Senin, 04 November 2019

Tantangan dan Relevansi Perkawinan Monogami




Secara garis besar terdapat beberapa hal yang kiranya menjadi tantangan bagi kehidupan perkawinan Katolik dewasa ini, sebagaimana digambarkan oleh Gaudium et Spes art. 47. Tantangan-tantangan tersebut ialah bahaya poligami, percintaan bebas, malapetaka perceraian, cinta diri, gila kenikmatan, dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Isu-isu tersebut jelas bertentangan dengan prinsip perkawinan yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyangkal bahwa isu-isu tersebut sudah ada sejak berdirinya Gereja dan senantiasa menjadi tantangan bagi kehidupan perkawinan Katolik. Termasuk dalam hal ini ialah isu poligami yang dianut oleh kebudayaan atau tradisi tertentu.
Monogamitas perkawinan Katolik didasarkan pada hakekat perkawinan yakni kesatuan seorang pria dan seorang wanita di mana mereka menjadi satu daging. Penekanannya ialah bahwa intensitas kesatuan kasih yang optimal dan mendalam hanya dapat terjadi dalam perkawinan monogam. Selain itu monogamitas juga didasarkan pada pengakuan dan penghargaan terhadap kesamaan derajat dan martabat pria dan wanita (Bdk. FC.19). Gaudium et Spes art. 49 dengan amat tegas mengemukakan: “lagi pula kesamaan martabat antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh purna, jelas sekali nampaklah kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan”.[1]

1.                  Praktik Poligami
Tantangan bagi berlangsungnya praktik perkawinan monogami berasal dari beragam hal. Kebudayaan bisa dipandang sebagai salah satu sumber munculnya praktik poligami. Di dalam kebudayaan tertentu, misalnya di dalam kebudayaan-kebudayaan di Asia, Afrika, dan Yahudi poligami adalah sesuatu yang lumrah dan bukan sesuatu yang tabu. Misalnya saja sebagaimana dicatat oleh seorang penjelajah bernama John Leo (1490-1550) dalam perjalanannya ke Afrika Utara. Di komunitas-komunitas yang mempraktikkan poligami, seorang pria bisa mencari wanita sesuka hatinya demi memuaskan nafsu seksualnya, dan kemudian menyeret wanita itu ke rumahnya untuk dijadikan gundik, sekalipun ia telah memiliki beberapa istri dan beberapa gundik. Praktik ini kemudian diwariskan turun-temurun.[2]
Di masa kini praktik poligami pun masih banyak terjadi, termasuk di negara-negara Eropa. Di sebagian besar negara-negara Eropa permasalahan tentang perkawinan (termasuk poligami) erat kaitannya dengan problem imigrasi, sebab sebagian besar pelaku praktik poligami adalah para imigran dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia, dan sebagian besar dari mereka adalah kaum Muslim. Misalnya saja Prancis yang menjadi rumah bagi 20.000 keluarga poligami. Terhitung sejak abad 19 banyak negara yang melarang praktik poligami karena dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat (Mis. Thailand, Jepang, China, Uni Soviet, dan Nepal). Akan tetapi negara-negara tersebut hanya merupakan 15-20 persen dari kurang lebih 1.200 kebudayaan di dunia. Sisanya (75-85 persen) mengakui poligami sebagai bentuk yang sah dalam perkawinan.[3]
Jika dilihat secara lebih kritis, praktik poligami dalam kebudayaan tertentu sebenarnya bersumber pada pandangan masyarakat (atau budaya) yang cenderung menekankan superioritas jenis kelamin tertentu (terutama superioritas pria atas wanita). Misalnya saja masyarakat Yahudi yang menempatkan kaum wanita di samping budak dan hewan ternak. Dalam hal ini tidak ada kesetaraan antara pria dan wanita, dan wanita dalam relasi suami-istri hanya dilihat semata-mata sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam relasi perkawinan.
Selain itu, praktik poligami juga didukung oleh sistem prundang-undangan suatu negara, misalnya sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Dalam UU Perkawinan Pasal 3 ayat 1, poligami diizinkan dengan ketentuan: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.[4] Istri tak ubahnya barang habis pakai, dilihat semata-mata hanya sejauh ia memiliki nilai guna bagi sang suami. Begitu ia tak mampu lagi memenuhi “kewajibannya” sebagai seorang istri maka berakhir pula nilainya sebagai seorang manusia. Ia menjadi tak ubahnya barang yang siap untuk ditinggalkan atau dibuang.



2.                  Dasar Biblis
Jika secara sepintas melihat teks-teks Kitab Suci, tampaknya praktik poligami adalah sesuatu yang lumrah dalam kisah-kisah Kitab Suci. Beberapa tokoh terkenal seperti Abraham, Yakub, Daud, dan Salomo, memiliki lebih dari satu istri. Jika dibaca secara literer tanpa memperhatikan konteks historis dan kebudayaan kisah-kisah tersebut, maka bisa jadi kita beranggapan bahwa Kitab Suci mendukung praktik poligami. Akan tetapi teks-teks tersebut perlu dibaca secara cerdas dengan memperhatikan konteks budaya dan konteks historis kisah-kisah tersebut.
Praktik poligami adalah hal lazim bagi masyarakat Israel. Hukum mengizinkan (namun tidak menyuruh) poligami (Ul. 22:28-29, 21:15). Yakub digambarkan berpoligami, beristrikan Rahel dan Lea di saat yang bersamaan (Kej. 20-30). Daud memiliki beberapa istri dan gundik (2Sam 3:2-5, 5:13, 15:16. 16:21-22). Salomo memelihara suatu harim yang besar sekali (1Raj. 11:1,8). Imam besar Yoyada mengusahakan dua istri untuk raja Yoas (2Taw. 24:3). Tampaknya semua raja Israel berpoligami (bdk. 2Taw. 11:21, 13:25, 24:3, 2Raj. 23:31, 34:36, dsb.). Di dalam Perjanjian Lama tidak tersedia sebuah statistik mengenai poligami yang berlangsung di kalangan rakyat biasa. Di dalam kitab-kitab Taurat tampaknya monogamilah yang lazim dipraktikkan. Bisa jadi, atas dasar ekonomi (mas kawin) rakyat biasa tidak mungkin berpoligami, meskipun pada prinsipnya diperbolehkan.[5]
Pada umumnya kedudukan perempuan di dalam masyarakat sosio-religius Israel sangat rendah, dan hal ini dianggap lazim di dalam masyarakat dengan sistem patrilineal. Dalam rangka perkawinan, hukum menuntut kesetiaan mutlak sang istri. Kalau tidak setia pada suaminya ia bisa dihukum mati (Ul. 22:22, Yer. 3:11). Hal yang sama tidak berlaku bagi pria. Dikatakan juga bahwa menurut hukum Israel istri menjadi “milik” suami. Istri ditempatkan di samping budak, ternak, dan milik lain, namun ia tidak pernah dapat dijual (Ul. 5:21). Hukum Israel senantiasa menempatkan wanita di bawah kuasa laki-laki. Pria berhak berpoligami dan menceraikan istrinya, tetapi wanita tidak memiliki hak seperti itu.[6]
Di sisi lain monogami juga diterima dan dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan lebih diutamakan sebab sesuai dengan kehendak awal penciptaan (Kej. 2:21-24).  Di dalam kisah penciptaan, Allah menciptakan manusia (pria dan wanita) seturut gambar dan rupa-Nya. Kesatuan antara keduanya termasuk bagian dari rencana penciptaan Allah (Kej. 1:27). Persekutuan keduanya berpuncak pada pemberian diri timbal-balik, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej.2: 24). Gambaran tentang “satu daging” ini menjadi isyarat perkawinan monogam sebagai perkawinan yang ideal, kendati selalu tak terwujud di dalam masyarakat Israel.[7]
Sikap diskriminatif terhadap wanita juga tetap berlangsung sampai pada zaman Yesus, namun Yesus sendiri hendak mengakhirinya. Sikap inilah (egaliter) yang mendasari pandangan dan ajaran Yesus berkaitan dengan perkawinan, selibat, perzinahan, dan perceraian.[8] Yesus tidak menolak dan mengutuk perkawinan, serta menganggap seks sebagai seuatu yang jahat. Bahkan dalam Mrk. 10:1-12 dan Mat. 19:1-12 Yesus melarang perceraian. Yesus bahkan menegaskan bahwa Allah sendiri menjadikan manusia pria dan wanita (mengacu pada Kej. 1:27).
Pembedaan seksual (antara pria dan wanita), menurut Yesus adalah kehendak Allah Sang Pencipta. Menjadi pria dan wanita adalah karakter manusia dan bukan hal sekunder semata. Seksualitas adalah bagian dari penciptaan Allah sejak semula. Yesus mengatakan bahwa mereka yang diciptakan sebagai pria dan wanita oleh Allah menjadi satu dalam perkawinan: “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mrk. 10:7-8).
Jika Allah sendiri mempersatukan suami-isteri dalam lembaga perkawinan, maka perkawinan tidak lagi sekadar urusan pribadi, kesepakatan sosial, atau suatu kejadian yang membahagiakan atau tidak membahagiakan. Allah memainkan peran di sana. Ikatan perkawinan yang dikehendaki Allah diungkapkan dalam nada yang selaras dengan PL: “satu daging” (Mrk. 10:8), “dipersatukan” (Mat. 19:5). Ini berarti persatuan pribadi yang mutlak, suatu sharing dan pengabdian total yang begitu kuat sehingga pria (dan wanita) dapat memutuskan ikatan dengan orang tua.[9]
Dalam kisah-kisah Injil Yesus juga melarang perceraian dan menyamakan perceraian dengan perzinahan. Ajaran ini didasarkan pada rancangan penciptaan Allah (Mrk. 10:6-9, Mat. 19:4-6). Titik penting dari bagian ini adalah bahwa Yesus memutuskan segala macam penentuan benar salah, tetapi kembali ke perintah Allah yang sederhana dan tidak ambigu. Allah mendirikan perkawinan sebagai persatuan tetap suami-isteri. Allah mengkehendaki agar perkawinan dilindungi karena Ia ingin membebaskan wanita dari peran mereka sebagai pemuas nafsu lelaki. Perkawinan mencakup di dalamnya pengendalian diri dan komitmen mutlak, dan bukan mengumbar nafsu yang menyebabkan rusaknya hasrat cinta dan perkawinan itu sendiri.[10]

3.                  Pandangan Gereja Katolik
Gereja Katolik tidak memandang perkawinan sebagai sebuah kontrak, melainkan sebagai perjanjian. Hal ini tampak dalam pernyataan KHK no. 1055 yang mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.[11]  Arti perjanjian nikah adalah kesepakatan membuat perkawinan. Tidak pernah ada perkawinan tanpa kesepakatan. Kesepakatan tersebut bersifat bilateral. Dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum, serta secara bebas. Dalam perjanjian perkawinan unsur yang sangat mutlak perlu adalah kesepakatan.[12] Selain itu, Gereja Katolik juga sangat menjunjung martabat perkawinan dan memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci. Sebagaimana diungkapkan dalam GS 48:
“Persekuatuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta perkawinan yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan”.

Perkawinan Katolik bukan semata-mata persetujuan dan persekutuan manusia, namun Allah turut terlibat di dalamnya. Dalam Konsili Trente praktik poligami ditolak. Konsili Trente dengan tajam menegaskan: “setiap orang yang berkata bahwa poligami tidak dilarang oleh hukum ilahi, terkutuklah dia (anathema)”.[13] Di samping itu di dalam KHK no. 1056 juga dijabarkan sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik, yaitu monogam dan tak terceraikan (indissolubile).[14] Monogam artinya satu laki-laki dengan satu perempuan, sedangkan indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian.[15] Kesetiaan perkawinan (kesetiaan pada satu pasangan) berjalan bersamaan dengan ketidakterceraian perkawinan. Kedua ciri ini berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Gereja Katolik secara tegas dan jelas menolak poligami (lebih dari satu istri) dan mengharuskan monogami (satu istri) bagi setiap pasangan Katolik.

4.                  Bahaya Praktik Poligami
            Kesadaran tentang bahaya poligami terutama muncul di negara-negara Barat yang sangat dipengaruhi oleh kultur Kekristenan. Negara-negara Barat lebih melihat perkawinan sebagai persatuan antara seorang pria dan seorang wanita dengan kecocokan, kecakapan, dan kebebasan untuk menjalin ikatan perkawinan. Misalnya saja European Council (EU) yang menuntut persamaan gender dan mengutuk poligami karena mengabaikan hak-hak perempuan, dan bahkan hak anak-anak.  
EU juga mengelompokkan poligami dengan “perbudakan dan kejahatan-kejahatan lain yang mengatasnamakan penghormatan terhadap adat-istiadat, kekerasan, perdagangan manusia, mutilasi alat kelamin wanita, pemaksaan terhadap perkawinan, dan perampasan identitas/deprivation of identity (misalnya ketika wanita dipaksa menggunakan burka, nigab, dan penutup wajah).[16] Selain itu poligami juga dinilai menjadi sumber dari beragam bentuk kekerasan dan pelecehan. Bahkan bagi beberapa pengamat, poligami bisa menjadi hambatan bagi kemajuan peradaban, dan ancaman bagi tatanan sosial, stabilitas politik, serta menjadi hambatan bagi perkembangan peradaban manusia menuju kepada kebebasan, kesederajatan, dan pemerintahan yang demokratis.[17]
            Beberapa sejarahwan dan ilmuwan modern juga melihat bahaya poligami bagi wanita-wanita muda. Para wanita muda ini dipaksa untuk menikah di usia dini dengan pria yang usianya jauh lebih tua. Dalam kehidupan berumahtangga oleh istri-istri lain ia dipandang sebagai rival, dan ia juga dilihat sebagai budak saingan. Mereka (para isteri) juga secara periodik dieksploitasi secara seksual dan dilihat hanya sebagai mesin prokreasi. Mereka dipaksa untuk mencukupkan diri mereka dan anak-anaknya dengan sumber daya yang terbatas, karena masih ada wanita-wanita dan anak-anak lain yang kemudian masuk ke dalam rumah tangga tanpa mereka harapkan. Jika mereka memprotes keadaan mereka, maka mereka akan diusir dari rumah, dan akan sulit bagi mereka untuk bertahan hidup tanpa bantuan orang lain karena mereka tak memiliki harta dan tak berpendidikan.[18]
            Anak-anak juga disakiti oleh praktik poligami. Sebagaimana dinyatakan oleh para sejarahwan dan ilmuwan modern, sejak kecil anak-anak sudah  bersaing dengan ibu-ibunya dan dengan saudara-saudarinya demi mendapat perhatian dan afeksi dari kepala keluarga. Mereka dicabut dari model-model kekuasaan dan kebebasan yang sehat, dari kesederajatan, kesetiaan, dan cintakasih keluarga, yang adalah dasar bagi perkembangan mereka sebagai calon mempelai di masa depan, serta sebagai masyarakat dan sebagai pemimpin di masa depan. Mereka juga terluka karena kekurangan sumber daya yang dapat mendukung pertumbuhan, pendidikan, perhatian, dan segala sesuatu yang menunjang pertumbuhan mereka untuk menjadi seorang manusia dewasa yang sehat.[19]
            Poligami juga melukai para pria, sebab dalam poligami yang didewakan adalah pria yang kaya secara materi, bukan yang sehat secara fisik, psikis, dan berkeutamaan. “Pria yang kalah bersaing” dengan kesempatan nikah yang lebih sedikit kemudian menjerumuskan dirinya ke prostitusi dan tindakan-tindakan seksual menyimpang lainnya. Poligami juga membakar nafsu birahi seorang pria. Ketika ia menambah seorang istri, ia akan tergoda untuk menambahnya lagi, sekalipun itu adalah istri dari pria lain. Poligami juga mencabut pria dari ikatan persahabatan dan persekutuan yang eksklusif dalam perkawinan, yang dipandang oleh para ahli sebagai elemen penting dalam kesehatan fisik, psikis, moral, dan spiritual seorang pria.[20]
Tokoh-tokoh dalam Kitab Suci yang mempraktikkan poligami juga tidak berhasil baik dalam kehidupan berumah tangganya. Sebut saja Daud yang kemudian membunuh Uria demi mendapatkan Betsyeba, ketidakharmonisan antara Rahel dan Lea dalam rumah tangga Yakub, atau ketidakharmonisan antara Sarah dan Hagar dalam rumah tangga Abraham, atau anak-anak Raja Salomo yang saling memperkosa dan membunuh satu sama lain.[21]
            Dari hasil penelitiannya di 170 negara tentang poligami, entah di negara Barat dengan sistem demokrasinya atau pun di negara-negara sub-Sahara Afrika, Rose McDermott menyimpulkan bahwa di semua komunitas poligami “tingkat pelecehan fisik dan seksual terhadap wanita sangat tinggi, angka kematian ibu juga tinggi, rendahnya angka harapan hidup wanita, pendidikan yang rendah bagi anak-anak, rendahnya derajat wanita, tingginya angka diskriminasi atas wanita, tingginya angka mutilasi alat kelamin pada wanita, tingginya angka perdagangan perempuan, dan kebebasan sipil dan politik masyarakat sangat rendah”.[22]

5.                  Relevansi Perkawinan Monogami
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan, kita bisa melihat betapa mengerikan praktik poligami. Apa yang dihasilkan bukannya kesejahteraan, melainkan penganiayaan, pelecehan, dan penindasan. Keluarga yang seharusnya menjadi rumah bagi terwujudnya cinta kasih, justru menjelma menjadi neraka. Wanita dan anak-anak terus tinggal dalam tekanan dan ketakutan, sedangkan para suami bisa bertindak sesuka hati, sekalipun tindakan mereka melanggar hak asasi manusia. Tindakan bejat para suami ditutupi dengan topeng yang bernama tradisi. Atas nama tradisi (adat istiadat) praktik poligami (yang menurut saya tidak lagi relevan) dipelihara dan dijalankan. Dari fakta-fakta tersebut paling kurang bisa kita simpulkan bahwa perkawinan monogami kiranya lebih rasional dan masuk akal untuk dipraktikkan. Nilai-nilai kemanusiaan dan religius (kekristenan) yang sungguh diabaikan di dalam perkawinan poligami justru terwujud di dalam perkawinan monogami, sebab perkawinan monogami sangat menekankan kebebasan, kesetiaan, dan kesetaraan.
Di dalam audiensinya pada tanggal 24 Oktober 2018, Paus Fransiskus yang saat itu berbicara tentang perintah keenam (larangan berzinah) dalam sepuluh perintah Allah menekankan pentingnya kesetiaan, baik di dalam kehidupan sehari-hari, dan juga terutama di dalam hidup perkawinan
Kesetiaan adalah tanda kebebasan, kedewasaan, dan tanggung jawab dalam relasi yang menolak segala jenis bentuk ingat diri dan merupakan tanda pemberian diri yang tulus. Setiap orang merindukan kasih, dan kasih yang autentik adalah cerminan kasih Allah yang kekal. Secara partikular cinta kasih di dalam perkawinan merupakan partisipasi khusus dalam kasih Kristus yang abadi kepada Gereja. Janji kesetiaan yang diungkapkan oleh suami-istri di dalam janji pernikahan mereka adalah bentuk komitmen mereka untuk secara terus-menerus memurnikan hati dari segala macam sikap tidak setia dan tidak saling percaya, serta menjadi komitmen mereka untuk bertumbuh di dalam iman dan persatuan yang terus menerus dengan Tuhan”.[23]

Soal kesetiaan, sebagaimana digarisbawahi oleh Paus Fransiskus, kiranya menjadi dasar bagi terwujudnya perkawinan monogami. Perkawinan monogami adalah cara hidup yang paling memungkinkan terwujudnya cintakasih dan kesetaraan di dalam perkawinan. Di dalam perkawinan monogami, pria dan wanita, secara bebas (dalam cinta kasih) memberi diri untuk mengungkapkan janji pernikahan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan perkawinan poligami yang biasanya terjadi secara sepihak dan terpaksa.
Selain itu, pernyataan Paus Fransiskus juga memberi nilai sakral pada perkawinan. Perkawinan tidak semata-mata berciri manusiawi (relasi antar manusia), lebih dari itu perkawinan juga memiliki dimensi ilahi. Relasi perkawinan suami-isteri hanya mungkin bertahan apabila perkawinan ini selalu didasarkan pada relasi dengan Tuhan yang telah mempersatukan kedua insan dalam ikatan perkawinan. Hal lain yang juga ditegaskan Paus Fransiskus adalah pentingnya menjaga komitmen, yaitu komitmen untuk setia pada janji perkawinan mereka, dan untuk secara terus-menerus memurnikan hati dari sikap tidak setia. Kesetiaan pada komitmen inilah yang kiranya mulai luntur dan sulit dijumpai pada generasi sekarang, padahal hanya dengan komitmen monogamitas perkawinan Katolik dapat dipertahankan.
Di dalam perkawinan poligami, yang ada hanyalah sikap ingat diri dari pihak yang berkuasa. Pihak yang berkuasa (biasanya pria) dapat secara bebas dan sesuka hati menambah jumlah istrinya, dan motif di balik semua itu tentu nafsu seks yang tak tertahankan. Wanita hanya dilihat sebagai objek pemuas nafsu, tidak  lebih. Sebaliknya, di dalam perkawinan monogami kesetaraan dijunjung tinggi, sebab masing-masing pihak mengikatkan diri di dalam janji pernikahan berdasarkan kebebasan yang ia miliki dan dengan sukarela tanpa adanya paksaan. Selain itu, di dalam perkawinan monogami, intensitas kesatuan kasih dapat diwujudkan secara optimal dan mendalam. Tidak ada pihak yang dinomorduakan sebab istri memiliki derajat yang sama dengan suaminya, dan karenanya suami-isteri dapat memberikan diri secara total satu sama lain.

Daftar Pustaka

Sumber Buku dan Dokumen
Aman, Dr. Petrus C. OFM.  Diktat Moral Keluarga. Jakarta: STF Driyarkara.
Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Penerbit Obor. 1993.
Groenen, Dr. Cletus, OFM. Perkawinan Sakramental. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1993.
Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Penerbit Obor. 1991.
Witte, Jr. John. The Western Case for Monogamy Over Polygamy. New York: Cambridge University Press. 2015.

Sumber Internet
http://www.jurnalhukum.com/asas-monogami-dan-izin-berpoligami-dalam-perkawinan/


[1] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 10.
[2] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, New York: Cambridge University Press, 2015, hal. 282-283.
[3] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 15, 17
[4] http://www.jurnalhukum.com/asas-monogami-dan-izin-berpoligami-dalam-perkawinan/
[5] Dr. Cletus Groenen, OFM, Perkawinan Sakramental, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993, hal. 68-69.
[6] Dr. Cletus Groenen, OFM, Perkawinan Sakramental, hal. 72-73.
[7] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 3.
[8] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 6-7.
[9] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 7.
[10] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 11.
[11] Kan. 1055 berbunyi: “Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodrati perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen”. (Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: Obor, 1991, kan. 1055.)
[12] Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 12.
[13] DS. 1802: 1789, dalam Dr. Petrus C. Aman, OFM, Diktat Moral Keluarga, Jakarta: STF Driyarkara, hal. 9.
[14] Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: Obor, 1991, kan. 1056.
[15] http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/hukum-gereja-mengenai-pernikahan-katolik
[16] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 16.
[17] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 22.
[18] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 22.
[19] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 22.
[20] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 22.
[21] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 23.
[22] John Witte, Jr, The Western Case for Monogamy Over Polygamy, hal. 23.
[23] http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2018/documents/papa-francesco_20181024_udienza-generale.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar