Senin, 04 November 2019

Refleksi Filosofis atas Simbol Religius (Filsafat Paul Ricoeur)


1.                  Pengantar
Bagi Ricoeur, simbo-simbol tidak hanya memiliki makna di dalam dirinya, tetapi juga mengacu kepada makna di luar dirinya, yaitu kepada kehidupan kita dan kepada dunia. Baginya simbol-simbol yang berasal dari zaman lampau, khususnya simbol-simbol religius, dapat memiliki makna bagi manusia modern dewasa ini. Dalam hal ini, adalah tugas hermeneutik untuk menyingkap makna yang terkandung dalam sebuah simbol dan menghadirkannya kembali bagi manusia modern untuk untuk menambah pemahaman dia akan dirinya  dan akan dunianya.
2.                  Tugas Hermeneutik
Menurut Beatriz Couch dalam teorinya tentang simbol, Ricoeur berasumsi bahwa filsafat memiliki peran penting dalam menginterpretasi simbol, terutama simbol religius. Penyelidikan filosofis menjadi pertemuan kreatif antara hermeneutik dan fenomenologi dalam menginterpretasi simbol-simbol. Dalam rangka menjalankan tugas ini (interpretasi simbol) Ricoeur memulainya dengan bahasa sebagaimana terkandung dalam simbol-simbol tersebut. Bagi Ricoeur bahasa mitis dan simbolik menjadi sumber bagi manusia untuk memperoleh pemahaman mengenai dirinya. Ricoeur menempuh jalan semantik untuk sampai pada pemahaman ontologi. Jalan tidak langsung melalui simbol dan melalui interpretasi adalah kunci bagi filsafat hermeneutik Ricoeur.[1]
Simbolisme merupakan bahasa pada levelnya yang tertinggi, dan karenanya simbolisme secara tidak langsung mengungkapkan dimensi-dimensi eksistensi manusia yang tidak dapat direduksi hanya sebatas pada abstraksi-abstraksi konseptual. Simbol menggambarkan realitas dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh pemikiran filosofis ataupun pemikiran saintifik. Oleh karena simbol menyatukan pra-kesadaran dengan kesadaran, simbol melampaui pemikiran filosofis dalam melukiskan kondisi-kondisi terbatas yang dimiliki eksistensi manusia. Hal ini hendak mengatakan bahwa, tidak ada cara lain untuk mengakses pemahaman akan pengalaman-pengalaman tertentu, seperti kejahatan, kecuali melalui interpretasi bahasa simbolik, yang menunjuk pada situasi eksistensial manusia.[2]
Tugas hermeneutik berkaitan erat dengan penyingkapkan simbol, dan baik simbolisme maupun interpretasi atas simbol berhubungan erat dengan pemahaman seseorang akan dirinya dan akan dunianya. Semua simbol dan mitos berbicara tentang manusia yang berada dalam proses kemenjadian. Singkatnya, pemahaman mengenai “siapakah diriku” diperoleh melalui interpretasi atas simbol dan tanda, entah simbol atau tanda tersebut dieksperesikan melalui mitos, mimpi, atau puisi. Lebih lanjut, menurut Beatriz Couch, Ricoeur beranggapan bahwa relasi dialektikal antara beragam metode hermeneutik memungkinkan kita untuk sampai pada pemahaman yang lebih mendalam tentang subjek yang sedang ditelaah. Metode yang digunakan Ricoeur mengungkapkan pandangannya tentang kebenaran. Kebenaran bagi Ricoeur adalah perjalanan bersama dengan yang lain, kebenaran adalah sebuah masa depan dan sebuah jalan yang harus diikuti.[3]
3.                  Hermeneutik Simbolisme Kejahatan
Dari sudut pandang semantik, pengungkapan simbol secara literer menunjuk pada sebuah makna eksistensial. Sebuah simbol tidak hanya bersifat kognitif melainkan juga operatif, yaitu simbol tidak hanya menghadirkan kembali apa yang ditandakannya melainkan juga berelasi dengan apa yang ditandakannya. Ricoeur menyebutnya sebagai keterbukaan ontologis simbol. Menurut Ricoeur, inilah keunggulan sebuah simbol, menghubungkan bahasa yang berbeda dalam beragam cara dan menyatukannya dengan apa yang ditandakannya. Simbol mampu menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, antara manusia dalam ruang tertentu dengan benda-benda, antara individu dengan komunitas, dan antara manusia dalam kosmos dengan totalitas.[4]
Misalnya saja bagaimana Ricoeur “mementaskan kembali” pengalaman akan “kejahatan” sebagaimana terkandung dalam simbol noda-dosa-rasa bersalah. Dalam simbolisme kejahatan, Ricoeur bermaksud menunjukkan transisi manusia dari kondisi “dapat berbuat salah” kepada kondisi “berbuat bersalah”. Kejahatan itu selalu mendahului pengalaman manusia akan kejahatan, sehingga setiap manusia tidak dapat tidak mengakui adanya kejahatan. Menurut Ricoeur, bentuk paling kuno pengalaman manusia akan kejahatan ditemukan dalam gambaran tentang “noda”. Noda dijelaskan dan dialami melalui skema eksterioritas manusia. Noda adalah “peristiwa” quasi-material dan “menjangkiti” kemanusiaan melalui kontak langsung. Noda mengakibatkan hilangnya kemurnian etis seseorang, dan kondisi terjangkit “noda” memerlukan ritus pemurnian. Noda disadari sebagai “peristiwa obyektif” yang menimbulkan ketakutan atau “teror etis” pada pelakunya dan menuntut hukuman setimpal untuk pemurnian kembali, yakni “memulihkan tatanan”.[5]
Gambaran “noda” yang eksternal kemudian ditransformasikan ke dalam konsep internal tentang “dosa”. Jika simbolisme noda berasal dari bangsa kuno yang tidak mengenal konsep Allah, maka simbolisme dosa berasal dari bangsa yang mengenal konsep Allah. Dosa dipahami dalam relasi antara manusia dengan Allah. Simbol dosa berkaitan dengan hilangnya tujuan, jalan yang berbelit-belit, pemberontakan, dan ketersesatan manusia dari kehendak Allah. Dalam hal ini “seorang pendosa” adalah ia yang pergi jauh dari Allah, atau melupakan Allah. Hal ini membawa orang pada pemahaman akan konsep tentang penyembahan berhala dan konsep tentang Allah yang pecemburu.[6]
Selanjutnya simbol dosa beralih ke simbol “rasa bersalah”. Rasa bersalah bersifat subjektif, sedangkan noda dan dosa bersifat objektif. Rasa bersalah merupakan tahapan pengakuan dalam arti yang sesungguhnya, karena ketika dalam noda, saya masih menuduh yang lain, dalam dosa saya tertuduh, sedangkan baru dalam kesalahan saya menuduh diriku sendiri.[7] Sekalipun dalam rasa bersalah terjadi pergerakan dari kesadaran religius menjadi kesadaran etis, Ricoeur tidak memaksudkan konsep Allah dapat ditinggalkan sama sekali. Konsep rasa bersalah tetap perlu dirujukkan pada simbol yang lebih primordial, yakni noda dan dosa.[8]
Lebih lanjut, menurut Beatriz Couch, bagi Ricoeur tiga level pengalaman manusia akan kejahatan, noda-dosa-rasa salah, terhubung dalam bentuk naratif mitos-mitos. Mitos dapat dipandang sebagai simbol dalam bentuk narasi. Ricoeur menunjuk tiga fungsi mitos yaitu: 1) menghadirkan kembali pengalaman universal manusia yang konkret melalui bahasa simbolis, 2) memperkenalkan sebuah tegangan historis dalam pengalaman ini (yaitu awal dan akhir), 3) mengekplorasi jarak antara perasaan tidak bersalah dan perasaan bersalah.[9]
Ricoeur membedakan empat macam mitos, yaitu: mitos penciptaan dunia, mitos visi “tragedi” eksistensi manusia, mitos kejatuhan manusia, dan mitos jiwa yang terasing. Mitos penciptaan memberikan jawaban alternatif atas pertanyaan “dari mana saya berasal?” Contoh dari mitos jenis ini mitos Enuma elish dari Babilonia atau kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Satu hal penting yang ditemukan Ricoeur dalam refleksinya adalah bahwa yang baik itu lebih purba dari pada yang jahat.[10] Dalam mitos ini hendak ditampilkan dua kepercayaan dari orang-orang zaman dahulu: 1) Segala sesuatu yang ada di dunia memiliki asal-usulnya dan 2) kejahatan bersifat primordial yang tampak dalam wujud ketidakteraturan dan kemudian diatur secara tertata menjadi suatu dunia.[11]
Mitos visi “tragedi” eksistensi manusia berpusat pada pemahaman tentang dewa yang licik, contohnya adalah mitos Prometheus dan Oedipus dalam tragedi Yunani. Dalam visi tragedi kita dihadapkan pada pertentangan antara seorang superhero yang takdirnya ditentukan oleh dewa melawan dewa yang pencemburu. Dalam hal ini kejahatan diasalkan pada dewa yang keji dan pecemburu. Visi tragis adalah sebuah tontonan, bukan mendengarkan cerita sebagaimana mitos penciptaan. Intensi tersembunyi dari visi tragis ialah pembebasan atau penyucian bagi objek tontonan melalui pengalamannya dan juga bagi para penonton melalui kesaksian mereka akan peristiwa tersebut.[12]
Tipe ketiga adalah mitos kejatuhan manusia atau mitos Adamis. Mitos ini adalah mitos antropologis. Mitos Adamis sering dibandingkan dengan mitos Prometheus (Yunani) yang lebih dekat dengan mitos visi tragedi. Menurut Ricoeur, mitos Adamis lebih spesial ketimbang mitos Prometheus sebab dalam mitos Adamis asal-susl kejahatan murni ditempatkan dalam diri manusia – inilah alasan mengapa mitos Adamis disebut sebagai mitos antropologis, sebab tidak ada pihak lain selain manusia yang dapat disalahkan atas hadirnya kejahatan di dunia. Intensi tersembunyi kisah ini ialah manusia berdosa – namun ia tidak seluruhnya jatuh dan tersesat. Intensi kedua ialah bahwa mitos ini hendak memisahkan asal-mula kejahatan dari asal-mula kebaikan. Kejahatan bersifat radikal karena dihadirkan ke dalam dunia oleh tindakan pelaku kejahatan itu sendiri.[13]
Mitos keempat adalah mitos jiwa yang terasing. Dalam mitos ini manusia memahami dirinya sama dengan jiwanya tetapi jiwanya berbeda dengan badannya. Mitos ini tampak dalam kisah Orpheus dalam mitologi Yunani. Mitos ini memberikan gambaran tentang daya eskatologis yang dimiliki tubuh; tubuh dapat mati, sedangkan jiwa bersifat kekal. Tema lain dari mitos ini ialah tentang “penghukuman neraka”.[14]
Menurut Beatriz Couch, dalam mitos Adamis manusia tidak lagi menjadi sasaran amarah para dewa yang jahat. Berbeda dengan Adam yang kebebasannya dianugerahkan Allah. Kebebasan Prometheus adalah kebebasan hasil pertentangannya dengan para dewa, dan bukan hasil sebuah partisipasi. Kebebasan yang ia peroleh adalah hasil rampasan, yang tidak diberikan secara tulus oleh dewa-dewa kepada manusia, melainkan diperoleh melalui pertentangan dan murkanya kepada Zeus.[15]
Sedangkan Oedipus, menurut Ricoeur, lebih merupakan tragedi tentang kebenaran, khususnya tentang pengetahuan diri (self-knowledge). Rasa bersalah Oedipus dalam tragedi ini bukanlah rasa bersalah yang ditimbulkan karena permasalahan seksual, melainkan lebih pada kemarahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Tragedi yang dialami Oedipus disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang ia miliki; ia membunuh ayah dan menikahi ibunya karena ia tidak tahu. Oedipus merepresentasikan kesombongan manusia yang tampak dalam relasinya dengan figur yang memiliki kebenaran, Tiresias. Bagi Ricoeur, tragedi ini adalah tragedi Oedipus sang Raja, bukan Oedipus sang pembunuh ayahnya atau Oedipus yang berhubungan incest dengan ibunya. Hubungan antara Oedipus, amarah, dan kekuatan kebenaran adalah pusat dalam tragedi Oedipus.[16]Selanjutnya menurut Beatriz Couch, interpretasi dialektis atas mitos-mitos ini mengantar kita untuk menemukan beberapa sifat kodrat manusia.
Adam juga berkehendak untuk memiliki kebenaran dan menjadi pusat kebenaran, bukan karena ia adalah raja yang angkuh sebagaimana Oedipus, namun karena ia memiliki kehendak yang memberinya kekuatan untuk menjadi seperti Allah.[17] Kesombongan Adam dan Oedipus menyudahi rantai drama mereka. Adam telah diberi kekuasaan atas segenap ciptaan (Kejadian 1 & 2), namun ia berhasrat untuk memiliki kekuasaan yang lebih, “matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:5). Di sini perjuangan untuk mendapatkan kebenaran didorong oleh semangat kekuasaan dan kesombongan. Kedua tokoh ini memperoleh pengetahuan tentang diri, namun pengetahuan ini diperoleh bukan melalui kebebasan, namun merupakan produk dari kesombongan dan hasrat akan kekuasaan.[18]
4.                  Penutup & Tanggapan
Sebagaimana telah kita lihat, Ricoeur telah menunjukkan nilai universalitas simbol dan mitos. Simbol dan mitos yang dibuat pada zaman purbakala ternyata tidak hanya relevan pada zamannya, namun juga relevan bagi masyarakat modern. Melalui metode hermeneutiknya, Ricoeur mampu menarik makna yang terkandung dalam simbol dan mitos tertentu untuk dihadirkan kembali bagi masyarakat modern. Makna yang ditarik dari simbol dan mitos dan yang dihadirkan kembali kepada para pembaca modern diharapkan mampu berbuah bagi kehidupan orang-orang modern. Makna yang terkandung dalam simbol mampu memunculkan pemikiran bagi manusia modern untuk melihat kembali dan memperluas pemahaman tentang dirinya dan dunianya. Manusia modern masih dapat mempercayai mitos yang berasal dari masa lampu melalui hermeneutika.
Bagaimana mitos dari masa lampau dapat berbicara bagi manusia modern kita jumpai dalam tafsir Ricoeur atas fenomena kejahatan. Fenomena kejahatan yang direfleksikan oleh manusia purba sebagaimana terutang dalam simbol dan mitos (misalnya dalam mitos Adamis) menunjukkan bahwa fenomena kejahatan terkait langsung dengan penyalahgunaan kebebasan manusia. Dalam hal ini Ricoeur memandang bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik. Kejahatan memang datang dari diri manusia, namun bukan karena kodrat manusia yang buruk (sebagaimana diyakini Agustinus dalam gagasannya tentang “dosa asal”), namun karena kesalahan manusia dalam menyalahgunakan kebebasannya.
Selain itu, hermeneutik Ricoeur atas teks-teks sakral kiranya membantu orang untuk beriman secara kritis. Melalui tafsirnya atas simbol dan mitos dalam Kitab Suci kita dimampukan untuk melihat makna universal yang terkandung dalam teks dan simbol tersebut, sehingga kita tidak menafsirkan teks-teks yang dianggap sakral tersebut secara harafiah. Teks-teks tersebut memang terikat pada konteks kemunculannya, namun teks-teks tersebut perlu dibaca secara baru dan secara kritis oleh orang-orang modern. Penafsiran teks-teks sakral secara harafiah dan tidak disertai sikap kritis hanya akan mengantar para pembacanya kepada fanatisme sempit. Sebaliknya menafsirkan teks-teks tersebut secara kritis memampukan orang untuk menyingkap makna yang terkandung dalam teks-teks tersebut untuk dihayati dan dihidupi, dan juga untuk memperluas pemahamannya akan dirinya sendiri dan akan dunianya.

Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.  Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. 2015.
Reagan, Charles E (Ed.). Studies in the Philosophy of Paul Ricoeur. Ohio: Ohio University Press. 1979.
Sastrapratedja, M. Hermeneutika Paul Ricoeur: Bahan Kuliah Antropologi Filosofis. Jakarta: STF Driyarkara.
Simms, Karl. Paul Ricoeur. NewYork: Routledge. 2003.




[1] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, dalam Charles E. Reagan, Studies in the Philosophy of Paul Ricoeur, Ohio: Ohio University Press, 1979, hal. 117.
[2] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 117.
[3] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 117-118.
[4] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 119-120.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,  Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2015, hal. 249-250.
[6] Karl Simms, Paul Ricoeur, NewYork: Routledge, 2003, hal. 22-23.
[7] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 23.
[8] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 121.
[9] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 121.
[10] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,  hal. 252-253.
[11] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 24.
[12] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 25.
[13] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 25.
[14] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 26.
[15] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 122.
[16] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 122.
[17] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 123.
[18] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar