (meskipun bukan dalam arti kesetaraan): mereka tidak memilih Yesus, melainkan Yesus lah yang meimilih dan mengutus mereka untuk menghasilkan buah (15:16). Yesus memberikan mereka martabat dengan menyebut mereka sahabat, dan bukan hamba. Relasi antar sahabat berbeda dengan relasi tuan-budak. Dalam praktik sosial, seorang budak tidak tau apa yang dilakukan tuannya. Oleh karena itu, dengan menyebut para murid sebagai sahabat Yesus memberitahukan kepada mereka apa yang disampaikan Bapa-Nya, sehingga relasi mereka bisa dikatakan didasarkan pada saling percaya (15:15).[29]
Gambaran tentang pohon anggur yang “dipangkas” untuk dibersihkan menggambarkan bahwa persahabatan dengan Yesus adalah persahabatan level tinggi. Kemauan Yesus untuk mati demi para sahabat-Nya sesuai dengan gambaran ideal tentang persahabatan. Injil Yohanes menempatkan Yesus sebagai figur sahabat yang sesungguhnya, rela mati demi sahabat-Nya. Persahabatan Yesus dengan para murid-Nya dengan demikian menjadi sumber dan norma bagi relasi mereka satu sama lain.[30] Persahabatan dalam komunitas Yohanes mengadopsi pemahaman tentang persahabatan yang bersifat kristologis, yaitu perintah Yesus untuk saling mengasihi satu sama lain. Melalui kasih timbal-balik terwujud komunitas yang ideal di mana setiap anggotanya melihat satu sama lain sebagai “sahabat” dan dapat mengorbankan nyawanya bagi yang lain (15:12-14).
7.         Penutup
Setelah secara garis besar melihat makna historis dan simbolis sosok “murid yang dikasihi” setidaknya kita bisa melihat salah satu kekhasan “murid yang dikasihi”, yaitu identitasnya yang penuh teka-teki. Berbeda dengan murid-murid lain atau tokoh lainnya yang disebutkan dalam injil Yohanes, sosok “murid yang dikasihi” tidak disebut secara ekplisit dengan nama tertentu, ia adalah sosok anonim. Bandingkan saja dengan tokoh-tokoh lain yang namanya secara eksplisit disebut, seperti Yohanes Pembaptis, Petrus, Andreas, atau Maria Magdalena.
Penyebutan sosok anonim tersebut sebagai “murid yang dikasihi” paling tidak mengingatkan kita bahwa meskipun sosok “murid yang dikasihi” diyakini sebagai sosok historis, namun tidak ada kepastian tentang identitas dirinya. Penyebutan dirinya sebagai “murid yang dikasihi” memungkinkan beragam tafsir. Penyebutan sosok misterius ini sebagai “murid yang dikasihi” juga sekaligus menyiratkan bahwa sosok ini tampil bukan sekadar sebagai tokoh historis, melainkan ia juga tampil sebagai sosok simbolis yang hendak menyampaikan pesan atau makna tertentu bagi para pembaca.
Historis berarti sosok “murid yang dikasihi” terikat pada ruang dan waktu tertentu. Ia merupakan salah satu saksi mata peristiwa Yesus, ia bukan sekadar sosok imaginatif. Ia turut mengikuti Yesus selama masa pelayanan-Nya, dan bahkan sampai pada peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Bisa jadi ia adalah mantan “murid Yohanes Pembaptis” yang menyertai Yesus sejak awal masa pelayanan-Nya hingga kebangkitan-Nya. Atau bisa jadi ia juga adalah Lazarus, sosok yang secara ekplisit dikatakan sebagai seorang yang dikasihi Yesus.
Akan tetapi ia juga sekaligus adalah sosok simbolis, yaitu bahwa pemaknaan mengenai identitas dirinya senantiasa terbuka dan tidak terikat pada suatu zaman tertentu atau pada sosok tertentu. Dengan demikian beragam tafsir mengenai makna sosok ini dimungkinkan. Kita bisa mengartikan kehadiran sosok ini sebagai model kemuridan atau model beriman bagi segenap pengikut Kristus, sebagai seorang saudara, sahabat, atau bahkan sebagai kekasih Kristus.


Daftar Pustaka
Brown, Raymond E. The Community of the Beloved Disciple. New York: Paulist Press. 1979.
________________. The Gospel According to John (xiii-xxi). New York: Doubleday & Company Inc. 1970.
Koester, Craig R. Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, Minneapolis: Fortress Press. 2003.
Schnackenburg, Rudolf. The Gospel According to St. John Vol. 3. New York: Crossroad. 1982.
Solichin, Vitus Rubianto. Kekasih Kerahiman Allah dalam Injil Yohanes. Bahan Rekoleksi Pastores DKU.
Tilborg, Sjef Van. Imaginative Love in John. New York: E. J. Brill. 1993.




[1] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, New York: Crossroad, 1982,  hal. 29.
[2] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, Minneapolis: Fortress Press, 2003, hal. 242.
[3] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 381.
[4] Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disciple, New York: Paulist Press, 1979, hal. 32.
[5] Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disciple, hal. 34.
[6] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 29.
[7] Raymond E. Brown, The Gospel According to John (xiii-xxi), New York: Doubleday & Company Inc., 1970, hal.  574.
[8] Raymond E. Brown, The Gospel According to John (xiii-xxi), hal. 574.
[9] Raymond E. Brown, The Gospel According to John (xiii-xxi), hal. 822.
[10] Raymond E. Brown, The Gospel According to John (xiii-xxi), hal. 822.
[11] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 310.
[12] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 312.
[13] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 355.
[14] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 355.
[15] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3, hal. 357.
[16] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 191, 240-241.
[17] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 243.
[18] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 240.
[19] Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disciple, hal. 197.
[20] Sjef Van Tilborg, Imaginative Love in John, New York: E. J. Brill, 1993, hal. 232-233.
[21] Sjef Van Tilborg, Imaginative Love in John, hal. 233.
[22]Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal.  117.
[23] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 242.
[24] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 242-243.
[25]Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 264.
[26]Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 264-267.
[27] Vitus Rubianto Solichin, Kekasih Kerahiman Allah dalam Injil Yohanes, Bahan Rekoleksi Pastores DKU
[28]Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 272.
[29]Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 274.
[30]Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, hal. 274-275.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar