1.
Pengantar
Makalah ini akan secara sederhana mengulas sosok “murid yang
dikasihi”. Sebelum masuk ke dalam tafsir
simbolis tentang sosok misterius ini, pertama-tama akan ditampilkan beragam
tafsir historis mengenai sosok ini. Tafsir historis ini terutama dilakukan
dengan mengulas kehadirannya dalam injil Yohanes, dan dengan membandingkan
sosok ini dengan tokoh-tokoh lain yang kerap disandingkan bersamanya dalam
kisah-kisah injil Yohanes, seperti tokoh Petrus dan Ibu Yesus. Selain itu akan
dilihat pula tafsir lain mengenai keterkaitan sosok ini dengan sosok Lazarus. Bagian
terakhir makalah ini akan mengulas makna simbolis dari sosok misterius ini.
Kira-kira makna apa yang terkandung atau hendak disampaikan oleh sosok
misterius ini.
2.
Perdebatan Seputar Identitas Sosok “Murid yang Dikasihi”
Sosok anonim “murid yang dikasihi” adalah tokoh yang unik
dalam Injil Yohanes. Sosok misterius tersebut beberapa kali muncul dalam
keseluruhan injil Yohanes. Lima kali ia
disebut secara eksplisit sebagai “murid yang dikasihi” (13:23; 19:26;
20:2; 21:7; 20). Dalam Yoh. 13:23 untuk pertama kalinya secara eksplisit sosok
misterius itu disebut “murid yang dikasihi”.[1] Ia adalah orang
yang duduk di sebelah kanan Yesus dan bersandar pada-Nya dalam perjamuan
terakhir (sebagaimana relasi antara Yesus dan Bapa dalam 1:18) dan menanyakan
identitas orang yang akan mengkhianati Yesus (13:23-25). Ia juga orang pertama
yang “melihat” ke dalam kubur Yesus dan “percaya”(20:4-8), serta yang pertama
mengenali Yesus ketika menampakkan diri di Galilea (21:7).[2] Selain itu,
sosok ini juga diidentifikasikan sebagai salah satu murid Yohanes Pembaptis
yang kemudian mengikuti Yesus (1:35), atau sebagai “murid yang lain” yang
bersama Petrus masuk ke dalam halaman istana Imam Besar (18:15-16), atau bahkan
ia juga diidentifikasikan sebagai Lazarus (11:5).
Menurut Rudolf Schnackkenberg, “murid yang dikasihi” tidak
termasuk ke dalam kalangan dua belas murid dan juga tidak ikut ambil bagian
dalam keseluruhan karya Yesus. Kemungkinan ia merupakan saksi dari
peristiwa-peristiwa terakhir dalam hidup Yesus dan merupakan murid dari
Yerusalem. Schnackkenberg tidak memisahkan figur “murid yang dikasihi” dengan
penulis Injil, dalam arti bahwa penginjil Yohanes mengacu pada “murid yang
dikasihi” tersebut. Menurutnya “murid yang dikasihi” adalah figur yang menjadi sumber
bagi Injil Yohanes. Lebih lanjut, menurutnya penulis injil Yohanes adalah
seorang yang terdidik, seorang Helenis keturunan Yahudi, dan merupakan seorang
teolog yang hebat, sebab ia menggunakan sumber dari “murid yang dikasihi”
sambil menggunakan sumber-sumber lain, menginterpretasikan sumber-sumber
tersebut secara teologis, dan memasukkannya ke dalam injil yang digunakan dalam
pelayanan Komunitas injil Yohanes.[3]
Raymond Brown menolak apabila sosok “murid yang dikasihi”
dilihat hanya sebagai simbol imaginatif dan bukan sebagai sosok historis.
Menurutnya apabila “murid yang dikasihi” ini hanyalah simbol imaginatif atau
jika ia tidak pernah ada bersama Yesus, maka hal ini akan menghancurkan
komunitas Yohanes yang melihat diri mereka sebagai pewaris tradisi yang
berdasarkan pada kesaksian historis akan Yesus.[4] Lebih lanjut,
menurut Brown, dengan menjadikan sosok “murid yang dikasihi” sebagai pembanding
dengan Petrus, maka Injil Yohanes memberi kesan bahwa “sosok murid yang
dikasihi” tidak termasuk ke dalam kalangan dua belas murid. Menyamakan sosok
ini dengan Yohanes juga menyederhanakan asal-usul kekristenan dengan mereduksi
iman Kristen seolah-olah hanya berasal dari kalangan duabelas murid. Mengutip
Cullmann, menurut Raymond Brown kita tidak tahu nama sosok “murid yang
dikasihi”, namun kita dapat menduga bahwa: ia adalah “mantan murid Yohanes
Pembaptis” (1:35-40), ia mulai mengikuti Yesus di Yudea ketika Yesus berada
sangat dekat dengan Yohanes Pembaptis. Ia ikut ambil bagian dalam akhir hidup
Yesus selama di Yerusalem. Ia dikenal oleh Imam Besar. Relasinya dengan Yesus
berbeda dengan Petrus yang menjadi representasi dari duabelas murid.[5]
3.
Murid yang Dikasihi & Petrus
Dalam Injil Yohanes, salah satu kekhasan “murid yang
dikasihi” ialah keterkaitannya dengan sosok Petrus. Dalam lima kisah dari tujuh
kemunculannya dalam Injil, sosok ini selalu dikaitkan dengan Petrus. Menurut
Raymond E. Brown, dalam Injil Yohanes “murid-murid yang lain” hampir tidak
disebut dengan nama, kecuali Petrus yang ia yakini menjadi representasi dari
“murid-murid yang lain” yang selalu diperbandingkan dengan figur “murid yang
dikasihi”.
3.1 Bersandar dekat
kepada-Nya (13:23) dan duduk dekat Yesus (13:25)
Latar ruang tempat perjamuan terakhir menurut
Rudolf Schnackenberg memiliki signifikasi dalam memperkenalkan sosok “murid
yang dikasihi”. Ia duduk (berbaring?) di samping Yesus selama perjamuan
terakhir, dan bahkan “bersandar” pada Yesus. Tampaknya ia adalah sosok kepercayaan Yesus, yang
kepadanya Yesus menyatakan diri-Nya secara lebih dibandingkan kepada yang lain.
Oleh karena itu ia mampu menyampaikan pewahyuan Yesus melebihi yang lain.
Bahkan dalam injil ini, oleh editor, “murid yang dikasihi” dikaitkan dengan
orang yang memberi kesaksian dalam Injil ini. (20:24).[6]
Menurut Raymond E. Brown posisi meja perjamuan dalam Yoh.
13:21-30 mengikuti gaya triclinium
Romawi, yakni tiga “tempat berbaring”(couches) dalam sebuah pola tapal kuda
(U), disusun mengitari sebuah meja yag menjadi pusat. Jika duabelas murid hadir
dalam perjamuan tersebut, maka terdapat lima murid pada setiap “tempat
berbaring” di bagian samping, dan dua murid bersama Yesus di “tempat berbaring”
bagian tengah/atas (tempat kehormatan) atau disebut lectus medius, dan “murid yang dikasihi” berada di sebelah kanan
Yesus (13:23).[7]
Mungkin saja, Yudas duduk di sebelah kiri Yesus, sehingga
Yesus dapat memberikannya makanan. Sebagai bendahara Yudas mungkin memiliki
jaminan atau bahkan tempat kehormatan di antara para murid. Jika dalam ay. 24 Petrus
meminta murid yang dikasihi untuk bertanya kepada Yesus, maka bisa jadi posisi
Petrus dalam perjamuan tersebut berada jauh dari Yesus, sebab ia tidak bisa
berbicara secara langsung kepada Yesus. Oleh karena ia dapat dilihat oleh murid
yang dikasihi, bisa jadi ia duduk di couch
bagian kanan, dan berada pada posisi paling ujung, meningat ia menjadi
murid terakhir yang kakinya dibasuh oleh Yesus.[8]
Di sini “murid yang dikasihi” tampil sebagai sosok yang dekat dengan Yesus. Ia duduk di tempat
kehormatan dalam perjamuan dan bahkan ia bersandar dekat kepada Yesus. Sebaliknya Petrus tampaknya duduk jauh dari Yesus. Bahkan Petrus
membutuhkan bantuan dan perantaraan “murid yang dikasihi” untuk menyampaikan
pertanyaannya kepada Yesus. Hal ini menggambarkan kedekatan dan kedalaman
relasi antara Yesus dan “murid yang dikasihi”.
3.2 Di
Halaman Istana Imam Besar ( 18:15-17, 25-27)
Ada beragam spekulasi mengenai “murid yang lain”
dalam kisah ini. Ada yang mengaitkan sosok “murid yang lain” dengan “murid yang
dikasihi”. Menurut Raymond E. Brown, ada beberapa hal yang menguatkan dugaan
ini, yaitu “murid yang lain” ini selalu dikaitkan dengan Petrus, hal mana juga
menjadi ciri khas “murid yang dikasihi” (13:23-26, 20:2-10, 21:7, 20-23). “Murid
yang dikasihi” juga pastilah mengikuti Yesus selama jalan salib-Nya, sebab murid
yang dikasihi juga hadir di dekat salib (19:25-27). Fakta bahwa “murid yang
lain” ini dengan setia menyertai Yesus sampai masuk ke halaman istana Imam
Besar menunjukkan kasih mendalam sang murid kepada Yesus, yang juga menjadi
ciri khas “murid yang dikasihi”.[9]
Selain itu, jika “murid yang lain” adalah “murid
yang dikasihi”, maka kemungkinan “murid yang dikasihi” tidak termasuk kalangan
duabelas murid. Menurut Bultmann, jika ia bagian dari duabelas murid, maka
paling kurang ia bernasib sama seperti Petrus, yaitu kesulitan masuk ke dalam
istana Imam Besar. Sebaliknya, “murid yang lain” tersebut justru secara bebas
dan tanpa hambatan masuk ke dalam istana Imam Besar, sebab ia mengenal Imam
Besar.[10] Dalam
hal ini, jika “murid yang lain” adalah “murid yang dikasihi”, maka sekali lagi
ia menungguli Petrus. Ia mengenal Imam Besar dan dapat secara bebas masuk ke
dalam halaman istana Imam Besar, sedangkan Petrus tidak dapat masuk. Bahkan
berkat bantuan “murid yang lain” itulah Petrus dapat masuk ke dalam istana Imam
Besar. Lebih parah lagi, “murid yang dikasihi” ini dengan setia mengikuti Yesus
sampai pada peristiwa penyaliban (19:26), sebaliknya Petrus justru menyangkal
Yesus (18: 17, 25-27).
3.3 Di Kubur Yesus (20:1-10)
Meskipun“murid yang dikasihi” berlari mendahului Petrus dan
lebih dulu sampai di kubur (ay.4), namun ia hanya menjenguk ke dalam kubur
tanpa masuk ke dalamnya (ay.5), dan ia percaya
(ay.8). Sebaliknya, Petrus yang sampai kemudian justru lebih dulu masuk ke
dalam kubur (ay. 6), namun selanjutnya tentang Petrus tidak disampaikan
mengenai disposisi imannya. Menurut Rudolf Schnackenburg ayat 8 menjadi inti
dari teks ini.[11]
“Murid yang dikasihi” mampu melihat makna dari kain kapan dan kain peluh yang
terletak di tanah, sedangkan Petrus tidak. Disposisi batin Petrus setelah
melihat kubur kosong tidak dijelaskan, sedangkan “murid yang dikasihi”
diceritakan percaya, maka tampaknya
dalam hal ini peran “murid yang dikasihi” mempunyai arti penting.
“Murid yang dikasihi” memahami situasi, yakni meskipun
melihat sekilas namun ia percaya.
Percaya seperti apa? Seturut konteks, tanpa diragukan lagi, percaya yang dimaksud ialah kepercayaan
yang penuh akan Yesus yang bangkit. Nilai dari kisah ini bertumpu pada iman
yang murni dan kuat dari “murid yang dikasihi”. Hal ini juga dikonfirmasi oleh
21:7 di mana sang murid karena melihat mukjizat penangkapan ikan, berkata
kepada Petrus: “itu Tuhan”. Dapat dikatakan sang murid dapat mengenal jejak dan
tanda-tanda Tuhan, karenanya ia adalah murid yang ideal dan menjadi teladan
iman.[12]
3.4 Penampakan di Galilea (21:6-14)
Pengakuan “murid yang dikasihi” dalam ay.7 mempengaruhi ay.
12 (tidak ada di antara murid-murid yang berani bertanya kepada-Nya: “siapakah Engkau?”, sebab mereka
tahu dia adalah Tuhan). Keragu-raguan para murid akan sosok Tuhan yang
menampakkan diri hilang setelah pengakuan “murid yang dikasihi” (21:7). Setelah
pengakuan itu, para murid menjadi yakin bahwa Tuhanlah yang sedang makan
bersama mereka. Pengakuan “murid yang dikasihi” mengubah alur cerita sekaligus
membantu para murid untuk mengenali Yesus.[13]
Lebih jauh, menurut Schnackenberg, ketertarikan editor mudah
untuk diidentifikasi. Sebagaimana dikisahkan dalam 20:1-10, “murid yang
dikasihi” adalah figur yang pertama meyakini kebangkitan Yesus (20:8). Sejalan
dengan itu, dalam bab 21, sang editor mengkontraskan kedua figur tersebut dan
secara khusus memberi penekanan pada “murid yang dikasihi”. Ia dapat melihat
tanda-tanda kebangkitan Yesus dan dengan segera bisa mengenali sosok Yesus,
sedangkan Petrus baru bergerak setelah diberitahu “murid yang dikasihi”. Sekali
lagi ia mengungguli Petrus.
Akan tetapi, yang tidak boleh dilupakan adalah tindakan
spontan Petrus. Setelah mendengar perkataan “murid yang dikasihi”: “itu Tuhan”,
tanpa banyak pertimbangan ia memakai pakaian lalu terjun ke dalam danau,
berenang ke darat, dan kemudian menghela jala yang penuh ikan itu ke darat (7b,
8b, 11). Tindakan Petrus yang spontan berbeda dengan para murid yang “tetap” di
perahu dan sambil menghela jala mereka menuju ke darat.[14] Murid-murid
lain menyibukkan diri mereka dengan jala yang penuh ikan (8). Dalam hal ini
Petrus selangkah lebih maju.[15]
4. Di Dekat
Salib (19:26-27)
Dalam
kisah ini ditampilkan dua sosok penting dalam injil Yohanes yang nama
pribadinya tidak diungkapkan oleh penginjil, yaitu “murid yang dikasihi” dan
“ibu Yesus”. Meskipun keduanya adalah sosok historis, namun nama pribadi
keduanya tidak ditampilkan oleh penginjil, sebab peran penting keduanya dalam
injil Yohanes terletak bukan pada riwayat historisnya, melainkan terutama dalam
simbol kemuridan. Di samping itu, hanya dalam bagian ini “murid yang dikasihi”
ditampilkan tidak bersama dengan Petrus, selebihnya sosok “murid yang dikasihi”
selalu dikaitkan dengan Petrus.
Agak aneh memang bahwa Yesus mempercayakan ibu-Nya kepada
murid-Nya, dan bukan kepada saudara-saudara yang memiliki hubungan darah dengan
Dia. Yesus juga memiliki sejumlah saudara. Dalam injil Yohanes saudara-saudara
Yesus diceritakan bersama dengan Yesus, para murid, dan Ibu-Nya pergi ke
Kapernaum (2:12). Akan tetapi setelah krisis iman (6:60-69) ketika banyak murid
meninggalkan Yesus (6:66), dikisahkan bahwa saudara-saudara-Nya tidak lagi
mempercayai Yesus (7:5), dikarenakan kebutaan mereka terhadap segala sesuatu
yang melampaui tanda-tanda fisik mukjizat. Seturut tradisi, mereka inilah yang
seharusnya menjadi penjamin hidup ibu Yesus. Dengan demikian, “murid yang
dikasihi” adalah model cara beriman dalam injil Yohanes, sebab tidak ada bukti
bahwa ia memiliki hubungan kekerabatan dengan Yesus, namun karena imannya oleh
Yesus ia diangkat menjadi saudara.
Relasi yang didasari iman inilah yang kemudian membentuk inti dari sebuah
komunitas baru.[16]
Sebelumnya,
istilah saudara digunakan untuk menunjuk mereka yang memiliki hubungan darah,
bukan iman, dengan Yesus (2:12, 7:3, 5). Setelah kebangkitan istilah saudara
digunakan untuk menunjuk relasi dengan Yesus yang didasarkan pada iman, bukan
kekerabatan. Di luar makam kosong, Yesus menyuruh Maria Magdalena untuk “pergi
kepada saudara-saudara-Ku”, yang merujuk pada para murid-Nya, dan katakan
kepada mereka, “bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada
Allah-Ku dan Allahmu”, yang mengindikasikan bahwa mereka merupakan bagian dari
satu keluarga yang sama (20:17). Penggunaan kata saudara menjadi sesuatu yang
lumrah bagi mereka yang menerima kesaksian “murid yang dikasihi”. Jika “murid
yang dikasihi” menjadi saudara Yesus di kayu salib, ia adalah yang pertama dari
saudara-saudara yang lain. [17]
Ungkapan
Yesus dalam 19:26-27 ini juga sekaligus membentuk sebuah rangkuman bagi
pelayanan Yesus. Pelayanan yang dimulai sejak pernikahan di Kana menjadi
lengkap dalam pembentukan relasi baru antara “wanita” dan “pria” dalam
peristiwa salib. Pernyataan Yesus kepada ibunya “mau apakah engkau dari pada-Ku
ibu? Saat-Ku belum tiba” (2:4), kini terjawab dalam peristiwa salib. Yesus
kemudian mempercayakan ibu-Nya kepada “murid yang dikasihi”, sebuah tindakan
yang sesuai dengan praktik orang Yahudi, di mana seorang putera mengharapkan
pemeliharaan hidup ibunya yang akan hidup sendirian. “Sejak saat itu murid itu
menerima dia di dalam rumahnya” (19:27).[18]
Selain
sebagai saudara, dalam injil Yohanes, sebutan “ibu dan saudara-saudara” Yesus
juga memiliki arti kemuridan.Yang menarik, kemuridan dalam injil Yohanes juga
mencakup peran para wanita, bukan hanya para pria. Para wanita memiliki peran
penting dalam injil Yohanes, sebut saja Ibu Yesus yang menunjukkan imannya
dalam pesta perkawinan di kana (2:4-5), wanita samaria yang membawa orang-orang
kepada Yesus (4:39), Marta yang mengakui bahwa Yesus adalah anak Allah (11:27),
Maria Magdalena yang menjadi orang pertama yang melihat penampakan Tuhan dan
memberitakannya kepada para murid (20:17-18), dan beberapa wanita yang dengan
setia turut mengikuti jalan salib Yesus (19:25). Pentingnya peran para wanita
dalam komunitas Yohanes dapat dilihat dari pola injil Yohanes yang
membandingkan mereka dengan tokoh-tokoh pria dalam tradisi sinoptik. Kemuridan
menjadi hal utama dalam kategori orang Kristen menurut Yohanes dan murid yang
utama adalah “murid yang dikasihi”. [19]
5. Lazarus
Tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa “murid yang
dikasihi” tidak lain adalah Lazarus. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa ia
secara eksplisit dikatakan sebagai seorang yang dikasihi Yesus (11: 3, 5, 11,
36). Kisah Yesus membangkitan Lazarus dari kematian dianggap dapat terjadi pertama-tama
karena Yesus mengasihi Lazarus. Tindakan kasih tersebut selalu berasal dari
Yesus, dan tidak disebutkan bagaimana tanggapan Lazarus terhadap kasih yang
Yesus tunjukkan kepadanya. Dalam 11:3 saudari-saudari Lazarus menjadikan “kasih
Yesus kepada Lazarus” sebagai argumen untuk mendorong Yesus supaya bertindak.
Dalam 11:5 sang narator yang berbicara tentang kasih Yesus kepada Lazarus.
Dalam 11:11 Yesus sendiri menyebut Lazarus sebagai “saudara kita”, yang
menunjukkan bahwa para rasul juga menjadi bagian dalam relasi ini. Dalam 11:36
orang-orang Yahudi yang melihat Yesus menangisi kematian Lazarus menyimpulkan
bahwa Yesus sudah pasti sangat mengasihi Lazarus.[20]
Kasih Yesus kepada Lazarus juga tercermin dalam inisiatif
yang diambilnya untuk datang mengunjungi Lazarus dan untuk membangkitkan
Lazarus (11:7-16). Ketika Yesus mengajak murid-murid-Nya untuk kembali ke Yudea
(11:7), para muridnya menentangnya dan mengingatkan Yesus akan peristiwa
penolakan oleh orang-orang Yahudi atas diri-Nya (10:31, 39). Para murid mencemaskan
keselamatan Yesus, akan tetapi Yesus mengabaikan saran para murid.[21] Selain itu,
reaksi para murid juga menunjukkan bahwa kenekatan Yesus untuk mengunjungi
Lazarus tidak dapat dipahami sebagai relasi manusiawi belaka. Oleh karena Yesus
mengasihi Lazarus maka kemudian dapat dipahami jika Ia rela mempertaruhkan
keselamatan diri-Nya demi Lazarus, orang yang dikasihi-Nya itu.[22]
6. Makna Simbolik “Murid yang Dikasihi”
Setelah secara singkat melihat tafsir historis atas sosok “murid
yang dikasihi”, paling kurang terdapat beberapa hal yang kiranya hendak
disampaikan oleh sosok ini. Pertama, ia
selalu diidentifikasikan sebagai seorang “murid”, sebutan yang juga digunakan
untuk menunjuk pada pengikut Yesus yang lain. Ia tidak disebut sebagai seorang rasul
atau tetua, atau sebutan-sebutan lain yang membedakan dia dengan pengikut Yesus
lainnya. Iman yang ia tunjukkan adalah contoh, dan ia menjadi model bagi semua
murid. Sebagai penerima kasih Yesus dan model beriman, “murid yang dikasihi”
adalah paradigma bagi kemuridan universal.[23]
Hal ini tentu saja agak berbeda jika sosok ini dibandingkan
dengan Petrus yang menjadi representasi duabelas murid. Dalam teks di mana
kedua tokoh ini disandingkan, tampaknya sosok “murid yang dikasihi” selalu
lebih unggul dibandingkan Petrus. Ia menjadi teladan dalam hal kemuridan. Hal
ini tentu berbanding terbalik dengan Petrus, terutama dalam peristiwa
“penyangkalan”. Murid yang dikasihi dengan setia mengikuti Sang Guru dalam
jalan salib, dan bahkan dengan cerdas dapat membaca tanda-tanda kebangkitan dan
mengenali sosok Sang Guru pasca kebangkitan. “murid yang dikasihi” begitu dekat dengan Yesus. Sebaliknya Petrus
justru menyangkal identitasnya sebagai murid Sang Guru, ia lari menjauh dari jalan salib Sang Guru.
Petrus juga agak lambat dalam mempercayai kebangkitan Yesus, ia bahkan dapat
mengenal Yesus pasca kebangkitan melalui bantuan “murid yang dikasihi”.
Kedua, tugas utama murid yang dikasihi adalah menjadi saksi
Kristus. Injil memelihara kesaksiannya ini, dan melalui injil ia meneruskan
kesaksiannya akan tindakan dan perkataan Yesus (21:24). Tampaknya ia yang
berbicara pada akhir kisah penyaliban, “Dan orang yang melihat
hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini - kesaksiannya benar, dan ia
tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran - supaya kamu juga percaya” (19:35). Serupa
dengan itu, semua pengikut Yesus juga menjadi saksi, Yohanes Pembaptis (1:19,
32, 34) dan wanita Samaria (4:39) secara ekplisit menjadi saksi Yesus, dan pada
perjamuan terakhir Yesus berkata kepada para murid-Nya bahwa mereka semua
adalah saksi-Nya (15:27). Kesaksian murid yang dikasihi menentukan arah bagi
kesaksian murid yang lain. [24]
Ketiga,
sosok “murid yang dikasihi” hendak menggambarkan relasi kasih, khususnya kasih antara Yesus dan para pengikut-Nya.
Dalam injil Yohanes, relasi kasih antara Yesus dan para pengikut-Nya tidak bisa
dilepaskan dari relasi kasih antara Yesus dan Bapa. Relasi kasih antara Yesus
dan Bapa menjadi model relasi antara Yesus dan para murid, dan juga relasi
kasih di antara para murid. Relasi ini pertama-tama didasarkan pada dua
perintah yang diberikan Yesus kepada para muridnya, pertama ialah perintah agar para murid memegang teguh sabda Yesus
yang Ia sendiri terima dari Allah, dan yang kemudian Ia sampaikan kepada
mereka. Mematuhi sabda Yesus adalah ekspresi fundamental cinta para murid
kepada Yesus, dan menjadi manifestasi kehadiran Yesus dan kasih Bapa (14:15,
21, 23-24, 1Yoh. 3:23a).[25]
Perintah
kedua ialah para murid harus
mengasihi sebagaimana Yesus telah mengasihi mereka. “Perintah baru ini”
bersifat timbal balik, berpusat pada komunitas iman dan menjadi model relasi
kasih di antara para murid sebagaimana ditunjukkan Yesus. Yesus mengasihi para
pengikut-Nya dengan menyerahkan nyawa bagi mereka; mereka pun sekarang harus
menunjukkan cinta yang sama sebagaimana ditunjukkan Yesus, bahkan sampai
menyerahkan nyawa satu sama lain (13:34, 15:13, 1Yoh. 3:16, 23b). Perintah
untuk “saling mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi” adalah perintah yang mudah
diingat para pendengar, sehingga dapat dijadikan standar perilaku untuk semua
jaringan jemaat yang tersebar. Perintah ini memiliki beberapa implikasi. Bagi
komunitas Yohanes ketaatan kepada “perintah” ilahi memiliki posisi sentral
dalam kehidupan beriman, dan perintah baru yang menekankan cinta kasih sama
sekali tidak berlawanan dengan esensi cinta kasih sebagaimana menjadi dasar dan
esensi taurat.[26]
Selain
itu, kita bisa mengartikan “murid yang dikasihi” sebagai sosok simbolis yang
menunjuk pada sebuah makna universal bagi setiap orang yang dikasihi Yesus atau
mereka yang mejadi kekasih Kristus.
Mereka itu adalah para pengikut Kristus atau bahkan mereka yang tidak/belum
termasuk ke dalam kalangan para pengikut Kristus, sebagaimana ditulis dalam
Yoh. 10:6: “Aku juga mempunyai domba-domba lain yang bukan dari kandang ini;
domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan
mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala”.
Kekasih
Allah adalah kepunyaan Dia dan Dia menjadi miliknya karena Allah adalah kekasih
jiwa, si jantung hati. Orang yang mengasihi Allah akan merasa aman dan terjamin
karena tahu siapa yang memilikinya. Para pencinta Allah ini universal sifatnya,
melampaui batas-batas agama dan suku. Mereka tidak lain adalah para mistikus
yang tidak membutuhkan yang lain, kecuali kesatuan dengan Allah, sang kekasih
jiwa: “berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”
(Mat. 5:8). [27]
Injil
Yohanes juga menggunakan perumpamaan mengenai pokok anggur untuk menunjukkan
arti penting perintah untuk mengasihi dan menghubungkannya dengan persahabatan. Tema-temanya saling
terkait seperti sulur-sulur anggur. Ayat awal berbicara tentang relasi antara
Yesus dan Bapa “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya”
(15:1). Unsur utama dalam perumpamaan ini terfokus pada janji kasih ilahi.
Yesus menjelaskan bahwa kasih berasal dari Bapa, yang mencitai Dia, dan cinta
yang Yesus terima dari Bapa ia teruskan kepada para murid. Oleh karena itu bagi
para murid “tinggal di dalam Yesus” berarti tinggal di dalam kasih-Nya,
sebagaimana ranting-ranting terhubung pada pokoknya, memperoleh kehidupan
darinya sehingga menghasilkan buah (15:9). Sebagai pokok anggur, Yesus
“menghasilkan anggur” melalui kasih yang ditunjukkan oleh para murid-Nya, dan
dengan menunjukkan kasih para murid mengungkapkan kasih yang mereka terima dari
Yesus sang pokok anggur.[28]
“Murid yang dikasihi” laksana ranting yang berbuah banyak. Ia tinggal di dalam
Yesus dan menghasilkan banyak buah (15:5). Ia berbeda dengan Petrus yang diutus
pergi dan menghasilkan buah melalui jalan kemartiran (15:16), “murid yang
dikasihi” tetap tinggal dan menghasilkan buah melalui injil keempat ini.
Pokok
anggur dan ranting-rantingnya juga menggambarkan komunitas persahabatan. Model
persahabatan yang digambarkan dalam Yoh. 15 mencakup hubungan timbal balik
dengan Yesus (meskipun bukan dalam arti kesetaraan): mereka tidak memilih
Yesus, melainkan Yesus lah yang meimilih dan mengutus mereka untuk menghasilkan
buah (15:16). Yesus memberikan mereka martabat dengan menyebut mereka sahabat, dan
bukan hamba. Relasi antar sahabat berbeda dengan relasi tuan-budak. Dalam
praktik sosial, seorang budak tidak tau apa yang dilakukan tuannya. Oleh karena
itu, dengan menyebut para murid sebagai sahabat Yesus memberitahukan kepada
mereka apa yang disampaikan Bapa-Nya, sehingga relasi mereka bisa dikatakan
didasarkan pada saling percaya (15:15).[29]
Gambaran
tentang pohon anggur yang “dipangkas” untuk dibersihkan menggambarkan bahwa
persahabatan dengan Yesus adalah persahabatan level tinggi. Kemauan Yesus untuk
mati demi para sahabat-Nya sesuai dengan gambaran ideal tentang persahabatan.
Injil Yohanes menempatkan Yesus sebagai figur sahabat yang sesungguhnya, rela
mati demi sahabat-Nya. Persahabatan Yesus dengan para murid-Nya dengan demikian
menjadi sumber dan norma bagi relasi mereka satu sama lain.[30]
Persahabatan dalam komunitas Yohanes mengadopsi pemahaman tentang persahabatan
yang bersifat kristologis, yaitu perintah Yesus untuk saling mengasihi satu
sama lain. Melalui kasih timbal-balik terwujud komunitas yang ideal di mana
setiap anggotanya melihat satu sama lain sebagai “sahabat” dan dapat
mengorbankan nyawanya bagi yang lain (15:12-14).
7. Penutup
Setelah
secara garis besar melihat makna historis dan simbolis sosok “murid yang
dikasihi” setidaknya kita bisa melihat salah satu kekhasan “murid yang
dikasihi”, yaitu identitasnya yang penuh teka-teki. Berbeda dengan murid-murid
lain atau tokoh lainnya yang disebutkan dalam injil Yohanes, sosok “murid yang
dikasihi” tidak disebut secara ekplisit dengan nama tertentu, ia adalah sosok
anonim. Bandingkan saja dengan tokoh-tokoh lain yang namanya secara eksplisit
disebut, seperti Yohanes Pembaptis, Petrus, Andreas, atau Maria Magdalena.
Penyebutan
sosok anonim tersebut sebagai “murid yang dikasihi” paling tidak mengingatkan
kita bahwa meskipun sosok “murid yang dikasihi” diyakini sebagai sosok
historis, namun tidak ada kepastian tentang identitas dirinya. Penyebutan
dirinya sebagai “murid yang dikasihi” memungkinkan beragam tafsir. Penyebutan
sosok misterius ini sebagai “murid yang dikasihi” juga sekaligus menyiratkan
bahwa sosok ini tampil bukan sekadar sebagai tokoh historis, melainkan ia juga
tampil sebagai sosok simbolis yang hendak menyampaikan pesan atau makna
tertentu bagi para pembaca.
Historis
berarti sosok “murid yang dikasihi” terikat pada ruang dan waktu tertentu. Ia
merupakan salah satu saksi mata peristiwa Yesus, ia bukan sekadar sosok
imaginatif. Ia turut mengikuti Yesus selama masa pelayanan-Nya, dan bahkan
sampai pada peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Bisa jadi ia adalah
mantan “murid Yohanes Pembaptis” yang menyertai Yesus sejak awal masa
pelayanan-Nya hingga kebangkitan-Nya. Atau bisa jadi ia juga adalah Lazarus,
sosok yang secara ekplisit dikatakan sebagai seorang yang dikasihi Yesus.
Akan
tetapi ia juga sekaligus adalah sosok simbolis, yaitu bahwa pemaknaan mengenai
identitas dirinya senantiasa terbuka dan tidak terikat pada suatu zaman
tertentu atau pada sosok tertentu. Dengan demikian beragam tafsir mengenai
makna sosok ini dimungkinkan. Kita bisa mengartikan kehadiran sosok ini sebagai
model kemuridan atau model beriman bagi segenap pengikut Kristus, sebagai
seorang saudara, sahabat, atau bahkan sebagai kekasih Kristus.
Daftar Pustaka
Brown, Raymond E. The Community of the Beloved Disciple.
New York: Paulist Press. 1979.
________________. The
Gospel According to John (xiii-xxi). New York: Doubleday & Company Inc.
1970.
Koester, Craig R. Symbolism
in The Fourth Gospel: Meaning, Mistery, Community, Minneapolis: Fortress
Press. 2003.
Schnackenburg, Rudolf. The
Gospel According to St. John Vol. 3. New York: Crossroad. 1982.
Solichin,
Vitus Rubianto. Kekasih Kerahiman Allah
dalam Injil Yohanes. Bahan Rekoleksi Pastores DKU.
Tilborg, Sjef Van. Imaginative Love in John. New York: E.
J. Brill. 1993.
[1] Rudolf Schnackenburg, The Gospel According to St. John, Vol. 3,
New York: Crossroad, 1982, hal. 29.
[2] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning,
Mistery, Community, Minneapolis: Fortress Press, 2003, hal. 242.
[4] Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disciple,
New York: Paulist Press, 1979, hal. 32.
[7] Raymond E. Brown, The Gospel According to John (xiii-xxi),
New York: Doubleday & Company Inc., 1970, hal. 574.
[16] Craig R. Koester, Symbolism in The Fourth Gospel: Meaning,
Mistery, Community, hal. 191, 240-241.
[27] Vitus Rubianto Solichin, Kekasih Kerahiman Allah dalam Injil Yohanes,
Bahan Rekoleksi Pastores DKU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar