Indonesia merupakan sebuah negara dengan masyarakat yang majemuk. Hal ini dapat dibuktikan dengan beraneka ragamnya budaya, bahasa
daerah, agama, suku, dan ras yang terdapat di Indoensia. Kemajemukan ini di
satu sisi memberi rasa bangga tetapi di sisi lain bisa menjadi sumber konflik.
Gereja Katolik sendiri ketika masuk ke Indonesia (dan juga tentunya di
wilayah-wilayah lain di belahan bumi lainnya) dituntut untuk dapat beradaptasi.
Akan tetapi hal ini tidaklah mudah, sebab selain tuntutan untuk beradaptasi
dengan kebudayaan setempat, Gereja Katolik juga dituntut untuk tetap
mempertahankan keautentikan ajarannya. Jangan sampai karena hasrat untuk
beradaptasi yang begitu mengebu-gebu, Gereja Katolik malah kehilangan identitas
dirinya.
Dalam tulisan singkat ini saya akan
mencoba untuk mengulas sikap Gereja Katolik terhadap agama/kebudayaan lain,
terutama berkaitan dengan sifat Gereja Katolik yang satu dan Katolik. Kedua sifat ini, di satu sisi bisa merupakan
peluang bagi sebuah sikap inklusivitas, tetapi di lain pihak bisa menjatuhkan
Gereja Katolik pada sikap ekslusivitas. Paper ini coba menjawab tesis: Gereja Katolik mementingkan sekali sifat satu dan katolik. Bagaimana kedua hal itu sejalan/tidak sejalan dengan
hasrat membangun komunitas inklusif ? Mengingat situasi masyarakat
Indonesia yang majemuk, terutama dalam hal keagamaan, maka bertolak dari tesis
ini saya mencoba untuk melihat hubungan antara Gereja Katolik dengan
agama-agama lain yang ada di Indonesia (baik agama yang diakui negara maupun
agama-agama lokal).
Gereja yang Satu
Dari alkitab tampaklah bahwa Gereja
terbina oleh karya satu Allah (1
Kor. 8:6); berkat satu wahyu dalam satu Tuhan Yesus Kristus, yang sudah
disalibkan, wafat dan bangkit serta dimuliakan (Rm. 14:7, dst.); dalam karya satu Roh Allah dan Roh Kristus (Ef.
2:18). Kesatuan ini dibuka dalam satu Injil, satu Baptis dan satu
Jabatan yang dikurniakan kepada Petrus dan Keduabelasan.[1]
Oleh Paulus kesatuan ini digambarkan sebagai “tubuh” yang dibentuk dengan
baptis dan diaktualisasikan dengan Perayaan Pemecahan Roti (1 Kor. 10:17).
Selain dalam Kitab Suci, sifat Gereja yang
satu dapat kita lihat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) art. 815:
kesatuan Gereja penziarah juga
diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini:
– pengakuan iman yang satu dan sama,
yang diwariskan oleh para Rasul;
– perayaan ibadat bersama, terutama
Sakramen-sakramen;
– suksesi apostolik, yang oleh Sakramen
Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah.
Lebih
jauh, dalam KGK art. 816 dijelaskan:
"Itulah satu-satunya Gereja
Kristus... Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada
Petrus untuk digembalakan. Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para Rasul
lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing... Gereja itu, yang di dunia ini
disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam [subsistit in] Gereja Katolik,
yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya
(LG 8).
Dekrit Konsili Vatikan II mengenai
ekumene menyatakan: "Hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni
upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya
penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang
diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru,
untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia. Dalam Tubuh itu harus
disatu-ragakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk
Umat Allah" (UR 3).[2]
Segi lahiriah sifat satu ini tampak dalam satunya iman,
sakramen, ibadat dan pimpinan. Semua ini merupakan buah dari karya Yesus dan
Rohnya serta sekaligus mewujudkan bentuk inderawi dari Kehendak Tunggal Allah
untuk menyelamatkan manusia, yang harus ditampilkan oleh Gereja.[3]
Gereja yang Katolik
Kata “Katolik” tidak terdapat dalam
Kitab Suci, tetapi sudah dipakai oleh Ignatius dari Antiokhia untuk menunjukkan
sifat universal (semesta) Gereja yang tersebar di seluruh dunia. Sejak abad
ke-2 kata “Katolik”, dalam arti universal, mulai dilawankan dengan aneka
sekte dan bidaah (ajaran salah) yang bermunculan pada zaman itu. Kata “Katolik”
tetap berarti “umum”, universal, tetapi dipakai untuk menunjuk pada
Gereja yang “benar”, dilawankan dengan bidaah-bidaah itu. “Katolik” adalah kata
yang baru dan sebelum tahun 380 tidak dipakai dalam syahadat.[4]
Makna kekatolikan Gereja adalah bahwa
Gereja, berkat kehendak Allah untuk menyelamatkan semesta dunia, karena
penebusan Yesus Kristus yang secara hakiki berlaku bagi semua orang dan
mengingat karya Roh Kudus untuk seluruh umat manusia, terbuka dan harus terbuka
untuk semua manusia baik dilihat dari sudut tempat maupun waktu. Maka Gereja
harus menerima pluralisme yang hakiki bagi sejarah manusia dan dikehendaki
Tuhan, pluralisme bidang perorangan dan bidang kemasyarakan. Gereja juga tidak
dapat membatasi pewartaan dan bentuk-bentuk hidupnya pada sesuatu bentuk
lingkungan kebudayaan tertentu atau suku bangsa tertentu sampai menolak yang
lain.[5]
Pemanggilan Paulus untuk menjadi rasul bagi orang non-Yahudi menunjukkan bahwa
keselamatan tersedia bagi semua bangsa tanpa terkecuali.
Gereja sebagai perwujudan Kehendak
Allah untuk menyelamatkan semua dan seluruh pribadi manusia ditunjukkan dalam
LG art. 13:
Sebab demi tujuan itulah (memperstukan
anak-anakNya yang tersebar) Allah mengutus putera-Nya, yang dijadikan-Nya ahli
waris alam semesta (lih. Ibr 1:2), agar Ia menjadi Guru, Raja, dan Imam bagi
semua orang, kepala umat anak-anak Allah yang baru dan universal.[6]
Bahaya Eksklusivitas
Sifat Gereja yang satu dan katolik dapat
menjadi penghambat bagi terciptanya sebuah komunitas inklusif apabila kedua sifat
ini dilihat sebagai dua hal yang terpisah. Dalam sifat satu Gereja dapat jatuh ke dalam ektrem eksklusivitas apabila sifat
ini begitu ditekankan sedemikian rupa sampai-sampai tidak membuka kemungkinan
bagi adanya dialog dengan pihak di luar dirinya. Misalnya saja sebagaima yang
sudah disebutkan dalam KGK art. 815 di mana Gereja Katolik memandang dirinya
sebagai satu-satunya kepenuhan keselamatan. Hal ini tentu akan menimbulkan
ketidaksenagan bagi saudara-saudari dari denominasi lain, sebab di sini seolah-olah
Gereja Katolik tidak menghargai ajaran iman dari denominasi lain.
Selain itu, sifat Satu tampaknya bertentangan dengan sifat Katolik, sebab di satu sisi Gereja memandang diri sebagai tempat
kepenuhan keselamatan, tetapi di lain sisi Gereja juga mengakui adanya
kebenaran dalam agama/budaya lain yang dapat membawa para penganutnya kepada
keselamatan. Sebagaimana jika memahami secara dangkal sifat gereja yang satu jatuh dalam sikap inklusivisme,
sama halnya jika memahami secara dangkal sifat Gereja yang katolik. Seolah-olah sifat Katolik
mau menggambarkan sikap Gereja yang begitu saja mau menerima unsur-unsur di
luar dirinya tanpa disertai sikap kritis.
Cara pandang seperti ini bisa dikatakan
sempit, sebab kedua sifat Gereja ini dilihat secara dangkal dan dipandang
sebagai dua sifat yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan antara yang satu
dengan yang lain. Cara melihat secara dangkal inilah yang dapat mengantar orang
pada pemahaman yang salah berkaitan dengan sikap Gereja terhadap agama/budaya
lain, sehingga tampaknya Gereja bersikap eksklusif.
Gereja yang Inklusif
Sifat Gereja yang satu dan katolik
tampaknya memang bertolak belakang, tetapi kedua hal ini sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan. Di satu sisi Gereja perlu memberi penegasan berkaitan dengan sifat
kesatuannya sebagaimana tampak dalam KGK art. 815, akan tetapi jika hal ini
begitu ditekankan maka Gereja akan jatuh pada sikap eksklusivitas, sebab bisa
saja Gereja tidak mengakui benih-benih kebenaran yang mungkin ada dalam
agama/kebudayaan di luar dirinya. Di sisi lain Gereja juga tidak bisa terlalu
menekankan sifat katoliknya yang apabila disalahartikan bisa juga jatuh pada sikap
relativisme, sebab keterbukaan yang dimaksud bukanlah keterbukaan buta di mana
semua unsur di luar dirinya dipandang sebagai kebenaran. Kedua sifat ini (satu
dan katolik, tanpa mengecualikan sifat kudus dan apostolik) harus selalu
berjalan bersamaan, sebab antara keempatnya terdapat unsur-unsur yang saling
melengkapi sehingga memberi kekhasan pada Gereja Katolik.
Salah satu contoh sikap Gereja yang
inklusif dapat dilihat dalam artikel “Inkulturasi di Keuskupan Ruteng”
(terlampir). Di situ digambarkan bagaimana iman Katolik dipadukan dengan budaya
setempat (budaya Manggarai, Flores, NTT) ditunjukkan dalam misa inkulturasi.
Dalam misa yang memperingati Yubelium 100 Tahun Gereja Katolik di Manggarai,
unsur-unsur budaya Manggarai dimasukkan dalam liturgi, misalnya saja upacara kepok[7]
(dilaksanakan di awal misa, tepatnya sebelum perarakan masuk, untuk menyambut
rombongan uskup dan para imam), misa dengan menggunakan bahasa Manggarai, serta
tari-tarian daerah Manggarai dalam misa tersebut (dalam perarakan pembuka dan
persiapan persembahan). Selain itu, dalam artikel tersebut juga dijelaskan
bagaimana iman Katolik mulai meresapi aspek kehidupan orang Manggarai, misalnya
dalam upacara pembagian lahan pertanian (lingko). Dalam upacara ini, tidak
hanya didoakan doa-doa adat, tetapi juga digunakan doa-doa Katolik.
Salah satu hal yang penting di sini
adalah bahwa meskipun terdapat inkulturasi, ajaran iman Katolik tidak menjadi
kabur ketika berjumpa dengan budaya Manggarai. Keautentikan ajaran iman Katolik
tetap terjaga. Gereja Katolik, dalam perjumpaannya dengan budaya setempat,
tetap menjaga jarak, ada unsur-unsur tertentu dalam Gereja Katolik yang tidak
bisa diubah ketika berjumpa dengan budaya setempat. Misalnya saja dalam artikel
tersebut upacara kepok dilakukan sebelum misa dimulai sehingga tidak mengubah
tata urutan dalam ekaristi. Selain itu unsur-unsur lain dari budaya Manggarai
yang dimasukkan dalam misa tersebut juga tidak mengubah tata urutan perayaan
ekaristi, misalnya tarian yang dilaksanakan saat perarakan imam atau dalam
perarakan bahan-bahan persembahan. Penggunaan bahasa Manggarai pun disesuaikan
sedemikian sehingga tidak mengubah makna iman sebagaimana dimaksudkan oleh
Gereja.
Dalam refleksi saya Gereja Katolik pada
prinsipnya senantiasa membuka diri bagi terciptanya dialog dengan agama/budaya
lain. Hanya saja ketika terjadi perjumpaan Gereja mau tidak mau harus tetap
menjaga jarak dengan agama/budaya tersebut demi kemurnian ajarannya. Salah satu
caranya adalah dengan mempertegas batas-batas ajaran iman katolik yang sama
sekali tidak boleh direlatifkan ketika berjumpa/berdialog dengan agama/budaya
lain, sebab jika tidak bisa terjadi bahwa nilai ajaran iman Katolik menjadi
kabur ketika coba “didamaikan” dengan unsur-unsur tertentu dari agama/budaya
lain. Terutama setelah Konsili Vatikan II, pandangan Gereja Katolik terhadap
agama/budaya lain condong pada penilaian yang positif.
Dalam Gereja Katolik kita dapat
menjumpai beragam pendapat (terutama dari para teolog) berkaitan dengan sikap
yang harus diambil ketika berhadapan dengan agama/budaya lain. Para teolog
memiliki kebebasan untuk menyampaikan pandangannya, termasuk berkaitan dengan
sikap Gereja terhadap pluralisme dan dialog antara Gereja Katolik dengan agama/budaya
lain. Pandangan mereka haruslah disesuaikan dengan ajaran iman Gereja Katolik.
Jika pandangan mereka menyimpang maka mau tidak mau teolog yang bersangkutan
harus menarik kembali pandangannya jika masih ingin menjadi anggota Gereja.
Contohnya adalah pandangan John Hick, Paul Knitter, dan Raymond Panikkar.[8] Berangkat
dari kesadaran postmodern bahwa setiap kebudayaan dan setiap agama secara
historis dikondisikan dan diarahkan menuju kepada kebenaran, terutama kebenaran
tentang Tuhan, yang secara linguistik dan kultural diyakini (dan karenanya
terbatas, parsial dan relatif). Para pluralis berpandangan bahwa semua agama
muncul dari dan menggambarkan pengalaman realitas yang sama, dan karena itu
semuanya sama validnya sebagai mediator keselamatan. Klaim kebenaran dari
setiap agama (dari perspektif kaum pluralis) seharusnya merupakan urusan internal
agama tersebut.[9] Akan
tetapi pandangan ini memiliki kelemahan, sebab pandangan ini mengabaikan peran
Kristus sebagai penyelamat dan mengosongkan makna iman, dan juga pandangan ini
bisa jatuh pada paham indiferentisme, di mana setiap agama dipandang tidak ada
bedanya.
Pandangan lain yang mungkin dapat kita
lihat selain pandangan kaum pluralis adalah pandangan Karl Rahner. Dengan
istilahnya yang khas “Kristen anonim” Karl Rahner membuka dialog yang “lebih
sehat”. Bagi Rahner seorang “Kristen anonim”[10]
dapat memperoleh keselamatan dengan mengikuti kesadaran mereka dalam iman,
harap, dan kasih. Meskipun mengakui keselamatan juga ada di luar agama Kristen,
tetapi Rahner sendiri tetap mengakui bahwa kepenuhan keselamatan hanya ada
dalam agama Kristen dan peran Kristus sebagai satu-satunya mediator
keselamatan. Kisah dalam Mat.25:32-46 (kisah pemisahan antara kambing dan
domba) menjadi acuan Rahner dalam pandangannya ini. Akan tetapi pandangan
Rahner ini juga tidak luput dari kritik, sebab penyebutan “Kristen anonim” bagi
mereka yang non-Kristen tanpa persetujuan mereka dinilai sewenang-wenang.[11] Menurut
saya pandangan Rahner lebih membuka terciptanya dialog yang sehat dengan
agama/budaya lain dibandingkan dengan pandangan kaum pluralis, sebab di satu
sisi kita bisa mengakui kebenaran yang ada dalam diri mereka tetapi di sisi
lain kita juga tetap bisa mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang kita yakini
hanya terdapat dalam agama kita tanpa jatuh pada bahaya sinkretisme. Dalam hal
ini Gereja dapat membangun sebuah sikap inklusif, tetapi dengan disertai sikap
yang lebih kritis.
Sikap Gereja Katolik terhadap
kepercayaan lain yang bukan Kristiani dapat kita lihat juga dalam Lumen Gentium
art. 16. Di sana dijelaskan bahwa rencana keselamatan juga merangkum mereka
yang mengakui Sang Pencipta. Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil
Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat
pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui
suara hati dan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Sebab apa
pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang
sebagai persiapan injil, dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang,
supaya akhirnya memperoleh kehidupan.[12]
Penutup
Menurut saya sifat Gereja yang satu dan Katolik pada dasarnya tidak perlu dipertentangkan, sebab ketika
kedua hal ini dipertentangkan maka akan ada bahaya eksklusivisme dan
relativisme. Gereja Katolik, terutama pasca Konsili Vatikan II, telah membuka
pandangan yang lebih sehat berkaitan dengan hubungannya dengan agama/kebudayaan
lain. Gereja Katolik senantiasa terbuka terhadap unsur-unsur kebenaran yang ada
dalam agama/kebudayaan lain, bahkan melalui agama/kebudayaan tersebut seseorang
bisa mencapai keselamatan. Akan tetapi, mengikuti Karl Rahner, kepenuhan
keselamatan hanyalah mungkin terjadi di dalam Gereja Katolik, dan satu-satunya
penyelamat segenap umat manusia adalah Yesus Kristus. Di sini Gereja Katolik
telah mengambil sikap yang kritis. Di satu pihak Gereja mengakui adanya
benih-benih kebenaran dalam agama/budaya lain, tetapi di lain pihak Gereja
Katolik tetap berpegang pada ajaran imannya. Pada akhir paper ini baiklah jika
melihat sikap Gereja yang mungkin dapat dilihat sebagai sebuah sikap inklusif. Hal
ini tertuang dalam Gaudium et Spes art. 22:
“karena Kristus telah wafat bagi
semua orang dan panggilan terakhir manusia benar-benar
hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua
orang untuk… digabungkan dengan
misteri paskah itu.[13]
Lampiran
Inkulturasi di Keuskupan
Ruteng[14]
HIDUPKATOLIK.com - Keuskupan Ruteng terletak di ujung barat Pulau
Flores. Gereja Keuskupan Ruteng mencakup wilayah tiga kabupaten, yakni
Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Luas wilayah pelayanannya mencapai
7.136,04 km2.
Keuskupan ini merupakan keuskupan dengan jumlah umat
Katolik terbanyak di Indonesia. Keuskupan ini memiliki jumlah umat Katolik
sebanyak 770.219 orang dari 853. 937 penduduk Manggarai, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Jumlah ini mencapai 90% lebih. Keuskupan juga memiliki 80 paroki dengan
52 kongregasi yang berkarya di dalamnya.
Secara geografis, Pulau Flores terletak di sebelah selatan
khatulistiwa dengan iklim moonson. Sebagian besar wilayah Keuskupan Ruteng
berada di daerah dataran tinggi sehingga udara cenderung dingin. Sedikit
berbeda dengan wilayah Labuhan Bajo, yang merupakan daerah pesisir pantai.
Udara di Labuhan Bajo dan sekitarnya cenderung panas. Daerah Manggarai,
Keuskupan Ruteng, merupakan daerah yang subur dibandingkan daerah lain di NTT.
Dalam budaya agraris masyarakat Manggarai, Keuskupan
Ruteng, terdapat keunikan dalam pola pembagian lahan pertanian (lingko),
khususnya sawah. Masyarakat setempat menyebut sawah tersebut sawah lodok. Sawah
lodok adalah areal persawahan yang pola pembagiannya menyerupai jaring
laba-laba. Sawah lodok banyak dijumpai di Kampung Cara, Cancar dan Lembor,
Manggarai Barat.
Inkulturasi
Di titik pusat (lodok) tersebut, masyarakat sering
melakukan upacara adat. Upacara itu dilakukan saat memasuki musim tanam dan
panen. Seiring berjalannya waktu, inkulturasi terjadi dalam upacara adat yang
digelar. Selain doa-doa secara adat, upacara musim tanam dan panen menggunakan
tata cara doa Katolik. Biasanya dalam upacara adat seperti itu diadakan ibadat
atau Misa secara Katolik.
Ini menunjukkan bahwa iman dan budaya bisa berjalan
beriringan. Seiring berkembangnya Gereja Katolik Manggarai, Keuskupan Ruteng
juga mempengaruhi pola kehidupan masyarakat setempat. Mereka tetap
mempertahankan budaya masyarakat Manggarai dengan tak melupakan iman mereka
sebagai orang Katolik.
Masyarakat Manggarai dan Gereja Katolik Manggarai berusaha
untuk mempertahankan budaya setempat. Menurut Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng,
inkulturasi menjadi salah satu gerakan yang hendak diupayakan Gereja, untuk
ikut ambil bagian dalam usaha melestarikan budaya setempat, khususnya melalui
perayaan Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai.
Uskup Bogor Mgr Michael Cosmas Angkur, yang merupakan putra
Manggarai, mengungkapkan, ada kecenderungan besar terjadinya inkulturasi. “Saya
berharap di tengah inkulturasi yang terjadi, Injil benar-benar mengakar dalam
budaya, tapi tetap terbuka dalam kerajaan surga. Dalam bahasa Manggarai
misalnya, muncul dalam pantun-pantun Manggarai,” ujar Mgr Angkur.
Salah satu cara Gereja Katolik Manggarai mempertahankan
budaya, dengan menyelenggarakan Misa inkulturasi. Termasuk Misa inkulturasi
dalam perayaan Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai di Gereja St Mikael
Kumba, Jumat, 19/10.
Dalam Misa inkulturasi itu, suasana semarak begitu tampak. Kepok atau penyambutan
secara adat dilakukan sebelum Misa dimulai. Para uskup yang hadir menerima
selendang dan peci, yang juga dikenakan saat Misa inkulturasi.
Tarian Sae dan irama takkitu-mbata, iringan musik khas Manggarai,
mengiringi jalannya Misa. Umat yang hadir mengenakan songke, songkok (peci),
dan selendang. Pada Misa yang dipimpin Mgr Michael Cosmas Angkur tersebut,
seluruh Tata Perayaan Ekaristi menggunakan bahasa Manggarai. Lagu-lagu hingga
khotbah menggunakan bahasa Manggarai.
Semarak Misa inkulturasi dalam perayaan 100 tahun Gereja
Katolik Manggarai, sedikit berbeda dengan Misa Yubileum keluarga pada hari
berikutnya, 20/10. Misa keluarga yang diselenggarakan di Gereja Katedral Ruteng
ini dipimpin oleh Duta besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Antonio Guido
Filipazzi, didampingi para uskup dan imam. Suasana tenang mewarnai gereja.
Meskipun demikian, inkulturasi dengan budaya setempat tetap tampak dalam kepok sebelum Misa
dimulai, dan tarian Sae yang ditampilkan dalam Misa.
Maria Pertiwi
Daftar Pustaka
Hardawiryana, SJ (Penrj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Obor: Jakarta. 2012.
Harry Susanto, SJ (Penrj.) Katekismus Gereja Katolik. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. 2013.
Manion, Gerard (ed.). Ecclesiological Investigations, Vol. 6: Globalization and the Mission of the Church. London: T&T Clark, 2009.
Maria Pratiwi,
Inkulturasi di Keuskupan Ruteng, http://www.hidupkatolik.com/2012/12/14/inkulturasi-di-keuskupan-ruteng.
Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat Bahan Matakuliah Eklesiologi
Sifat-sifat
atau Ciri-ciri Gereja, http://pendalamanimankatolik.com/sifat-sifat-atau-sifat-sifat-gereja/,
[1] Prof. Dr. B.S.
Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat
Bahan Matakuliah Eklesiologi, hal. 2.
[2] Katekismus Gereja
Katolik, art. 186.
[3] Prof. Dr. B.S.
Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat
Bahan Matakuliah Eklesiologi, hal. 2.
[4] Sifat-sifat atau
Ciri-ciri Gereja, http://pendalamanimankatolik.com/sifat-sifat-atau-sifat-sifat-gereja/,
diunduh pada Rabu, 2 Desember 2015,
pkl. 21.15 wib.
[5] Prof. Dr. B.S.
Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat
Bahan Matakuliah Eklesiologi, hal. 2.
[6] Lumen Gentium art.
13, dalam Hardawiryana, SJ
(Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Obor:
Jakarta. 2012), hal. 87.
[7] Kepok adalah salah satu bentuk upacara
dalam budaya Manggarai yang dilaksanakan untuk menyambut seorang tamu terhormat.
[8] Gerard Manion (ed.), Ecclesiological Investigations, Vol. 6:
Globalization and the Mission of the Church, (London: T&T Clark, 2009),
hal. 180.
[9] Gerard Manion (ed.), Ecclesiological Investigations, Vol. 6:
Globalization and the Mission of the Church, hal. 180.
[10] Istilah ini merujuk pada orang-orang non-Kristen yang meskipun
tidak mengimani Yesus Kristus tetapi seturut hati nuraninya hidup sebagaimana
diperintahkan dan diajarkan Yesus Kristus kepada para pengikutnya.
[11] Gerard Manion (ed.), Ecclesiological Investigations, Vol. 6:
Globalization and the Mission of the Church, 179-180.
[12] Lumen Gentium art. 16, dalam Hardawiryana,
SJ (Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Obor:
Jakarta. 2012), hal. 91.
[13] Gaudium et Spes art. 22, dalam Hardawiryana,
SJ (Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Obor:
Jakarta. 2012), hal. 548.
[14] Maria Pratiwi, Inkulturasi di Keuskupan Ruteng, http://www.hidupkatolik.com/2012/12/14/inkulturasi-di- keuskupan-ruteng,
diunduh pada Sabtu, 6 Desember 2015, okl. 10.00 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar