Senin, 04 November 2019

Gereja dan Keberpihakan Kepada Kaum Buruh



1.                  Pendahuluan
Setiap tanggal 1 Mei di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Buruh. Pada kesempatan ini biasanya diadakan aksi demo oleh kaum buruh yang menuntut pemulihan hak-hak mereka. Dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2018 di Jakarta, Said Iqbal selaku ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan tiga tuntutan kaum buruh, yakni: Pertama ialah menurunkan harga beras, listrik, dan BBM, serta membangun kedaulatan pangan dan energi, kedua menolak upah murah dan tenaga kerja buruh kasar asal China, ketiga para buruh menuntut penghapusan sistem outsourcing dan pendeklarasian presiden pro buruh.[1]
Meskipun terkadang serikat-serikat buruh ini ditunggangi oleh elite-elite politik tertentu, namun tuntutan-tuntutan ini disuarakan salah satunya karena fakta penderitaan dan ketidakadilan yang dialami kaum buruh. Kaum buruh sering dieksploitasi demi kepentinggan kelompok tertentu. Mereka dilihat hanya sebatas pada nilai guna. Apabila tenaga mereka bisa dipakai dalam proses produksi maka mereka akan dihargai, namun begitu tak lagi mampu bekerja maka mereka tak akan dipakai lagi.
Fenomena eksploitasi bagi kaum buruh bukan hal baru, namun sudah ada sejak berabad-abad lalu. Ketidakadilan yang mereka alami turut mengundang simpati banyak orang atau kelompok tertentu, termasuk Gereja Katolik. Gereja, terutama sejak dikeluarkannya ensiklik Rerum Novarum (RN), turut menyuarakan hak kaum buruh. Dalam perkembangan selanjutnya pun demikian, Gereja tak henti-hentinya menyuarakan hak mereka dengan berbagai macam cara.
Lalu siapa saja yang sebenarnya dimaksud atau dikategorikan sebagai kaum buruh? Merujuk pada definisi yang diberikan oleh Serikat Pekerja Nasional: “Buruh adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imbalan secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, namun biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian”. Khusus dalam konteks ini buruh adalah mereka yang diidentikkan dengan pekerja rendahan, hina, kasar dan sebagainya. Definisi ini merujuk pada teori Karl Marx tentang nilai yang membedakan antara kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih atau disebut sebagai majikan, dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai yang disebut sebagai buruh.[2]

2.                  Yesus sebagai Model
Ketika berbicara tentang keberpihakan kepada kaum miskin, lemah, dan yang tersingkirkan, maka kita bisa menjadikan Yesus sebagai model yang ideal. Program karya dan perhatian utama Yesus dalam seluruh hidup-Nya terungkap dalam Sabda Bahagia (Mat. 5:1-12). Di sini Yesus menyatakan tujuan utama misi-Nya ialah perwujudan keadilan yang akan terpenuhi bila ada pembebasan dari pelbagai macam bentuk penindasan serta kekerasan, serta apabila setiap orang setia pada tuntutan kehendak Allah. Sabda Bahagia juga menjadi petunjuk keberpihakan Yesus kepada mereka yang tertindas dan menjadi korban dari pelbagai macam praktik kejahatan sosial, terutama yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa.[3] Misi dan hidup Yesus dicirikan oleh belaskasih serta solidaritas Allah terhadap manusia, terutama mereka yang lemah, miskin, dan tertindas (bdk. Luk. 4:16-21).[4]
Dalam hidup-Nya Yesus bergaul dengan semua orang, terutama dengan kelompok marginal. Bahkan dalam injil Yesus dikisahkan turut makan bersama mereka. Menurut Juan Hernandez Pico, pernyataan Yesus tentang Allah yang terutama hadir dalam diri orang-orang miskin adalah tanda bahwa Allah menolak ketidakadilan dan ketidaksetaraan.[5] Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus tidak hanya berciri eskatologis, tetapi juga secara nyata sudah direalisasikan dalam pewartaan dan tindakan Yesus. Oleh karena itu, konsep Kerajaan Allah juga meliputi perubahan realitas hidup manusia serta struktur-strukturnya demi terwujudnya keadilan serta hak-hak orang miskin. Dalam pewartaan perdana-Nya Yesus menyatakan diri sebagai pemenuhan dari kerajaan itu (bdk. Luk. 4:16-21, Mat. 11:2-6).

3.                  Keberpihakan Gereja
Jika Yesus yang diimani Gereja menaruh perhatian yang begitu besar pada kaum marginal, maka sudah sepantasnya Gereja juga bertindak sama seperti Yesus. Keberpihakan Gereja terhadap kaum buruh sebagai kelompok marginal dalam masyarakat didasarkan pada imannya akan Yesus Kristus yang semasa hidupnya juga memperjuangkan hak-hak orang miskin dan lemah. Oleh karena itu Gereja tidak akan menutup mata terhadap fakta ketidakadilan di sekitarnya.
Salah satu contoh tragis penderitaan kaum buruh terjadi pada tanggal 24 November 2012. Saat itu terjadi kebakaran di pabrik pakaian di Dakha, Bangladesh, dan menewaskan 117 orang buruh pabrik. Setelah diselidiki, ternyata para buruh tersebut bekerja dengan jaminan keselamatan kerja yang rendah. Segera peristiwa ini menarik perhatian banyak orang dan memunculkan protes di mana-mana. Di Bangladesh orang-orang melakukan demo dan menuntut jaminan keselamatan dalam bekerja, sementara di belahan dunia lain muncul petisi yang menuntut perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika (secara khusus perusahaan Walmar and the Gap) untuk bertanggung jawab memperhatikaan keselamatan kerja para buruhnya. Pada bulan Mei 2013 Paus Fransiskus mengutuk kejadian ini. Ia menilai perusahaan-perusahaan tersebut hanya menjadikan masyarakat Bangladesh sebagai budak.[6]
Apa yang dilakukan Paus Fransiskus hanyalah salah satu contoh bentuk keberpihakan Gereja kepada kaum buruh. Para pendahulu Paus Fransiskus juga menaruh perhatian yang tidak sedikit pada masalah-masalah yang sama, sebab sudah menjadi komitmen Gereja (khususnya sejak Konsili Vatikan II) untuk terlibat dalam masalah-masalah sosial yang dialami umatnya. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 1 menyatakan “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Pernyataan ini hendak menggambarkan Gereja yang mau terlibat dalam perjuangan korban ketidakadilan sosial, termasuk kaum buruh. Gereja tidak hendak menutup mata terhadap penderitaan orang-orang di sekitarnya, sebaliknya Gereja hendak hadir dan turut terlibat dalam mewartakan kegembiraan dan harapan bagi semua orang terutama mereka yang miskin dan tersingkirkan.[7]
Ensiklik Rerum Novarum (RN) yang diterbitkan oleh Leo XIII menjadi salah satu bukti bentuk perhatian Gereja terhadap kaum buruh. Meskipun diterbitkan pada 15 Mei 1891, namun semangat yang mendasarinya kiranya masih relevan untuk situasi kaum buruh dewasa ini. RN lahir sebagai bentuk keprihatinan Gereja atas ketidakadilan dalam bidang sosial, secara khusus ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Ketidakadilan yang dialami kaum buruh pada masa diterbitkannya RN juga kiranya masih menghantui kaum buruh dewasa ini. Dalam hal ini kaum buruh diekploitasi demi tujuan kelompok tertentu. Kaum buruh (sebagaimana terjadi pada kaum buruh dalam kasus kebakaran di pabrik pakaian di Dakha, Bangladesh) di dalam rangkaian produksi hanya dilihat sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan sebagai subjek. Mereka dijadikan budak oleh kelompok kapitalis demi kepentingan kelompok kapitalis itu sendiri.
RN art. 36 mengakui peran besar kaum buruh bagi kekayaan sebuah negara. Melalui kerja, jerih payah, dan kecakapan kaum buruhlah sebuah negara dapat memproduksi dan memperoleh keuntungan dari kegiatan produksi, maka sudah sepantasnya jika negara memperhatikan kesejahteraan mereka. [8] Namun sayangnya jerih payah dan kerja keras mereka tidak sebanding dengan hasil yang mereka terima. Seringkali terjadi perusahaan-perusahaan (entah perusahaan nasional atau swasta) mengabaikan hal ini. Akibatnya terjadi ketimpangan antara para pemilik modal (negara dan pengusaha) dan kaum buruh. Oleh karena itu Gereja (RN art. 36) menuntut adanya kepedulian dari para pemilik perusahaan untuk memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Kaum buruh sebagai penopang ketersediaan harta-benda yang dibutuhkan negara dan masyarakat perlu dihargai dan dijamin kesejahteraan, misalnya jaminan soal pakaian yang lengkap dan perumahan yang layak, serta hidup yang nyaman dan aman.
Lebih lanjut, dalam RN art. 44 tentang “upah yang adil” Gereja mendesak agar negara turut terlibat dalam mengawasi sistem pengupahan bagi kaum buruh. Jangan sampai, buruh dibayar tidak sesuai dengan kerja yang ia lakukan. Selain itu Gereja melihat (be)kerja sebagai usaha untuk memperoleh hal-hal yang diperlukan guna memenuhi pelbagai kebutuhan hidup dan terutama untuk hidup itu sendiri (Kej. 3:19). Manusia membutuhkan kerja untuk memelihara hidupnya, dan melalui upah kerjalah hal tersebut dapat terwujud. Sedangkan dalam art. 46 Gereja mendesak agar pemerintah atau perusahaan juga memperhatikan pengaturan jam kerja serta upaya-upaya untuk menjamin kesehatan dan keamanan kerja kaum buruh.
Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens art. 9 mengecam sistem kerja yang mendewakan materi (hasil) namun merendahkan martabat manusia (pekerja).[9] Sistem kerja yang demikian hanya menjadikan kaum buruh sebagai budak dalam kegiatan produksi. Mereka dieksploitasi demi menekan biaya produksi dan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Serupa dengan itu, Paus Yohanes Paulus XXIII dalam ensiklik Pacem in Terris art. 11 memandang bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup, hak atas keutuhan badannya, dan hak untuk memperoleh hal-hal yang dibutuhkan dalam mengembangkan hidupnya secara pantas, yakni makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan medis, dan pelayanan-pelayanan sosial.[10]  
Tuntutan untuk memperoleh kehidupan yang layak (sebagai hak kaum buruh) sebagaimana disuarakan Gereja melalui para Paus tampaknya diabaikan. Para pengusaha dan pemilik modal lebih tertarik untuk menekan biaya produksi dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya ketimbang menjamin kesejahteraan kaum buruh. Paus Fransiskus dalam sambutannya kepada komunitas Varginha di Brazil menyatakan: “hanya semangat solidaritaslah yang mampu menjadikan dunia layak untuk dihuni, sebab dalam semangat solidaritas kita melihat yang lain bukan sebagai rival atau statistik, melainkan sebagai saudara”[11]. Tanpa semangat solidaritas maka penindasan dan ketidakadilan akan terus merajalela, dan yang lemah akan selalu menjadi korban.

4.                  Penutup
Keterlibatan Gereja dalam memperjuangkan hak kaum buruh merupakan konsekuensi dari imannya kepada Yesus Kristus yang mengalamatkan misi penyelamatan-Nya pertama-tama kepada para korban ketidakadilan sosial. Berangkat dari kenyataan ini, maka Gereja tidak bisa menutup mata terhadap fakta ketidakadilan sosial di sekitarnya. Gereja dituntut untuk terlibat secara aktif dalam melawan segala jenis tindakan-tindakan ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil, secara khusus dalam konteks ini ialah keberpihakan kepada kaum buruh.
Sejauh yang sudah dipaparkan dalam tulisan ini, keberpihakan Gereja terhadap kaum buruh salah satunya diwujudkan melalui seruan para Paus. Seruan-seruan ini lebih bersifat anjuran, dan tidak mengikat, apalagi memaksa. Seruan-seruan yang disampaikan para Paus bukanlah akhir dari perjuangan Gereja, sebaliknya seruan-seruan ini adalah dasar untuk bertindak bagi umat Katolik. Diharapkan, melalui seruan-seruan ini umat Katolik termotivasi  untuk mewujudkan keadilan, paling kurang dengan tidak menjadi pelaku tindak ketidakadilan. Panggilan untuk memperjuangkan keadilan bukan hanya menjadi tugas Kaum klerus atau biarawan/ti saja, melainkan menjadi tugas semua anggota Gereja.
Dalam ensiklik Gaudete et Exultate art. 14 menurut Paus Fransiskus untuk menjadi kudus seseorang tidak perlu menjadi seorang uskup, imam, atau religius. Setiap orang dapat menjadi kudus dengan cara menghidupi panggilan hidupnya masing-masing dengan penuh cinta dan dengan menjadi saksi Kristus dalam setiap tindakannya: “Jika engkau menikah maka jadilah kudus dengan mencintai pasangan dan anak-anakmu, jika engkau adalah seorang karyawan maka bekerjalah dengan penuh integritas dan dengan segala kemampuanmu demi melayani sesama, jika engkau memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan atau masyarakat maka jadilah kudus dengan memperjuangkan kebaikan bersama dan menolak keuntungan pribadi”.[12]
            Lebih lanjut, langkah konkret yang ditawarkan Paus Fransiskus untuk menjadi kudus ialah dengan mengamalkan Sabda Bahagia sebagaimana diamanatkan Yesus. Dalam  Gaudete et Exultate (63) Paus Fransiskus menyatakan:

”terdapat banyak teori tentang apa itu kekudusan, dengan beragam penjelasan dan pembedaan. Refleksi tersebut mungkin berguna, akan tetapi tidak ada yang lebih mencerahkan daripada kembali ke perkataan-perkataan Yesus dan melihat cara Ia mengajar tentang kebenaran. Yesus menjelaskan dengan sangat sederhana apa yang dimaksud dengan menjadi kudus ketika ia memberi kita Sabda Bahagia (Mat. 5:3-13, Luk. 6:20-23). Sabda Bahagia sama seperti kartu identitas bagi orang Kristen. Jadi, jika seseorang bertanya “apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjadi kudus?”. Jawabannya jelas. Kita harus melakukan, dengan cara kita masing-masing, apa yang dikatakan Yesus dalam khotbah di bukit.[13]
           
Akhirnya, usaha untuk memperjuangkan hak kaum buruh tidak bisa hanya diserahkan kepada Paus sebagai pemimpin Gereja. Perjuangan untuk mewujudkan keadilan bagi kaum buruh sudah menjadi tugas dan panggilan setiap umat Kristen yang dibaptis dalam Kristus. Iman akan Kristus mengharuskan setiap umat Kristen untuk bertindak. Sama seperti Kristus yang semasa hidup-Nya memperjuangkan pemulihan hak dan martabat kaum marginal, maka setiap umat Kristen pun dituntut untuk bertindak demikian. Jangan sampai umat Kristen sendiri mengkhianati imannya akan Kristus dengan menjadi pelaku tindak ketidakadilan; dengan merampas dan menginjak-injak martabat dan hak kaum buruh, atau bersikap apatis terhadap penderitaan yang mereka alami.




Daftar Pustaka

Sumber Buku dan Dokumen
Aman, Dr. Petrus C. OFM. Diktat Teologi Moral Sosial. Jakarta: STF Driyarkara.
Clark, Meghan J. The Vision of Catholic Social Thought. Minneapolis: Fortress Press. 2014.
Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Penerbit Obor. 1993.
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.
Sobrino, Jon SJ dan Juan Hernandez Pico SJ. Theology of Christian Solidarity (transl. By Phillip Berryman). New York: Orbis Books. 1985.

Sumber Internet



[2] Bagian ini disadur dari https://spn.or.id/pengertian-buruh/ pada tanggal 19 November 2019, pkl. 08.40 wib.
[3] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Teologi Moral Sosial, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 10.
[4] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Teologi Moral Sosial, hal. 4.
[5] Jon Sobrino SJ dan Juan Hernandez Pico SJ, Theology of Christian Solidarity (transl. By Phillip Berryman), New York: Orbis Books, 1985, hal. 57.
[6] Meghan J. Clark, The Vision of Catholic Social Thought, Minneapolis: Fortress Press, 2014, hal. 3.
[7] Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Penerbit Obor, 1993, hal. 509-510.
[8]Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hal. 40
[9]Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, hal. 677.
[10] Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, hal. 216.
[11] Meghan J. Clark, The Vision of Catholic Social Thought, hal. 125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar