1.
Pengantar
Bagi
Ricoeur, simbo-simbol tidak hanya memiliki makna di dalam dirinya, tetapi juga
mengacu kepada makna di luar dirinya, yaitu kepada kehidupan kita dan kepada
dunia. Baginya simbol-simbol yang berasal dari zaman lampau, khususnya
simbol-simbol religius, dapat memiliki makna bagi manusia modern dewasa ini.
Dalam hal ini, adalah tugas hermeneutik untuk menyingkap makna yang terkandung
dalam sebuah simbol dan menghadirkannya kembali bagi manusia modern untuk untuk
menambah pemahaman dia akan dirinya dan akan
dunianya.
2.
Tugas
Hermeneutik
Menurut
Beatriz Couch dalam teorinya tentang simbol, Ricoeur berasumsi bahwa filsafat
memiliki peran penting dalam menginterpretasi simbol, terutama simbol religius.
Penyelidikan filosofis menjadi pertemuan kreatif antara hermeneutik dan
fenomenologi dalam menginterpretasi simbol-simbol. Dalam rangka menjalankan
tugas ini (interpretasi simbol) Ricoeur memulainya dengan bahasa sebagaimana terkandung
dalam simbol-simbol tersebut. Bagi Ricoeur bahasa mitis dan simbolik menjadi
sumber bagi manusia untuk memperoleh pemahaman mengenai dirinya. Ricoeur menempuh
jalan semantik untuk sampai pada pemahaman ontologi. Jalan tidak langsung
melalui simbol dan melalui interpretasi adalah kunci bagi filsafat hermeneutik
Ricoeur.[1]
Simbolisme
merupakan bahasa pada levelnya yang tertinggi, dan karenanya simbolisme secara
tidak langsung mengungkapkan dimensi-dimensi eksistensi manusia yang tidak
dapat direduksi hanya sebatas pada abstraksi-abstraksi konseptual. Simbol menggambarkan realitas dalam cara yang tidak mungkin
dilakukan oleh pemikiran filosofis ataupun pemikiran saintifik. Oleh karena
simbol menyatukan pra-kesadaran dengan kesadaran, simbol melampaui pemikiran
filosofis dalam melukiskan kondisi-kondisi terbatas yang dimiliki eksistensi
manusia. Hal ini hendak mengatakan bahwa, tidak ada cara lain untuk mengakses
pemahaman akan pengalaman-pengalaman tertentu, seperti kejahatan, kecuali
melalui interpretasi bahasa simbolik, yang menunjuk pada situasi eksistensial
manusia.[2]
Tugas
hermeneutik berkaitan erat dengan penyingkapkan simbol, dan baik simbolisme
maupun interpretasi atas simbol berhubungan erat dengan pemahaman seseorang akan
dirinya dan akan dunianya. Semua simbol dan mitos berbicara tentang manusia yang
berada dalam proses kemenjadian. Singkatnya, pemahaman mengenai “siapakah
diriku” diperoleh melalui interpretasi atas simbol dan tanda, entah simbol atau
tanda tersebut dieksperesikan melalui mitos, mimpi, atau puisi. Lebih lanjut, menurut
Beatriz Couch, Ricoeur beranggapan bahwa relasi dialektikal antara beragam
metode hermeneutik memungkinkan kita untuk sampai pada pemahaman yang lebih
mendalam tentang subjek yang sedang ditelaah. Metode yang digunakan Ricoeur
mengungkapkan pandangannya tentang kebenaran. Kebenaran bagi Ricoeur adalah perjalanan bersama dengan yang lain,
kebenaran adalah sebuah masa depan dan sebuah jalan yang harus diikuti.[3]
3.
Hermeneutik
Simbolisme Kejahatan
Dari
sudut pandang semantik, pengungkapan
simbol secara literer menunjuk pada sebuah makna eksistensial. Sebuah simbol
tidak hanya bersifat kognitif melainkan juga operatif, yaitu simbol tidak hanya
menghadirkan kembali apa yang ditandakannya melainkan juga berelasi dengan apa
yang ditandakannya. Ricoeur menyebutnya sebagai keterbukaan ontologis simbol. Menurut
Ricoeur, inilah keunggulan sebuah simbol, menghubungkan bahasa yang berbeda
dalam beragam cara dan menyatukannya dengan apa yang ditandakannya. Simbol
mampu menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, antara manusia dalam ruang
tertentu dengan benda-benda, antara individu dengan komunitas, dan antara
manusia dalam kosmos dengan totalitas.[4]
Misalnya
saja bagaimana Ricoeur “mementaskan kembali” pengalaman akan “kejahatan”
sebagaimana terkandung dalam simbol noda-dosa-rasa bersalah. Dalam simbolisme
kejahatan, Ricoeur bermaksud menunjukkan transisi manusia dari kondisi “dapat
berbuat salah” kepada kondisi “berbuat bersalah”. Kejahatan itu selalu
mendahului pengalaman manusia akan kejahatan, sehingga setiap manusia tidak
dapat tidak mengakui adanya kejahatan. Menurut Ricoeur, bentuk paling kuno
pengalaman manusia akan kejahatan ditemukan dalam gambaran tentang “noda”. Noda
dijelaskan dan dialami melalui skema eksterioritas manusia. Noda adalah
“peristiwa” quasi-material dan “menjangkiti” kemanusiaan melalui kontak
langsung. Noda mengakibatkan hilangnya kemurnian etis seseorang, dan kondisi
terjangkit “noda” memerlukan ritus pemurnian. Noda disadari sebagai “peristiwa
obyektif” yang menimbulkan ketakutan atau “teror etis” pada pelakunya dan
menuntut hukuman setimpal untuk pemurnian kembali, yakni “memulihkan tatanan”.[5]
Gambaran “noda” yang eksternal kemudian
ditransformasikan ke dalam konsep internal tentang “dosa”. Jika simbolisme noda
berasal dari bangsa kuno yang tidak mengenal konsep Allah, maka simbolisme dosa
berasal dari bangsa yang mengenal konsep Allah. Dosa dipahami dalam relasi antara
manusia dengan Allah. Simbol dosa berkaitan dengan hilangnya tujuan, jalan yang
berbelit-belit, pemberontakan, dan ketersesatan manusia dari kehendak Allah.
Dalam hal ini “seorang pendosa” adalah ia yang pergi jauh dari Allah, atau
melupakan Allah. Hal ini membawa orang pada pemahaman akan konsep tentang penyembahan
berhala dan konsep tentang Allah yang pecemburu.[6]
Selanjutnya simbol dosa beralih ke
simbol “rasa bersalah”. Rasa bersalah bersifat subjektif, sedangkan noda dan
dosa bersifat objektif. Rasa bersalah merupakan tahapan pengakuan dalam arti
yang sesungguhnya, karena ketika dalam noda, saya masih menuduh yang lain,
dalam dosa saya tertuduh, sedangkan baru dalam kesalahan saya menuduh diriku
sendiri.[7] Sekalipun
dalam rasa bersalah terjadi pergerakan dari kesadaran religius menjadi
kesadaran etis, Ricoeur tidak memaksudkan konsep Allah dapat ditinggalkan sama
sekali. Konsep rasa bersalah tetap perlu dirujukkan pada simbol yang lebih primordial,
yakni noda dan dosa.[8]
Lebih lanjut, menurut Beatriz Couch,
bagi Ricoeur tiga level pengalaman manusia akan kejahatan, noda-dosa-rasa
salah, terhubung dalam bentuk naratif mitos-mitos. Mitos dapat dipandang
sebagai simbol dalam bentuk narasi. Ricoeur menunjuk tiga fungsi mitos yaitu:
1) menghadirkan kembali pengalaman universal manusia yang konkret melalui
bahasa simbolis, 2) memperkenalkan sebuah tegangan historis dalam pengalaman
ini (yaitu awal dan akhir), 3) mengekplorasi jarak antara perasaan tidak
bersalah dan perasaan bersalah.[9]
Ricoeur membedakan empat macam mitos,
yaitu: mitos penciptaan dunia, mitos visi “tragedi” eksistensi manusia, mitos kejatuhan
manusia, dan mitos jiwa yang terasing. Mitos
penciptaan memberikan jawaban alternatif atas pertanyaan “dari mana saya
berasal?” Contoh dari mitos jenis ini mitos Enuma
elish dari Babilonia atau kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Satu hal
penting yang ditemukan Ricoeur dalam refleksinya adalah bahwa yang baik itu
lebih purba dari pada yang jahat.[10] Dalam
mitos ini hendak ditampilkan dua kepercayaan dari orang-orang zaman dahulu: 1)
Segala sesuatu yang ada di dunia memiliki asal-usulnya dan 2) kejahatan
bersifat primordial yang tampak dalam wujud ketidakteraturan dan kemudian
diatur secara tertata menjadi suatu dunia.[11]
Mitos visi “tragedi” eksistensi manusia berpusat
pada pemahaman tentang dewa yang licik, contohnya adalah mitos Prometheus dan
Oedipus dalam tragedi Yunani. Dalam visi tragedi kita dihadapkan pada pertentangan
antara seorang superhero yang takdirnya ditentukan oleh dewa melawan dewa yang
pencemburu. Dalam hal ini kejahatan diasalkan pada dewa yang keji dan
pecemburu. Visi tragis adalah sebuah tontonan, bukan mendengarkan cerita
sebagaimana mitos penciptaan. Intensi tersembunyi dari visi tragis ialah
pembebasan atau penyucian bagi objek tontonan melalui pengalamannya dan juga
bagi para penonton melalui kesaksian mereka akan peristiwa tersebut.[12]
Tipe ketiga adalah mitos kejatuhan
manusia atau mitos Adamis. Mitos ini adalah mitos antropologis. Mitos Adamis
sering dibandingkan dengan mitos Prometheus (Yunani) yang lebih dekat dengan
mitos visi tragedi. Menurut Ricoeur, mitos Adamis lebih spesial ketimbang mitos
Prometheus sebab dalam mitos Adamis asal-susl kejahatan murni ditempatkan dalam
diri manusia – inilah alasan mengapa mitos Adamis disebut sebagai mitos
antropologis, sebab tidak ada pihak lain selain manusia yang dapat disalahkan
atas hadirnya kejahatan di dunia. Intensi tersembunyi kisah ini ialah manusia
berdosa – namun ia tidak seluruhnya jatuh dan tersesat. Intensi kedua ialah
bahwa mitos ini hendak memisahkan asal-mula kejahatan dari asal-mula kebaikan.
Kejahatan bersifat radikal karena dihadirkan ke dalam dunia oleh tindakan
pelaku kejahatan itu sendiri.[13]
Mitos keempat adalah mitos jiwa yang
terasing. Dalam mitos ini manusia memahami dirinya sama dengan jiwanya tetapi
jiwanya berbeda dengan badannya. Mitos ini tampak dalam kisah Orpheus dalam
mitologi Yunani. Mitos ini memberikan gambaran tentang daya eskatologis yang dimiliki tubuh; tubuh dapat mati, sedangkan
jiwa bersifat kekal. Tema lain dari mitos ini ialah tentang “penghukuman
neraka”.[14]
Menurut Beatriz Couch, dalam mitos
Adamis manusia tidak lagi menjadi sasaran amarah para dewa yang jahat. Berbeda
dengan Adam yang kebebasannya dianugerahkan Allah. Kebebasan Prometheus adalah
kebebasan hasil pertentangannya dengan para dewa, dan bukan hasil sebuah
partisipasi. Kebebasan yang ia peroleh adalah hasil rampasan, yang tidak
diberikan secara tulus oleh dewa-dewa kepada manusia, melainkan diperoleh
melalui pertentangan dan murkanya kepada Zeus.[15]
Sedangkan Oedipus, menurut Ricoeur, lebih
merupakan tragedi tentang kebenaran, khususnya tentang pengetahuan diri (self-knowledge). Rasa bersalah Oedipus dalam
tragedi ini bukanlah rasa bersalah yang ditimbulkan karena permasalahan
seksual, melainkan lebih pada kemarahan yang disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan. Tragedi yang dialami Oedipus disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
yang ia miliki; ia membunuh ayah dan menikahi ibunya karena ia tidak tahu. Oedipus
merepresentasikan kesombongan manusia yang tampak dalam relasinya dengan figur yang
memiliki kebenaran, Tiresias. Bagi Ricoeur, tragedi ini adalah tragedi Oedipus
sang Raja, bukan Oedipus sang
pembunuh ayahnya atau Oedipus yang berhubungan incest dengan ibunya. Hubungan
antara Oedipus, amarah, dan kekuatan kebenaran adalah pusat dalam tragedi
Oedipus.[16]Selanjutnya
menurut Beatriz Couch, interpretasi dialektis atas mitos-mitos ini mengantar kita
untuk menemukan beberapa sifat kodrat manusia.
Adam juga berkehendak untuk memiliki
kebenaran dan menjadi pusat kebenaran, bukan karena ia adalah raja yang angkuh
sebagaimana Oedipus, namun karena ia memiliki kehendak yang memberinya kekuatan
untuk menjadi seperti Allah.[17] Kesombongan
Adam dan Oedipus menyudahi rantai drama mereka. Adam telah diberi kekuasaan
atas segenap ciptaan (Kejadian 1 & 2), namun ia berhasrat untuk memiliki
kekuasaan yang lebih, “matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti
Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:5). Di sini perjuangan
untuk mendapatkan kebenaran didorong oleh semangat kekuasaan dan kesombongan. Kedua
tokoh ini memperoleh pengetahuan tentang diri, namun pengetahuan ini diperoleh
bukan melalui kebebasan, namun merupakan produk dari kesombongan dan hasrat akan kekuasaan.[18]
4.
Penutup
& Tanggapan
Sebagaimana
telah kita lihat, Ricoeur telah menunjukkan nilai universalitas simbol dan
mitos. Simbol dan mitos yang dibuat pada zaman purbakala ternyata tidak hanya
relevan pada zamannya, namun juga relevan bagi masyarakat modern. Melalui
metode hermeneutiknya, Ricoeur mampu menarik makna yang terkandung dalam simbol
dan mitos tertentu untuk dihadirkan kembali bagi masyarakat modern. Makna yang
ditarik dari simbol dan mitos dan yang dihadirkan kembali kepada para pembaca
modern diharapkan mampu berbuah bagi kehidupan orang-orang modern. Makna yang
terkandung dalam simbol mampu memunculkan pemikiran bagi manusia modern untuk melihat
kembali dan memperluas pemahaman tentang dirinya dan dunianya. Manusia modern
masih dapat mempercayai mitos yang berasal dari masa lampu melalui
hermeneutika.
Bagaimana
mitos dari masa lampau dapat berbicara bagi manusia modern kita jumpai dalam
tafsir Ricoeur atas fenomena kejahatan. Fenomena kejahatan yang direfleksikan
oleh manusia purba sebagaimana terutang dalam simbol dan mitos (misalnya dalam
mitos Adamis) menunjukkan bahwa fenomena kejahatan terkait langsung dengan
penyalahgunaan kebebasan manusia. Dalam hal ini Ricoeur memandang bahwa kodrat
manusia pada dasarnya baik. Kejahatan memang datang dari diri manusia, namun
bukan karena kodrat manusia yang buruk (sebagaimana diyakini Agustinus dalam
gagasannya tentang “dosa asal”), namun karena kesalahan manusia dalam
menyalahgunakan kebebasannya.
Selain
itu, hermeneutik Ricoeur atas teks-teks sakral kiranya membantu orang untuk
beriman secara kritis. Melalui tafsirnya atas simbol dan mitos dalam Kitab Suci
kita dimampukan untuk melihat makna universal yang terkandung dalam teks dan
simbol tersebut, sehingga kita tidak menafsirkan teks-teks yang dianggap sakral
tersebut secara harafiah. Teks-teks tersebut memang terikat pada konteks kemunculannya,
namun teks-teks tersebut perlu dibaca secara baru dan secara kritis oleh orang-orang
modern. Penafsiran teks-teks sakral secara harafiah dan tidak disertai sikap
kritis hanya akan mengantar para pembacanya kepada fanatisme sempit. Sebaliknya
menafsirkan teks-teks tersebut secara kritis memampukan orang untuk menyingkap
makna yang terkandung dalam teks-teks tersebut untuk dihayati dan dihidupi, dan
juga untuk memperluas pemahamannya akan dirinya sendiri dan akan dunianya.
Daftar
Pustaka
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. 2015.
Reagan,
Charles E (Ed.). Studies in the
Philosophy of Paul Ricoeur. Ohio: Ohio University Press. 1979.
Sastrapratedja, M. Hermeneutika Paul Ricoeur: Bahan Kuliah Antropologi Filosofis. Jakarta:
STF Driyarkara.
Simms, Karl.
Paul Ricoeur. NewYork: Routledge. 2003.
[1] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, dalam Charles E. Reagan, Studies
in the Philosophy of Paul Ricoeur, Ohio: Ohio University Press, 1979, hal.
117.
[2] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection,
hal. 117.
[3] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 117-118.
[4] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 119-120.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher
sampai Derrida, Yogyakarta: Penerbit
PT Kanisius, 2015, hal. 249-250.
[6] Karl Simms, Paul Ricoeur, NewYork: Routledge, 2003, hal. 22-23.
[7] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 23.
[8] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 121.
[9] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 121.
[10] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari
Schleiermacher sampai Derrida, hal.
252-253.
[11] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 24.
[12] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 25.
[13] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 25.
[14] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 26.
[15] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 122.
[16] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 122.
[17] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 123.
[18] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical
Reflection, hal. 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar