Jumat, 10 Januari 2020

Magisterium dan Bayang-bayang Modernisme



1.                  Pendahuluan
Gagasan tentang magisterium Gereja atau wewenang mengajar Gereja sudah ada sejak zaman Gereja awal. Hanya saja pembicaraan mengenai magisterium senantiasa berbeda antara zaman yang satu dan zaman yang lain. Begitu pun ketika kita berbicara tentang magisterium pada periode abad XIX dan parohan abad XX. Terutama dalam periode ini Gereja “digoncang” oleh badai modernisme[1], dan dalam situasi demikian Gereja dituntut untuk memperthankan identitasnya, baik dalam kehidupan berpolitik maupun dalam hal iman.
Oleh karena itu, khusus dalam makalah ini, penulis akan membahas magisterium dalam kaitannya dengan gelombang besar arus modernisme yang ketika itu dilihat sebagai ancaman bagi Gereja. Secara garis besar pokok pembahasan tentang magisterium dalam kurun waktu tersebut dilihat melalui peristiwa Konsili Vatikan I (khususnya dalam gagasan infalibilitas Paus), dalam dogma “Maria diangkat ke surga” dan “Maria dikandung tanpa noda”, serta melalui dokumen Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam paper ini ialah: apakah magisterium dalam rentang waktu antara abad XIX sampai parohan abad XX hendak melawan modernisme?

2.                  Arti Magisterium
            Kata dalam Bahasa Inggris yang cocok untuk kata Bahasa Latin magister adalah master (tuan), tidak hanya dalam artian teacher (guru): misalnya tuan kapal, tuan para budak, dsb. Kata Latin magister selalu memiliki konotasi otoritas, berasal dari akar kata magis (more, lebih) yang diperlawankan dengan minister (less, kurang). Serupa dengan itu, kata magisterium dalam pengertian Bahasa Latin klasik bermakna peran (the role) dan otoritas (authority) dari seseorang yang adalah magister. Kata mastery (penguasaan) adalah kata yang paling dekat dengan kata magisterium. Tentu saja kata magister paling sering digunakan salah satunya untuk menunjuk pada kata teacher (guru), sehingga kata magister paling sering digunakan untuk menunjuk pada peran dan otoritas seorang guru.[2]
Dalam peristilahan para filsuf dan teolog Abad Pertengahan kata magisterium bermakna otoritas seorang yang mengajar. Simbol “mengajar” adalah “kursi”, dan dalam konteks ini mereka memahami ada dua jenis “kursi”: yaitu uskup di katedral dan profesor di universitas. Sehingga Santo Thomas Aquinas berbicara tentang dua jenis magisterium: magisterium cathedrae magistralis dari seorang teolog dan magisterium cathedrae pastoralis dari seorang uskup. Bagi St. Thomas dua bentuk magisterium ini mengandung makna otoritas. Otoritas uskup didasarkan pada perannya sebagai seorang wali Gereja atau uskup (ex officio praelationis), sementara bagi teolog otoritasnya didasarkan pada pengetahuan teologisnya.[3] Dalam perkembangan selanjutnya istilah magisterium digunakan hanya dalam konteks eklesiologis. Kata magisterium digunakan untuk menunjuk pada kuasa mengajar para uskup (dalam peristilahan St. Thomas disebut magisterium cathedrae pastoralis). Tidak dapat disangkal bahwa para teolog tetap memiliki peran mengajar dalam Gereja, tetapi ketika kata magisterium digunakan maka hal ini merujuk secara eksklusif pada peran mengajar para uskup.[4]
Pada perkembangan selanjutnya para pemikir neo-skolastik menempatkan dan memusatkan magisterium pada diri seorang Paus. Oleh karena pengaruh aliran neo-skolastik ini pemahaman akan magisterium berciri yurisdiksional dan kemudian mengarah pada sentralisasi Takhta Suci. Artinya Takhta Suci memiliki kewenangan mutlak dalam hal pengajaran: pengajaran yang mempersatukan Gereja. Paus menjadi person yang istimewa karena dia adalah uskup di antara para uskup (primus inter pares), di mana para uskup lainnya memperoleh kewenangannya dalam hubungan dengan Paus dan di bawah iuridiksi Paus. Dalam menjalankan kuasa mengajarnya Paus bukan menyatakan pandangan pribadi, tetapi mengungkapkan kebenaran wahyu Kristiani serta kebenaran-kebenaran yang terkait dengan iman dan moral. Selanjutnya Konsili Vatikan II merevitalisasi pandangan yurisdiksional dan papalisme ini dengan mengacu pada pemahaman patristik dan kolegialitas para uskup.[5]
Dewasa ini kita mengenal dua bentuk pelaksanaan magisterium, yakni magisterium biasa dan luar biasa. Magisterium biasa adalah otoritas mengajar yang diungkapkan Paus dengan cara yang tidak definitif misalnya: dalam surat atau ensikliknya, dalam konstitusi apostolik, dalam khotbah-khotbahnya, dalam pernyataan-pernyataan yang muncul sebagai hasil wawancara dengannya, bahkan dalam persetujuan terhadap pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman. Dalam bahasa yang lebih teknis, magisterium biasa adalah amanat bukan ex cathedra.[6]
Sedangkan  yang dimaksud dengan magisterium luar biasa adalah kewenangan yang dimiliki oleh Paus untuk secara resmi atau secara definitif menyatakan sebuah ajaran iman dan moral ex cathedra. Ajaran ini sifatnya mengikat semua umat beriman dan mewajibkan suatu ketaatan iman dan akal budi (LG. 25). Primat Paus di antara para uskup lainnya menjadikan tindakannya, dalam konteks ini, sebagai representasi kesatuan Gereja. Selain itu, magisterium luar biasa juga dapat dihasilkan dari pengajaran definitif para uskup yang bersatu dalam konsili ekumenis. Dengan demikian ada tiga syarat yang memunculkan sebuah pengajaran luar biasa: pernyataan yang definitif, pengajaran iman dan moral ex cathedra, dan konsili ekumenis.[7]
Dalam Katekismus Gereja Katolik tentang magisterium dikatakan: “adapun tugas menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu, dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus" (DV 10). Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipelihara dengan suci, dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah" (DV 10). Kaum beriman mengenangkan perkataan Kristus kepada para Rasul: "Barang siapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Luk 10:16) dan menerima dengan rela ajaran dan petunjuk yang diberikan para gembala kepada mereka dalam berbagai macam bentuk.[8]
Sedangkan dalam Konsili Vatikan II, setidaknya magisterium diartikan sebagai tugas mengajar pastoral. Lumen Gentium (LG) art. 18 berbicara tentang ketidakdapatsesatan wewenang mengajar Pontifikat Roma. Dalam art. 22 dikatakan pemerintahan para uskup adalah penerus kolegialitas para rasul dalam magisterium. Dalam art. 25 dibicarakan tentang magisterium yang otentik dan tertinggi, dan juga dikatakan bahwa para uskup yang berkumpul dalam konsili ekumenis merupakan magisterium tertinggi bersama dengan penerus Petrus. Jadi dalam perkembangan modern istilah magisterium digunakan untuk merujuk pada kuasa mengajar hierarki dan hierarki itu sendiri yang mengemban tugas mengajar tersebut.[9]

3.                  Magisterium dalam Abad XIX dan Parohan Abad XX
Abad XIX ditandai oleh perlawanan Gereja terhadap badai modernisme. Perlawanan ini misalnya dapat kita lihat dalam Syllabus of Errors (1864) dari Pius IX yang mengutuk panteisme, rasionalisme, sosialisme, komunisme, penundukan Gereja di bawah negara, pemisahan Gereja dan negara, kebebasan beragama, dsb.[10] Kebencian Pius IX terhadap modernisme juga muncul akibat kebijakan-kebijakan sekular yang membawa kerugian bagi Kepausan, seperti pencabutan status legal entitas-entitas religius dan perampasan tanah serta harta milik Gereja. Kehilangan wilayah bagi Pius IX sama artinya dengan kehilangan wewenang dan kepercayaan kepada Takhta Suci. Inilah alasan mengapa Paus mengutuk liberalisme.[11] Syllabus dalam hal ini menunjukkan betapa radikalnya perubahan yang disebabkan oleh “peradaban modern” dan betapa dalamnya tantangan modernisme bagi Katolisisme dan Kekristenan. Kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu diselenggarakannya Konsili Vatikan I oleh Pius IX. Gagasan tentang infalibilitas tampak jelas dalam dokumen Pastor Aeternus, dan karena dokumen Pastor Aeternus inilah Konsili Vatikan I dikenang.[12] Infalibilitas Paus dianggap sebagai cara tepat dalam membendung badai modernisme.
Berangkat dari konteks sosial-politik ini, maka ketika berbicara tentang magisterium dalam periode abad XIX dan parohan abad XX, terdapat indikasi kuat bahwa magisterium dalam periode itu bercorak kontra modernisme. Oleh karena itu kita tidak bisa mengabaikan topik tentang infalibilitas Paus yang ketika itu menjadi isu penting dalam membendung badai modernisme. Selain itu, dalam bagian ini pemahaman tentang magisterium dalam kurun waktu tersebut juga akan diulas dengan berlandaskan pada dua dogma tentang Maria, yaitu dogma “Maria dikandung tanpa noda” dan dogma “Maria diangkat ke surga”, serta dua dokumen tentang studi Kitab Suci, yaitu dokumen Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu.
3.1       Magisterium dalam Konsili Vatikan I
Konsili ini dimulai oleh Pius IX dengan memanggil para konsiliaris melalui bulla Aeterni Patris pada 29 Juni 1868. Sesi pertama digelar di basilika St. Petrus pada 8 Desember 1869 di bawah kepemimpinan Pius IX dan dihadiri oleh banyak peserta, termasuk uskup-uskup dari luar Eropa. Dalam konsili ini ada dua konstitusi yang disetujui, yaitu Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik (Dei Filius) dan Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Kristus (Pastor Aeternus). Konstitusi Pastor Aeternus yang menguraikan primat dan infalibilitas uskup Roma menimbulkan kontroversi, khususnya di Jerman, yang kemudian berujung pada pengunduran diri kelompok “Katolik Kuno” dari Gereja Katolik. Pecahnya perang Franco-Prussian menginterupsi Konsili. Konsili tidak pernah ditutup secara resmi.[13] Selain hendak mendefinisikan doktrin Katolik tentang Gereja Kristus, Konsili ini juga hendak menentang Liberalisme abad ke-19 yang mendukung kebebasan beragama, pemisahan Gereja dan negara, serta program sekularisasi di sekolah dan institusi lainnya.[14]
Salah satu isu penting berkaitan dengan magisterium dalam Konsili Vatikan I adalah gagasan mengenai infalibilitas Paus atau ketidakdapatsesatan Paus dalam hal iman dan moral. Sebenarnya, gagasan mengenai infalibilitas itu sendiri bukanlah isu baru dalam sejarah Gereja. Terhitung sejak zaman para rasul gagasan ini sudah ada. Akan tetapi gagasan ini benar-benar mendapat perhatian khalayak ketika dideklarasikan secara resmi dalam Konsili Vatikan I, sebab gagasan ini menimbulkan banyak kontroversi.
Gagasan tentang infalibilitas didasarkan pada beberapa teks Kitab Suci. Pertama, pada pernyataan Yesus yang akan mendirikan Gereja-Nya di atas diri Petrus (Mat. 16:17-20). Kedua, ketika Yesus memerintahkan Petrus untuk memelihara domba-domba-Nya (Yoh. 21:14-22). Ketiga, yang menjadi pendasaran kuat bagi gagasan infaliblitas Paus pada abad ke-19 ditemukan dalam doa Yesus untuk Petrus (Luk. 22: 32).[15]  Selanjutnya gagasan ini ditegaskan oleh para Bapa Gereja, misalnya saja dalam pemikiran Siprianus Karthago (256) yang pernah bertanya: “akankah para pengajar sesat berani mendekati takhta Petrus, tempat iman rasuli berasal dan dari mana kebenaran berasal?”. Selain itu, dalam sebuah karyanya, St. Agustinus menyatakan: “jika Roma telah berkata, maka bereslah sudah persoalan itu”.[16]
Gagasan tentang infalibilitas Paus terus dipertahankan oleh para teolog Abad Pertengahan, terutama dalam pemikiran Petrus Olivi, seorang Fransiskan. Dalam questio-nya (1283) ia menulis: “Paus tidak dapat sesat dalam hal iman dan moral, dan karenanya harus ditaati oleh semua umat Katolik”. Baginya, sebagiamana seorang Paus terikat oleh keputusan konsili ekumenis, maka ia juga terikat pada keputusan dogmatis para Paus sebelumnya. Paus yang melawan dogma hasil sebuah konsili ekumenis sama artinya dengan mengkhianati dirinya dan menyamakan dirinya dengan seorang heresi, dan secara otomatis tidak lagi menjadi Paus yang legitim.[17]
Intensi Petrus Olivi mengutarakan paham infalibel ini ialah untuk mengantisipasi munculnya Paus “heretik” yang akan melawan keputusan Paus Nicholas III.  Perlu diketahui, Nicholas III melalui bulla Exiit qui Seminat (1279)  merestui praktik kemiskinan radikal para Fransiskan Spiritual yang menyangkal hak milik pribadi dan komunal. Jadi bisa dipahami jika gagasan infalibilitas Paus yang diusung Petrus Olivi diutarakan pertam-tama demi mempertahankan kelangsungan praktik kemiskinan radikal kelompok Fransiskan Spiritual pada masa selanjutnya. Pandangan Olivi kemudian diteruskan oleh William Ockham.[18]
            Pada abad ke-15 pemikiran Petrus Olivi dimodifikasi oleh seorang Karmelit bernama Guido Terreni. Menurut Terreni, meskipun terdapat Paus yang heresi, namun ajaran Paus tidak mungkin sesat. Baginya infalibilitas Paus bukanlah hasil usaha manusia, melainkan campur tangan Roh Kudus. Roh Kudus lah yang menghindarkan Paus dari kesesatan dalam hal iman. Menurutnya Paus dapat sesat dalam opini-opini pribadinya, namun Roh Kudus akan mencegah dia dari kesesatan dalam hal iman. Pemikiran Tereni kemudian diteruskan oleh para teolog seperti Juan de Torquemada, Cajetan, John Driedo, Thomas Stapleton, Robert Bellarminus, Francisco Suarez, dan oleh fakultas teologi Louvain.[19] Khusus dalam hal ini, paham infalibilitas yang diutarakan Robertus Bellarminus perlu mendapat perhatian. Mengikuti paham Terreni, Bellarminus berasumsi bahwa entah pribadi seorang Paus heretik ataukah tidak, namun ia tidak mungkin mengajarkan doktrin sesat. Pemikirannya ini turut mempengaruhi pokok-pokok tentang paham infalibilitas dalam Konsili Vatikan I.[20]
Dalam Konsili Vatikan I, gagasan tentang infalibilitas Paus terutama didukung oleh kelompok ultramonte[21], yang terinspirasi gagasan infalbilitas Robertus Bellarminus. Konsili Vatikan I mendefinisikan infalibilitas Paus sebagai doktrin yang menegaskan bahwa ketika Paus, dalam kondisi tertentu, mengumumkan ajaran tentang iman ilahi dan apostolik, ia tidak dapat salah, dan pernyataannya ini tidak dapat dibatalkan. Bagi gerakan ultramonte, infalibilitas Paus adalah cara terbaik dalam membendung gerakan liberalisme dan nasionalisme ketika itu. Infalibilitas Paus adalah inti gerakan mereka, dan konsili dipandang sebagai kesempatan untuk meloloskan gagasan ini.[22]
Salah satu tokoh penting dari kelompok ultramonte adalah seorang filsuf bernama Joseph de Maistre. De Maistre salah seorang pendukung restorasi Monarki Perancis. Ia melihat bahaya individualisme bagi struktur masyarakat dalam Revolusi Perancis dan Pencerahan. Sebaliknya ia mendukung gagasan kesatuan organis sebagaimana terdapat dalam periode romantik. Menurut de Maistre masyarakat harus memiliki prinsip kesatuan yang menghidupkan struktur masyarakat. Hal ini berlaku juga bagi Gereja yang merupakan sebuah struktur. Dalam karyanya Du pape (1817) ia melihat Paus sebagai prinsip penyatu dalam Gereja sebagaimana fungsi-fungsi monarki sebagai prinsip penyatu dalam masyarakat sipil. Ia menggunakan pandangan monarkis tentang kedaulatan sebagai pembenaran atas infalibilitas Paus. Bagi de Maistre infalibilitas mensyaratkan otoritas absolut. Selain de Maistre, tokoh-tokoh yang mendukung infalibilitas Paus yang absolut dan personal antara lain Louis Veuillot, William George Ward, Manning dari Westminster dan Senestrey dari Ratisbon. Akan tetapi tidak sedikit juga yang menolak posisi kelompok ultramonte ini, sebut saja Ignaz von Dollinger, Charles-Henri Maret, dan Felix Dupanloup.[23]
Keberhasilan gagasan tentang infalibilitas di abad ke-19 tidak terlepas dari keadaan politik yang memburuk. Infalibilitas muncul sebagai reaksi atas ancaman kultural, sosial, dan intelektual “dunia modern” atas Gereja. Revolusi saintifik mengancam pendekatan filsafat Aristoteles yang telah mengikat Gereja sejak abad ke-13. Rasionalisme pencerahan mengacaukan keseimbangan antara iman dan rasio dalam teologi tradisional Katolik, dan terutama paham radikal modernisme yang lebih menaruh kepercayaan pada rasio ketimbang Allah. Revolusi Perancis yang mengagungkan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, merusak tatanan politik dan gerejawi. Kritisisme biblis juga mengancam kredibilitas Kitab Suci. Tantangan-tantangan ini dipandang mengancam basis gereja dan masyarakat.[24]
Lantas bagaimana hasil final ajaran Konsili Vatikan I tentang magisterium? Dokumen Dei Filius mengartikan magisterium sebagai doktrin yang diajarkan Gereja entah melalui keputusan luar biasa (solemn judgment) atau melalui wewenang mengajar biasa dan universal (sive solemni iudicio sive ordinario et universali magisterio). Wewenang mengajar biasa dan universal berarti wewenang mengajar yang mereka (para uskup) gunakan ketika mereka tidak berkumpul dalam konsili ekumenis. Sedangkan dalam dokumen Pastor Aeternus konsili bergerak dari pertimbangan primat Paus secara umum ke wewenang mengajar tertinggi Paus sebagai bagian dari primatnya. Pastor Aeternus menyatakan bahwa primat Paus adalah kuasa tertinggi dalam magisterium.[25] Tentang infalibilitas, konsili menyatakan:
“oleh karena itu...kami...mengajarkan dan menetapkan sebagai sebuah dogma yang diwahyukan secara ilahi bahwa ketika Kepausan Roma berbicara ex cathedra, yaitu bahwa, ketika, dalam melaksanakan tugasnya sebagai gembala dan guru semua umat Kristen, dalam keutamaan wewenang apostoliknya yang tertinggi, ia menetapkan sebuah doktrin tentang iman dan moral untuk diyakini seluruh Gereja, ia memiliki, melalui pertolongan ilahi yang dijanjikan kepadanya dalam Petrus, infalibilitas dalam menetapkan doktrin tentang iman dan moral, yang Penebus Ilahi kehendaki dimiliki oleh Gereja-Nya. Oleh karena itu penetapan-penetapan yang dibuat Kepasuan Roma, dan bukan melalui persetujuan Gereja, tidak dapat diubah.[26]

Menurut Richard Gaillardetz, setelah Konsili Vatikan I berakhir terdapat dua interpretasi atas doktrin infalibilitas Paus. Pertama definisi infalibilitas Paus kurang memperhatikan relasi antara Paus dengan kolegialitas para uskup. Konsekuensinya kepausan dilihat sebagai pusat kekuasaan yang sama sekali lain. Selain itu primat Paus lebih didasarkan pada aspek yuridis ketimbang teologis. Penetapan infalibilitas Paus juga dinilai tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai batasan-batasan penerapannya, seperti pelibatan pendapat para uskup. Interpretasi kedua atas infalibilitas Paus lebih melihat intensi para bapa konsili. Para uskup Jerman menerbitkan surat pastoral megenai ajaran konsili pada tahun 1870 yang merepresentasikana pembacaan yang lebih moderat tentang infalibilitas dan primat Paus. Interpretasi serupa juga ditemukan di Inggris dan Perancis. Ironisnya, gagasan eklesiologis kelompok minoritas uskup dalam Konsili Vatikan I, yang menekankan unsur kolegialitas dalam wewenang mengajar Gereja dan penekanan pada iman Gereja yang bersumberkan pada Kitab Suci dan tradisi, justru menjadi gagasan yang dikehendaki oleh mayoritas uskup dalam Konsili Vatikan II.[27]
3.2              Magisterium dalam Dogma tentang Maria
Ada dua dogma penting sepanjang abad XIX dan XX, yaitu dogma “Maria dikandung tanpa noda” dan “Maria diangkat ke surga”. Tahun 1854 Pius IX mengumumkan dogma “Maria dikandung tanpa noda” dalam konstitusi apostolik Ineffabilis Deus. Gagasan tentang Maria dikandung tanpa noda sudah ada sejak zaman Bapa-bapa Gereja, namun baru secara gencar dikembangkan oleh para teolog Fransiskan pada abad pertengahan. Pada awal abad ke-19 isu tentang gagasan ini berhembus kuat di kalangan umat Katolik. Ditambah lagi, pada 17 November 1830 terjadi visiun yang dialami Catherine Laboure di Perancis. Dalam visiun itu Bunda Maria memperkenalkan diri sebagai “yang dikandung tanpa noda”. Pada tahun 1846 para uskup di Amerika mengumumkan “Maria yang dikandung tanpa noda” sebagai pelindung Amerika. Pada tahun 1847 Giovanni Perrone, teolog ternama dari Kolese Yesuit di Roma, menerbitkan risalah yang menyatakan bahwa doktrin tersebut sudah dapat ditetapkan.[28] Tahun 1849 Pius IX mulai bertindak dengan menerbitkan ensiklik Ubi Primum di mana ia meminta tanggapan para uskup di seluruh dunia mengenai rencana Takhta Suci meresmikan dogma tersebut. Terdapat sekitar 600 responden, dan hanya 56 yang berkeberatan. Berdasarkan tanggapan para uskup, ia kemudian membentuk komisi yang terdiri dari para kardinal dan teolog utuk menelaah dogma ini, dan komisi ini menanggapinya secara positif. [29]
Penetapan dogma ini memiliki arti penting bagi Konsili Vatikan I karena dua alasan. Pertama, inilah untuk pertama kalinya secara resmi Paus menetapkan dogma. Ineffabilis Deus menyatakan bahwa Maria dikandung tanpa noda adalah kebenaran “yang secara ilahi diwahyukan Allah”. Jika hal tersebut benar, maka tidak dapat diubah, dan karenanya tidak dapat salah. Dari sini terlihat bahwa Pius IX sudah mengantisipasi definisi tentang infalibilitas dalam Konsili Vatikan I dan memberi angin segar bagi mereka yang mendukung infalibilitas. Selain itu, meskipun ia meminta persetujuan para uskup, namun di dalam Ineffabilis Deus ia tidak menyatakan bahwa keputusan menyatakan dogma tersebut ia buat dengan meminta persetujuan mereka. Penetapan dogma tersebut adalah murni keputusan Paus. Kedua, penetapan dogma ini adalah bagian dari perlawanan atas dunia modern. Indikasinya dapat dilihat dari artikel yang diterbitkan di La Civilta Cattolica tahun 1852, dua tahun sebelum penetapan dogma. Penulisnya berasumsi bahwa penetapan dogma tersebut akan menjadi perlawanan iman yang kuat atas rasionalisme dan segala bentuk filsafat profan ketika itu. Maria baginya adalah penghancur segala bentuk heresi.[30]
            Selanjutnya, pada abad XX dogma tentang “Maria diangkat ke surga” ditetapkan. Sebelum penetapan tersebut, Pius XII tengah mempertimbangkan permintaan para kardinal, uskup, imam, dan kaum beriman untuk menjadikan iman akan ‘Maria diangkat ke surga” sebagai sebuah dogma. Pada 1 Mei 1946, melalui ensiklik Deiparae Virginis Mariae, Pius XII meminta pendapat para Patriark, Kardinal, dan para Uskup. Proposal Pius XII disambut baik oleh para responden. Apalagi, sama seperti dogma “Maria dikandung tanpa noda” yang mendapat afirmasi ilahi melalui visiun yang dialami Catherine Laboure, rencana penetapan dogma “Maria diangkat ke surga” juga seolah mendapat afirmasi ilahi melalui penampakan Bunda Maria kepada Bruno Cornacchiola di Tre Fontane, pada 12 April 1947. Dalam penampakan tersebut Bunda Maria meminta dia untuk kembali ke pangkuan Gereja Katolik, dan kepadanya Bunda Maria berkata: “tubuhku tidak dapat hancur dan tidak pernah hancur, Aku diangkat ke surga oleh Putera-ku dan para malaekat-Nya”.
Pius XII seolah mendapat kekuatan untuk menyatakan praktik iman ini sebagai dogma. Hingga kemudian pada pada 1 November 1950 secara resmi praktik iman ini dinyatakan sebagai dogma melalui ensiklik Munificentissimus Deus. Dalam Munificentissimus Deus Pius XII menyatakan:
Melalui wewenang Tuhan Kita Yesus Kristus, para Rasul yang kudus, Petrus dan Paulus, dan melalui diri kami sendiri, kami mengumumkan dan menyatakan ini (Maria diangkat ke surga) menjadi dogma yang diwahyukan oleh Allah, bahwa Bunda Allah yang dikandung tanpa noda, Maria Sang Perawan, ketika hidupnya di dunia berakhir, diangkat badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.[31]

Secara tidak langsung, kedua doktrin tentang Maria ini menjadi penting dalam kaitannya dengan magisterium, khususnya dengan paham infalibilitas Paus. Doktrin “Maria dikandung tanpa noda”, dianggap sangat sesuai dengan syarat-syarat infalibilitas yang ditetapkan dalam Konsili Vatikan I. Hal ini diperkuat satu abad kemudian ketika pada tahun 1950 Pius XII menyatakaan dogma “Maria diangkat ke surga” yang juga dinilai sesuai dengan gagasan infalibilitas sebagaimana diputuskan dalam Konsili Vatikan I. Oleh karena itu, Konsili Vatikan I menjadi penting karena menempatkan doktrin tentang Maria (khususnya dua doktrin ini) sebagai pusat seputar debat tentang infalibilitas.[32]
Selain itu, melalui kedua dogma ini kita pun bisa melihat peran kolegialitas para uskup sebagai magisterium Gereja. Sebelum secara resmi menyatakan kedua dogma tersebut, Sri Paus terlebih dahulu meminta pendapat rekan-rekan uskup mengenai rencananya. Meskipun dalam dogma “Maria dikandung tanpa noda” tampaknya peran Pius IX begitu ditonjolkan, namun kita tidak bisa mengabaikan peran uskup lainnya. Begitu pun dalam penetapan dogma “Maria diangkat ke surga”, di mana Pius IX turut mempertimbangkan masukan dan usul para uskup.
3.3       Magisterium dalam Ensiklik Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu
Providentissumus Deus adalah ensiklik tentang studi Kitab Suci yang dikeluarkan oleh Leo XIII pada 18 November 1893. Providentissimus Deus muncul dalam suatu periode yang ditandai dengan polemik hebat melawan iman Gereja. Tujuan diterbitkannya ensiklik ini ialah untuk melindungi penafsiran Katolik dari serangan ilmu pengetahuan yang rasionalistik. Ketika itu, ilmu pengetahuan alam dan historis berkembang pesat, dan pendekatan yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam dan historis juga hendak digunakan untuk menafsirkan Kitab Suci.[33] Penafsiran liberal memberi dukungan penting pada polemik ini, karena penafsiran ini menggunakan semua sumber ilmiah, dari kritik teks sampai geologi, termasuk filologi, kritik sastra/literer, sejarah agama-agama, arkeologi, di samping disiplin ilmu lain.[34]
Berhadapan dengan liberalisme, Providentissimus Deus mengajak para ahli tafsir Katolik untuk mendapatkan keahlian ilmiah yang mumpuni sehingga mereka bisa mengatasi lawan-lawan mereka dalam bidang mereka sendiri. Gereja tidak takut terhadap kritik ilmiah, Gereja hanya tidak percaya pada pendapat-pendapat yang mengklaim diri didasarkan pada ilmu pengetahuan, tetapi pada kenyataannya, secara tersembunyi membuat ilmu pengetahuan meninggalkan wewenangnya.[35]
Dalam dokumen Providentissimus Deus Kitab Suci dipandang sebagai sumber iman yang benar dan tidak dapat salah, berbeda dengan pandangan kelompok rasionalis yang melihat Kitab Suci hanya sebagai hasil karya manusia semata dan tidak lebih dari sebuah mitos (no. 10). Dalam rangka membendung arus rasionalisme tersebut, Leo XIII mendesak agar para pengajar Kitab Suci dipilih secara ketat serta memiliki kualifikasi yang mumpuni untuk menjadi seorang pengajar Kitab Suci (no. 11). Untuk keperluan regenerasi, harus dipilih para calon yang kompeten, dan mereka ini harus dipersiapkan secara khusus dengan didukung oleh fasilitas yang memadai (no. 12). Dalam hal penafsiran Kitab Suci Leo XIII juga menganjurkan penggunaan teks vulgata sebagai sumber utama, namun ketika teks vulgata tidak memadai, seorang penafsir dapat kembali kepada teks asli dalam bahasa Ibrani atau Yunani (no. 13). Leo XIII juga mendorong para ahli tafsir untuk mempelajari bahasa-bahasa Timur kuno serta Kritik ilmiah untuk menangkal serangan rasionalisme (no. 17), bahkan penguasaan ilmu saintifik juga dianggap perlu untuk menangkal para rasionalis (no. 18).
Selain itu, Kitab Suci yang dilihat sebagai inspirasi dari Roh Kudus, menurut dokumen ini melampaui kemampuan pemahaman manusia. Untuk memahami Kitab Suci, seorang pembaca harus mengikuti bimbingan yang ditetapkan Gereja yang kepadanya Kitab Suci diwahyukan. Gereja dalam hal ini harus dijadikan sebagai guru. Segala bentuk penafsiran atas Kitab Suci harus sesuai dengan interpretasi Gereja. Ketika Bapa suci sebagai pemegang wewenang tertinggi menginterpretasikan teks Kitab Suci yang berkaitan dengan soal iman dan moral, maka interpretasi tersebut harus dilihat sebagai interpretasi yang berasal dari para rasul (no. 14).    
Pada peringatan 50 tahun dokumen Providentissimus Deus, tepatnya pada 30 September 1943, Pius XII menerbitkan dokumen Divino Afflante Spiritu. Dokumen ini secara khusus diterbitkan dalam rangka mendorong perkembangan studi Kitab Suci.[36] Ketika itu bermunculan kritik terhadap usaha kajian ilmiah atas Kitab Suci. Di Italia bahkan tersebar selebaran anonim untuk melawan usaha tersebut yang dinilai sebagai sebuah penyelewengan dan ancaman bagi Gereja. Berhadapan dengan tuntutan tersebut Pius XII, melalui dokumen Divino Afflante Spiritu, menegaskan tentang kesatuan antara eksegese ilmiah dan penafsiran spiritual. Ia menegaskan kesatuan yang erat antara kedua pendekatan itu, di satu pihak dengan menekankan arti “teologis” dari makna literer yang dirumuskan secara metodis dan di lain pihak ia menegaskan tentang pentingnya makna “rohani” suatu teks.[37]
Dalam rangka itu, melalui Divino Afflante Spiritu Pius XII menggarisbawahi situasi studi Kitab Suci zamannya yang berbeda dengan situasi abad ke-19, terutama berkaitan dengan penemuan-penemuan arkeologis baru di Tanah Suci, seperti penemuan versi kuno kitab suci yang berhubungan dengan tulisan-tulisan Kekristenan awal, dan juga perkembangan dalam ilmu tafsir (no.11). Penemuan-penemuan ini baginya mendesak para ahli Kitab Suci untuk mempelajari bahasa, kebiasaan, dan kebudayaan Timur Kuno. Baginya penemuan-penemuan ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pemahaman yang lebih baik tentang Kitab Suci. [38] Pius XII juga mendorong kemajuan studi saintifik atas Kitab Suci melalui penerjemahan Kitab Suci seturut teks aslinya, bukan hanya melalui versi vulgata. Ia juga menekankan pentingnya kritisisme tekstual untuk memperoleh makna biblis yang lebih akurat sebagaimana dimaksud oleh penulis aslinya (no. 16).
Menurut Yohanes Paulus II, kedua ensiklik tersebut pada level terdalam sunggguh-sungguh sesuai satu sama lain, meskipun kesulitan yang harus mereka hadapi amat berbeda. Kedua ensiklik itu menolak pemisahan yang manusiawi dan yang ilahi, antara penelitian ilmiah dan penghargaan terhadap iman, antara makna literer dan makna rohani.[39] Selain itu, dalam kedua dokumen ini, reaksi magisterium sungguh sangat berarti karena tidak memberikan tanggapan yang yang semata-mata defensif.

4.                  Penutup
Setelah secara garis besar melihat perkembangan magisterium, khususnya dalam periode abad XIX dan abad XX, setidaknya kita bisa menarik beberapa kesimpulan.   
Pertama, dalam periode abad XIX nuansa kontra modernisme sangat tampak dalam magisterium Gereja. Hal ini terutama dapat kita lihat dalam sikap defensif Gereja yang tertuang dalam dogma Maria dikandung tanpa noda dan dalam Konsili Vatikan I, khususnya dalam paham infalibilitas Takhta Suci. Sikap Gereja ini salah satunya ditengarai oleh trauma akan peristiwa Revolusi Perancis. Belajar dari peristiwa Revolusi Perancis yang membawa kehancuran bagi Gereja di Perancis, maka Gereja merasa perlu untuk tidak mengulang peristiwa pahit tersebut. Dalam rangka menandingi ancaman modernisme, Gereja merasa perlu untuk menegaskan kembali status quo-nya melalui sentralitas kekuasaan pada Uskup Roma. Uskup Roma dipandang sebagai sosok yang dapat dijadikan ‘pemersatu” segenap umat beriman dalam membendung ancaman modernisme.
Kedua, jika aroma kontra modernisme begitu tampak dalam abad XIX, maka memasuki akhir abad XIX dan khusus pada abad XX nuansa itu perlahan mulai berkurang. Selain karena konteks zaman yang berbeda, sikap Gereja dalam menghadapi “serangan” badai modernisme tidak lagi didominasi sikap defensif. Sebaliknya, Gereja lebih menonjolkan sikap dialog. Ini terutama terlihat dalam dokumen Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu. Terhadap serangan dari luar, khususnya atas tafsir Kitab Suci, Gereja justru melawan serangan-serangan tersebut dengan mendorong para ahli tafsir untuk mempelajari ilmu-ilmu profan, penemuan-penemuan arkeologis, bahasa-bahasa kuno, serta ilmu tafsir terbaru untuk melawan para penentangnya. Gereja mempertahankan diri dengan mempelajari ilmu yang justru digunakan oleh para lawannya.
Ketiga, sikap defensif magisterium atas modernisme dalam abad XIX juga diwarnai oleh sentralitas kekuasaan Uskup Roma. Dalam hal ini kekuasaan Sri Paus begitu ditonjolkan, terutama dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, sedangkan peran para uskup kurang begitu tampak. Memasuki abad XX dominasi ini mulai memudar. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam penetapan dogma “Maria diangkat ke surga”. Dalam penetapan dogma ini Sri Paus turut memperhitungkan masukan dari para kolega uskup. Keputusan yang ia ambil tidak dilakukan secara sepihak, meskipun sebagai pemimpin kolegialitas para uskup ia tetap memiliki peran sentral.

Daftar Pustaka
Baruwarso, RD Riki Maulana. Mempertanyakan Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja. Jakarta: Penerbit Obor. 2015.
Coyle, Kathleen. Mary in The Christian Tradition. Quezon City: Claretian Publication 1993.
Cross F. L. & E. A. Livingstone (ed.) The Oxford Dictionary of The Christian Church. Oxford: Oxford University Press. 2005.
Gaillardetz, Richard R. Teaching with Authority: A Theology of the Magisterium in the Church. Minnesota: The Liturgical Press. 1997.
Katekismus Gereja Katolik
Komisi Kitab Suci Kepausan. Penafsiran Alkitab dalam Gereja. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2003.
Livingstone, E. A. (ed.). The Oxford Dictionary of The Christian Church. New York: Oxford University Press. 2005.https://www.papalencyclicals.net/councils/ecum20.htm

O’Malley, John W. Vatican I: The Council and The Making of the Ultramontane Church. Cambridge: Harvard University Press. 2018.
Sullivan. Francis A. Magisterium: Teaching Authority in The Catholic Church. Dublin: Gill and Macmillan Ltd. 1983.
Tanner, Norman. The Curch in Council. London: I. B. Tauris. 2011.



[1] Modernisme adalah sebuah gerakan dalam Gereja Katolik Roma yang hendak mendekatkan tradisi iman Katolik dengan pandangan modern dalam bidang filsafat, sejarah, dan sains. Gerakan ini muncul secara sepontan di beberapa negara, terutama pada abad ke19. Modernisme tidak memiliki sebuah program bersama, namun ada beberapa ciri khas yang menjadi kecenderungan gerakan ini. Pertama, modernisme menerima sudut pandang kritis dalam studi Kitab Suci, hal mana merupakan sesuatu yang lumrah di luar Gereja Katolik ketika itu. Kaum modernis melihat para pengarang Kitab Suci juga memiliki keterbatasan tak ubahnya para pengarang tulisan-tulisan sejarah lainnya. Pendekatan mereka atas Kitab Suci bercorak skeptis. Kedua, mereka menolak “intelektualisme” teologi skolastik, dan lebih mengutamakan praktik kesalehan dibandingkan doktrin yang kaku. Figur terkenal dalam gerakan ini antara lain A. F. Loisy, M. Blondel, E. I Mignot, Edouard Le Roy, Romolo Murri, G. Tyrrell, F. von Hugel, dsb. (Modernisme, dalam E. A. Livingstone (ed.), The Oxford Dictionary of The Christian Church, (New York: Oxford University Press, 2005), hal. 1104-1105.
[2] Francis A. Sullivan, Magisterium: Teaching Authority in The Catholic Church, (Dublin: Gill and Macmillan Ltd, 1983), hal. 24.
[3] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 24-25.
[4] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 25.
[5] Riki Maulana Baruwarso,Magisterium Biasa dan Luar Biasa: Praktik dan Persoalannya dalam RD. Riki M. Baruwarso, Mempertanyakan Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja, (Jakarta: Penerbit Obor, 2015), hal. 100-101.
[6] Riki Maulana Baruwarso, Magisterium Biasa dan Luar Biasa, hal. 101.
[7] Riki Maulana Baruwarso, Magisterium Biasa dan Luar Biasa, hal. 101-102.
[8] Katekismus Gereja Katolik, no. 85-87.
[9] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 25-26.
[10] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 105-106.
[11] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 104.
[12] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 11.
[13] Bagian ini disarikan dari https://www.papalencyclicals.net/councils/ecum20.htm.https://www.papalencyclicals.net/councils/ecum20.htm diunduh pada Minggu, 20 Oktober, pkl. 17.00 wib.
[14] John W. O’Malley, Vatican I: The Council and The Making of the Ultramontane Church, (Cambridge: Harvard University Press, 2018), hal. 2-3.
[15] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 7.
[16] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Infalibilitas: Eksistensi dan Sejarah Interpretasinya, dalam RD. Riki M. Baruwarso, Mempertanyakan Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja, (Jakarta: Penerbit Obor, 2015), hal. 80.
[17] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal.  91.
[18] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority: A Theology of the Magisterium in the Church, (Minnesota: The Liturgical Press, 1997), hal. 207.
[19] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 92-94.
[20] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 209.
[21] Ultramonte atau ultramontanisme adalah sebutan yang merujuk pada gerakan yang mendukung sentralitas kewenangan Kepausan, yang berlawanan dengan independensi keuskupan. Pada abad ke-17 ultramontanisme bertumbuh menjadi sebuah gerakan yang kuat seperti Jansenisme, Gallicanisme, dan Josephinisme. Abad ke-19 menjadi puncak kejayaan ultramontanisme, di mana mereka mengambil peran besar dalam Konsili Vatikan I dan turut menjadi garda terdepan dalam menentang liberalisme teologi zaman itu. (F. L. Cross & E. A. Livingstone, ed. The Oxford Dictionary of The Christian Church, Oxford: Oxford University Press, 2005, hal. 1667)
[22] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 7-9.
[23] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 210-211.
[24] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 9-10.
[25] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 25.
[26] Sebagaimana dikutip dalam Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 213-214.
[27] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 216-217.
[28] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 101-102.
[29] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 103.
[30] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 103.
[31] Sebagiamana dikutip dalam Kathleen Coyle, Mary in The Christian Tradition, (Quezon City: Claretian Publication 1993), hal. 40-41.
[32] Norman Tanner, The Curch in Council, (London: I.B. Tauris, 2011), hal. 152.
[34] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab dalam Gereja, dalam Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hal. 12.
[35] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab dalam  Gereja, hal. 13.
[37] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab dalam  Gereja, hal. 14.
[39] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab dalam  Gereja, hal. 14-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar