Locke, sebagaimana Hobbes, berpendapat
bahwa pembentukan masyarakat politik atau negara didahului oleh suatu keadaan
alamiah di mana individu memiliki hak-hak alamiah atau kodrati. Namun keadaan
alamiah dalam pandangan kedua tokoh ini berbeda secara fundamental. Berbeda dari Hobbes yang memandang keadaan alamiah sebagai keadaan perang,
Locke memandang keadaan alamiah sebagai sebuah keadaan harmonis. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan (state of libery), tetapi bukan berarti orang berbuat sekehendaknya
(state of license). Dalam keadaan ini
individu terikat oleh hukum-hukum kodrat,[1] yang melarang siapa pun untuk merusak atau memusnahkan kehidupan,
kebebasan, dan harta milik pihak lain. Dalam kondisi ini ada kebebasan dan kesamaan. Namun dalam keadaan alamiah itu hak-hak
kodrati individu tidak selalu terjaga, karena dalam
keadaan alamiah itu setiap individu adalah raja dan sebagian besar individu tidak
sepenuhnya menghormati hak orang lain.
Bila pelaksanaan hukum diserahkan kepada masing-masing, maka akan terjadi
konflik interpretasi tentang makna hukum. Oleh karena itu kondisi ini tidak
memadai untuk menjamin hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik.[2] Inilah yang dinamakan
keadaan perang (state of war).
Kondisi ketika banyak individu tidak lagi menghargai hak
individu lain yang berakibat pada tidak terjaminnya hak hidup, hak kebebasan,
dan harta milik, atau yang dapat diringkas dengan sebutan hak milik mendorong
individu-individu itu bersepakat mengadakan kontrak untuk mendirikan negara. Lewat kontrak
sosial itu dihasilkan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif yang dibatasi oleh
hukum-hukum dasar tertentu. Hukum-hukum itu melarang pemerintah merampas
hak-hak individu, dan pemerintah diperlukan justru untuk menjamin keamanan seluruh
masyarakat, dan lebih khusus lagi fungsi pokok pemerintah, menurut Locke,
adalah menjaga milik pribadi.[3] Hal ini tampak dalam Letter on
Toleration di mana Locke sendiri menulis:
Negara
bagi saya adalah sebuah masyarakat manusia yang didirikan hanya untuk
memelihara dan memajukan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Apa yang saya
sebut kepentingan-kepentingan masyarakat adalah kehidupan, kebebasan, kesehatan
fisik dan kebebasan dari rasa sakit, serta kepemilikan benda-benda jasmani,
seperti tanah, uang, perabotan rumah
tangga, dan lain sebagainya.[4]
Jadi bagi Locke motif dasar didirikannya negara adalah untuk memelihara keharmonisan dalam
keadaan alamiah, yaitu keadaan kesamaan dan kebebasan, di mana hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik terjamin. Berbeda dari Locke, bagi Hobbes alasan berdirinya negara
adalah untuk mengakhiri keadaan alamiah (keadaan perang), sebab di dalam
keadaan ini hidup individu terancam. Untuk itu, menurut Hobbes, berdasarkan pertimbangan akal budinya manusia kemudian mengadakan
suatu perjanjian untuk mendirikan negara yang akan memaksa mereka untuk hidup
bersama dengan aman dan damai, dan kepada
negara hasil perjanjian tersebut individu-individu menyerahkan seluruh haknya dan menaklukkan
diri di bawahnya.[5]
Implikasi negara yang akan terbentuk atas dasar motif Hobbesian adalah sebuah negara absolut,
sebab dalam negara Hobbesian individu menyerahkan semua haknya kepada negara
dan tunduk sepenuhnya kepada negara. Negara yang kepadanya individu menyerahkan
seluruh haknya, tidak terikat dan tunduk kepada individu-individu yang membentuknya. Sedangkan pada negara Lockean tidak semua hak individu diserahkan
kepada negara. Individu hanya
menyerahkan dua hak yang mereka miliki dalam keadaan alamiah, yaitu hak untuk
menentukan sendiri bagaimana setiap warga harus mempertahankan diri dan hak
untuk menghukum para pelanggar hukum menurut aturan hukum kodrat. Hak membuat undang-undang, yakni hak
legislatif atau hak eksekutif dan pelaksanaannya, diserahkan kepada negara,
tetapi seluruh proses harus didasarkan pada syarat yang harus dipenuhi negara,
yaitu keberlangsungan hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Kekuasaan
tertinggi, yaitu kedaulatan, tetap menjadi milik rakyat. Negara absolut tidak sesuai dengan tujuan
masyarakat.[6]
Dalam konteks Indonesia pandangan John Locke tentang peran
negara dalam melindungi harta milik warganya dapat kita lihat salah satunya
dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peran KPK , sebagai sebuah
lembaga negara, dalam memberantas tindakan korupsi saya lihat sebagai salah
satu upaya negara dalam melindungi harta milik rakyat (misalnya saja uang
negara yang sejatinya digunakan demi kesejahteraan rakyat) dari ancaman para
koruptor. Dalam pelaksanaan tugasnya KPK bertanggung jawab kepada publik dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan
BPK. Apa yang dilakukan KPK ini saya pandang sebagai bentuk tanggung jawab
pemerintah kepada rakyatnya, terutama dalam melindungi harta milik rakyatnya.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia
Modern.
Jakarta: Erlangga. 2002.
Locke,
John. Kuasa itu Milik Rakyat. Terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Parry, Geraint (Ed.). Political Thinkers No. 8: John Locke. London: George Allen & Uwin, 1978.
Tjahjadi, Simon P.L. Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Barat
Modern. Jakarta: STF Driyarkara. 2014.
[1] Sastrapratedja, kata pengantar dalamKuasa
itu Milik Rakyat, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 9.
[3] F. Budi Hardiman, pemikiran-pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta: Erlangga, 20012, hal. 70.
[4] Geraint Parry (Ed.), Political
Thinkers No. 8: John Locke, London: George Allen & Uwin, 1978, hal. 110.
[5] Simon P.L. Tjahjadi, Diktat
Kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta: STF Driyarkara, 2014, hal.44-45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar