Senin, 04 November 2019

Pernikahan Simbolik Hosea dan Gomer (Hosea 1:1-9)


                                    
1.                  Pengantar
Sebagian besar kitab Hosea ditulis dalam bahasa dan metafora yang menggambarkan kesetiaan Allah terhadap umat Israel, meskipun bangsa Israel tidak setia terhadap Allah, terhadap perjanjian, dan terhadap taurat. Hos. 1: 1-9 secara khusus berkisah seputar empat tindakan simbolik Hosea yang semuanya merupakan perintah dari Allah, yaitu: pernikahannya dengan Gomer (1:2-3) dan penamaan ketiga anaknya (4-9). Tindakan-tindakan simbolis ini adalah hal yang lumrah dalam kisah para nabi PL. Disebut “simbolik” sebab pesan-pesan kenabian diungkapkan oleh para nabi melalui tindakan hidup mereka.[1]
2.                  Konteks Historis, Sosial, dan Religius Masa Kenabian Hosea
            Kepada siapa Hosea mengalamatkan nubuatnya? Hal ini masih diperdebatkan. Pembukaan kitab Hosea (1:1) menunjukkan bahwa kitab ini perlu dibaca dalam konteks pemisahan dua kerajaan (Irael dan Yehuda) beserta monarkinya. Kebanyakan ahli menyetujui bahwa para pendengar nubuat Hosea adalah orang-orang di Kerajaan Utara (Israel). Kemungkinan lain, nubuat Hosea kemudian diperbarui lagi sesuai dengan konteks Yehuda dan dinubuatkan lagi di Yehuda (setelah jatuhnya Samaria pada tahun 772 SM?).[2]
            Penyebutan empat raja Yehuda dalam pembukaan Kitab Hosea menunjukkan lamanya masa pelayanan Hosea, dan penyebutan hanya satu raja dari Kerajaan Utara (Yerobeam II) mengindikasikan fokus khusus pelayanan sang nabi. Hal ini menjadi lebih jelas ketika nama-nama yang terkait dengan Kerajaan Utara seperti Efraim, Israel, dan Yakub disebut berkali-kali dalam kitab ini, sedangkan yang berkaitan dengan Yehuda hanya disebutkan 15 kali, dan itu pun selalu dalam kaitannya dengan Kerajaan Utara.[3]  
Penyebutan raja-raja Kerajaan Selatan dari Uzia sampai Hizkia menunjukkan bahwa masa pelayanan Hosea berlangsung kurang lebih dalam periode tersebut. Uzia sendiri memerintah selama 52 tahun (792-740 SM), sementara tiga penerusnya memerintah di sisa abad ke-8 SM. Yerobeam II dari Kerajaan Utara juga memerintah dalam periode waktu yang lama (792-752 SM). Akan tetapi, enam penerusnya yang tidak disebutkan dalam pembukaan kitab ini, bertarung satu sama lain demi merebut kekuasaan yang kemudian memuncak pada jatuhnya Kerajaan Utara di tangan Asyur pada tahun 722 SM. Hosea tidak menyinggung kejadian-kejadian tersebut, sebab fokus utama pelayanan kenabiannya ialah pada masa kepemimpinan Raja Yerobeam II. Masa kenabian Hosea diperkirakan berlangsung pada 760-725 SM (tak lama setelah dimulainya kepemimpinan Hizkia di Yehuda pada tahun 729 SM).[4]
            Di samping itu, tidak terdapat bukti yang mencukupi untuk menentukan apakah Hosea sendiri terlibat dalam proses pencatatan nubuatnya, sebagaimana Nabi Yeremia yang mendiktekan perkataan-perkataannya untuk ditulis Barukh sang jurutulis (Yer. 36). Dibandingkan dengan kitab nabi-nabi lain, kitab Hosea hanya menyajikan sedikit bukti mengenai sejarah proses penyusunannya. Pastinya, ayat-ayat pertama dan terakhir kitab ini tidak ditulis oleh Hosea, yaitu 1:1 dan 14:9, kedua bagian ini baru ditambahkan kemudian. Serupa dengan itu, laporan orang ketiga tentang nabi Hosea (1:2-9) juga tidak ditulis oleh Hosea. Terdapat juga beberapa tambahan lain, seperti refleksi dari perspektif Yehuda (1:7). Akan tetapi sebagian besar isi kitab ini berasal dari tradisi awal nubuat-nubuat Hosea.[5]
            Kitab Hosea juga tidak menggambarkan invasi Asyur atas Israel. Sebagian besar teks kitab Hosea ditulis pada periode setelah kematian Yerobeam II dan sebelum penyerangan Asyur pada 735-732 SM. Maksud dari latar ini ialah untuk meyakinkan Israel supaya mereka meninggalkan aliansinya dengan Asyur. Sama seperti zaman Amos, zaman ketika Hosea hidup juga dipenuhi dengan penyembahan berhala, kemurtadan, dan pelanggaran. Fokus utama Hosea adalah pada kehidupan religius Israel dan Yehuda.  Ia mengutuk penyembahan Baal (2:10, 15, 18, 19, 9:10, 13:2), termasuk ritus pemujaan di gunung-gunung (4:13, 10:8), tugu-tugu berhala (3:4, 10:1-2), patung lembu (8:5-6, 10:5) dsb. Hosea juga berurusan dengan kemiskinan dan ketidakadilan, kontras dengan kemakmuran dan keagungan pada masa sebelumnya. Meskipun kitab ini kemungkinan ditulis setelah kematian Yerobeam II, teks ini tampaknya merefleksikan masa-masa akhir kepemimpinan Yerobeam II. Sangat sulit untuk memastikan rujukan historis dalam kitab ini, sebab beberapa nubuat tampak kabur dan mengandung banyak kiasan.[6]  
            Gambaran tentang perzinahan adalah metafora utama yang digunakan untuk menunjuk kegagalan Israel dalam berelasi dengan Allah. Hal ini terutama merujuk pada situasi keagamaan di Israel, namun tidak secara eksklusif. Hosea melukiskan Israel sebagai Istri Allah yang berzinah. Ketidaksetiaan Israel diungkapkannya dengan berbalik kepada kekasih lain (Baal, 2:13) ketimbang kepada Yahwe dan dengan berpartisipasi di dalam praktik keagamaan dan kepercayaan lain. Hosea kerap menyebut tempat-tempat praktik dan pemujaan bangsa Israel, sepertti Bethel, Dan, Gilgal, dan Sechem. Berbeda dengan Amos atau Micah yang sama sekali tidak menyebut Baal, di dalam kitab Hosea allah-allah lain sering disebut. [7]
            Selain itu, di dalam Kitab Hosea pelukisan ketidaksetiaan seksual sebagai simbol penyembahan berhala begitu ditonjolkan (1:1-9, 3:1, 4:10-11, 5:3-4, 6:6). Secara eksplisit praktik-praktik keagamaan yang ditolak adalah festival-festival Baal (2:13), mezbah-mezbah dan tugu-tugu penyembahan (4:17-19, 8:11, 10:1-2, 8); patung-patung (10:5-6, 13:2), pengorbanan dan ritual-ritual lain (2:13, 7:14, 8:13, 9:4). Praktik-praktik ini termanifestasi dalam beragam cara, terutama relasi antara tuhan dengan kesuburan tanahnya. Israel menganggap berkat atas tanah berasal dari Baal, bukah Yahweh (2:8), dan mereka terlibat dalam praktik-praktik ibadah yang terkait (2:13). Allah mengutuk praktik pemujaan Israel tersebut.[8]
            Analogi tentang seks dalam kitab Hosea dapat dipahami dalam dua arti. Kata percabulan (zanah) dapat merujuk pada hubungan seks di luar pernikahan tetapi juga dapat merujuk pada hubungan dengan bangsa-bangsa lain, seperti aliansi dan hubungan perdagangan (bdk. Yes. 23:17, Ezek. 16:26-29). Dengan demikian analogi Hosea tentang seks ini dapat dibaca dan dipahami dalam konteks religius dan konteks sosial-politik. Secara politik, para Raja dikritik karena aliansinya dengan bangsa-bangsa lain dinilai sebagai sebuah pengkhianatan, sedangkan para pemimpin agama dikritik karena dianggap paling bertanggung jawab atas perzinahan umatnya. Jadi Hosea mengkritik pemimpin “agama” dan “politik” karena penyalahgunaan kekuasaan.[9]
Isu yang dihadapi Hosea juga tidak semata-mata soal memilih Yahweh atau Baal. Problem yang dihadapi adalah sinkretisme dalam pemujaan, menyembah Yahweh dalam cara-cara pemujaan terhadap Baal. Problem dasarnya bukan pertentangan antara dua kultur religius, Israel dan Kanaan, tetapi lebih pada tantangan dalam diri bangsa Israel itu sendiri tentang kodrat pemujaan terhadap Yahweh. Supremasi Yahweh diancam oleh ketertarikan bangsa itu atas Baal. Sentralitas Yahhweh sejak “pembuangan di Mesir” adalah kunci dalam menafsirkan Hosea: “engkau tidak mengenal allah kecuali Aku, dan tidak ada jurselamat lain selain dari Aku” (13:4). Pengakuan ini menurut Hosea berada dalam ancaman.[10]
3.                  Struktur Kitab
            Kitab nabi Hosea secara garis besar terbagi dalam dua bagian utama yaitu: pernikahan Hosea (1-3) dan kenabian Hosea (4-14).[11] Bab 1-3 meskipun saling terkait satu sama lain, namun cukup berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bab 1 berisi laporan orang ketiga tentang perintah Allah kepada Hosea untuk “mengawini seorang wanita cabul” dan untuk memiliki keturunan dari wanita cabul tersebut. Hosea menaati perintah tersebut. Dalam bab 2, yang terhubung dengan bab 1, secara metafor disajikan gugatan atas isteri yang tidak setia. Bab 3 melaporkan perintah Allah kepada Hosea untuk mencintai wanita yang bersundal.  
Nubuat-nubuat dalam bab 4-6 terutama berisi tuduhan atau hukuman terhadap bangsa Israel atau kelompok-kelompok tertentu (seperti para imam), dan juga terdapat beberapa nubuat tentang keselamatan. Dalam sebagian besar nubuat-nubuatnya, Hosea sebagaimana para nabi dalam Perjanjian Lama, menyampaikan sabda Allah baik secara langsung maupun tidak langsung. Tampaknya terdapat lebih dari satu kaidah penyusunan dalam struktur teks ini. Di satu sisi terdapat urutan kronologis yang kasar, dan di sisi lain terdapat sebuah skema teologi. Di dalam bab 4-11 dan bab 12-14 terdapat pergerakan dari dakwaan kepada nubuat penghakiman dan kemudian kepada pemberitahuan tentang keselamatan.[12]
4.                  Tafsir Hosea 1:1-9

1 Firman TUHAN yang datang kepada Hosea bin Beeri pada zaman Uzia, Yotam, Ahas dan Hizkia, raja-raja Yehuda, dan pada zaman Yerobeam bin Yoas, raja Israel.

Selain menunjukkan masa pelayanan sang nabi, Hos. 1:1 juga menampilkan struktur khas kitab para nabi yang juga bisa kita jumpai dalam struktur kitab nabi-nabi lain. “Firman Tuhan yang datang kepada...” bisa kita jumpai dalam Yoel 1:1, Mik. 1:1, Zef. 1:1 atau juga di dalam Yez. 1:3, Zech. 1:1, Hag. 1:1 dan Mal. 1:1 dengan sedikit urutan yang bervariasi. Nama ayah dari sang nabi diberi dengan frasa “anak dari.../bin...” juga terdapat dalam Yoel. 1:1, Zef. 1:1, Zech. 1:1, Yes. 1:1, Yer. 1:1. Frasa “pada zaman...” yang diikuti dengan nama raja-raja yang memerintah Yehuda mengindikasikan zaman aktivitas pelayanan sang nabi, seperti juga terdapat dalam Mikh. 1:1, Zef. 1:1, Yes. 1:1 dan Yer.1:2; raja-raja baik dari Yehuda maupun Israel sama-sama disebutkan dalam Am. 1:1. Elemen-elemen formal ini terulang lagi dalam pembukaan kitab Zefanya. Elemen-elemen ini (dengan sedikit modifikasi) dijumpai baik dalam nabi-nabi zaman pembuangan maupun pasca pembuangan. Nama nabi, nama ayahnya, dan zaman aktivitas kenabiannya secara gramatikal diturunkan dari frasa “Firman Tuhan”.[13]
           
2. Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: "Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN." 3. Maka pergilah ia dan mengawini Gomer binti Diblaim, lalu mengandunglah perempuan itu dan melahirkan baginya seorang anak laki-laki.

Ay. 2-3 berisi perintah Allah kepada Hosea untuk pergi mengawini seorang perempuan sundal (“take for yourself a wife of whoredom” NIV: “adulterous wife”, NEB: “unchaste wife”) dan memperanakkan anak-anak sundal. Wanita yang kemudian dikawini Hosea adalah Gomer binti Diblaim. Kata sundal atau pelacur (whore) cukup membingungkan, sebab ia (Gomer) tidak disebutkan sebagai seorang pelacur (zonah). Kata yang digunakan (zanah) memiliki arti terlibat dalam relasi seksual di luar pernikahan, dalam hal ini ia adalah seorang wanita yang sudah menikah. Meskipun sudah menikah ia masih sering terlibat dalam relasi seksual di luar pernikahan. Jadi ia bertindak seperti seorang pelacur, namun pelacur bukanlah profesinya.[14] Selain itu ada pendapat lain mengenai pribadi Gomer. Ada yang beranggapan bahwa Gomer adalah seorang pelacur aktif dan ikut melayani di kuil kaum Pagan sebagai seorang pelacur suci. Kuil-kuil tersebut digunakan oleh bangsa Kanaan untuk menyembah Baal.[15]

4. Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Hosea: "Berilah nama Yizreel kepada anak itu, sebab sedikit waktu lagi maka Aku akan menghukum keluarga Yehu karena hutang darah Yizreel dan Aku akan mengakhiri pemerintahan kaum Israel. 5. Maka pada waktu itu Aku akan mematahkan busur panah Israel di lembah Yizreel."

Nama anak-anak hasil pernikahan Hosea dan Gomer melambangkan teguran Allah kepada Israel. Ay. 4-5 melukiskan makna simbolik dari nama anak pertama, yaitu Yizreel. Yizreel berarti “Allah yang menanam” atau “Allah yang menabur”. Yizreel merujuk pada nama sebuah lembah yang sangat indah dan sangat strategis, terletak di antara pegunungan Galilea dan Samaria. Di tempat inilah sejarah dinasti Yehu yang berlumuran darah dimulai.[16] Kata Yizreel dalam konteks ini terutama merujuk pada pembantaian di istana Omri (845-847 SM) yang dilakukan oleh Yehu. Beberapa anggota keluarga kerajaan dibunuh, termasuk Yoram (representasi terakhir dari dinasti Omri), ratu Izebel, dan raja Ahazia dari Yehuda (2Raj. 9-10).[17] Dalam hal ini Hosea menilai Yehu secara berbeda dengan penilaian Elia dan Elisa. Yehu dinilai secara negatif karena tidak mematuhi perintah Yahweh, ia bertindak melebihi yang diperintahkan. Dengan demikian, ay. 4-5 mengisyaratkan dua hal: Yizreel akan membalas dendam dan Kerajaan Utara akan dihancurkan.[18]
           
6. Lalu perempuan itu mengandung lagi dan melahirkan seorang anak perempuan. Berfirmanlah TUHAN kepada Hosea: "Berilah nama Lo-Ruhama kepada anak itu, sebab Aku tidak akan menyayangi lagi kaum Israel, dan sama sekali tidak akan mengampuni mereka. 7. Tetapi Aku akan menyayangi kaum Yehuda dan menyelamatkan mereka demi TUHAN, Allah mereka. Aku akan menyelamatkan mereka bukan dengan panah atau pedang, dengan alat perang atau dengan kuda dan orang-orang berkuda."

Anak perempuan Hosea hasil pernikahannya dengan Gomer (ay.6), yaitu Lo-Ruhama, juga memiliki makna dan fungsi simbolik. Lo-Ruhamah berarti “tak ada belaskasihan”. Makna dari nama ini hendak mengatakan bahwa kesejahteraan dari seorang anak tidak lagi dipedulikan oleh orang tuanya (bdk. Yes. 49:14-15). Masa depan Israel yang suram sudah di depan mata, sangat kontras dengan masa depan Yehuda (ay.7). Lalu apa yang membedakan bangsa Israel dan Yehuda? Ada yang beranggapan bahwa dosa-dosa Yehuda belum memiliki efek yang menumpuk sebagaimana yang dimiliki Israel (Yer. 3:6-11 mengisahkan tentang Yehuda yang dihakimi karena tidak belajar dari kesalahan Israel).[19] Akan tetapi pernyataan  dalam ay. 7 sebenarnya cukup aneh, sebab Yehuda pada akhirnya diruntuhkan oleh Babilonia. Referensi ini bisa jadi merujuk pada invasi Asyur yang dipimpin oleh Sennacherib tahun 701 SM (2Raj, 19:32-37), suatu masa di mana Yerusalem entah bagaimana lolos dari kehancuran. Kemungkinan ayat ini ditambahkan ke dalam kitab sebelum keruntuhan Kerajaan Selatan (Yehuda) tahun 587 SM.[20]
           
8. Sesudah menyapih Lo-Ruhama, mengandunglah perempuan itu lagi dan melahirkan seorang anak laki-laki. 9. Lalu berfirmanlah Ia: "Berilah nama Lo-Ami kepada anak itu, sebab kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu."

Lo-Ammi “bukan umat-Ku” (ay.8-9). Frasa “bukan umat-Ku” merujuk pada rumusan “kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu” (Yer. 30:22), dan menjadi penanda akhir dari relasi perjanjian antara Allah dan Israel. Frasa “umat-Ku” sering digunakan untuk menggambarkan perjanjian Allah dengan Israel (bdk. Kel. 6:7, Im. 26:12, Bil. 26:17-19, 2Sam. 2:24, Yer. 11:4). Dengan demikian penulis Kitab ini menggambarkan kemarahan Allah kepada bangsa Israel.[21]
Israel disebut “bukan umat-Ku” sebab Israel sendiri yang memutuskan untuk keluar dari lingkup perjanjian dengan Allah melalui ketidaksetiaannya. Lantas apakah sebutan “bukan umat-Ku” membatalkan perjanjian Allah dengan Israel? Apakah Israel kehilangan statusnya sebagai umat terpilih? Jawabannya tentu saja tidak. Allah tidak membuat perjanjian dengan Israel yang terpisah dari Yehuda. Terdapat hanya satu perjanjian dan satu umat. Ungkapan “bukan umat-Ku” dengan segera berbalik menjadi: Israel “umat-Ku” (2:22), sebab janji Allah tidak akan pernah runtuh (Ul. 4:31, Hak. 2:1, 1Sam 12:22, 2Sam. 7:16). Janji Allah selalu ada bagi umat yang percaya. Mereka yang percaya kepada janji tersebut dapat dengan percaya diri meyakini bahwa Allah senantiasa menyambut anak-Nya yang hilang.[22]
5.                  Penutup
Setelah melihat secara garis besar Hos. 1:1-9, kita mungkin dengan segera memperoleh gambaran mengenai Allah yang pedendam, yang menaruh murka terhadap umat-Nya (Israel). Tindakan-tindakan simbolik yang dilakukan Hosea (menikahi Gomer dan penamaan anak-anaknya) melukiskan kemurkaan Allah tersebut. Allah murka karena Israel umat-Nya berbalik dari-Nya dan lebih memilih allah lain. Israel mengkhianati perjanjiannya dengan Allah (bdk. Kel. 6:7, Im. 26:12, Bil. 26:17-19, 2Sam. 2:24, Yer. 11:4).
Akan tetapi kitab Hosea tidak melulu berisi kutukan Allah bagi Israel. Kemurkaan Allah sebagaimana digambarkan dalam pernikahan simbolis Hosea bukan kata akhir bagi hubungan Allah dan Israel. Sama seperti Hosea yang kemudian diperintahkan Allah untuk mencintai isterinya yang sundal, demikianpun Allah yang akan tetap mencintai Israel apa pun kondisinya. Sebagaimana para nabi lainnya, Hosea tidak hanya menyampaikan murka Allah, tetapi ia juga membawa pengharapan. Pada akhirnya, sebesar apapun murka Allah, Ia senantiasa membuka pintu kerahiman bagi umat-Nya yang hendak bertobat. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, ungkapan “bukan umat-Ku” dengan segera berbalik menjadi: Israel “umat-Ku” (2:22). Allah yang menyatakan diri kepada bangsa Israel bukanlah Allah yang pedendam, melainkan Allah yang Maharahim dan menaruh belaskasih bagi umat-Nya.
Daftar Pustaka
Durken, Daniel (Ed.). New Collegeville Bible Commentary. Minnesota: Liturgical Press. 2017.
Fretheim, Terence E. Reading Hosea-Micah. Georgia: Smyth & Helweys Publishing. 2013.
Mays, James L. (Ed.). Harper’s Bible Commentary. San Francisco: Harper & Row Publishers. 1988.
Patterson, Richard D. Hosea: An Exegetical Commentary. Texas: Biblical Studies Press. 2008.
Wolff, Hans Walter. Hosea: A Commentary on the Book of the Prophet Hosea (transl. by Gary Stansell). Philadelphia: Fortress Press. 1974.




[1] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, Georgia: Smyth & Helweys Publishing, 2013, hal. 17.
[2] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 8.
[3] Richard D. Patterson, Hosea: An Exegetical Commentary, Texas: Biblical Studies Press, 2008, hal. 3.
[4] Richard D. Patterson, Hosea: An Exegetical Commentary, hal. 3.
[5] Gene M. Tucker, Hosea, dalam  James L. Mays (Ed.), Harper’s Bible Commentary, San Francisco: Harper & Row Publishers, 1988, hal. 708.
[6] Carol J. Dempsey, OP, The Book of Hosea, dalam Daniel Durken (Ed.), New Collegeville Bible Commentary, Minnesota: Liturgical Press, 2017, hal.  866.
[7] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 10-11.
[8] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 11.
[9] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 9-11.
[10] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 11.
[11] Carol J. Dempsey, OP, The Book of Hosea, hal. 867.
[12] Gene M. Tucker, Hosea, hal. 708.
[13] Hans Walter Wolff, Hosea: A Commentary on the Book of the Prophet Hosea (transl. by Gary Stansell), Philadelphia: Fortress Press, 1974, hal.  3.
[14] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 19.
[15] Richard D. Patterson, Hosea: An Exegetical Commentary, hal. 21.
[16] Carol J. Dempsey, OP, The Book of Hosea, hal. 870.
[17] Hans Walter Wolff, Hosea: A Commentary on the Book of the Prophet Hosea, hal. 18.
[18] Carol J. Dempsey, OP, The Book of Hosea, hal. 870.
[19] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 23.
[20] Carol J. Dempsey, OP, The Book of Hosea, hal. 870.
[21] Carol J. Dempsey, OP, The Book of Hosea, hal. 870.
[22] Terence E. Fretheim, Reading Hosea-Micah, hal. 23-24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar