Senin, 04 November 2019

Radikalisme Islam di Era Digital



Beberapa tahun belakangan kita dikejutkan oleh maraknya fenomena radikalisme, khususnya radikalisme Islam. Fenomena ini muncul dengan beraneka ragam propaganda, salah satunya ialah hendak mengganti dasar negara (pancasila) dan sistem pemerintahan yang sudah ada (demokrasi) yang dianggap gagal dan telah melenceng dari nilai-nilai Islam dengan sistem pemerintahan yang diklaim sesuai dengan nilai-nilain keislaman, seperti sistem khilafah. Kita semua dibuat takut dan cemas oleh fenomena ini. Kita tidak ingin negara kita mengalami nasib yang sama seperti negara-negara yang hancur ketika disusupi radikalisme Islam. Oleh karena itu di dalam paper ini pertama-tama akan diurai pengertian, ciri, dan faktor penyebab munculnya paham radikal (Islam), dan kemudian akan dibahas pula mengenai fenomena radikalisme Islam di era digital beserta langkah pencegahannya.

1.                  Arti dan Ciri Radikalisme 
Istilah “radikalisme” merupakam istilah yang sering digunakan dalam disiplin sosial dan politik untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kedua ranah tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan radikalisme sebagai: a) paham atau aliran yang radikal dalam politik, b) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, c) sikap ekstrem dalam aliran politik.[1]
Menurut Horce M. Kallen[2] radikalisme dalam bidang sosial dicirikan oleh tiga hal umum: pertama, radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, tidak berhenti pada upaya penolakan, radikalisme terus berupaya menggantikan tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain yang diusung oleh kelompok radikalisme tertentu. Sesuai dengan akar katanya “radix” (Latin: akar), sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar. Ketiga, ialah keyakinan kaum radikalis akan kebenaran nilai atau ideologi yang mereka usung dan pengingkaran terhadap sistem lain yang ingin diganti. Dalam bidang sosial, keyakinan mereka akan kebenaran dan kemutlakan nilai yang diusung sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti “kerakyatan” atau “kemanusiaan”. Kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.
Di dalam Islam sendiri kata “radikal” juga dipakai untuk menyebut gerakan dalam Islam yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan. Menurut Tarmizi Taher, istilah yang paling sering digunakan adalah “fundamentalisme agama”, namun menurutnya istilah ini terlalu banyak dipengaruhi oleh tradisi Kristen yang merujuk pada gerakan fundamentalis Protestan.[3]Untuk mengatasi masalah penggunaan istilah ini, Youssef M. Choueiri menawarkan pemilahan istilah, yaitu: revivalisme, reformisme, dan radikalisme.
Revivalisme merujuk pada pemikiran dan gerakan yang bertujuan untuk menghidupkan kembali praktik kehidupan yang dipandang murni dan bersumber dalam Islam. Dua tokoh yang paling dekat dengan kategori ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab dan Sayyid Ahmad Syahid (1786-1831). Menurut keduanya banyak praktik keagamaan yang berasal dari zaman jahiliyah telah merasuk dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kaum Muslimin. Misalnya saja tradisi Hindu di India yang telah menyusup menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Muslim.[4]
Sebaliknya kelompok reformis cenderung bersikap lebih lunak. Meskipun mereka setuju bahwa Islam ideal adalah seperti yang dicontohkan Rasul, namun mereka memandang perubahan sejarah sebagai fenomena yang tidak dapat dielakkan. Menurut golongan reformis, mengikuti pola Islam masa Rasul secara harfiah dalam rangka menegakkan kembali misi awal Islam adalah sebuah kemustahilan, sebab zaman senantiasa berubah dan tantangan tiap zaman berbeda-beda. Model islam masa rasul lebih tepat dijadikan sumber pengembangan pemikiran islam di zaman kontemporer. Oleh karena itu, praktik-praktik keagamaan yang tidak menyimpang dari tujuan-tujuan yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah dapat diterima. Tokoh-tokoh terkenal dari mazhab ini ialah Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida. Mereka ini memiliki keinginan kuat untuk memadukan nilai-nilai Islam dengan budaya modern (Barat) yang mereka anggap sebagai budaya maju, terdidik, kaya, dan berperadaban.[5]
Berbeda dengan kelompok reformis, kelompok radikal cenderung menaruh curiga pada Barat. Kelompok radikal menolak segala sesuatu yang dianggap berbau Barat, seperti Marxisme, Kapitalisme, Nasionalisme, dan Liberalisme. Menurut para tokoh kelompok ini, seperti Sayid Qutb, Abdul A’la Maududi, dan Abu Hasan Nadwi, kebudayaan Barat yang merasuki kehidupan kaum Muslim sebenarnya berpangkal pada Kekristenan. Ekspansi politik Barat melalui kolonialisme dan imperialisme, serta penguasaan ekonomi terhadap masyarakat non-Eropa melalui kapitalisme pada prinsipnya adalah perpanjangan dari misi Kristen. Akibatnya kelompok ini menolak tatanan kehidupan modern. Sistem negara-bangsa dan demokrasi juga ditolak karena meletakkan manusia di atas kekuasaan Tuhan. Sebagai akibat lebih lanjut, bersamaan dengan penolakan atas sistem kehidupan dan ideologi Barat, para tokoh kelompok radikalis melihat penerapan Syari’ah sebagai satu-satunya alternatif bagi kaum Muslim. Selain penolakan atas segala sesuatu yang berbau Barat, sikap kelompok ini yang non-kompromis membuat sikap radikalis kelompok ini semakin menonjol. [6]

2.                  Faktor Penyebab Munculnya Sikap Radikal
Radikalisme yang kemudian mengarah pada aksi terorisme dalam jaringan tertentu, seperti Al-Jamaan Al-Islamiyah, NII, dan ISIS disebabkan karena ideologi atau keyakinan (keagamaan) yang diterima melalui proses indoktrinasi. Proses indoktrinasi ini dilakukan secara bertahap oleh orang-orang yang dianggap suci atau pandai dalam ilmu agama, dilakukan dalam waktu yang cukup lama sehingga doktrin-doktrin tersebut terinternalisasi menjadi pegangan hidup dan diterima sebagai sebuah kebenaran, kemudian disucikan sebagai sebuah dogma.[7]
Menurut Michael McCullough dan Timothy (sosiolog kaum muda asal Pennsylvania) ada empat faktor yang mendukung munculnya paham radikal di dalam diri seseorang. Pertama, mental health (kesehatan mental). Kesehatan mental kaum muda sangat rentan terhadap depresi. Beragam faktor, seperti kegagalan dalam hidup, kebahagiaan yang tak dapat diraih, kegagalan dalam relasi, keluarga yang tidak harmonis, atau situasi ekonomi dan sosial yang buruk, dapat mendorong munculnya stres, kebosanan, serta berbagai simtom untuk depresi. Depresi keagamaan akan muncul secara intrinsik (dari dalam diri) sebagai religious involvement yang kemudian berkembang menjadi public involvement dalam keagamaan. Semakin kuat dorongan depresi, maka akan semakin kuat pula dorongannya pada public religious involvement.[8]
Kedua, ketimpangan ekonomi yang mendorong timbulnya kecemburuan dan kemarahan sosial terhadap mereka yang kaya secara ekonomi. Kecemburuan sosial ekonomi akan mendorong seseorang untuk melakukan protes, baik dengan cara yang santun maupun dengan cara yang agresif. Menurut Jose Casanova, ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan politik pemerintah secara tidak langsung akan berdampak pada masyarakat beragama. Masyarakat beragama (masyarakat sipil) kemudian mengalami privatisasi dalam beragama yang kemudian menumbuhkan kebencian pada kelompok lain yang lebih sejahtera. Kebencian tersebut lama-kelamaan menimbulkan antipati dan perilaku destruktif sebagai rangkaian dari isu keagamaan yang dimulai dari persoalan ekonomi politik publik.[9]
Ketiga, kondisi sosial-politik. Menurut Peter Beyer perubahan politik dunia juga akan berdampak pada pandangan dan perilaku keagamaan masyarakat, terutama apabila perubahan sosial-politik hanya menguntungkan kelompok kecil dalam masyarakat (para pemilik modal). Pada akhirnya kondisi ini akan menggerakkan kelompok (mayoritas) yang dirugikan oleh sistem politik untuk melakukan perlawanan. Jika gerakan masyarakat ini sudah terorganisasi secara baik, maka akan dilakukan apa yang dinamakan religious social movement sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan yang independen dan melibatkan semua kalangan (tua-muda, pria-wanita) karena didorong oleh religious commitmen dan religious movement demi membebaskan diri dari sistem ekonomi yang menjerat. Dalam hal ini persoalan keagamaan dihubungkan dengan masalah politik.[10]
Keempat, religious commitment dari pemahaman keagamaan. Agama dilihat sebagai sesuatu yang sakral dan penjamin kepastian di tengah banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu dukungan pemahaman atas yang sakral mendapatkan pengikut yang cukup banyak di tengah masyarakat yang galau (greavances).[11]
           
3.                  Fenomena Radikalisme Islam di Era Digital
Di era digital ini penyebaran paham radikalisme menunjukkan gejala-gejala baru. Penyebaran radikalisme tidak lagi hanya dilakukan melalui dakwa, melainkan juga melalui media sosial. Sasarannya pun bukan hanya para pria dewasa, melainkan juga perempuan, kaum muda, anak-anak, dan bahkan kaum terdidik. Misalnya saja yang terjadi pada Linda W (16) remaja putri asal Pulsnitz, Dresden, Jerman. Ia rela kabur meninggalkan orang tuanya dan tanah airnya demi bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Linda terpapar paham radikal melalui online chat room pada pertengahan 2016.[12] Atau sebagaimana yang kita lihat terjadi pada keluarga Dita Supriyanto (terkait dengan sel Jamaah Ansharud Daulah/JAD Surabaya), pelaku aksi bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei 2018.[13]
Sebagaimana disebutkan oleh Herdi Sahrasad, setelah nyaris hilangnya ruang fisik khilafah di Suriah dan Irak, kekhilafan kini muncul dalam dunia maya. Mengutip Chelsea Daymon dan Mia Bloom, keduanya peneliti terorisme di Georgia University AS, media NIIS menggunakan metode baru dalam menjaring anggota dan menyebarkan paham radikalnya. Berdasarkan hasil penelitian mereka, media NIIS dalam sehari menghasilkan rata-rata 40 propaganda, dan sepertiga dari propaganda tersebut bernada positif. Hal ini berbeda dengan persepsi selama ini bahwa semua propaganda NIIS penuh kekerasan, keji, dan mengerikan. Maksud dari propaganda bernada positif ini ialah untuk menarik kaum profesional berpendidikan tinggi yang tinggal di negara-negara Barat untuk bergabung dengan NIIS. Jadi NIIS menerbitkan berbagai pesan (positif dan negatif) untuk menarik perhatian orang-orang dari berbagai kelas dan lapisan masyarakat.[14]
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan J.M. Berger dan Jonathan Morgan dari Brookings Institutions dalam penelitian yang bertajuk The ISIS Twitter Census ditemukan 46.000 lebih akun Twitter yang aktif beroperasi dan juga berpropaganda atas nama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Setiap hari akun Twitter tersebut mengirimkan pelbagai pesan singkat, status, gambar, dan video pendek. Tidak kurang dari 200.000 pesan pendek tersebar melalui akun-akun Twitter tersebut.[15]Menurut Solahudin, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI), pada tahun 2017 ISIS memiliki lebih dari 60 channel atau kanal Telegram berbahasa Indonesia. Tidak hanya itu, ada juga sekitar 30 grup chat Telegram berbahasa Indonesia. Untuk setiap channel Telegram, ada sekitar 80 hingga 150 pesan bernada kekerasan yang didistribusikan setiap harinya. Apabila dikaitkan dengan jumlah channel terkait ISIS yang ada di Telegram, maka ada ribuan pesan radikal yang beredar setiap harinya. [16]
Bahkan, kalangan akademisi pun terbilang sebagai kelompok yang rentan terhadap penyebaran radikalisme di dunia maya. Berdasarkan hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terhadap 14.400 akademisi (yang terdiri dari mahasiswa, siswa, dosen, dan guru di 32 provinsi) semakin tingginya potensi para akademisi terpapar radikalisme di dunia maya dipicu oleh semangat beragama yang tinggi, tetapi kurang didasari bekal keagamaan. Secara individu mereka lebih memilih figur tokoh agama yang mudah diakses melalui telepon pintar atau di media sosial daripada lembaga keagamaan formal. Dari hasil survei tersebut 77,73 persen koresponden mengakui melakukan aktivitas keagamaan, tetapi hanya 25,82 persen yang mendapat pendidikan melalui interaksi dengan guru atau tokoh agama. Sementara 61,23 persen lainnya mencari konten agama lewat media sosial. Akan berakibat buruk apabila tokoh agama yang diakes melalui internet justru mengajarkan paham radikal.[17]
Penyebaran radikalisme melalui media sosial bisa dikatakan efektif dan membutuhkan waktu yang lebih singkat. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Solahudin terhadap 75 narapidana terorisme. Dalam studi tersebut, Solahudin mempelajari berapa lama seseorang terpapar konten radikalisme hingga akhirnya melakukan aksi teror. Hasilnya, 85 persen dari narapidana terorisme tersebut mengalami waktu yang cukup singkat sejak terpapar konten radikalisme hingga akhirnya melakukan aksi teror. Solahudin menyatakan, waktu yang diperlukan adalah 0-1 tahun. Kemudian ia membandingkan dengan narapidana tahun 2002-2012 ketika media sosial belum marak digunakan. Rata-rata para napi ini membutuhkan waktu 5-10 tahun mulai dari terpapar sampai memutuskan untuk terlibat.[18]

4.                  Menangkal Radikalisme di Era Digital
Ada pepatah yang mengatakan “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Radikalisme bisa kita ibaratkan seperti virus berbahaya yang sedang menyebar. Daripada penyebaran virus radikalisme kian meluas dan memakan lebih banyak korban, maka ada baiknya dilakukan tindakan pencegahan sejak dini. Melihat maraknya bahaya radikalisme melalui media sosial, maka salah satu cara untuk mencegahnya ialah melalui apa yang disebut “literasi digital”. Literasi digital bisa diartikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk hidup, belajar, dan bekerja di dalam masyarakat di mana komunikasi dan akses terhadap informasi semakin meningkat melalui teknologi digital, seperti internet, media sosial, dan perangkat seluler.[19]
Kesadaran tentang pentingnya literasi digital juga mulai disadari oleh para cendekiawan muslim, seperti A. Helmy F. Zaini. Menurutnya kemendesakan literasi digital didasarkan pada dua hal. Pertama, jumlah pengguna internet di Indonesia yang terbilang sangat besar, yaitu 132 juta jiwa dari total populasi 256,9 juta jiwa (data April 2016).[20] Sayangnya dari 132 juta jiwa pengguna internet di Indonesia sebagian besar masih tergolong “gagap digital”. Contoh kegagapan digital adalah menyebarnya hoaks dan ujaran kebencian, maraknya cyberbullying, penggunaan sosial untuk tujuan terorisme dan radikalisme, serta ketergantungan yang tinggi pada media digital. Hal ini disebabkan kurangnya sikap kritis dalam menyaring setiap pesan yang ada di dalam media digital.
Alasan Kedua dibutuhkannya literasi digital adalah adanya gejala “diri yang teralienasi” dalam kehidupan nyata sehingga pelariannya adalah dengan cara mengaktualisasikannya di media sosial. Sayangnya bentuk-bentuk permainan di media sosial menggunakan logika kalah-menang, sehingga yang terpatri di dalam benak mereka adalah kemenangan. Kondisi ini kemudian ditangkap oleh kelompok radikalis. Kelompok radikalis lalu mempropagandakan bahwa sesungguhnya “kita dalam keadaan kalah”. Mereka lalu menciptakan “musuh bersama”, seperti kapitalisme dan demokrasi yang dianggap sebagai produk kafir. Di titik inilah benih radikalisme tumbuh dan berkembang.[21]
Berdasarkan hasil penelitian Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi) pada April 2017, ditemukan kurang dari 342 kegiatan literasi digital yang dilaksanakan oleh berbagai kelompok atau individu. Hasil ini bisa dikatakan masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan pengguna internet di Indonesia yang menyentuh angka 132 juta jiwa. Bentuk literasi digital ini beraneka ragam, seperti sosialisasi, workshop, diskusi, penelitian talkshow, publikasi, kurikulum, kampanye, lomba pembentukan unit anti hoaks, dsb. Adapun sasaran utama dari kegiatan literasi digital adalah para remaja atau pelajar, sebab mereka dianggap sebagai kelompok yang paling rentan terhadap efek negatif media digital namun sekaligus berpeluang sebagai agen penggerak literasi digital. Untuk menjalankan pendidikan literasi digital, menurut Japelidi, mitra yang dapat diajak untuk bekerjasama ialah pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas-komunitas, media, dsb.[22]
Selain menaruh harapan untuk mencegah bertumbuhnya paham radikal pada masyarakat, menurut Helmy F. Zaini tugas untuk mencegah menyebarnya radikalisme melalui media sosial juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Menurutnya pemerintah harus bersikap proaktif untuk menindak dengan tegas situs-situs atau akun-akun yang memang terbukti telah menjadi sumber berita palsu dan propaganda kebencian yang mengarah pada adu domba, kebencian, juga radikalisme.[23]
Upaya lain yang juga dapat digalakkan dalam rangka mencegah penyebaran paham radikal ialah dengan menghidupkan kembali kearifan lokal di setiap daerah. Sebagaimana survei yang dilakukan BNPT, 63,6 persen responden percaya bahwa kearifan lokal dapat menangkal radikalisme. Akan tetapi pengetahuan masyarakat, khususnya kaum muda, akan kearifan lokal di daerahnya masih sangat minim. Hanya sekitar 30,09 persen masyarakat yang memahami kearifan lokal di daerahnya. Sejauh ini BNPT sedang menyusun program yang melibatkan kementrian/lembaga terkait dan pemerintah daerah untuk mengembalikan pemahaman kearifan lokal dalam interaksi sosial di masyarakat. Program ini meliputi upaya iventarisasi kekayaan kearifan lokal di wilayah masing-masing, redefinisi tentang kearifan lokal di setiap provinsi, reformasi kearifan lokal agar dapat diterima kaum milenial, serta pertukaran pengetahuan kearifan lokal  ke generasi muda lewat media sosial.[24]

5.                  Penutup/Kesimpulan
Dari uraian di atas kita bisa melihat betapa dahsyat dan berbahayanya gelombang propaganda radikalisme melalui media internet. Hal ini akan sangat berbahaya apabila 143,26 juta[25] orang pengguna internet “gagap digital” serta tidak memiliki sikap kritis dalam menerima setiap informasi yang bertebaran di dunia maya. Jika hal ini dibiarkan maka bahaya radikalisme tidak bisa dihindarkan lagi.
Oleh karena itu, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, sekolah, atau instansi-instansi terkait untuk menggalakkan gerakan “literasi digital”. Tujuannya jelas, agar masyarakat kita melek teknologi, memiliki pengetahuan yang memadai, serta mampu bersikap kritis dan bijaksana dalam menggunakan media-media sosial. Hanya dengan kualitas-kualitas seperti inilah laju deras arus radikalisme dapat ditangkal oleh masyarakat digital zaman ini, khususnya kaum muda. Tanpa kualitas-kualitas tersebut, para pengguna internet hanyalah individu-individu yang siap menjadi sasaran empuk kelompok radikal.
Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan atau lembaga pemerintahan juga sebaiknya lebih selektif dalam menetapkan/mengangkat guru agama atau pendakwa di lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, atau di masjid-masjid. Jangan sampai mereka yang beraliran radikal atau paham keagamaannya kurang dijadikan sebagai pengajar agama atau pendakwah. Apabila masyarakat dibekali dengan paham keagamaan yang benar dan memadai, maka bukan tidak mungkin mereka pun dapat menyikapi secara kritis dakwah-dakwah atau ajaran-ajaran sesat yang bertebaran di dunia maya. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki bekal pengetahuan keagamaan yang mencukupi dan memiliki animo yang tinggi untuk belajar agama, namun para pengajarnya beraliran radikal maka dengan mudah mereka ini menjadi korban “cuci otak” kelompok radikalis.



Daftar Pustaka
Abdullah Darraz, Muhammad. (ed.). Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Bandung : PT. Mizan Pustaka. 2017.
Effendy, Bahtiar., dan Hendro Prasetyo (Eds.). Radikalisme Agama. Jakarta : PPIM IAIN.1998.
Zaini, A. Helmy Faishal. Nasionalisme Kaum Sarungan. Jakarta: PT Gramedia. 2018.
Kompas. Jumat 23 November 2018.
Kompas. Jumat, 30 November 2018.



[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme, diakses pada Rabu, 5 Desember 2018, pada pukul 09.35 wib.
[2] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (Ed.), Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM IAIN,1998, hal. XVII-XVII.
[3] Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (Ed.), Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM IAIN,1998, hal. 6-7.
[4] Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, hal. 8-9.
[5] Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, hal. 17-19.
[6] Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, hal. 23-26.
[7] Nasir Abbas, Rehabilitasi dan Reedukassi Narapidana dan mantan Narapidana Kasus Teror, dalam Muhammad Abdullah Darraz (ed.), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2017, hal. 292.
[8] Zuly Qodir, Jihad, Terorisme, dan Kaum Muda  di Indonesia: Perspektif  Sosiologis, dalam  Muhammad Abdullah Darraz (ed.), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017, hal. hal. 325.
[9] Zuly Qodir, Jihad, Terorisme, dan Kaum Muda  di Indonesia: Perspektif  Sosiologis, hal. 327-328.
[10] Zuly Qodir, Jihad, Terorisme, dan Kaum Muda  di Indonesia: Perspektif  Sosiologis, hal. 329-330.
[11] Zuly Qodir, Jihad, Terorisme, dan Kaum Muda  di Indonesia: Perspektif  Sosiologis, hal. 330.
[14] Herdi Sahrasad, Kekhalifahan Virtual dan Ancaman Masa Depan, dalam Kompas, Jumat 23 November 2018,  hal. 7.
[15] A. Helmy Faishal Zaini, Nasionalisme Kaum Sarungan, Jakarta: PT Gramedia, 2018, hal. 128-129.
[17] Kearifan Lokal Bisa Redam Radikalisme, Kompas, Jumat, 30 November 2018, hal. 3.
[20] Helmy Faishal Zaini, Nasionalisme Kaum Sarungan, hal. 130.
[21] Helmy Faishal Zaini, Nasionalisme Kaum Sarungan, hal. 131.
[23] Helmy Faishal Zaini, Nasionalisme Kaum Sarungan, hal. 131.
[24] Kearifan Lokal Bisa Redam Radikalisme, Kompas, Jumat, 30 November 2018, hal. 3.
[25] Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) menyebutkan pada tahun 2017 pengguna ineternet meningkat dari 132 juta jiwa (2016) menjadi 143,26 juta jiwa atau setara 54,7 persen dari total populasi republik ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar