1.
Riwayat
Hidup dan Konteks Pemikiran Karl Rahner[1]
Karl Rahner adalah salah satu teolog Katolik yang sangat
berpengaruh di abad 20. Ia lahir pada 5 Maret 1904 di Freiburg, Breisgau,
Jerman. Tahun 1922, setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah, ia
masuk Serikat Yesus. Tahun 1924-1933 ia menempuh studi Filsafat di Feldkirch
(Austria) dan Pullach (Jerman), serta studi teologi di Valkenburg (Belanda).
Setelah menyelesaikan studi filsafat dan teologi, tahun 1932 ia ditahbiskan
menjadi imam Yesuit, dan pada tahun 1934-1936 ia melanjutkan studi Filsafat di
Freiburg, dan semasa di Freiburg pula ia mengikuti seminar-seminar Martin
Heidegger.
Tesis doktoralnya, yang menjadi landasan karya filosofis Spirit in the World, ditolak oleh
pembimbing disertasinya, Martin Honecker. Kreativitasnya dalam menghubungkan
pengetahuan metafisis Thomas Aquinas dengan wawasan filsafat modern (secara khusus
dalam pemikiran Kant dan Heidegger) dianggap berlebihan oleh Martin Honecker
yang menggunakan pendekatan skolastik tradisional. Ia kemudian pindah ke
Innsbruck dan melanjutkan disertasi tersebut di bidang teologi.
Rahner juga menjadi pengajar di Universitas Pullach,
Innsbruck, dan Muenster. Selain itu, pada tahun 1962-1965 ia menjadi peritus (penasihat teologis) dalam
konsili Vatikan II. Tahun 1957-1968 ia menjadi editor Lexikon fuer Theologie und Kirche (Lexicon For Theology and the
Church), dan pada 1968-1970 menjadi editor Sacramentum
Mundi (Sacrament of the World). Setelah
perayaan ulang tahun ke 80, pada 31 Maret 1984 Rahner meninggal di Innsbruck,
Austria. Di samping Spirit in the World (1939),
karya-karyanya yang lain mencakup Encounters
with Silence (1938), Hearers of the Word (1941), Mission
and Grace(1966), Foundations
of Christian Faith (1976),
dan Meditations on the Sacraments (1974), The Contents of
Faith, serta 23 volume Theological Investigations (1951–1962).
Rahner dididik dalam era neo-skolastik, yang menghadirkan
teologi Thomas Aquinas secara kering, statis, dan dalam bentuk yang abstrak,
serta kurang terhubung dengan pengalaman manusia. Pendekatan ini ditolak
Rahner. Dalam pemikiran neo-skolastik pewahyuan dipahami sebagai sesuatu yang
berada di luar pengalaman manusia. Dalam karya-karya awalnya, melalui metode
transendentalnya, Rahner fokus untuk mendemonstrasikan bahwa pewahyuan, yang
pertama-tama merupakan komunikasi diri Allah, dialami secara unthematic sebagai kesadaran akan ada yang tak terbatas yang kepadanya
kita mengalami semua pengetahuan kategoris yang terbatas.
Allah bukanlah salah satu objek dari objek-objek lain
pengetahuan kita, melainkan horizon tak terbatas yang melaluinya kita mengalami
segala realitas yang lain. Dalam karyanya Hearer
of the Word, Rahner fokus pada manusia yang secara konstitutif dipandangnya
sebagai sebuah keterbukaan terhadap kemungkinan untuk mendengarkan komunikasi
diri Allah. Refleksi antropologis ini (atau refleksi terhadap pengalaman
manusia) adalah syarat untuk menerima pewahyuan Allah.
Beberapa komentator berpendapat bahwa pemikiran Rahner sangat
dipengaruhi oleh Thomas Aquinas, Kant, Hegel, Heidegger, serta dua Thomist pada
zamannya, yaitu Pierre Rousselot SJ dan Joseph Mare´chal SJ. Rahner sendiri
menyebut bahwa Joseph Mare´chal SJ (yang berjasa dalam menghubungkan pemikiran
Kant dan Aquinas) sebagai orang yang mempengaruhi pemikiran filosofisnya. Menurut
beberapa murid Rahner, ketertarikan Mare´chal pada mistisisme dan pengalaman
mistik, terutama bagaimana manusia kontemporer dapat mengalami Allah, menjadi
topik yang sangat digemari Rahner.
2.
Pandangan
Karl Rahner tentang Rahmat
Rahner
memberi tekanan pada ciri teosentris rahmat, pada gratia increata (Allah sendiri sebagai sumber rahmat). Rahmat itu
tidak lain adalah Allah sendiri serta pemberian diri-Nya, tindakan-Nya dalam
sejarah demi keselamatan manusia. Motif dari semua itu adalah kasih dan
keselamatan universal. Para teolog modern seperti Henri de Lubac, Hans Urs von
Balthasar, dan termasuk Karl Rahner, melihat peristiwa rahmat identik dengan
peristiwa wahyu, yang tidak lain adalah komunikasi dan pemberian diri Allah
kepada manusia. Komunikasi dan pemberian diri yang berlangsung sepanjang sejarah itu mencapai puncaknya pada pemberian
diri Allah dalam diri Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus sedemikian rupa
sehingga kasih Allah kepada manusia sungguh diberikan dan mendapat wujud
historisnya.[2]
Dalam Foundations of Christians Faith Rahner
mengangkat tema komunikasi diri Allah.
Apa yang dikomunikasikan oleh Allah kepada manusia bukan sesuatu tentang Allah, melainkan diri Allah sendiri. Dalam komunikasi diri ini Allah membuat
realitasnya menjadi elemen pembentuk manusia yang paling dalam. Komunikasi diri
Allah ini bersifat sebagai sebuah tawaran yang dapat diterima atau ditolak.[3]
Untuk memahami konsep keselamatan menurut Rahner, kita perlu melihat bagaimana dia
memahami relasi antara Allah dengan manusia. Titik berangkatnya adalah hasrat
Allah untuk secara cuma-cuma mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia. Manusia
diciptakan Allah sedemikian rupa sehingga manusia bisa menerima komunikasi diri
Allah tersebut. Tujuan utama Allah menciptakan manusia ialah untuk membagikan
rahmat, yang tidak lain adalah komunikasi diri-Nya. Rahner menegaskan; “Allah
mengkomunikasikan diri-Nya untuk membagikan kasih yang tidak lain adalah diri-Nya
sendiri”.[4]
Lebih jauh,
menurut Rahner tawaran rahmat Allah haruslah berciri inkarnatoris (dialamatkan
kepada roh dan materi) karena setiap manusia merupakan kesatuan antara roh dan
materi. Bahkan bagi Rahner, sebelum peristiwa Kristus, komunikasi diri Allah
yang berciri inkarnatoris ini juga sudah ternyatakan. Hal ini terutama terlihat
dalam diri umat, sejarah, dan ajaran-ajaran umat Israel. Komunikasi diri Allah
ini akhirnya memuncak pada perwujudan personal dalam inkarnasi Yesus Kristus. Mengikuti Duns Scotus, Rahner meyakini motif dari
inkarnasi tidak lain adalah kasih. Peristiwa inkarnasi tidak boleh direduksi
maknanya pada pengampunan dosa saja. Allah juga tetap akan menjadi manusia
seandainya manusia tidak berdosa, karena “hanya” dengan cara itulah ia dapat
membagikan kasih-Nya pada manusia secara manusiawi.
“Jadi,
mengapa Allah menjadi manusia? Karena kasih tidak terbatas Allah bagi manusia
ingin berada bersama manusia, tetapi itu hanya dapat terlaksana melalui cara
yang manusiawi, yaitu bila ia menjadi manusia.[5]
Jika alasan Allah berinkarnasi hanya karena disebabkan oleh dosa manusia, maka
inkarnasi hanya bersifat sekunder dan luaran saja. Artinya inkarnasi bukan
menjadi bagian integral dari rencana Allah. Rencana Allah untuk berinkarnasi sepenuhnya
ditentukan oleh dosa manusia. Bagi Rahner penebusan mendahului dosa. Rencana
Allah untuk memberikan diri-Nya kepada manusia tidak ditentukan dosa manusia,
melainkan sudah direncanakan oleh Allah sejak awal.[6]
Kematian di salib tidak dicari demi dirinya sendiri, tetapi karena itu
merupakan konsekuensi yang harus ditanggung demi kasih, maka Yesus tidak lari
darinya. Komunikasi diri Allah hadir di dalam diri setiap orang, paling kurang
sebagai sebuah tawaran. Rahmat ini berciri Kristosentris, sebab Kristus menjadi
puncak komunikasi diri Allah. Meskipun Rahner secara tegas mengafirmasi
kehadiran rahmat ilahi di luar Kekristenan, namun ia tetap mempertahankan
sentralitas Kristus dalam rencana keselamatan Allah.[7]
Selanjutnya,
Rahner melihat jalan utama bagi seseorang untuk menerima tawaran rahmat Allah
ialah melalui kasih yang tulus kepada sesama. Bagi orang Kristen kasih kepada
sesama berakar dan dikuatkan oleh relasi yang hidup dengan Allah melalui
Kristus di dalam Roh Kudus. Bagi mereka yang bukan Kristen kasih kepada sesama
juga merupakan cara berada rahmat di luar kekristenan. Bagi Rahner rahmat
tersebut adalah rahmat Kristus, bahkan bagi mereka yang tidak secara
eksplisit meyakini ataupun mengenal
Kristus.[8]
Dengan
menekankan rahmat yang berciri Kristosentris, Rahner mengangkat pertanyaan
mengenai bagaimana berbicara tentang kehadiran Kristus di dalam agama-agama
lain. Untuk menjawab pertanyaan ini Rahner kembali kepada argumen tentang
kehadiran dan tindakan universal Roh Kudus. Kristus hadir dan bertindak di
dalam diri orang-orang yang tidak beriman Kristiani dan yang berasal dari
tradisi lain melalui dan di dalam Roh Kudus. Bertitik tolak dari sudut
Trinitas, Roh Kudus yang dimaksud adalah Roh yang berasal dari Bapa dan Putera,
dan karenanya Roh itu adalah Roh Kristus. Roh yang dikomunikasikan kepada setiap
manusia berhembus dari peristiwa penyelamatan Yesus Kristus.[9]
3.
Keselamatan
bagi Non-Kristen
Dalam Konsili
Florence (1438 – 1445) persoalan “keselamatan di luar Gereja Katolik” kembali
didiskusikan. Para Bapa Konsili kemudian menegaskan “tidak seorang pun di luar
Gereja Katolik, baik kaum pagan, atau
Yahudi, ataupun kaum heretik dan skismatik, dapat berpartisipasi di dalam
kehidupan kekal. Sebaliknya mereka akan masuk ke dalam api kekal yang telah
disiapkan bagi setan-setan, kecuali jika mereka menjadi anggota Gereja sebelum kematian
mereka”. Akan tetapi pemahaman ini berubah seiring perjalanan waktu, terutama
ketika muncul kesadaran bahwa jutaan orang bahkan belum mengenal iman Kristen,
entah karena belum “diinjili” atau juga karena alasan lain, ataupun karena
alasan tertentu mereka enggan untuk memeluk iman Kristen. Namun meskipun tidak
beriman Kristen orang-orang ini bahkan hidupnya “lebih kristiani” dibandingkan
orang Kristen itu sendiri. Pertanyaannya, apakah orang-orang ini tidak
diselamatkan?
Bagi
Rahner doktrin tentang “kristen anonim” tidak secara sederhana berarti bahwa
seseorang yang tidak bertindak melawan
kesadaran moralnya dapat dibenarkan dan secara pasti diselamatkan tanpa iman
dalam pengertian teologis yang ketat. Sejalan dengan yang dikatakan Paus Pius
XII dan Konsili Vatikan II, bahwa fides
supernaturalis (iman adikodrati) dibutuhkan bahkan dalam kasus seorang
Pagan yang dibenarkan. Iman adikodrati hanya dapat dimungkinkan oleh Allah, dan
iman adikodrati itu adalah Allah sendiri.[10]
Baginya
iman adikodrati dibutuhkan untuk selamat. Keselamatan tidak mungkin dicapai
kecuali manusia menyatukan hidupnya dengan Tuhan melalui keutamaan-keutamaan
adikodrati, yaitu iman, harap, dan kasih. Lebih lanjut, menurut Rahner, dalam
pandangan Kristiani keselamatan terkait erat dengan pribadi Kristus sedemikian
rupa sehingga syarat yang dibutuhkan bagi keselamatan manusia adalah bersatu
dengan Kristus. Manusia dikuduskan dan diselamatkan karena, di dalam Kristus,
ia berbagi kehidupan ilahi. Lalu bagaimana orang-orang pagan dan non-Kristen
memiliki iman? Dua hal perlu dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama kehendak Allah untuk
menyelematkan semua orang, dan kedua relasi
antara kodrat dan adikodrati.
Allah
mengkehendaki setiap orang untuk selamat. Pandangan tentang keselamatan
universal ini ia didasarkan pada teks 1Tim. 2:4: “itulah yang baik dan yang
berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang
diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran”. Doktrin ini sudah ada
sejak Gereja berdiri. Allah mengkehendaki semua orang selamat tanpa terkecuali.
Peristiwa penebusan Kristus tidak hanya dibatasi pada kelompok tertentu saja,
dan karenanya Gereja bertanggung jawab untuk mewartakan Injil kepada semua
bangsa. Hanya saja dalam periode waktu tertentu “kehendak Allah untuk
menyelamatkan semua orang” oleh oknum-oknum tertentu dibatasi hanya kepada
mereka yang menerima injil dan dibaptis menjadi anggota Gereja saja.
Bagi Rahner
tradisi-tradisi atau agama-agama di luar Kekristenan juga memiliki peran dalam
mewujudkan keselamatan bagi anggota-anggotanya. Ketika seseorang dari agama
atau tradisi di luar Kekristenan mengikuti petunjuk keselamatan melalui iman,
harap, dan kasih, tradisi atau agama orang tersebut turut ikut ambil bagian
dalam keselamatan orang itu. Jika seorang Muslim menerima tawaran rahmat Allah,
maka tradisi dan praktik dalam Islam juga tentu turut ikut ambil bagian dalam
proses penerimaan rahmat Allah itu. Ketika memberi kuliah kepada para misiolog
di tahun 1975, Rahner menegaskan bahwa orang-orang dari tradisi yang berbeda
(di luar Kristen) pewahyuan dan iman secara
konkret dan secara keseluruhan
terjadi hanya melalui mediasi realitas-realitas yang kategorial, institusional,
dan verbal yang kita kenal sebagai agama-agama non-Kristen. Dengan demikian
agama-agama tersebut dapat menjadi sarana tindakan penyelamatan. Ia menutup
kuliahnya dengan kembali menegaskan bahwa rahmat Allah juga termanifestasikan
dalam agama-agama lain dengan menjadikan agama-agama tersebut sebagai
sarana-sarana keselamatan yang melaluinya manusia berjumpa dengan Allah dan
Kristus.[11]
Selanjutnya,
Rahner mempertimbangkan pentingnya dinamika aktivitas roh manusia. Rahner
menjadikan dinamika batiniah ini sebagai sebuah titik berangkatnya dan ia
menyebutnya sebagai faktor “eksistensi adikodrati” di dalam diri manusia. Unsur
dinamis di dalam pengalaman transendensi manusia ini murni bersifat adikodrati, bukan bersifat kodrati
belaka. Karena bersifat adikodrati maka pengalaman transendensi ini berasal
dari Allah dan diberikan kepada semua manusia (merujuk pada kehendak
keselamatan universal Allah), maka tidak heran apabila mereka yang non-Kristen
pun dapat melaksanakan tindakan-tindakan adikodrati, yaitu tindakan yang di
dalam dirinya mengandung sebuah keterarahan kepada keselamatan adikodratinya di
dalam Allah.[12]
Rahmat iman adikodrati ini merupakan unsur eksistensial dari makhluk spiritual
(manusia) dan dunia.
Apa
yang disampaikan Rahner sejalan dengan apa yang diyakini Gereja sebagaimana
tertuang dalam Konstistusi Pastoral Gaudium
et Spes no. 22 yang menegaskan peristiwa penebusan Kristus bukan hanya
ditujukam kepada orang Kristiani saja, melainkan juga ditujukan kepada mereka
yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tak
kelihatan. Demiikian pula Roh Kudus yang membuka kemungkinan bagi semua
orang untuk bergabung dalam peristiwa
paskah Kristus.
4.
Kritik
atas Rahner
Kritik
atas teori Kristen anonim Karl Rahner
pertama-tama berkaitan dengan pemilihan frasa Kristen anonim itu sendiri dalam menjelaskan konsep keselamatan
bagi orang-orang non-Kristen. Oleh beberapa ahli frasa tersebut dianggap kurang
cocok untuk mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan. Bahkan Rahner sendiri
secara terang-terangan mengakui kekurangan tersebut. Ia terbuka terhadap segala
kemungkinan istilah yang kiranya lebih cocok untuk menggantikan istilah
“Kristen anonim” dan lebih jelas dalam menjelaskan teorinya tentang keselamatan
bagi orang-orang non-Kristen. Akan tetapi ia akan terus menggunakan istilah Kristen anonim sampai ada yang bisa
mengusulkan frasa yang lebih tepat dan lebih jelas dalam menjelaskan maksud
dari teori ini.[13]
Selain
itu, oleh beberapa teolog seperti Jüngel dan Hans Küng, frasa Kristen anonim dinilai merendahkan
agama-agama non-Kristen. Jüngel mengajukan pertanyaan yang bunyinya demikian: “apakah
orang-orang non-Kristen tidak terluka ketika mengetahui bahwa diri mereka dianggap
sebagai orang Kristen anonim?”. Dalam arti ini, istilah Kristen anonim dapat secara mudah membelot dari intensi asalinya
dan menjadi sangat osensif.[14]
Kritik
terakhir berkaitan dengan doktrin Kristen
anonim Karl Rahner datang dari Hans Urs von Balthasar. Menurut Balthasar
doktrin Kristen anonim Karl Rahner
tampak merelatifkan ajaran dan nilai Kekristenan, serta merelatifkan
objektivitas pewahyuan Kristus sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci. Jika
demikian, menurut Balthasar, maka urgensi misi, evangelisasi, khotbah, dan
pertobatan tidak lagi menjadi penting.[15]
Daftar
Pustaka
Hardawiryana, R. SJ ( Penrj.). Dokumen Konili
Vatikan II. Jakarta: Penerbit Obor. 1993.
Kilby, Karen.
Karl Rahner: Theology and Philosophy. London: Routledge Taylor &
Francis Group. 2004.
Marmions,
Declan (ed.). The Cambridge Companion to
Karl Rahner.Cambridge: Cambridge University Press. 2006.
Ryan, Robin.
Jesus & Salvation: Soundings in The Christian Tradition and Contemporary
Theology. Minnesota: Liturgical Press.1996.
Sunarko, Mgr. Adrianus,
OFM. Rahmat dan Sakramen. Jakarta:
Penerbit Obor. 2018.
Weger, Karl-Heinz.
Karl Rahner: An Introduction to His
Theology (trans. by David Smith). London: Burns & Oats. 1980.
[1]Bagian
ini disarikan dari Declan Marmions (ed.), The Cambridge Companion to Karl
Rahner, hal. xii,
dan https://www.britannica.com/biography/Karl-Rahner
yang diunduh pada 4
Oktober 2018,
pkl 09.30 wib.
[2] Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Rahmat dan Sakramen, Jakarta: Penerit
Obor, 2018, hal. 49, 70.
[3] Karen Kilby, Karl Rahner: Theology and Philosophy,
London: Routledge Taylor & Francis Group, 2004,
hal.
54.
[4] Robin Ryan, Jesus & Salvation: Soundings in The Christian Tradition and
Contemporary Theology, Minnesota: Liturgical Press, 1996, 102.
[5] Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Rahmat dan Sakramen, hal. 74
[6] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 102-103.
[7] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 179-180.
[8] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 180.
[9] Robin Ryan, Jesus & Salvation,,hal. 181.
[10] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His
Theology (trans. by David Smith), London: Burns & Oats, 1980, hal. 96-97.
[11] Robin Ryan, Jesus & Salvation, hal. 181.
[12] Karl-Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His
Theology, hal. 99-100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar