Selasa, 31 Mei 2016

Peran Ruang Publik dalam Mencegah Bahaya Korupsi: Ditinjau dari Sudut Pandang Demokrasi Deliberatif Habermas


Pendahuluan: Narkoba, Terorisme, dan Korupsi sebagai Extraordinary Crime
Kejahatan narkoba, korupsi, dan terorisme tergolong sebagai kejahatan Luar Biasa atau extraordinary crime. Ada beberapa ciri yang sama pada ketiga kejahatan ini sehingga menjadikan tiga kejahatan ini dikategorikan demikian dan membedakannya dengan kejahatan kecil, yaitu: Pertama, ketiga kejahatan ini mengancam integritas politis. Kedua, ketiga kejahatan ini beroperasi dengan jejaring rahasia. Ketiga, kejahatan-kejahatan ini berdampak sistemis dan massif ke berbagai dimensi kehidupan (sosial, budaya, ekonomi, kemanusiaan, dan juga politik). Keempat, ketiga kejahatan ini terkait dengan globalisasi (informasi dan pasar). Kelima, kejahatan-kejahatan ini dikendalikan oleh oligarki bisnis. Ketiga kejahatan ini ditangani oleh organisasi khusus, Korupsi ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), narkoba ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN), dan terorisme ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 
Menurut data yang dirilis dari BNN[1], di Indonesia sedikitnya 50 orang meninggal setiap harinya akibat penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, dan kerugian ekonomi maupun sosial mencapai Rp 63 triliun per tahun.[2] Salah satu contoh aktual kasus narkoba adalah kasus Poni Tjandra, seorang narapidana yang mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji. Poni Tjandra tidak bekerja sendirian, melainkan bekerjasama dengan sindikat internasional. Setiap hari jaringan ini melakukan sekitar 15-20 transaksi, dengan total nilai transaksi sekitar Rp. 3,6 triliun.[3] Sedangkan untuk kasus korupsi,  Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada tahun 2015 kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp. 3,1 triliun. Dari jumlah kerugian negara tersebut, sebesar Rp. 1,2 triliun didapat pada paruh pertama tahun 2015. Sedangkan pada semester kedua tahun 2015 mencapai Rp. 1,8 triliun. Adapun dari jumlah 550 kasus korupsi, tersangka yang terlibat kasus tersebut berjumlah 1.124 orang.[4] Hal yang sama kurang lebih kita temukan dalam kasus terorisme. Selain memakan korban jiwa, terorisme juga turut menyumbangkan kerugian finansial bagi negara. Misalnya saja pasca peristiwa Bom Bali I dan II kunjungan wisatawan asing ke Bali menurun drastis untuk jangka waktu tertentu karena alasan keamanan. Selain itu itu, aksi terorisme pun berdampak pada kondisi psikis masyarakat, seperti ketakutan, trauma, paranoid, dan bahkan gangguan mental lainnya. Hal ini terutama menimpa mereka yang menjadi korban aksi terorisme.[5] Selain berdampak negatif bagi kemanusiaan dan juga perekonomian, aksi terorisme pun mengancam integritas bangsa karena bertentangan dengan ideologi pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Aksi terorisme mengkhianati nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan. Khusus dalam paper singkat ini saya hanya akan membahas kejahatan korupsi sebagai kejahatan Luar Biasa, serta saya juga akan mencoba mengemukakan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan korupsi dengan menggunakan perspektif demokrasi deliberatif Habermas, khususnya berkaitan dengan peran Ruang Publik.

Korupsi dan Oligarki
            Salah satu contoh aktual kasus korupsi adalah kasus yang melibatkan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Nurhadi ditangkap selang beberapa jam setelah penangkapan Panitera Sekretaris Pengadilan Negreri Jakarta Pusat Edy Nasution dan perantara suap Doddy Aryanto Supeno. Suap ditengarai terkait dengan pengaturan perkara Lippo Group di Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung. Nurhadi sebenarnya bukan pejabat penentu putusan di lembaga peradilan tertinggi itu, namun menurut KPK ia mengendalikan penanganan perkara-perkara kakap di sana.

Seorang mantan Hakim Agung mengatakan Nurhadi memiliki “kuasa” untuk mengintervensi pejabat di pengadilan sampai Hakim Agung di Mahkamah Agung. Melalui kaki tangannya di pengadilan, Nurhadi bisa meloloskan permohonan kasasi atau peninjauan kembali yang sebenarnya tidak memenuhi syarat formal. Di tingkat Mahkamah Agung, kata dia, selain bisa mengatur perkara di tingkat admistrasi, Nurhadi diduga bisa mempengaruhi hakim sampai mengintervensi pejabat Mahkamah yang berwenang menentukan komposisi majelis. Hakim “favorit” yang ditentukan itu nantinya yang akan mengeksekusi pesanan Nurhadi.[6]

Dari contoh kasus ini setidaknya kita bisa memahami mengapa kejahatan ini dikatakan sebagai kejahatan yang “rumit”, sebab kejahatan ini tidak hanya melibatkan masyarakat warga, tetapi bahkan turut melibatkan aparat penegak hukum. Kasus Nurhadi bukan satu-satunya kasus korupsi yang melibatkan aparat lembaga peradilan negara. Kita mungkin masih ingat kasus serupa yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Akil Mochtar terkait kasus suap perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten.[7] Selain kasus Hurhadi dan Aktil Mochtar, pada bulan Februari lalu KPK juga sudah menangkap Andi Tristianto Sutrisna, pejabat di Mahkamah Agung, yang juga menerima suap penanganan perkara.  
Dari contoh-contoh di atas tampak jelas bagi kita bahwa permainan kotor kelompok-kelompok oligarki dalam mempertahankan kekuasaannya sudah menyusup sampai ke dalam lembaga peradilan. Dengan terlibatnya oknum-oknum tertentu dalam lembaga penegak hukum, maka pemberantasan korupsi seolah-olah menjadi sebuah utopia. Dalam situasi seperti ini kita mungkin masih bisa berharap kepada KPK sebagai lembaga independen yang dapat diandalkan. Dalam hal ini uang tampaknya menjadi penentu segalanya. Mereka yang memiliki uang dapat mengendalikan segalanya, termasuk mengendalikan aparat penegak hukum. Nurhadi, Andi Sutrisna, atau pun Akil Mochtar dalam contoh di atas sebenarnya hanyalah kaki tangan dari kelompok-kelompok oligarki yang memiliki kekuatan uang. Di balik Nurhadi dan Akil Mochtar berdiri kelompok oligarki yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Melalui suap mereka hendak meloloskan diri dari jerat hukum, dan ternyata usaha mereka ini “hampir berhasil”. Terbukti dengan kekuatan uang segalanya dapat dikendalikan, termasuk mereka yang tergabung dalam lembaga penegak hukum.
Selain itu, melalui kasus ini kita pun bisa melihat adanya pertaruhan kepentingan di balik kasus korupsi, baik itu mereka yang disuap maupun mereka yang menyuap. Mereka yang disuap tentu bersedia disuap demi memunuhi kepentingan mereka, seperti untuk menikmati hidup yang mewah. Comtohnya Nurhadi. Sebagaimana diberitakan Tempo edisi 8 Mei 2016, Nurhadi memiliki gaji pokok sebesar Rp. 18 Juta. Akan tetapi perbandingan antara gaji pokok dan gaya hidupnya yang mewah tentu sangat mencurigakan. Bagaimana mungkin seorang yang memiliki gaji pokok demikian memiliki nilai kekayaan sebesar Rp. 33,42 miliar (pada tahun 2012). Ia memiliki batu mulia dan barang antik seniali Rp. 7, 83 miliar serta memiliki koleksi mobil mewah seperti Lexus, Jaguar, dan Mini Cooper dengan nilai keseluruhan mencapai Rp. 4 miliar. Menjadi jelas bahwa salah satu motivasi Nurhadi untuk menerima suap adalah untuk memenuhi hasrat hidup mewahnya. Gaji pokok sebesar Rp. 18 juta sebulan saya pikir cukup untuk sekadar bertahan hidup dan membiayai kebutuhan harian keluarga. Akan tetapi jika ingin memiliki banyak rumah, mobil, dan beragam harta lainnya maka gaji pokok yang ia miliki tentu jauh dari cukup.
Hal yang kurang lebih sama juga kita temukan dalam diri kelompok-kelompok oligarki. Mereka pun tentu rela melakukan suap demi kepentingan mereka sendiri. Masih dalam kasus korupsi Nurhadi, PT Lippo Group, menyuap Nurhadi demi “mengamankan” sejumlah aset dalam perseteruan mereka dengan Astro Group. Dari sini bisa juga dilihat bahwa motif utama PT Lippo Group melakukan suap adalah untuk mempertahankan harta milik. Apabila membiarkan hukum berjalan sebagaimana mestinya, maka sudah pasti Lippo Group akan kehilangan banyak aset, dan karenanya jalan yang ditempuh adalah dengan melakukan suap. Dengan kekuatan uang yang mereka miliki, kelompok oligarki dapat melakukan segala hal, termasuk menyuap aparat penegak keadilan. Jika sudah demikian maka tak ada hal yang dapat merintangi pergerakan kelompok-kelompok oligarki ini dalam memperluas jaringan kekuasaan mereka.
Selain kasus suap yang melibatkan beberapa oknum dalam lembaga peradilan, kita dapat melihat penguatan kejahatan korupsi juga turut meluas sampai ke tubuh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini saya lihat misalnya ketika DPR berusaha merevisi Undang-Undang (UU) KPK beberapa waktu lalu. Usaha yang dilakuakan oleh DPR bagi saya merupakan salah satu bentuk pelemahan terhadap KPK dan dukungan bagi perluasan kejahatan korupsi. Apa yang dilakuakn oleh DPR bagi saya merupakan salah satu usaha untuk menghindarkan diri dari jeratan hukum mengingat banyak anggota DPR yang juga turut terlibat dalam kasus korupsi. Keberadaan KPK bagi mereka yang turut terlibat dalam kasus korupsi merupakan sebuah ancaman besar, sebab lembaga ini bersifat independen, dan mereka yang bekerja dalam lembaga ini memiliki integritas yang tinggi sehingga sulit untuk disuap. Usaha untuk memperlemah KPK melalui revisi UU KPK juga didorong oleh motivasi untuk mempertahankan diri, sebagaimana juga pernah dikatakan Hobbes dalam antropologinya, pada dasarnya manusia digerakkan oleh kebutuhan untuk mempertahankan diri. Dengan melemahnya KPK, maka mereka yang terlibat dalam kasus korupsi akan semakin merajalela. Selain itu, usaha untuk memperlemah KPK oleh DPR juga didorong oleh kepentingan partai-partai di DPR itu sendiri dalam menjaga nama baik partainya, sebab banyak anggota partai mereka yang terlibat dalam kasus narkoba.
Sejauh ini negara, melalui KPK (baik itu dalam bentuk usaha kuratif, preventif, ataupun melalui usaha pemberdayaan masyarakat), terbilang cukup serius dalam menangani kasus korupsi. Hanya saja mengingat luasnya jaringan kejahatan korupsi yang menysup sampai ke tubuh aparat penegak hukum serta turut melibatkan pejabat-pejabat pemerintah, maka tidak heran apabila kejahatan ini sulit dibasmi. Oleh karena itu, menurut saya tidak cukup apabila usaha pemberantasan korupsi yang sedemikian rumit hanya dilakukan oleh pemerintah atau juga oleh KPK melainkan sebaiknya turut melibatkan masyarakat.

Peran Ruang Publik dalam Mencegah Bahaya Korupsi
Gagasan Habermas tentang ruang publik (yang mendapat legitimasi hukum) saya pikir efektif dalam mengatasi masalah korupsi. Dalam demokrasi deliberatif ruang publik memiliki peran sentral untuk mengatur kebijakan-kebijakan bersama dalam kehidupan politis. Sebagaimana dikatakan Habermas, ruang publik merupakan arena-arena komunikasi politis warganegara, sebuah kondisi kebebasan komunikatif dan merupakan prosedur komunikasi, bukan institusi ataupun organisasi. Para aktor ruang publik antara lain misalnya para tokoh lintas agama, lembaga-lembaga LSM, gerakan-gerakan sosial, dsb.
Salah satu poin yang juga menarik dari pemikiran Habermas adalah bagaimana ia merubah pembagian kekuasaan dalam pemikiran demokrasi klasik menjadi bentuk-bentuk komunikasi politis. Meskipun cara pandang demokrasi klasik atas pembagian kekuasaan sudah mengacu pada logika komunikasi politis, tetapi logika ini masih terkungkung di dalam sebuah kurungan institusional yang sangat terbatas. Logika ini terbatas pada logika sistem politis. Menurut Habermas pemahaman macam ini berbahaya. Kekuasaan politis dipahami sebagai suatu substansi yang dapat “dipakai”. Bahayanya adalah bahwa hanya para pejabatlah yang dapat memakai substansi itu, sementara para warga yang tidak menduduki jabatan tertentu tidak memiliki akses ke kekuasaan politis itu. Penalaran-penalaran politis tidak hanya menjadi urusan para pejabat atau para politikus, melainkan juga urusan setiap warganegara.[8]
Sebagai konsekuensi dari cara pandang ini, menurut Habermas (sebagaimana juga ditegaskan Rousseau) DPR/MPR tidak bisa dipikirkan sebagai satu-satunya lembaga pengejawantahan kehendak rakyat. Undang-undang yang telah disahkan sebagai pengkristalan deliberasi politis tidak boleh mengklaim kebenaran absolut, meskipun undang-undang itu legitim. Undang-undang harus terbuka untuk direvisi.[9] Lebih jauh Habermas kemudian berbicara mengenai demokrasi radikal. Menurutnya demokrasi radikal terwujud dalam bentuk organisasi - diri warganegara atau - dalam istilah Habermas “pemerintahan oleh yang diperintah”. Demokrasi radikal bukanlah demokrasi langsung tempat para warganegara sendiri sebagai legislator secara langsung menghasilkan undang-undang mereka, melainkan kontrol tidak langsung atas institusi-institusi demokratis dengan medium hukum.[10]
Peran masyarakat (yang terwujud dalam ruang publik) dalam melawan kejahatan korupsi di Indonesia salah satunya dapat dilihat dalam penolakan masyarakat terhadap rencana DPR untuk merevisi UU KPK sebagaimana diuraikan dalam contoh sebelumnya. Kala itu masyarakat yang tergabung dalam berbagai macam gerakan di berbagai daerah di Indonesia turut menyuarakan aspirasi mereka yang pada intinya menolak rencana revisi UU KPK. Kita semua tahu akhir dari perjuangan rakyat, Presiden kemudian menunda untuk mensahkan rencana yang diajukan oleh DPR tersebut. Dalam hal ini bisa disaksikan bagaimana masyarakat turut berperan dalam proses legislasi sebuah UU. Jika kita merujuk pada pemikiran Habermas, baginya UU yang disahkan DPR/MPR seharusnya merupakan hasil dari berbagai macam argumentasi untuk mencari solusi atas masalah-masalah tertentu. Jadi, jika kita konsisten dengan apa yang dikatakan Habermas, maka kemauan keras DPR yang ingin merevisi UU KPK perlu dipertanyakan, sebab selain tidak melalui diskursus yang rasional, rencana revisi UU tersebut tampaknya berlawanan dengan kehendak rakyat, sebab efek yang dapat ditimbulkan apabila rencana revisi UU tersebut disahkan sepertinya hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Jadi bisa dilihat bahwa dalam politik pemberdayaan, di mana ruang publik memiliki peran sentral dalam mengatur kebijakan bersama, masyarakat turut memiliki andil besar dalam menentukan arah kebijakan pemerintah, dan khusus dalam kasus ini setidaknya masyarakat turut ambil bagian dalam mencegah semakin merebaknya korupsi dengan menolak rencana revisi UU KPK oleh DPR.
Selain itu, dalam model politik ini media massa turut menyumbangkan peran yang berarti. Melalui media massa ide-ide masyarakat disampaikan kepada pemerintah, atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui media massa masyarakat dimungkinkan untuk menyampaikan kritikan, atau juga dukungan, bagi kebijakan-kebijakan pemerintah. Media massa turut menjadi sarana terciptanya diskursus antara ruang publik dan pemerintah dalam menentukan kebijakan yang mengatur kehidupan bersama.

Kesimpulan: Keunggulan Model Politik Pemberdayaan
Keunggulan penggunaan model politik pemberdayaan dalam hal pemberantasan kejahatan korupsi dapat dilihat dalam peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dalam hal ini bukanlah atas dasar paksaan, melainkan berangkat dari kesadaran. Dalam model politik seperti ini masyarakat dilihat sebagai makhluk rasional yang sadar akan kapasitas dan kemampuannya dalam memberi kontribusi bagi arah kebijakan negara, dan karena kesadaran demikian mereka merasa sangat perlu untuk menyuarakan hak mereka. Bagi mereka rencana revisi UU KPK oleh DPR hanya menguntungkan pihak tertentu dan akan merugikan mereka, maka dari itu masyarakat, dalam ruang publik, melalui berbagai macam gerakan menyuarakan aspirasi mereka. Selain itu, pembuatan UU yang tidak lepas dari partisipasi ruang publik juga bermanfaat untuk membuat UU yang mengabdi kepada HAM. Misalnya saja kebijakan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. Untuk membuat kebijakan ini sudah sepantasnya perlu melibatkan juga mereka yang tidak menyetujui hukuman mati, sehingga alasan untuk menolak hukuman mati bisa dijadikan bahan pertimbangan. Pelaksanaan hukuman mati tidak sebatas pada persoalan pragmatis atau etis-politis, tetapi juga menyangkut persoalan HAM. Jadi sistem kekuasaan yang terhubung ke ruang publik memungkinkan adanya kesetaraan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politis. Penentuan kebijakan politis bukan merupakan monopoli kelompok tertentu, memalinkan menjadi hak semua orang. Jika penentuan kebijakan politis pun turut melibatkan masyarakat, maka bisa dipastikan kebijakan politis yang diambil tidak akan emihak golongan tertentu, tetapi mengabdi kepada semua pihak yang tunduk pada kebijakan yang diambil. Dalam kasus korupsi hal demikianpun bisa diterapkan. Penentuan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan kejahatan korupsi yang tdicapai melalui sebuah diskursus rasional bisa dipastikan tidak akan memihak golongan oligarkis.
Apabila menggunakan model politik penaklukan, hal sebaliknya justru terjadi, yaitu masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk melawan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Dalam model politik demikian masyarakat sepenuhnya bergantung pada kebijakan pemerintah, kebijakan yang diambil pemerintah selalu “diamini” rakyatnya. Hal ini akan berjalan baik apabila kebijakan yang diambil pemerintah dalam mencegah tindak korupsi dijamin berpihak pada rakyat. Akan tetapi akan menjadi sebuah malapetaka apabila pemerintah justru bertindak sebaliknya, yaitu menempuh kebijakan yang justru memihak para pelaku kejahatan korupsi, atau bahkan pemerintah pun turut terlibat dalam kejahatan korupsi. Dalam kasus seperti ini masyarakat tidak bisa melakukan perlawanan dan sepenuhnya tunduk pada kebijakan pemerintah.
Dalam model politik kebebasan, masyarakat terlibat, tetapi secara tidak penuh. Misalnya saja dalam tubuh DPR/MPR. Dalam model seperti ini DPR/MPR dilihat sebagai satu-satunya pengejawantahan suara rakyat. Apa yang disampaikan oleh DPR/MPR bisa dikatakan sudah mewakili suara rakyat, sebab antara lembaga-lembaga kekuasaan tidak terjalin komunikasi. Akibatnya, misalnya dalam kasus pengambilan kebijakan berkaitan dengan tindakan korupsi, apa yang disampaikan DPR/MPR bisa jadi segera disahkan tanpa adanya persetujuan masyarakat. Dalam hal ini pun akses masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka terbilang terbatas. Aspirasi mereka sepenuhnya diserahkan kepada DPR/MPR yang merupakan satu-satunya pengejawantahan suara rakyat.
Bagi sebagian orang, cara melawan kejahatan korupsi dengan model politik pemberdayaan mungkin dinilai lamban, sebab untuk mencapai sebuah konsensus dengan diskursus rasional dibutuhkan waktu yang relatif lama. Akan tetapi, meskipun memakan waktu yang cukup lama, model politik seperti ini lebih efektif karena meresap sampai ke dalam kesadaran setiap individu yang terlibat di dalam diskursus, sebab kebijakan-kebijakan yang dijadikan sebagai pegangan bersama berasal dari diskurus rasional yang mewakili kepentingan setiap individu yang terlibat dalam diskursus tersebut. Di samping itu, efek yang muncul dari kebijakan yang berasal dari sebuah diskursus bisa bertahan lebih lama dibandingkan dengan efek yang timbul dari kebijakan dalam politik model penaklukan atau model politik kebebasan, sebab dalam politik pemberdayaan masyarakat merasa menjadi bagian dari kebijakan yang dihasilkan.

Daftar Pustaka

Budi Hardiman, F. Demokrasi Deliberati. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
http://argyo.staff.uns.ac.id/2012/12/13/
Tempo, 8 Mei 2016.




[1] Data BNN mencatat sekitar 4,2 juta warga Indonesia menggunakan narkoba pada pertengahan 2014 dan lembaga ini menargetkan bisa merehabilitasi sekitar 100 ribu pengguna narkoba di tahun ini.
[3] Tempo, 8 Mei, 2016, hal. 72.
[6] Tempo, 8 Mei, 2016, hal. 38.
[8] F. Budi Hardiman, demokrasi deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009,  hal. 105-106.
[9] F. Budi Hardiman, demokrasi deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009,  hal. 107.
[10] F. Budi Hardiman, demokrasi deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009,  hal. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar