Secara
garis besar terdapat beberapa hal yang kiranya menjadi tantangan bagi kehidupan
perkawinan Katolik dewasa ini, sebagaimana digambarkan oleh Gaudium et Spes
art. 47. Tantangan-tantangan tersebut ialah bahaya poligami, percintaan bebas,
malapetaka perceraian, cinta diri, gila kenikmatan, dan ulah-cara yang tidak
halal melawan timbulnya keturunan. Isu-isu tersebut jelas bertentangan dengan
prinsip perkawinan yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik. Akan tetapi kita
juga tidak bisa menyangkal bahwa isu-isu tersebut sudah ada sejak berdirinya
Gereja dan senantiasa menjadi tantangan bagi kehidupan perkawinan Katolik.
Termasuk dalam hal ini ialah isu poligami yang dianut oleh kebudayaan atau
tradisi tertentu.
Monogamitas
perkawinan Katolik didasarkan pada hakekat perkawinan yakni kesatuan seorang
pria dan seorang wanita di mana mereka menjadi satu daging. Penekanannya ialah
bahwa intensitas kesatuan kasih yang optimal dan mendalam hanya dapat terjadi
dalam perkawinan monogam. Selain itu monogamitas juga didasarkan pada pengakuan
dan penghargaan terhadap kesamaan derajat dan martabat pria dan wanita (Bdk.
FC.19). Gaudium et Spes art. 49 dengan amat tegas mengemukakan: “lagi pula
kesamaan martabat antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang
timbal balik dan penuh purna, jelas sekali nampaklah kesatuan perkawinan yang
dikukuhkan oleh Tuhan”.[1]
1.
Praktik
Poligami
Tantangan bagi berlangsungnya praktik perkawinan
monogami berasal dari beragam hal. Kebudayaan bisa
dipandang sebagai salah satu sumber munculnya praktik poligami. Di dalam
kebudayaan tertentu, misalnya di dalam kebudayaan-kebudayaan di Asia, Afrika,
dan Yahudi poligami adalah sesuatu yang lumrah dan bukan sesuatu yang tabu.
Misalnya saja sebagaimana dicatat oleh seorang penjelajah bernama John Leo
(1490-1550) dalam perjalanannya ke Afrika Utara. Di komunitas-komunitas yang
mempraktikkan poligami, seorang pria bisa mencari wanita sesuka hatinya demi
memuaskan nafsu seksualnya, dan kemudian menyeret wanita itu ke rumahnya untuk
dijadikan gundik, sekalipun ia telah memiliki beberapa istri dan beberapa
gundik. Praktik ini kemudian diwariskan turun-temurun.[2]
Di
masa kini praktik poligami pun masih banyak terjadi, termasuk di negara-negara
Eropa. Di sebagian besar negara-negara Eropa permasalahan tentang perkawinan
(termasuk poligami) erat kaitannya dengan problem imigrasi, sebab sebagian
besar pelaku praktik poligami adalah para imigran dari Afrika, Timur Tengah,
dan Asia, dan sebagian besar dari mereka adalah kaum Muslim. Misalnya saja
Prancis yang menjadi rumah bagi 20.000 keluarga poligami. Terhitung sejak abad
19 banyak negara yang melarang praktik poligami karena dianggap sebagai ancaman
bagi masyarakat (Mis. Thailand, Jepang, China, Uni Soviet, dan Nepal). Akan
tetapi negara-negara tersebut hanya merupakan 15-20 persen dari kurang lebih 1.200
kebudayaan di dunia. Sisanya (75-85 persen) mengakui poligami sebagai bentuk
yang sah dalam perkawinan.[3]
Jika
dilihat secara lebih kritis, praktik poligami dalam kebudayaan tertentu
sebenarnya bersumber pada pandangan masyarakat (atau budaya) yang cenderung
menekankan superioritas jenis kelamin tertentu (terutama superioritas pria atas
wanita). Misalnya saja masyarakat Yahudi yang menempatkan kaum wanita di
samping budak dan hewan ternak. Dalam hal ini tidak ada kesetaraan antara pria
dan wanita, dan wanita dalam relasi suami-istri hanya dilihat semata-mata
sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam relasi perkawinan.
Selain
itu, praktik poligami juga didukung oleh sistem prundang-undangan suatu negara,
misalnya sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Dalam UU Perkawinan Pasal 3 ayat 1, poligami diizinkan dengan ketentuan: bila
istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit
lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan
keturunan.[4] Istri
tak ubahnya barang habis pakai, dilihat semata-mata hanya sejauh ia memiliki nilai
guna bagi sang suami. Begitu ia tak mampu lagi memenuhi “kewajibannya” sebagai seorang
istri maka berakhir pula nilainya sebagai seorang manusia. Ia menjadi tak
ubahnya barang yang siap untuk ditinggalkan atau dibuang.
2.
Dasar
Biblis
Jika
secara sepintas melihat teks-teks Kitab Suci, tampaknya praktik poligami adalah
sesuatu yang lumrah dalam kisah-kisah Kitab Suci. Beberapa tokoh terkenal
seperti Abraham, Yakub, Daud, dan Salomo, memiliki lebih dari satu istri. Jika
dibaca secara literer tanpa memperhatikan konteks historis dan kebudayaan
kisah-kisah tersebut, maka bisa jadi kita beranggapan bahwa Kitab Suci
mendukung praktik poligami. Akan tetapi teks-teks tersebut perlu dibaca secara
cerdas dengan memperhatikan konteks budaya dan konteks historis kisah-kisah
tersebut.
Praktik
poligami adalah hal lazim bagi masyarakat Israel. Hukum mengizinkan (namun
tidak menyuruh) poligami (Ul. 22:28-29, 21:15). Yakub digambarkan berpoligami,
beristrikan Rahel dan Lea di saat yang bersamaan (Kej. 20-30). Daud memiliki
beberapa istri dan gundik (2Sam 3:2-5, 5:13, 15:16. 16:21-22). Salomo
memelihara suatu harim yang besar
sekali (1Raj. 11:1,8). Imam besar Yoyada mengusahakan dua istri untuk raja Yoas
(2Taw. 24:3). Tampaknya semua raja Israel berpoligami (bdk. 2Taw. 11:21, 13:25, 24:3, 2Raj. 23:31, 34:36, dsb.). Di dalam
Perjanjian Lama tidak tersedia sebuah statistik mengenai poligami yang
berlangsung di kalangan rakyat biasa. Di dalam kitab-kitab Taurat tampaknya
monogamilah yang lazim dipraktikkan. Bisa jadi, atas dasar ekonomi (mas kawin)
rakyat biasa tidak mungkin berpoligami, meskipun pada prinsipnya diperbolehkan.[5]
Pada
umumnya kedudukan perempuan di dalam masyarakat sosio-religius Israel sangat
rendah, dan hal ini dianggap lazim di dalam masyarakat dengan sistem
patrilineal. Dalam rangka perkawinan, hukum menuntut kesetiaan mutlak sang
istri. Kalau tidak setia pada suaminya ia bisa dihukum mati (Ul. 22:22, Yer.
3:11). Hal yang sama tidak berlaku bagi pria. Dikatakan juga bahwa menurut
hukum Israel istri menjadi “milik” suami. Istri ditempatkan di samping budak,
ternak, dan milik lain, namun ia tidak pernah dapat dijual (Ul. 5:21). Hukum
Israel senantiasa menempatkan wanita di bawah kuasa laki-laki. Pria berhak
berpoligami dan menceraikan istrinya, tetapi wanita tidak memiliki hak seperti
itu.[6]
Di
sisi lain monogami juga diterima dan dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan lebih diutamakan sebab sesuai dengan kehendak awal penciptaan (Kej.
2:21-24). Di dalam kisah penciptaan,
Allah menciptakan manusia (pria dan wanita) seturut gambar dan rupa-Nya. Kesatuan
antara keduanya termasuk bagian dari rencana penciptaan Allah (Kej. 1:27).
Persekutuan keduanya berpuncak pada pemberian diri timbal-balik, sehingga
keduanya menjadi satu daging (Kej.2: 24). Gambaran tentang “satu daging” ini
menjadi isyarat perkawinan monogam sebagai perkawinan yang ideal, kendati
selalu tak terwujud di dalam masyarakat Israel.[7]
Sikap
diskriminatif terhadap wanita juga tetap berlangsung sampai pada zaman Yesus,
namun Yesus sendiri hendak mengakhirinya. Sikap inilah (egaliter) yang
mendasari pandangan dan ajaran Yesus berkaitan dengan perkawinan, selibat,
perzinahan, dan perceraian.[8]
Yesus tidak menolak dan mengutuk perkawinan, serta menganggap seks sebagai
seuatu yang jahat. Bahkan dalam Mrk. 10:1-12 dan Mat. 19:1-12 Yesus melarang
perceraian. Yesus bahkan menegaskan bahwa Allah sendiri menjadikan manusia pria
dan wanita (mengacu pada Kej. 1:27).
Pembedaan
seksual (antara pria dan wanita), menurut Yesus adalah kehendak Allah Sang
Pencipta. Menjadi pria dan wanita adalah karakter manusia dan bukan hal
sekunder semata. Seksualitas adalah bagian dari penciptaan Allah sejak semula. Yesus
mengatakan bahwa mereka yang diciptakan sebagai pria dan wanita oleh Allah menjadi
satu dalam perkawinan: “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mrk. 10:7-8).
Jika
Allah sendiri mempersatukan suami-isteri dalam lembaga perkawinan, maka
perkawinan tidak lagi sekadar urusan pribadi, kesepakatan sosial, atau suatu
kejadian yang membahagiakan atau tidak membahagiakan. Allah memainkan peran di
sana. Ikatan perkawinan yang dikehendaki Allah diungkapkan dalam nada yang
selaras dengan PL: “satu daging” (Mrk. 10:8), “dipersatukan” (Mat. 19:5). Ini
berarti persatuan pribadi yang mutlak, suatu sharing dan pengabdian total yang
begitu kuat sehingga pria (dan wanita) dapat memutuskan ikatan dengan orang
tua.[9]
Dalam
kisah-kisah Injil Yesus juga melarang perceraian dan menyamakan perceraian
dengan perzinahan. Ajaran ini didasarkan pada rancangan penciptaan Allah (Mrk.
10:6-9, Mat. 19:4-6). Titik penting dari bagian ini adalah bahwa Yesus
memutuskan segala macam penentuan benar salah, tetapi kembali ke perintah Allah
yang sederhana dan tidak ambigu. Allah mendirikan perkawinan sebagai persatuan
tetap suami-isteri. Allah mengkehendaki agar perkawinan dilindungi karena Ia
ingin membebaskan wanita dari peran mereka sebagai pemuas nafsu lelaki.
Perkawinan mencakup di dalamnya pengendalian diri dan komitmen mutlak, dan
bukan mengumbar nafsu yang menyebabkan rusaknya hasrat cinta dan perkawinan itu
sendiri.[10]
3.
Pandangan Gereja Katolik
Gereja
Katolik tidak memandang perkawinan sebagai sebuah kontrak, melainkan sebagai
perjanjian. Hal ini tampak dalam pernyataan KHK no. 1055 yang mendefinisikan
perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan.[11] Arti perjanjian nikah adalah kesepakatan membuat perkawinan. Tidak
pernah ada perkawinan tanpa kesepakatan. Kesepakatan tersebut bersifat
bilateral. Dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum, serta secara
bebas. Dalam perjanjian perkawinan unsur yang sangat mutlak perlu adalah kesepakatan.[12]
Selain itu, Gereja Katolik juga sangat menjunjung martabat perkawinan dan
memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci. Sebagaimana diungkapkan dalam
GS 48:
“Persekuatuan hidup dan kasih suami-isteri yang
mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan hukum-hukumnya, dibangun
oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali.
Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling
menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat
keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci
demi kesejahteraan suami-isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak
tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta
perkawinan yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan”.
Perkawinan
Katolik bukan semata-mata persetujuan dan persekutuan manusia, namun Allah
turut terlibat di dalamnya. Dalam Konsili Trente praktik poligami ditolak.
Konsili Trente dengan tajam menegaskan: “setiap orang yang berkata bahwa
poligami tidak dilarang oleh hukum ilahi, terkutuklah dia (anathema)”.[13]
Di samping itu di dalam KHK no. 1056 juga dijabarkan sifat-sifat hakiki
perkawinan Katolik, yaitu monogam dan
tak terceraikan (indissolubile).[14]
Monogam artinya satu laki-laki dengan satu
perempuan, sedangkan indissolubile
berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum) secara
sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak
terceraikan, kecuali oleh kematian.[15] Kesetiaan perkawinan
(kesetiaan pada satu pasangan) berjalan bersamaan dengan ketidakterceraian
perkawinan. Kedua ciri ini berjalan beriringan dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Gereja Katolik secara tegas dan jelas menolak
poligami (lebih dari satu istri) dan mengharuskan monogami (satu istri) bagi
setiap pasangan Katolik.
4.
Bahaya
Praktik Poligami
Kesadaran
tentang bahaya poligami terutama muncul di negara-negara Barat yang sangat
dipengaruhi oleh kultur Kekristenan. Negara-negara Barat lebih melihat
perkawinan sebagai persatuan antara seorang pria dan seorang wanita dengan
kecocokan, kecakapan, dan kebebasan untuk menjalin ikatan perkawinan. Misalnya
saja European Council (EU) yang menuntut persamaan gender dan mengutuk
poligami karena mengabaikan hak-hak perempuan, dan bahkan hak anak-anak.
EU juga mengelompokkan poligami dengan
“perbudakan dan kejahatan-kejahatan lain yang mengatasnamakan penghormatan
terhadap adat-istiadat, kekerasan, perdagangan manusia, mutilasi alat kelamin
wanita, pemaksaan terhadap perkawinan, dan perampasan identitas/deprivation of identity (misalnya ketika
wanita dipaksa menggunakan burka, nigab, dan
penutup wajah).[16] Selain
itu poligami juga dinilai menjadi sumber dari beragam bentuk kekerasan dan
pelecehan. Bahkan bagi beberapa pengamat, poligami bisa menjadi hambatan bagi
kemajuan peradaban, dan ancaman bagi tatanan sosial, stabilitas politik, serta
menjadi hambatan bagi perkembangan peradaban manusia menuju kepada kebebasan,
kesederajatan, dan pemerintahan yang demokratis.[17]
Beberapa sejarahwan dan ilmuwan
modern juga melihat bahaya poligami bagi wanita-wanita muda. Para wanita muda
ini dipaksa untuk menikah di usia dini dengan pria yang usianya jauh lebih tua.
Dalam kehidupan berumahtangga oleh istri-istri lain ia dipandang sebagai rival,
dan ia juga dilihat sebagai budak saingan. Mereka (para isteri) juga secara
periodik dieksploitasi secara seksual dan dilihat hanya sebagai mesin prokreasi.
Mereka dipaksa untuk mencukupkan diri mereka dan anak-anaknya dengan sumber
daya yang terbatas, karena masih ada wanita-wanita dan anak-anak lain yang
kemudian masuk ke dalam rumah tangga tanpa mereka harapkan. Jika mereka
memprotes keadaan mereka, maka mereka akan diusir dari rumah, dan akan sulit bagi
mereka untuk bertahan hidup tanpa bantuan orang lain karena mereka tak memiliki
harta dan tak berpendidikan.[18]
Anak-anak juga disakiti oleh praktik
poligami. Sebagaimana dinyatakan oleh para sejarahwan dan ilmuwan modern, sejak
kecil anak-anak sudah bersaing dengan
ibu-ibunya dan dengan saudara-saudarinya demi mendapat perhatian dan afeksi
dari kepala keluarga. Mereka dicabut dari model-model kekuasaan dan kebebasan
yang sehat, dari kesederajatan, kesetiaan, dan cintakasih keluarga, yang adalah
dasar bagi perkembangan mereka sebagai calon mempelai di masa depan, serta sebagai
masyarakat dan sebagai pemimpin di masa depan. Mereka juga terluka karena
kekurangan sumber daya yang dapat mendukung pertumbuhan, pendidikan, perhatian,
dan segala sesuatu yang menunjang pertumbuhan mereka untuk menjadi seorang
manusia dewasa yang sehat.[19]
Poligami juga melukai para pria,
sebab dalam poligami yang didewakan adalah pria yang kaya secara materi, bukan
yang sehat secara fisik, psikis, dan berkeutamaan. “Pria yang kalah bersaing” dengan
kesempatan nikah yang lebih sedikit kemudian menjerumuskan dirinya ke
prostitusi dan tindakan-tindakan seksual menyimpang lainnya. Poligami juga membakar
nafsu birahi seorang pria. Ketika ia menambah seorang istri, ia akan tergoda
untuk menambahnya lagi, sekalipun itu adalah istri dari pria lain. Poligami
juga mencabut pria dari ikatan persahabatan dan persekutuan yang eksklusif
dalam perkawinan, yang dipandang oleh para ahli sebagai elemen penting dalam
kesehatan fisik, psikis, moral, dan spiritual seorang pria.[20]
Tokoh-tokoh
dalam Kitab Suci yang mempraktikkan poligami juga tidak berhasil baik dalam
kehidupan berumah tangganya. Sebut saja Daud yang kemudian membunuh Uria demi
mendapatkan Betsyeba, ketidakharmonisan antara Rahel dan Lea dalam rumah tangga
Yakub, atau ketidakharmonisan antara Sarah dan Hagar dalam rumah tangga
Abraham, atau anak-anak Raja Salomo yang saling memperkosa dan membunuh satu
sama lain.[21]
Dari hasil penelitiannya di 170
negara tentang poligami, entah di negara Barat dengan sistem demokrasinya atau
pun di negara-negara sub-Sahara Afrika, Rose McDermott menyimpulkan bahwa di
semua komunitas poligami “tingkat pelecehan fisik dan seksual terhadap wanita
sangat tinggi, angka kematian ibu juga tinggi, rendahnya angka harapan hidup
wanita, pendidikan yang rendah bagi anak-anak, rendahnya derajat wanita,
tingginya angka diskriminasi atas wanita, tingginya angka mutilasi alat kelamin
pada wanita, tingginya angka perdagangan perempuan, dan kebebasan sipil dan
politik masyarakat sangat rendah”.[22]
5.
Relevansi
Perkawinan Monogami
Berdasarkan
fakta-fakta yang telah dipaparkan, kita bisa melihat betapa mengerikan praktik
poligami. Apa yang dihasilkan bukannya kesejahteraan, melainkan penganiayaan,
pelecehan, dan penindasan. Keluarga yang seharusnya menjadi rumah bagi
terwujudnya cinta kasih, justru menjelma menjadi neraka. Wanita dan anak-anak
terus tinggal dalam tekanan dan ketakutan, sedangkan para suami bisa bertindak
sesuka hati, sekalipun tindakan mereka melanggar hak asasi manusia. Tindakan
bejat para suami ditutupi dengan topeng yang bernama tradisi. Atas nama tradisi
(adat istiadat) praktik poligami (yang menurut saya tidak lagi relevan)
dipelihara dan dijalankan. Dari fakta-fakta tersebut paling kurang bisa kita simpulkan
bahwa perkawinan monogami kiranya lebih rasional dan masuk akal untuk
dipraktikkan. Nilai-nilai kemanusiaan dan religius (kekristenan) yang sungguh
diabaikan di dalam perkawinan poligami justru terwujud di dalam perkawinan
monogami, sebab perkawinan monogami sangat menekankan kebebasan, kesetiaan, dan
kesetaraan.
Di
dalam audiensinya pada tanggal 24 Oktober 2018, Paus Fransiskus yang saat itu
berbicara tentang perintah keenam (larangan berzinah) dalam sepuluh perintah
Allah menekankan pentingnya kesetiaan, baik di dalam kehidupan sehari-hari, dan
juga terutama di dalam hidup perkawinan
“Kesetiaan adalah tanda kebebasan, kedewasaan, dan tanggung jawab dalam relasi yang
menolak segala jenis bentuk ingat diri
dan merupakan tanda pemberian diri yang tulus.
Setiap orang merindukan kasih, dan kasih yang autentik adalah cerminan kasih
Allah yang kekal. Secara partikular cinta kasih di dalam perkawinan merupakan
partisipasi khusus dalam kasih Kristus yang abadi kepada Gereja. Janji
kesetiaan yang diungkapkan oleh suami-istri di dalam janji pernikahan mereka
adalah bentuk komitmen mereka untuk
secara terus-menerus memurnikan hati dari segala macam sikap tidak setia dan
tidak saling percaya, serta menjadi komitmen mereka untuk bertumbuh di dalam
iman dan persatuan yang terus menerus
dengan Tuhan”.[23]
Soal
kesetiaan, sebagaimana digarisbawahi oleh Paus Fransiskus, kiranya menjadi
dasar bagi terwujudnya perkawinan monogami. Perkawinan monogami adalah cara
hidup yang paling memungkinkan terwujudnya cintakasih dan kesetaraan di dalam
perkawinan. Di dalam perkawinan monogami, pria dan wanita, secara bebas (dalam
cinta kasih) memberi diri untuk mengungkapkan janji pernikahan. Hal ini tentu
berbanding terbalik dengan perkawinan poligami yang biasanya terjadi secara
sepihak dan terpaksa.
Selain
itu, pernyataan Paus Fransiskus juga memberi nilai sakral pada perkawinan.
Perkawinan tidak semata-mata berciri manusiawi (relasi antar manusia), lebih
dari itu perkawinan juga memiliki dimensi ilahi. Relasi perkawinan suami-isteri
hanya mungkin bertahan apabila perkawinan ini selalu didasarkan pada relasi
dengan Tuhan yang telah mempersatukan kedua insan dalam ikatan perkawinan. Hal
lain yang juga ditegaskan Paus Fransiskus adalah pentingnya menjaga komitmen,
yaitu komitmen untuk setia pada janji perkawinan mereka, dan untuk secara
terus-menerus memurnikan hati dari sikap tidak setia. Kesetiaan pada komitmen
inilah yang kiranya mulai luntur dan sulit dijumpai pada generasi sekarang,
padahal hanya dengan komitmen monogamitas perkawinan Katolik dapat
dipertahankan.
Di
dalam perkawinan poligami, yang ada hanyalah sikap ingat diri dari pihak yang berkuasa. Pihak yang berkuasa (biasanya
pria) dapat secara bebas dan sesuka hati menambah jumlah istrinya, dan motif di
balik semua itu tentu nafsu seks yang tak tertahankan. Wanita hanya dilihat
sebagai objek pemuas nafsu, tidak lebih.
Sebaliknya, di dalam perkawinan monogami kesetaraan dijunjung tinggi, sebab
masing-masing pihak mengikatkan diri di dalam janji pernikahan berdasarkan
kebebasan yang ia miliki dan dengan sukarela tanpa adanya paksaan. Selain itu,
di dalam perkawinan monogami, intensitas kesatuan kasih dapat diwujudkan secara
optimal dan mendalam. Tidak ada pihak yang dinomorduakan sebab istri memiliki derajat
yang sama dengan suaminya, dan karenanya suami-isteri dapat memberikan diri
secara total satu sama lain.
Daftar Pustaka
Sumber
Buku dan Dokumen
Aman, Dr. Petrus C. OFM. Diktat
Moral Keluarga. Jakarta: STF Driyarkara.
Dokumen Konsili
Vatikan II. Jakarta: Penerbit Obor. 1993.
Groenen, Dr. Cletus, OFM. Perkawinan Sakramental. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1993.
Kitab Hukum
Kanonik. Jakarta: Penerbit Obor. 1991.
Witte,
Jr. John. The Western Case for Monogamy Over Polygamy. New York: Cambridge University Press. 2015.
Sumber
Internet
http://www.jurnalhukum.com/asas-monogami-dan-izin-berpoligami-dalam-perkawinan/
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2018/documents/papa-francesco_20181024_udienza-generale.html
[2] John Witte, Jr, The Western Case
for Monogamy Over Polygamy, New
York: Cambridge University Press, 2015, hal. 282-283.
[5] Dr. Cletus Groenen, OFM, Perkawinan Sakramental, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1993, hal. 68-69.
[11] Kan. 1055
berbunyi: “Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka
kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodrati perjanjian itu terarah pada
kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus
Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke
martabat Sakramen”. (Kitab Hukum Kanonik,
Jakarta: Obor, 1991, kan. 1055.)
[13] DS. 1802: 1789, dalam Dr. Petrus
C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta:
STF Driyarkara, hal. 9.
[15] http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/hukum-gereja-mengenai-pernikahan-katolik
[23] http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2018/documents/papa-francesco_20181024_udienza-generale.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar