Senin, 04 November 2019

Rahmat dan Keselamatan Menurut Karl Rahner



1.                  Riwayat Hidup dan Konteks Pemikiran Karl Rahner[1]
Karl Rahner adalah salah satu teolog Katolik yang sangat berpengaruh di abad 20. Ia lahir pada 5 Maret 1904 di Freiburg, Breisgau, Jerman. Tahun 1922, setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah, ia masuk Serikat Yesus. Tahun 1924-1933 ia menempuh studi Filsafat di Feldkirch (Austria) dan Pullach (Jerman), serta studi teologi di Valkenburg (Belanda). Setelah menyelesaikan studi filsafat dan teologi, tahun 1932 ia ditahbiskan menjadi imam Yesuit, dan pada tahun 1934-1936 ia melanjutkan studi Filsafat di Freiburg, dan semasa di Freiburg pula ia mengikuti seminar-seminar Martin Heidegger.
Tesis doktoralnya, yang menjadi landasan karya filosofis Spirit in the World, ditolak oleh pembimbing disertasinya, Martin Honecker. Kreativitasnya dalam menghubungkan pengetahuan metafisis Thomas Aquinas dengan wawasan filsafat modern (secara khusus dalam pemikiran Kant dan Heidegger) dianggap berlebihan oleh Martin Honecker yang menggunakan pendekatan skolastik tradisional. Ia kemudian pindah ke Innsbruck dan melanjutkan disertasi tersebut di bidang teologi.
Rahner juga menjadi pengajar di Universitas Pullach, Innsbruck, dan Muenster. Selain itu, pada tahun 1962-1965 ia menjadi peritus (penasihat teologis) dalam konsili Vatikan II. Tahun 1957-1968 ia menjadi editor Lexikon fuer Theologie und Kirche (Lexicon For Theology and the Church), dan pada 1968-1970 menjadi editor Sacramentum Mundi (Sacrament of the World). Setelah perayaan ulang tahun ke 80, pada 31 Maret 1984 Rahner meninggal di Innsbruck, Austria. Di samping Spirit in the World (1939), karya-karyanya yang lain mencakup Encounters with Silence (1938), Hearers of the Word (1941), Mission and Grace(1966), Foundations of Christian Faith (1976), dan Meditations on the Sacraments (1974), The Contents of Faith, serta 23 volume Theological Investigations (1951–1962).
Rahner dididik dalam era neo-skolastik, yang menghadirkan teologi Thomas Aquinas secara kering, statis, dan dalam bentuk yang abstrak, serta kurang terhubung dengan pengalaman manusia. Pendekatan ini ditolak Rahner. Dalam pemikiran neo-skolastik pewahyuan dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar pengalaman manusia. Dalam karya-karya awalnya, melalui metode transendentalnya, Rahner fokus untuk mendemonstrasikan bahwa pewahyuan, yang pertama-tama merupakan komunikasi diri Allah, dialami secara unthematic sebagai kesadaran akan ada yang tak terbatas yang kepadanya kita mengalami semua pengetahuan kategoris yang terbatas.
Allah bukanlah salah satu objek dari objek-objek lain pengetahuan kita, melainkan horizon tak terbatas yang melaluinya kita mengalami segala realitas yang lain. Dalam karyanya Hearer of the Word, Rahner fokus pada manusia yang secara konstitutif dipandangnya sebagai sebuah keterbukaan terhadap kemungkinan untuk mendengarkan komunikasi diri Allah. Refleksi antropologis ini (atau refleksi terhadap pengalaman manusia) adalah syarat untuk menerima pewahyuan Allah.
Beberapa komentator berpendapat bahwa pemikiran Rahner sangat dipengaruhi oleh Thomas Aquinas, Kant, Hegel, Heidegger, serta dua Thomist pada zamannya, yaitu Pierre Rousselot SJ dan Joseph Mare´chal SJ. Rahner sendiri menyebut bahwa Joseph Mare´chal SJ (yang berjasa dalam menghubungkan pemikiran Kant dan Aquinas) sebagai orang yang mempengaruhi pemikiran filosofisnya. Menurut beberapa murid Rahner, ketertarikan Mare´chal pada mistisisme dan pengalaman mistik, terutama bagaimana manusia kontemporer dapat mengalami Allah, menjadi topik yang sangat digemari Rahner.

2.                  Pandangan Karl Rahner tentang Rahmat
            Rahner memberi tekanan pada ciri teosentris rahmat, pada gratia increata (Allah sendiri sebagai sumber rahmat). Rahmat itu tidak lain adalah Allah sendiri serta pemberian diri-Nya, tindakan-Nya dalam sejarah demi keselamatan manusia. Motif dari semua itu adalah kasih dan keselamatan universal. Para teolog modern seperti Henri de Lubac, Hans Urs von Balthasar, dan termasuk Karl Rahner, melihat peristiwa rahmat identik dengan peristiwa wahyu, yang tidak lain adalah komunikasi dan pemberian diri Allah kepada manusia. Komunikasi dan pemberian diri yang berlangsung sepanjang  sejarah itu mencapai puncaknya pada pemberian diri Allah dalam diri Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus sedemikian rupa sehingga kasih Allah kepada manusia sungguh diberikan dan mendapat wujud historisnya.[2]
            Dalam Foundations of Christians Faith Rahner mengangkat tema komunikasi diri Allah. Apa yang dikomunikasikan oleh Allah kepada manusia bukan sesuatu tentang Allah, melainkan diri Allah sendiri. Dalam komunikasi diri ini Allah membuat realitasnya menjadi elemen pembentuk manusia yang paling dalam. Komunikasi diri Allah ini bersifat sebagai sebuah tawaran yang dapat diterima atau ditolak.[3] Untuk memahami konsep keselamatan menurut Rahner, kita perlu melihat bagaimana dia memahami relasi antara Allah dengan manusia. Titik berangkatnya adalah hasrat Allah untuk secara cuma-cuma mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia. Manusia diciptakan Allah sedemikian rupa sehingga manusia bisa menerima komunikasi diri Allah tersebut. Tujuan utama Allah menciptakan manusia ialah untuk membagikan rahmat, yang tidak lain adalah komunikasi diri-Nya. Rahner menegaskan; “Allah mengkomunikasikan diri-Nya untuk membagikan kasih yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri”.[4]
            Lebih jauh, menurut Rahner tawaran rahmat Allah haruslah berciri inkarnatoris (dialamatkan kepada roh dan materi) karena setiap manusia merupakan kesatuan antara roh dan materi. Bahkan bagi Rahner, sebelum peristiwa Kristus, komunikasi diri Allah yang berciri inkarnatoris ini juga sudah ternyatakan. Hal ini terutama terlihat dalam diri umat, sejarah, dan ajaran-ajaran umat Israel. Komunikasi diri Allah ini akhirnya memuncak pada perwujudan personal dalam inkarnasi Yesus Kristus. Mengikuti  Duns Scotus, Rahner meyakini motif dari inkarnasi tidak lain adalah kasih. Peristiwa inkarnasi tidak boleh direduksi maknanya pada pengampunan dosa saja. Allah juga tetap akan menjadi manusia seandainya manusia tidak berdosa, karena “hanya” dengan cara itulah ia dapat membagikan kasih-Nya pada manusia secara manusiawi.
            “Jadi, mengapa Allah menjadi manusia? Karena kasih tidak terbatas Allah bagi manusia ingin berada bersama manusia, tetapi itu hanya dapat terlaksana melalui cara yang manusiawi, yaitu bila ia menjadi manusia.[5] Jika alasan Allah berinkarnasi hanya karena disebabkan oleh dosa manusia, maka inkarnasi hanya bersifat sekunder dan luaran saja. Artinya inkarnasi bukan menjadi bagian integral dari rencana Allah. Rencana Allah untuk berinkarnasi sepenuhnya ditentukan oleh dosa manusia. Bagi Rahner penebusan mendahului dosa. Rencana Allah untuk memberikan diri-Nya kepada manusia tidak ditentukan dosa manusia, melainkan sudah direncanakan oleh Allah sejak awal.[6] Kematian di salib tidak dicari demi dirinya sendiri, tetapi karena itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung demi kasih, maka Yesus tidak lari darinya. Komunikasi diri Allah hadir di dalam diri setiap orang, paling kurang sebagai sebuah tawaran. Rahmat ini berciri Kristosentris, sebab Kristus menjadi puncak komunikasi diri Allah. Meskipun Rahner secara tegas mengafirmasi kehadiran rahmat ilahi di luar Kekristenan, namun ia tetap mempertahankan sentralitas Kristus dalam rencana keselamatan Allah.[7]
            Selanjutnya, Rahner melihat jalan utama bagi seseorang untuk menerima tawaran rahmat Allah ialah melalui kasih yang tulus kepada sesama. Bagi orang Kristen kasih kepada sesama berakar dan dikuatkan oleh relasi yang hidup dengan Allah melalui Kristus di dalam Roh Kudus. Bagi mereka yang bukan Kristen kasih kepada sesama juga merupakan cara berada rahmat di luar kekristenan. Bagi Rahner rahmat tersebut adalah rahmat Kristus, bahkan bagi mereka yang tidak secara eksplisit  meyakini ataupun mengenal Kristus.[8]
            Dengan menekankan rahmat yang berciri Kristosentris, Rahner mengangkat pertanyaan mengenai bagaimana berbicara tentang kehadiran Kristus di dalam agama-agama lain. Untuk menjawab pertanyaan ini Rahner kembali kepada argumen tentang kehadiran dan tindakan universal Roh Kudus. Kristus hadir dan bertindak di dalam diri orang-orang yang tidak beriman Kristiani dan yang berasal dari tradisi lain melalui dan di dalam Roh Kudus. Bertitik tolak dari sudut Trinitas, Roh Kudus yang dimaksud adalah Roh yang berasal dari Bapa dan Putera, dan karenanya Roh itu adalah Roh Kristus. Roh yang dikomunikasikan kepada setiap manusia berhembus dari peristiwa penyelamatan Yesus Kristus.[9]

3.                  Keselamatan bagi Non-Kristen
            Dalam Konsili Florence (1438 – 1445) persoalan “keselamatan di luar Gereja Katolik” kembali didiskusikan. Para Bapa Konsili kemudian menegaskan “tidak seorang pun di luar Gereja Katolik, baik kaum pagan, atau Yahudi, ataupun kaum heretik dan skismatik, dapat berpartisipasi di dalam kehidupan kekal. Sebaliknya mereka akan masuk ke dalam api kekal yang telah disiapkan bagi setan-setan, kecuali jika mereka menjadi anggota Gereja sebelum kematian mereka”. Akan tetapi pemahaman ini berubah seiring perjalanan waktu, terutama ketika muncul kesadaran bahwa jutaan orang bahkan belum mengenal iman Kristen, entah karena belum “diinjili” atau juga karena alasan lain, ataupun karena alasan tertentu mereka enggan untuk memeluk iman Kristen. Namun meskipun tidak beriman Kristen orang-orang ini bahkan hidupnya “lebih kristiani” dibandingkan orang Kristen itu sendiri. Pertanyaannya, apakah orang-orang ini tidak diselamatkan?
            Bagi Rahner doktrin tentang “kristen anonim” tidak secara sederhana berarti bahwa seseorang yang  tidak bertindak melawan kesadaran moralnya dapat dibenarkan dan secara pasti diselamatkan tanpa iman dalam pengertian teologis yang ketat. Sejalan dengan yang dikatakan Paus Pius XII dan Konsili Vatikan II, bahwa fides supernaturalis (iman adikodrati) dibutuhkan bahkan dalam kasus seorang Pagan yang dibenarkan. Iman adikodrati hanya dapat dimungkinkan oleh Allah, dan iman adikodrati itu adalah Allah sendiri.[10]
            Baginya iman adikodrati dibutuhkan untuk selamat. Keselamatan tidak mungkin dicapai kecuali manusia menyatukan hidupnya dengan Tuhan melalui keutamaan-keutamaan adikodrati, yaitu iman, harap, dan kasih. Lebih lanjut, menurut Rahner, dalam pandangan Kristiani keselamatan terkait erat dengan pribadi Kristus sedemikian rupa sehingga syarat yang dibutuhkan bagi keselamatan manusia adalah bersatu dengan Kristus. Manusia dikuduskan dan diselamatkan karena, di dalam Kristus, ia berbagi kehidupan ilahi. Lalu bagaimana orang-orang pagan dan non-Kristen memiliki iman? Dua hal perlu dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama kehendak Allah untuk menyelematkan semua orang, dan kedua relasi antara kodrat dan adikodrati.  
            Allah mengkehendaki setiap orang untuk selamat. Pandangan tentang keselamatan universal ini ia didasarkan pada teks 1Tim. 2:4: “itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran”. Doktrin ini sudah ada sejak Gereja berdiri. Allah mengkehendaki semua orang selamat tanpa terkecuali. Peristiwa penebusan Kristus tidak hanya dibatasi pada kelompok tertentu saja, dan karenanya Gereja bertanggung jawab untuk mewartakan Injil kepada semua bangsa. Hanya saja dalam periode waktu tertentu “kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang” oleh oknum-oknum tertentu dibatasi hanya kepada mereka yang menerima injil dan dibaptis menjadi anggota Gereja saja.
            Bagi Rahner tradisi-tradisi atau agama-agama di luar Kekristenan juga memiliki peran dalam mewujudkan keselamatan bagi anggota-anggotanya. Ketika seseorang dari agama atau tradisi di luar Kekristenan mengikuti petunjuk keselamatan melalui iman, harap, dan kasih, tradisi atau agama orang tersebut turut ikut ambil bagian dalam keselamatan orang itu. Jika seorang Muslim menerima tawaran rahmat Allah, maka tradisi dan praktik dalam Islam juga tentu turut ikut ambil bagian dalam proses penerimaan rahmat Allah itu. Ketika memberi kuliah kepada para misiolog di tahun 1975, Rahner menegaskan bahwa orang-orang dari tradisi yang berbeda (di luar Kristen) pewahyuan dan iman secara konkret dan secara keseluruhan terjadi hanya melalui mediasi realitas-realitas yang kategorial, institusional, dan verbal yang kita kenal sebagai agama-agama non-Kristen. Dengan demikian agama-agama tersebut dapat menjadi sarana tindakan penyelamatan. Ia menutup kuliahnya dengan kembali menegaskan bahwa rahmat Allah juga termanifestasikan dalam agama-agama lain dengan menjadikan agama-agama tersebut sebagai sarana-sarana keselamatan yang melaluinya manusia berjumpa dengan Allah dan Kristus.[11]
            Selanjutnya, Rahner mempertimbangkan pentingnya dinamika aktivitas roh manusia. Rahner menjadikan dinamika batiniah ini sebagai sebuah titik berangkatnya dan ia menyebutnya sebagai faktor “eksistensi adikodrati” di dalam diri manusia. Unsur dinamis di dalam pengalaman transendensi manusia ini murni bersifat adikodrati, bukan bersifat kodrati belaka. Karena bersifat adikodrati maka pengalaman transendensi ini berasal dari Allah dan diberikan kepada semua manusia (merujuk pada kehendak keselamatan universal Allah), maka tidak heran apabila mereka yang non-Kristen pun dapat melaksanakan tindakan-tindakan adikodrati, yaitu tindakan yang di dalam dirinya mengandung sebuah keterarahan kepada keselamatan adikodratinya di dalam Allah.[12] Rahmat iman adikodrati ini merupakan unsur eksistensial dari makhluk spiritual (manusia) dan dunia.
            Apa yang disampaikan Rahner sejalan dengan apa yang diyakini Gereja sebagaimana tertuang dalam Konstistusi Pastoral Gaudium et Spes no. 22 yang menegaskan peristiwa penebusan Kristus bukan hanya ditujukam kepada orang Kristiani saja, melainkan juga ditujukan kepada mereka yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tak kelihatan. Demiikian pula Roh Kudus yang membuka kemungkinan bagi semua orang  untuk bergabung dalam peristiwa paskah Kristus.

4.                  Kritik atas Rahner
            Kritik atas teori Kristen anonim Karl Rahner pertama-tama berkaitan dengan pemilihan frasa Kristen anonim itu sendiri dalam menjelaskan konsep keselamatan bagi orang-orang non-Kristen. Oleh beberapa ahli frasa tersebut dianggap kurang cocok untuk mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan. Bahkan Rahner sendiri secara terang-terangan mengakui kekurangan tersebut. Ia terbuka terhadap segala kemungkinan istilah yang kiranya lebih cocok untuk menggantikan istilah “Kristen anonim” dan lebih jelas dalam menjelaskan teorinya tentang keselamatan bagi orang-orang non-Kristen. Akan tetapi ia akan terus menggunakan istilah Kristen anonim sampai ada yang bisa mengusulkan frasa yang lebih tepat dan lebih jelas dalam menjelaskan maksud dari teori ini.[13]
            Selain itu, oleh beberapa teolog seperti Jüngel dan Hans Küng, frasa Kristen anonim dinilai merendahkan agama-agama non-Kristen. Jüngel mengajukan pertanyaan yang bunyinya demikian: “apakah orang-orang non-Kristen tidak terluka ketika mengetahui bahwa diri mereka dianggap sebagai orang Kristen anonim?”. Dalam arti ini, istilah Kristen anonim dapat secara mudah membelot dari intensi asalinya dan menjadi sangat osensif.[14]
            Kritik terakhir berkaitan dengan doktrin Kristen anonim Karl Rahner datang dari Hans Urs von Balthasar. Menurut Balthasar doktrin Kristen anonim Karl Rahner tampak merelatifkan ajaran dan nilai Kekristenan, serta merelatifkan objektivitas pewahyuan Kristus sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci. Jika demikian, menurut Balthasar, maka urgensi misi, evangelisasi, khotbah, dan pertobatan tidak lagi menjadi penting.[15]

Daftar Pustaka
Hardawiryana, R. SJ ( Penrj.). Dokumen Konili Vatikan II. Jakarta: Penerbit Obor. 1993.
Kilby, Karen. Karl Rahner: Theology and Philosophy. London: Routledge Taylor & Francis Group. 2004.
Marmions, Declan (ed.). The Cambridge Companion to Karl Rahner.Cambridge: Cambridge University Press. 2006.
Ryan, Robin. Jesus & Salvation: Soundings in The Christian Tradition and Contemporary Theology. Minnesota: Liturgical Press.1996.
Sunarko, Mgr. Adrianus, OFM. Rahmat dan Sakramen. Jakarta: Penerbit Obor. 2018.
Weger, Karl-Heinz. Karl Rahner: An Introduction to His Theology (trans. by David Smith). London: Burns & Oats. 1980.



[1]Bagian ini disarikan dari Declan Marmions (ed.), The Cambridge Companion to Karl Rahner, hal. xii, dan https://www.britannica.com/biography/Karl-Rahner yang diunduh pada 4 Oktober 2018, pkl 09.30 wib.
[2] Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Rahmat dan Sakramen, Jakarta: Penerit Obor, 2018, hal. 49, 70.
[3] Karen Kilby, Karl Rahner: Theology and Philosophy, London: Routledge Taylor & Francis Group, 2004,
hal. 54.
[4] Robin Ryan, Jesus & Salvation: Soundings in The Christian Tradition and Contemporary Theology, Minnesota: Liturgical Press, 1996, 102.
[5] Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Rahmat dan Sakramen, hal. 74
[6] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 102-103.
[7] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 179-180.
[8] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 180.
[9] Robin Ryan, Jesus & Salvation,,hal. 181.
[10] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology (trans. by David Smith), London: Burns & Oats, 1980, hal. 96-97.
[11] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 181.
[12] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology, hal. 99-100.
[13] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology, hal. 115.
[14] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology, hal. 117.
[15] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology, hal. 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar