1.
Pendahuluan
Setiap
tanggal 1 Mei di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Buruh. Pada kesempatan
ini biasanya diadakan aksi demo oleh kaum buruh yang menuntut pemulihan hak-hak
mereka. Dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2018 di Jakarta, Said Iqbal selaku
ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan tiga tuntutan
kaum buruh, yakni: Pertama ialah
menurunkan harga beras, listrik, dan BBM, serta membangun kedaulatan pangan dan
energi, kedua menolak upah murah dan
tenaga kerja buruh kasar asal China, ketiga
para buruh menuntut penghapusan sistem outsourcing
dan pendeklarasian presiden pro buruh.[1]
Meskipun
terkadang serikat-serikat buruh ini ditunggangi oleh elite-elite politik
tertentu, namun tuntutan-tuntutan ini disuarakan salah satunya karena fakta penderitaan
dan ketidakadilan yang dialami kaum buruh. Kaum buruh sering dieksploitasi demi
kepentinggan kelompok tertentu. Mereka dilihat hanya sebatas pada nilai guna.
Apabila tenaga mereka bisa dipakai dalam proses produksi maka mereka akan
dihargai, namun begitu tak lagi mampu bekerja maka mereka tak akan dipakai
lagi.
Fenomena
eksploitasi bagi kaum buruh bukan hal baru, namun sudah ada sejak berabad-abad
lalu. Ketidakadilan yang mereka alami turut mengundang simpati banyak orang
atau kelompok tertentu, termasuk Gereja Katolik. Gereja, terutama sejak
dikeluarkannya ensiklik Rerum Novarum
(RN), turut menyuarakan hak kaum buruh. Dalam perkembangan selanjutnya pun
demikian, Gereja tak henti-hentinya menyuarakan hak mereka dengan berbagai
macam cara.
Lalu
siapa saja yang sebenarnya dimaksud atau dikategorikan sebagai kaum buruh?
Merujuk pada definisi yang diberikan oleh Serikat Pekerja Nasional: “Buruh adalah mereka yang bekerja pada
usaha perorangan dan diberikan imbalan secara harian maupun borongan sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, namun
biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian”. Khusus dalam konteks
ini buruh adalah mereka yang diidentikkan dengan pekerja rendahan, hina, kasar dan sebagainya. Definisi ini merujuk
pada teori Karl Marx tentang nilai yang membedakan antara kelompok yang
memiliki dan menikmati nilai lebih atau disebut sebagai majikan, dan kelompok
yang terlibat dalam proses penciptaan nilai yang disebut sebagai buruh.[2]
2.
Yesus
sebagai Model
Ketika berbicara tentang keberpihakan
kepada kaum miskin, lemah, dan yang tersingkirkan, maka kita bisa menjadikan
Yesus sebagai model yang ideal. Program karya dan perhatian utama Yesus dalam
seluruh hidup-Nya terungkap dalam Sabda Bahagia (Mat. 5:1-12). Di sini Yesus
menyatakan tujuan utama misi-Nya ialah perwujudan keadilan yang akan terpenuhi
bila ada pembebasan dari pelbagai macam bentuk penindasan serta kekerasan,
serta apabila setiap orang setia pada tuntutan kehendak Allah. Sabda Bahagia
juga menjadi petunjuk keberpihakan Yesus kepada mereka yang tertindas dan
menjadi korban dari pelbagai macam praktik kejahatan sosial, terutama yang
dilakukan oleh mereka yang berkuasa.[3]
Misi dan hidup Yesus dicirikan oleh belaskasih serta solidaritas Allah terhadap
manusia, terutama mereka yang lemah, miskin, dan tertindas (bdk. Luk. 4:16-21).[4]
Dalam hidup-Nya Yesus bergaul dengan semua
orang, terutama dengan kelompok marginal. Bahkan dalam injil Yesus dikisahkan turut
makan bersama mereka. Menurut Juan Hernandez Pico, pernyataan Yesus tentang Allah
yang terutama hadir dalam diri orang-orang miskin adalah tanda bahwa Allah
menolak ketidakadilan dan ketidaksetaraan.[5]
Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus tidak hanya berciri eskatologis, tetapi
juga secara nyata sudah direalisasikan dalam pewartaan dan tindakan Yesus. Oleh
karena itu, konsep Kerajaan Allah juga meliputi perubahan realitas hidup
manusia serta struktur-strukturnya demi terwujudnya keadilan serta hak-hak
orang miskin. Dalam pewartaan perdana-Nya Yesus menyatakan diri sebagai
pemenuhan dari kerajaan itu (bdk. Luk. 4:16-21, Mat. 11:2-6).
3.
Keberpihakan
Gereja
Jika Yesus yang diimani Gereja menaruh
perhatian yang begitu besar pada kaum marginal, maka sudah sepantasnya Gereja
juga bertindak sama seperti Yesus. Keberpihakan Gereja terhadap kaum buruh
sebagai kelompok marginal dalam masyarakat didasarkan pada imannya akan Yesus
Kristus yang semasa hidupnya juga memperjuangkan hak-hak orang miskin dan
lemah. Oleh karena itu Gereja tidak akan menutup mata terhadap fakta
ketidakadilan di sekitarnya.
Salah
satu contoh tragis penderitaan kaum buruh terjadi pada tanggal 24 November 2012.
Saat itu terjadi kebakaran di pabrik pakaian di Dakha, Bangladesh, dan
menewaskan 117 orang buruh pabrik. Setelah diselidiki, ternyata para buruh tersebut
bekerja dengan jaminan keselamatan kerja yang rendah. Segera peristiwa ini
menarik perhatian banyak orang dan memunculkan protes di mana-mana. Di
Bangladesh orang-orang melakukan demo dan menuntut jaminan keselamatan dalam
bekerja, sementara di belahan dunia lain muncul petisi yang menuntut
perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika (secara khusus perusahaan Walmar and
the Gap) untuk bertanggung jawab memperhatikaan keselamatan kerja para buruhnya.
Pada bulan Mei 2013 Paus Fransiskus mengutuk kejadian ini. Ia menilai
perusahaan-perusahaan tersebut hanya menjadikan masyarakat Bangladesh sebagai budak.[6]
Apa
yang dilakukan Paus Fransiskus hanyalah salah satu contoh bentuk keberpihakan
Gereja kepada kaum buruh. Para pendahulu Paus Fransiskus juga menaruh perhatian
yang tidak sedikit pada masalah-masalah yang sama, sebab sudah menjadi komitmen
Gereja (khususnya sejak Konsili Vatikan II) untuk terlibat dalam
masalah-masalah sosial yang dialami umatnya. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes art. 1 menyatakan
“kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Pernyataan ini hendak
menggambarkan Gereja yang mau terlibat dalam perjuangan korban ketidakadilan
sosial, termasuk kaum buruh. Gereja tidak hendak menutup mata terhadap penderitaan
orang-orang di sekitarnya, sebaliknya Gereja hendak hadir dan turut terlibat dalam
mewartakan kegembiraan dan harapan bagi semua orang terutama mereka yang miskin
dan tersingkirkan.[7]
Ensiklik
Rerum Novarum (RN) yang diterbitkan
oleh Leo XIII menjadi salah satu bukti bentuk perhatian Gereja terhadap kaum
buruh. Meskipun diterbitkan pada 15 Mei 1891, namun semangat yang mendasarinya
kiranya masih relevan untuk situasi kaum buruh dewasa ini. RN lahir sebagai
bentuk keprihatinan Gereja atas ketidakadilan dalam bidang sosial, secara
khusus ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Ketidakadilan yang dialami kaum
buruh pada masa diterbitkannya RN juga kiranya masih menghantui kaum buruh
dewasa ini. Dalam hal ini kaum buruh diekploitasi demi tujuan kelompok
tertentu. Kaum buruh (sebagaimana terjadi pada kaum buruh dalam kasus kebakaran
di pabrik pakaian di Dakha, Bangladesh) di dalam rangkaian produksi hanya
dilihat sebagai objek untuk dieksploitasi, bukan sebagai subjek. Mereka
dijadikan budak oleh kelompok kapitalis demi kepentingan kelompok kapitalis itu
sendiri.
RN art. 36 mengakui peran besar kaum buruh
bagi kekayaan sebuah negara. Melalui kerja, jerih payah, dan kecakapan kaum
buruhlah sebuah negara dapat memproduksi dan memperoleh keuntungan dari
kegiatan produksi, maka sudah sepantasnya jika negara memperhatikan
kesejahteraan mereka. [8] Namun
sayangnya jerih payah dan kerja keras mereka tidak sebanding dengan hasil yang
mereka terima. Seringkali terjadi perusahaan-perusahaan (entah perusahaan
nasional atau swasta) mengabaikan hal ini. Akibatnya terjadi ketimpangan antara
para pemilik modal (negara dan pengusaha) dan kaum buruh. Oleh karena itu
Gereja (RN art. 36) menuntut adanya kepedulian dari para pemilik perusahaan untuk
memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Kaum buruh sebagai penopang
ketersediaan harta-benda yang dibutuhkan negara dan masyarakat perlu dihargai
dan dijamin kesejahteraan, misalnya jaminan soal pakaian yang lengkap dan
perumahan yang layak, serta hidup yang nyaman dan aman.
Lebih
lanjut, dalam RN art. 44 tentang “upah yang adil” Gereja mendesak agar negara
turut terlibat dalam mengawasi sistem pengupahan bagi kaum buruh. Jangan
sampai, buruh dibayar tidak sesuai dengan kerja yang ia lakukan. Selain itu
Gereja melihat (be)kerja sebagai usaha untuk memperoleh hal-hal yang diperlukan
guna memenuhi pelbagai kebutuhan hidup dan terutama untuk hidup itu sendiri
(Kej. 3:19). Manusia membutuhkan kerja untuk memelihara hidupnya, dan melalui
upah kerjalah hal tersebut dapat terwujud. Sedangkan dalam art. 46 Gereja
mendesak agar pemerintah atau perusahaan juga memperhatikan pengaturan jam
kerja serta upaya-upaya untuk menjamin kesehatan dan keamanan kerja kaum buruh.
Paus
Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem
Exercens art. 9 mengecam sistem kerja yang mendewakan materi (hasil) namun
merendahkan martabat manusia (pekerja).[9]
Sistem kerja yang demikian hanya menjadikan kaum buruh sebagai budak dalam
kegiatan produksi. Mereka dieksploitasi demi menekan biaya produksi dan untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Serupa dengan itu, Paus Yohanes
Paulus XXIII dalam ensiklik Pacem in
Terris art. 11 memandang bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup, hak
atas keutuhan badannya, dan hak untuk memperoleh hal-hal yang dibutuhkan dalam
mengembangkan hidupnya secara pantas, yakni makanan, pakaian, tempat tinggal,
perawatan medis, dan pelayanan-pelayanan sosial.[10]
Tuntutan
untuk memperoleh kehidupan yang layak (sebagai hak kaum buruh) sebagaimana
disuarakan Gereja melalui para Paus tampaknya diabaikan. Para pengusaha dan
pemilik modal lebih tertarik untuk menekan biaya produksi dan memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya ketimbang menjamin kesejahteraan kaum buruh.
Paus Fransiskus dalam sambutannya kepada komunitas Varginha di Brazil menyatakan: “hanya semangat solidaritaslah yang
mampu menjadikan dunia layak untuk dihuni, sebab dalam semangat solidaritas kita
melihat yang lain bukan sebagai rival atau statistik, melainkan sebagai saudara”[11].
Tanpa semangat solidaritas maka penindasan dan ketidakadilan akan terus
merajalela, dan yang lemah akan selalu menjadi korban.
4.
Penutup
Keterlibatan
Gereja dalam memperjuangkan hak kaum buruh merupakan konsekuensi dari imannya
kepada Yesus Kristus yang mengalamatkan misi penyelamatan-Nya pertama-tama
kepada para korban ketidakadilan sosial. Berangkat dari kenyataan ini, maka
Gereja tidak bisa menutup mata terhadap fakta ketidakadilan sosial di
sekitarnya. Gereja dituntut untuk terlibat secara aktif dalam melawan segala
jenis tindakan-tindakan ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil, secara
khusus dalam konteks ini ialah keberpihakan kepada kaum buruh.
Sejauh
yang sudah dipaparkan dalam tulisan ini, keberpihakan Gereja terhadap kaum
buruh salah satunya diwujudkan melalui seruan para Paus. Seruan-seruan ini
lebih bersifat anjuran, dan tidak mengikat, apalagi memaksa. Seruan-seruan yang
disampaikan para Paus bukanlah akhir dari perjuangan Gereja, sebaliknya
seruan-seruan ini adalah dasar untuk bertindak bagi umat Katolik. Diharapkan,
melalui seruan-seruan ini umat Katolik termotivasi untuk mewujudkan keadilan, paling kurang
dengan tidak menjadi pelaku tindak ketidakadilan. Panggilan untuk
memperjuangkan keadilan bukan hanya menjadi tugas Kaum klerus atau biarawan/ti
saja, melainkan menjadi tugas semua anggota Gereja.
Dalam
ensiklik Gaudete et Exultate art. 14
menurut Paus Fransiskus untuk menjadi kudus seseorang tidak perlu menjadi
seorang uskup, imam, atau religius. Setiap orang dapat menjadi kudus dengan
cara menghidupi panggilan hidupnya masing-masing dengan penuh cinta dan dengan
menjadi saksi Kristus dalam setiap tindakannya: “Jika engkau menikah maka
jadilah kudus dengan mencintai pasangan dan anak-anakmu, jika engkau adalah
seorang karyawan maka bekerjalah dengan penuh integritas dan dengan segala
kemampuanmu demi melayani sesama, jika engkau memiliki jabatan tertentu dalam
pemerintahan atau masyarakat maka jadilah kudus dengan memperjuangkan kebaikan
bersama dan menolak keuntungan pribadi”.[12]
Lebih lanjut, langkah konkret yang
ditawarkan Paus Fransiskus untuk menjadi kudus ialah dengan mengamalkan Sabda
Bahagia sebagaimana diamanatkan Yesus. Dalam
Gaudete et Exultate (63) Paus Fransiskus menyatakan:
”terdapat banyak teori tentang apa itu kekudusan, dengan
beragam penjelasan dan pembedaan. Refleksi tersebut mungkin berguna, akan
tetapi tidak ada yang lebih mencerahkan daripada kembali ke perkataan-perkataan
Yesus dan melihat cara Ia mengajar tentang kebenaran. Yesus menjelaskan dengan
sangat sederhana apa yang dimaksud dengan menjadi kudus ketika ia memberi kita Sabda Bahagia (Mat. 5:3-13, Luk.
6:20-23). Sabda Bahagia sama seperti kartu identitas bagi orang Kristen. Jadi,
jika seseorang bertanya “apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjadi
kudus?”. Jawabannya jelas. Kita harus melakukan, dengan cara kita
masing-masing, apa yang dikatakan Yesus dalam khotbah di bukit.[13]
Akhirnya, usaha untuk memperjuangkan hak
kaum buruh tidak bisa hanya diserahkan kepada Paus sebagai pemimpin Gereja.
Perjuangan untuk mewujudkan keadilan bagi kaum buruh sudah menjadi tugas dan
panggilan setiap umat Kristen yang dibaptis dalam Kristus. Iman akan Kristus
mengharuskan setiap umat Kristen untuk bertindak. Sama seperti Kristus yang semasa
hidup-Nya memperjuangkan pemulihan hak dan martabat kaum marginal, maka setiap
umat Kristen pun dituntut untuk bertindak demikian. Jangan sampai umat Kristen
sendiri mengkhianati imannya akan Kristus dengan menjadi pelaku tindak
ketidakadilan; dengan merampas dan menginjak-injak martabat dan hak kaum buruh,
atau bersikap apatis terhadap penderitaan yang mereka alami.
Daftar
Pustaka
Sumber
Buku dan Dokumen
Aman, Dr. Petrus C. OFM. Diktat Teologi Moral Sosial. Jakarta: STF Driyarkara.
Clark, Meghan J. The
Vision of Catholic Social Thought. Minneapolis: Fortress Press. 2014.
Dokumen Konsili
Vatikan II. Jakarta: Penerbit Obor. 1993.
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial
Gereja Tahun 1891-1991. Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI. 1999.
Sobrino,
Jon SJ dan Juan Hernandez Pico SJ. Theology
of Christian Solidarity (transl. By Phillip Berryman). New York: Orbis
Books. 1985.
Sumber
Internet
[1] https://nasional.kompas.com/read/2018/04/24/14393661/tiga-tuntutan-di-peringatan-hari-buruh, diunduh pada tanggal 8 November
2018, pkl. 16.00 wib.
[2] Bagian ini disadur dari https://spn.or.id/pengertian-buruh/ pada tanggal 19 November 2019,
pkl. 08.40 wib.
[5] Jon Sobrino SJ dan Juan
Hernandez Pico SJ, Theology of Christian
Solidarity (transl. By Phillip Berryman), New York: Orbis Books, 1985, hal.
57.
[6] Meghan J. Clark, The Vision of Catholic Social Thought,
Minneapolis: Fortress Press, 2014, hal. 3.
[8]Kumpulan
Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1999, hal. 40
[12] http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa-francesco_esortazione-ap_20180319_gaudete-et-exsultate.html#FOR_YOU_TOO, diunduh pada tanggal 9 November
2018, pada pukul 10.25 wib.
[13] http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa-francesco_esortazione-ap_20180319_gaudete-et-exsultate.html#THE_LORD_CALLS, diunduh pada tanggal 8 November
2018, pkl. 16.40 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar