Beberapa
tahun belakangan kita dikejutkan oleh maraknya fenomena radikalisme, khususnya
radikalisme Islam. Fenomena ini muncul dengan beraneka ragam propaganda, salah
satunya ialah hendak mengganti dasar negara (pancasila) dan sistem pemerintahan
yang sudah ada (demokrasi) yang dianggap gagal dan telah melenceng dari
nilai-nilai Islam dengan sistem pemerintahan yang diklaim sesuai dengan
nilai-nilain keislaman, seperti sistem khilafah. Kita semua dibuat takut dan
cemas oleh fenomena ini. Kita tidak ingin negara kita mengalami nasib yang sama
seperti negara-negara yang hancur ketika disusupi radikalisme Islam. Oleh
karena itu di dalam paper ini pertama-tama akan diurai pengertian, ciri, dan
faktor penyebab munculnya paham radikal (Islam), dan kemudian akan dibahas pula
mengenai fenomena radikalisme Islam di era digital beserta langkah
pencegahannya.
1.
Arti dan Ciri
Radikalisme
Istilah
“radikalisme” merupakam istilah yang sering digunakan dalam disiplin sosial dan
politik untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kedua ranah
tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan radikalisme sebagai: a) paham
atau aliran yang radikal dalam politik, b) paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis, c) sikap ekstrem dalam aliran politik.[1]
Menurut
Horce M. Kallen[2]
radikalisme dalam bidang sosial dicirikan oleh tiga hal umum: pertama, radikalisme merupakan respon
terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut muncul dalam
bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak
dapat berupa asumsi, lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, tidak berhenti pada upaya penolakan, radikalisme terus
berupaya menggantikan tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain yang
diusung oleh kelompok radikalisme tertentu. Sesuai dengan akar katanya “radix”
(Latin: akar), sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan
secara mendasar. Ketiga, ialah
keyakinan kaum radikalis akan kebenaran nilai atau ideologi yang mereka usung
dan pengingkaran terhadap sistem lain yang ingin diganti. Dalam bidang sosial,
keyakinan mereka akan kebenaran dan kemutlakan nilai yang diusung sering
dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai
ideal seperti “kerakyatan” atau “kemanusiaan”. Kuatnya keyakinan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.
Di
dalam Islam sendiri kata “radikal” juga dipakai untuk menyebut gerakan dalam
Islam yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model
tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan. Menurut Tarmizi
Taher, istilah yang paling sering digunakan adalah “fundamentalisme agama”,
namun menurutnya istilah ini terlalu banyak dipengaruhi oleh tradisi Kristen
yang merujuk pada gerakan fundamentalis Protestan.[3]Untuk
mengatasi masalah penggunaan istilah ini, Youssef M. Choueiri menawarkan
pemilahan istilah, yaitu: revivalisme,
reformisme, dan radikalisme.
Revivalisme
merujuk pada pemikiran dan gerakan yang bertujuan untuk menghidupkan kembali
praktik kehidupan yang dipandang murni dan bersumber dalam Islam. Dua tokoh
yang paling dekat dengan kategori ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab dan
Sayyid Ahmad Syahid (1786-1831). Menurut keduanya banyak praktik keagamaan yang
berasal dari zaman jahiliyah telah merasuk dan menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari kaum Muslimin. Misalnya saja tradisi Hindu di India yang telah
menyusup menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Muslim.[4]
Sebaliknya
kelompok reformis cenderung bersikap lebih lunak. Meskipun mereka setuju bahwa
Islam ideal adalah seperti yang dicontohkan Rasul, namun mereka memandang
perubahan sejarah sebagai fenomena yang tidak dapat dielakkan. Menurut golongan
reformis, mengikuti pola Islam masa Rasul secara harfiah dalam rangka
menegakkan kembali misi awal Islam adalah sebuah kemustahilan, sebab zaman
senantiasa berubah dan tantangan tiap zaman berbeda-beda. Model islam masa
rasul lebih tepat dijadikan sumber pengembangan pemikiran islam di zaman
kontemporer. Oleh karena itu, praktik-praktik keagamaan yang tidak menyimpang
dari tujuan-tujuan yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah dapat diterima.
Tokoh-tokoh terkenal dari mazhab ini ialah Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh,
dan Rasyid Rida. Mereka ini memiliki keinginan kuat untuk memadukan nilai-nilai
Islam dengan budaya modern (Barat) yang mereka anggap sebagai budaya maju,
terdidik, kaya, dan berperadaban.[5]
Berbeda
dengan kelompok reformis, kelompok radikal cenderung menaruh curiga pada Barat.
Kelompok radikal menolak segala sesuatu yang dianggap berbau Barat, seperti
Marxisme, Kapitalisme, Nasionalisme, dan Liberalisme. Menurut para tokoh kelompok
ini, seperti Sayid Qutb, Abdul A’la Maududi, dan Abu Hasan Nadwi, kebudayaan
Barat yang merasuki kehidupan kaum Muslim sebenarnya berpangkal pada
Kekristenan. Ekspansi politik Barat melalui kolonialisme dan imperialisme,
serta penguasaan ekonomi terhadap masyarakat non-Eropa melalui kapitalisme pada
prinsipnya adalah perpanjangan dari misi Kristen. Akibatnya kelompok ini
menolak tatanan kehidupan modern. Sistem negara-bangsa dan demokrasi juga
ditolak karena meletakkan manusia di atas kekuasaan Tuhan. Sebagai akibat lebih
lanjut, bersamaan dengan penolakan atas sistem kehidupan dan ideologi Barat,
para tokoh kelompok radikalis melihat penerapan Syari’ah sebagai satu-satunya
alternatif bagi kaum Muslim. Selain penolakan atas segala sesuatu yang berbau
Barat, sikap kelompok ini yang non-kompromis membuat sikap radikalis kelompok
ini semakin menonjol. [6]
2.
Faktor Penyebab
Munculnya Sikap Radikal
Radikalisme yang
kemudian mengarah pada aksi terorisme dalam jaringan tertentu, seperti
Al-Jamaan Al-Islamiyah, NII, dan ISIS disebabkan karena ideologi atau keyakinan
(keagamaan) yang diterima melalui proses indoktrinasi. Proses indoktrinasi ini
dilakukan secara bertahap oleh orang-orang yang dianggap suci atau pandai dalam
ilmu agama, dilakukan dalam waktu yang cukup lama sehingga doktrin-doktrin
tersebut terinternalisasi menjadi pegangan hidup dan diterima sebagai sebuah
kebenaran, kemudian disucikan sebagai sebuah dogma.[7]
Menurut
Michael McCullough dan Timothy (sosiolog kaum muda asal Pennsylvania) ada empat
faktor yang mendukung munculnya paham radikal di dalam diri seseorang. Pertama,
mental health (kesehatan mental).
Kesehatan mental kaum muda sangat rentan terhadap depresi. Beragam faktor,
seperti kegagalan dalam hidup, kebahagiaan yang tak dapat diraih, kegagalan
dalam relasi, keluarga yang tidak harmonis, atau situasi ekonomi dan sosial
yang buruk, dapat mendorong munculnya stres, kebosanan, serta berbagai simtom
untuk depresi. Depresi keagamaan akan muncul secara intrinsik (dari dalam diri)
sebagai religious involvement yang
kemudian berkembang menjadi public
involvement dalam keagamaan. Semakin kuat dorongan depresi, maka akan
semakin kuat pula dorongannya pada public
religious involvement.[8]
Kedua,
ketimpangan ekonomi yang mendorong
timbulnya kecemburuan dan kemarahan sosial terhadap mereka yang kaya secara
ekonomi. Kecemburuan sosial ekonomi akan mendorong seseorang untuk melakukan
protes, baik dengan cara yang santun maupun dengan cara yang agresif. Menurut Jose
Casanova, ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan politik pemerintah
secara tidak langsung akan berdampak pada masyarakat beragama. Masyarakat
beragama (masyarakat sipil) kemudian mengalami privatisasi dalam beragama yang
kemudian menumbuhkan kebencian pada kelompok lain yang lebih sejahtera.
Kebencian tersebut lama-kelamaan menimbulkan antipati dan perilaku destruktif
sebagai rangkaian dari isu keagamaan yang dimulai dari persoalan ekonomi
politik publik.[9]
Ketiga,
kondisi sosial-politik. Menurut Peter
Beyer perubahan politik dunia juga akan berdampak pada pandangan dan perilaku
keagamaan masyarakat, terutama apabila perubahan sosial-politik hanya
menguntungkan kelompok kecil dalam masyarakat (para pemilik modal). Pada
akhirnya kondisi ini akan menggerakkan kelompok (mayoritas) yang dirugikan oleh
sistem politik untuk melakukan perlawanan. Jika gerakan masyarakat ini sudah
terorganisasi secara baik, maka akan dilakukan apa yang dinamakan religious social movement sebagai sebuah
gerakan sosial keagamaan yang independen dan melibatkan semua kalangan
(tua-muda, pria-wanita) karena didorong oleh religious commitmen dan religious
movement demi membebaskan diri dari sistem ekonomi yang menjerat. Dalam hal
ini persoalan keagamaan dihubungkan dengan masalah politik.[10]
Keempat,
religious commitment dari pemahaman
keagamaan. Agama dilihat sebagai sesuatu yang sakral dan penjamin kepastian di
tengah banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu dukungan
pemahaman atas yang sakral mendapatkan pengikut yang cukup banyak di tengah
masyarakat yang galau (greavances).[11]
3.
Fenomena
Radikalisme Islam di Era Digital
Di era digital
ini penyebaran paham radikalisme menunjukkan gejala-gejala baru. Penyebaran
radikalisme tidak lagi hanya dilakukan melalui dakwa, melainkan juga melalui media
sosial. Sasarannya pun bukan hanya para pria dewasa, melainkan juga perempuan, kaum
muda, anak-anak, dan bahkan kaum terdidik. Misalnya saja yang terjadi pada
Linda W (16) remaja putri asal Pulsnitz, Dresden, Jerman. Ia rela kabur
meninggalkan orang tuanya dan tanah airnya demi bergabung dengan kelompok
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Linda terpapar paham radikal melalui online chat room pada pertengahan 2016.[12]
Atau sebagaimana yang kita lihat terjadi pada keluarga Dita Supriyanto (terkait
dengan sel Jamaah Ansharud Daulah/JAD Surabaya), pelaku aksi bom bunuh diri di
Surabaya pada 13 Mei 2018.[13]
Sebagaimana
disebutkan oleh Herdi Sahrasad, setelah nyaris hilangnya ruang fisik khilafah
di Suriah dan Irak, kekhilafan kini muncul dalam dunia maya. Mengutip Chelsea
Daymon dan Mia Bloom, keduanya peneliti terorisme di Georgia University AS,
media NIIS menggunakan metode baru dalam menjaring anggota dan menyebarkan
paham radikalnya. Berdasarkan hasil penelitian mereka, media NIIS dalam sehari
menghasilkan rata-rata 40 propaganda, dan sepertiga dari propaganda tersebut
bernada positif. Hal ini berbeda dengan persepsi selama ini bahwa semua
propaganda NIIS penuh kekerasan, keji, dan mengerikan. Maksud dari propaganda
bernada positif ini ialah untuk menarik kaum profesional berpendidikan tinggi
yang tinggal di negara-negara Barat untuk bergabung dengan NIIS. Jadi NIIS
menerbitkan berbagai pesan (positif dan negatif) untuk menarik perhatian orang-orang
dari berbagai kelas dan lapisan masyarakat.[14]
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan J.M. Berger dan Jonathan Morgan dari Brookings
Institutions dalam penelitian yang bertajuk The
ISIS Twitter Census ditemukan 46.000 lebih akun Twitter yang aktif
beroperasi dan juga berpropaganda atas nama Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS). Setiap hari akun Twitter tersebut mengirimkan pelbagai pesan singkat,
status, gambar, dan video pendek. Tidak kurang dari 200.000 pesan pendek
tersebar melalui akun-akun Twitter tersebut.[15]Menurut Solahudin, pengamat terorisme dari Universitas
Indonesia (UI), pada tahun 2017 ISIS memiliki lebih dari 60 channel atau kanal
Telegram berbahasa Indonesia. Tidak hanya itu, ada juga sekitar 30 grup chat
Telegram berbahasa Indonesia. Untuk setiap channel Telegram, ada sekitar 80
hingga 150 pesan bernada kekerasan yang didistribusikan setiap harinya. Apabila
dikaitkan dengan jumlah channel terkait ISIS yang ada di Telegram, maka ada
ribuan pesan radikal yang beredar setiap harinya. [16]
Bahkan,
kalangan akademisi pun terbilang sebagai kelompok yang rentan terhadap
penyebaran radikalisme di dunia maya. Berdasarkan hasil survei Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) terhadap 14.400 akademisi (yang terdiri dari
mahasiswa, siswa, dosen, dan guru di 32 provinsi) semakin tingginya potensi
para akademisi terpapar radikalisme di dunia maya dipicu oleh semangat beragama
yang tinggi, tetapi kurang didasari bekal keagamaan. Secara individu mereka
lebih memilih figur tokoh agama yang mudah diakses melalui telepon pintar atau
di media sosial daripada lembaga keagamaan formal. Dari hasil survei tersebut
77,73 persen koresponden mengakui melakukan aktivitas keagamaan, tetapi hanya
25,82 persen yang mendapat pendidikan melalui interaksi dengan guru atau tokoh
agama. Sementara 61,23 persen lainnya mencari konten agama lewat media sosial.
Akan berakibat buruk apabila tokoh agama yang diakes melalui internet justru mengajarkan
paham radikal.[17]
Penyebaran
radikalisme melalui media sosial bisa dikatakan efektif dan membutuhkan waktu
yang lebih singkat. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Solahudin
terhadap 75 narapidana terorisme. Dalam studi
tersebut, Solahudin mempelajari berapa lama seseorang terpapar konten
radikalisme hingga akhirnya melakukan aksi teror. Hasilnya, 85 persen dari
narapidana terorisme tersebut mengalami waktu yang cukup singkat sejak terpapar
konten radikalisme hingga akhirnya melakukan aksi teror. Solahudin menyatakan,
waktu yang diperlukan adalah 0-1 tahun. Kemudian ia membandingkan dengan
narapidana tahun 2002-2012 ketika media sosial belum marak digunakan. Rata-rata
para napi ini membutuhkan waktu 5-10 tahun mulai dari terpapar sampai
memutuskan untuk terlibat.[18]
4.
Menangkal
Radikalisme di Era Digital
Ada pepatah yang
mengatakan “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Radikalisme bisa kita
ibaratkan seperti virus berbahaya yang sedang menyebar. Daripada penyebaran
virus radikalisme kian meluas dan memakan lebih banyak korban, maka ada baiknya
dilakukan tindakan pencegahan sejak dini. Melihat maraknya bahaya radikalisme
melalui media sosial, maka salah satu cara untuk mencegahnya ialah melalui apa
yang disebut “literasi digital”. Literasi digital bisa diartikan sebagai
kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk hidup, belajar, dan bekerja di
dalam masyarakat di mana komunikasi dan akses terhadap informasi semakin
meningkat melalui teknologi digital, seperti internet, media sosial, dan
perangkat seluler.[19]
Kesadaran
tentang pentingnya literasi digital juga mulai disadari oleh para cendekiawan
muslim, seperti A. Helmy F. Zaini. Menurutnya kemendesakan literasi digital
didasarkan pada dua hal. Pertama, jumlah
pengguna internet di Indonesia yang terbilang sangat besar, yaitu 132 juta jiwa
dari total populasi 256,9 juta jiwa (data April 2016).[20]
Sayangnya dari 132 juta jiwa pengguna internet di Indonesia sebagian besar
masih tergolong “gagap digital”. Contoh kegagapan digital adalah menyebarnya
hoaks dan ujaran kebencian, maraknya cyberbullying, penggunaan sosial untuk tujuan terorisme dan
radikalisme, serta ketergantungan yang tinggi pada media digital. Hal ini
disebabkan kurangnya sikap kritis dalam menyaring setiap pesan yang ada di
dalam media digital.
Alasan Kedua dibutuhkannya literasi digital
adalah adanya gejala “diri yang teralienasi” dalam kehidupan nyata sehingga
pelariannya adalah dengan cara mengaktualisasikannya di media sosial. Sayangnya
bentuk-bentuk permainan di media sosial menggunakan logika kalah-menang,
sehingga yang terpatri di dalam benak mereka adalah kemenangan. Kondisi ini
kemudian ditangkap oleh kelompok radikalis. Kelompok radikalis lalu
mempropagandakan bahwa sesungguhnya “kita dalam keadaan kalah”. Mereka lalu
menciptakan “musuh bersama”, seperti kapitalisme dan demokrasi yang dianggap
sebagai produk kafir. Di titik inilah benih radikalisme tumbuh dan berkembang.[21]
Berdasarkan
hasil penelitian Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi) pada
April 2017, ditemukan kurang dari 342 kegiatan literasi digital yang
dilaksanakan oleh berbagai kelompok atau individu. Hasil ini bisa dikatakan
masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan pengguna internet di Indonesia
yang menyentuh angka 132 juta jiwa. Bentuk
literasi digital ini beraneka ragam, seperti sosialisasi, workshop, diskusi, penelitian talkshow,
publikasi, kurikulum, kampanye, lomba pembentukan unit anti hoaks, dsb. Adapun
sasaran utama dari kegiatan literasi digital adalah para remaja atau pelajar,
sebab mereka dianggap sebagai kelompok yang paling rentan terhadap efek negatif
media digital namun sekaligus berpeluang sebagai agen penggerak literasi
digital. Untuk menjalankan pendidikan literasi digital, menurut Japelidi, mitra
yang dapat diajak untuk bekerjasama ialah pemerintah, lembaga pendidikan,
komunitas-komunitas, media, dsb.[22]
Selain
menaruh harapan untuk mencegah bertumbuhnya paham radikal pada masyarakat,
menurut Helmy F. Zaini tugas untuk mencegah menyebarnya radikalisme melalui
media sosial juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Menurutnya pemerintah
harus bersikap proaktif untuk menindak dengan tegas situs-situs atau akun-akun
yang memang terbukti telah menjadi sumber berita palsu dan propaganda kebencian
yang mengarah pada adu domba, kebencian, juga radikalisme.[23]
Upaya
lain yang juga dapat digalakkan dalam rangka mencegah penyebaran paham radikal
ialah dengan menghidupkan kembali kearifan lokal di setiap daerah. Sebagaimana
survei yang dilakukan BNPT, 63,6 persen responden percaya bahwa kearifan lokal
dapat menangkal radikalisme. Akan tetapi pengetahuan masyarakat, khususnya kaum
muda, akan kearifan lokal di daerahnya masih sangat minim. Hanya sekitar 30,09
persen masyarakat yang memahami kearifan lokal di daerahnya. Sejauh ini BNPT
sedang menyusun program yang melibatkan kementrian/lembaga terkait dan
pemerintah daerah untuk mengembalikan pemahaman kearifan lokal dalam interaksi
sosial di masyarakat. Program ini meliputi upaya iventarisasi kekayaan kearifan
lokal di wilayah masing-masing, redefinisi tentang kearifan lokal di setiap
provinsi, reformasi kearifan lokal agar dapat diterima kaum milenial, serta
pertukaran pengetahuan kearifan lokal ke
generasi muda lewat media sosial.[24]
5.
Penutup/Kesimpulan
Dari
uraian di atas kita bisa melihat betapa dahsyat dan berbahayanya gelombang
propaganda radikalisme melalui media internet. Hal ini akan sangat berbahaya
apabila 143,26 juta[25]
orang pengguna internet “gagap digital” serta tidak memiliki sikap kritis dalam
menerima setiap informasi yang bertebaran di dunia maya. Jika hal ini dibiarkan
maka bahaya radikalisme tidak bisa dihindarkan lagi.
Oleh
karena itu, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak, baik
masyarakat, pemerintah, sekolah, atau instansi-instansi terkait untuk
menggalakkan gerakan “literasi digital”. Tujuannya jelas, agar masyarakat kita
melek teknologi, memiliki pengetahuan yang memadai, serta mampu bersikap kritis
dan bijaksana dalam menggunakan media-media sosial. Hanya dengan
kualitas-kualitas seperti inilah laju deras arus radikalisme dapat ditangkal
oleh masyarakat digital zaman ini, khususnya kaum muda. Tanpa kualitas-kualitas
tersebut, para pengguna internet hanyalah individu-individu yang siap menjadi
sasaran empuk kelompok radikal.
Selain
itu, lembaga-lembaga pendidikan atau lembaga pemerintahan juga sebaiknya lebih
selektif dalam menetapkan/mengangkat guru agama atau pendakwa di lembaga
pemerintah, lembaga pendidikan, atau di masjid-masjid. Jangan sampai mereka
yang beraliran radikal atau paham keagamaannya kurang dijadikan sebagai pengajar
agama atau pendakwah. Apabila masyarakat dibekali dengan paham keagamaan yang
benar dan memadai, maka bukan tidak mungkin mereka pun dapat menyikapi secara
kritis dakwah-dakwah atau ajaran-ajaran sesat yang bertebaran di dunia maya.
Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki bekal
pengetahuan keagamaan yang mencukupi dan memiliki animo yang tinggi untuk
belajar agama, namun para pengajarnya beraliran radikal maka dengan mudah
mereka ini menjadi korban “cuci otak” kelompok radikalis.
Daftar
Pustaka
Abdullah Darraz,
Muhammad. (ed.). Reformulasi Ajaran
Islam: Jihad, Khilafah, dan
Terorisme. Bandung : PT. Mizan Pustaka. 2017.
Effendy, Bahtiar.,
dan Hendro Prasetyo (Eds.). Radikalisme
Agama. Jakarta : PPIM IAIN.1998.
Zaini,
A. Helmy Faishal. Nasionalisme Kaum
Sarungan. Jakarta: PT Gramedia. 2018.
Kompas. Jumat 23
November 2018.
Kompas. Jumat, 30
November 2018.
[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme, diakses pada Rabu, 5 Desember
2018, pada pukul 09.35 wib.
[2] Bahtiar Effendy dan Hendro
Prasetyo (Ed.), Radikalisme Agama, Jakarta:
PPIM IAIN,1998, hal. XVII-XVII.
[3] Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah
Islam, dalam Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (Ed.), Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM
IAIN,1998, hal. 6-7.
[7] Nasir Abbas, Rehabilitasi dan Reedukassi Narapidana dan
mantan Narapidana Kasus Teror, dalam Muhammad Abdullah Darraz (ed.), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Bandung
: PT. Mizan Pustaka, 2017, hal. 292.
[8] Zuly Qodir, Jihad, Terorisme, dan Kaum Muda
di Indonesia: Perspektif
Sosiologis, dalam Muhammad
Abdullah Darraz (ed.), Reformulasi Ajaran
Islam: Jihad, Khilafah, dan
Terorisme, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017, hal. hal. 325.
[12] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170719170854-120-228954/kabur-demi-gabung-isis-remaja-jerman-ditangkap-di-mosul diakses pada Sabtu, 8 Desember
2018, pkl. 10.24 wib.
[13] https://nasional.tempo.co/read/1088460/pelaku-bom-di-surabaya-satu-keluarga-begini-pembagian-tugasnya/full&view=ok diakses pada Sabtu, 8 Desember
2018, pkl. 10.32 wib.
[14] Herdi Sahrasad, Kekhalifahan Virtual dan Ancaman Masa Depan,
dalam Kompas, Jumat 23 November 2018,
hal. 7.
[16] https://nasional.kompas.com/read/2018/05/16/12493021/media-sosial-berperan-penting-dalam-proses-radikalisasi diakses pada Sabtu, 8 Desember
2018, pkl. 10.45 wib.
[18] https://nasional.kompas.com/read/2018/05/16/12493021/media-sosial-berperan-penting-dalam-proses-radikalisasi diakses pada Senin, 10 Desember
2018, pkl. 09.13.wib.
[19] https://www.westernsydney.edu.au/studysmart/home/digital_literacy/what_is_digital_literacy diakses pada Senin, 10 Desember
2018, pkl. 10.05 wib.
[22] https://theconversation.com/pemetaan-9-kota-menegaskan-indonesia-harus-bangkit-dari-gagap-digital-84064 diakses pada Senin, 10 Desember
2018, pkl. 11.18 wib.
[25] Data Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJI) menyebutkan pada tahun 2017 pengguna ineternet
meningkat dari 132 juta jiwa (2016) menjadi 143,26
juta jiwa atau setara 54,7 persen dari total populasi republik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar