Selasa, 26 Januari 2016

Filsafat Nietzsche: Dionysus VS Yang Tersalib


I. Dionysus

Dionysus adalah dewa Yunani, sebuah konsep yang mengalami perubahan mendalam dari karya awal Nietzsche ke karya akhirnya. Nietzsche menggunakan beberapa segi dari mitos dan praktik kultural yang diasosiasikan dengan Dionysus, sebagai poin referensi antropologis, atau sebagai simbol: anggur, kemabukan dan kematian; musim panen dan musim semi, atau keberlimpahan dan kesuburan.[1]Ada beragam versi mitologi yang menjelaskan siapa itu Dionysus. Bapak Dionysus pastinya adalah Zeus, tetapi tentang siapa ibunya terdapat beragam versi. Ada yang mengatakan bahwa ibunya adalah Demeter (dewi gandum), atau Io (dewi gandum juga), atau dione (dewi Cedar) atau Lethe (dewi kelupaan dan dewi pohon anggur) atau ada pula yang mengatakan Persephone (dewi kematian yang berbentuk ular). Versi yang paling banyak beredar mengatakan bahwa Dionysus adalah anak hasil perselingkuhan Zeus dengan Semele (manusia mortal, anak raja Cadmos dari Thebes). Nama Semele juga dikaitkan dengan nama Selene (dewi bulan) yang adalah dewi pesta orgi dalam pesta penghormatan bulan yang dipimpin oleh sembilan imam wanita.[2] Selain itu, dalam mitologi Yunani masih banyak kisah tentang sosok Dionysus, misalnya saja “kelahirannya yang kedua” dari paha Zeus karena dimasukkan Hermes demi menyelamatkan nyawa Dionysus dari kejaran Hera (istri Zeus yang cemburu karena Dionysus adalah hasil perselingkuhan Zeus dengan Semele), pernikahannya dengan Ariadne (mantan istri Theseus), kematiannya karena dicabik-cabik oleh para titan (yang disuruh oleh Hera), dsb.
Berangkat dari kompleksitas sosok Dionysus dalam mitologi Yunani, maka menjadi sulit untuk menjelaskan siapa sebenarnya Dionysus yang dirujuk Nietzsche. Istilah “ideal dionysian” sendiri tidak dikenal dalam tradisi Yunani. Kemungkinan Nietzsche menggunakan istilah Dionysus (atau Dionysian) untuk mengatakan “pemikirannya, konsepnya tentang sesuatu”, singkatnya, menjadi simbol untuk sesuatu yang ada dalam pemikirannya.[3] Selain itu, Dionysian adalah satu dari tiga penentu kultural dalam The Birth of Tragedy, bersama dengan Apollonian dan Socratic. Di situ Dionysian diasosiasikan dengan kemabukkan, ekstasi, dan dengan produksi-produksi kultural seperti lirik puisi dan beragam aspek musik (secara khusus harmoni). Dalam Twilight of Idols Dionysus menjadi figur kunci, tuhan yang menggoda manusia untuk bertumbuh sehat.[4]

II. Eksistensi yang Bertransfigurasi: Dionysian
            Pertentangan antara Dionysus dengan Yang Tersalib sudah dinyatakan Nietzsche dalam sebuah teks yang tak dipublikasikan tahun 1888, “dua tipe: Dionysus dan Yang Tersalib”. Ia memperkenalkan pemikiran ini dengan serangkaian pertanyaan mengenai orang beragama, bukan agama itu sendiri. Keseluruhan potongan kemudian menyeimbangkan antara dua sikap yang ia deskripsikan, dan keduanya lebih dekat kepada aspek tindakan yang memahami realitas dibandingkan kebenaran positif dari tindakan itu sendiri (yaitu agama pada dirinya).[5]
            Nietzsche memperlawankan Paganisme dengan Yudaisme. Konflik antara paganisme dengan Yudaisme (yang menjelaskan seluruh sejarah Barat) tidak hanya disimbolkan dalam literatur Kristen tetapi juga ditemukan dalam simbol Dionysus. Konflik antara dua tipe religius ini diendapkan dalam oposisi antara afirmasi dan negasi. Basis dari oposisi ini diambil dari penghargaan atas realitas yang secara samar oleh Nietzsche disebut Keseluruhan (the Whole) - hidup, eksistensi, atau bahkan, benda-benda itu sendiri. Ini menjadi tanda keluwesan kehendak pada Nietzsche yang tidak akan mereduksi realitas yang tak dapat dinamai sebagai konsep atau totalitas ada.[6]
            Ideal asketis-yang menonjol dalam pemikiran yahudi-kristen menjaga jarak dari hidup karena ketakutannya pada hidup. Ideal asketis mencari sebuah alasan, makna, dan akhir dari hidup yang dapat melayani prinsip keteraturan individu: sebuah penciptaan sewenang-wenag yang mengatur makna hidup, namun pada kenyataannya merusak makna problematis dari eksistensi. Sebaliknya ideal Dionysian tidak mencari pembenaran atas hidup. Dunia bagi Dionysian melampaui finalitas; dunia bagi Dionysian adalah chaos, yang mirip seperti sebuah laut, digerakkan oleh perubahan kekal namun selalu merupakan daya diri identik. Ideal asketik selalu memprovokasi individu untuk memotong diri (self-mutilation) sebagaimana ia dengan nekat mencoba untuk keluar dari hidup dan afirmasi diri; dan dengan menyangkal afirmasi diri, ia hanya ingin mengafirmasinya sekali lagi. Di lain sisi, ideal Dionysian bermaksud untuk mengatasi secara real individu dengan cara metamorfosis, sebuah transformasi diri dengan afirmasi yang tegas (yaitu Kehendak Kuasa).[7]

III. Penderitaan dan Kematian

Perbedaan antara Dionysus dan Yang Tersalib bukan terletak pada fokus keduanya, Yang Tersalib pada penderitaan dan kematian sedangkan Dionysus pada pengagungan hidup yang melimpah. Perbedaan antara Dionysus dan Yang Tersalib bukan juga pada kemartiran; yang ada hanyalah dua makna yang berbeda. Tuhan Dionysus dicabik-cabik dan mengenal kematian. Dionysus sendiri juga mati, tetapi sama seperti tuhan-tuhan real lainnya, sebagaimana dikatakan Zarahustra, dia dilahirkan kembali dari abunya. Kematian Dionysus bukanlah argumen untuk melawan kematian. Kematiannya bukanlah untuk membesarkan kesalahan sebagaimana yang dilihat Paulus - interpretasi yang melihat dalam kesalahan terdapat keselamatan dan kekekalan - sebuah visi yang menggeser dan mengubah sifat hidup. Kematian Dionysus bukanlah kematian yang tak terduga dan tak diinginkan sebagaimana kematian Yesus.[8] Sebagai anti-tipe Yang Tersalib, Dionysus menentang Penyelamat di salib ciptaan Paulus dan obsesi terhadap kematian yang menyelamatkan. Akan tetapi Dionysus dekat dengan Yesus yang non-Paulus. Yesus mengatakan ya, ia mengafirmasi, tetapi ia tidak mengingini kematian.Yang menjadi perbedaan antara Dionysus dan Yang tersalib terletak pada makna penderitaan, sebagaimana dikatakan Nietzsche dalam teks Posthumous (1888):
Dalam Kristiani penderitaan diartikan sebagai jalan menuju ke sebuah ada-yang-kudus, sementara pada arti tragis penderitaan memberi nilai kepada yang ada sejauh yang ada ini sudah cukup kudus untuk menerima lagi penderitaan lainnya secara tak terbatas. Manusia tragis akan mengafirmasi datangnya penderitaan yang lebih pahit lagi: dia ini cukup kuat, cukup utuh, cukup cocok untuk diilahikan karenanya; sementara orang Kristen malah justru menolak apa yang paling membahagiakan yang bisa muncul di muka bumi ini: dia ini cukup lemah, cukup miskin, tak mampu untuk menderita dalam kehidupan ini dalam bentuk apa pun.[9]

            Dionysus, yang lebih jelas dan ketat, ingin menjadi martir; bukan bagi dirinya, tetapi sebagai sebuah kondisi di dalam batin untuk mengafirmasi hidup. Berbeda dengan Yang Tersalib sebagaimana diwartakan Paulus, yang mengagungkan kematian di atas kehidupan -dekat, tapi tidak identik dengan Yesus yang mengingini kehidupan tanpa menghadapi kematian- Dionysus menentang kematian, keyakinan akan keberlimpahan hidup dan kekuatan re-kreatif dirinya. Kematian, kemudian merupakan sebuah persyaratan yang mengandaikan afirmasi seseorang atas Kekembalian yang Sama Secara Abadi melalui proses perbedaan internal dirinya. Sebagaimana dijalani oleh para murid Dionysus, penderitaan dan kematian bukanlah kata akhir dari segala sesuatu, sebagaimana digambarkan Nietzsche dengan huruf X (huruf kedua sebelum terakhir).[10] Penderitaan dengan hormat menjaga jarak dari realitas terdalam: penderitaan hanya memberi akses. Penderitaan selalu hadir dalam setiap pengalaman manusia, tetapi maknanya berubah: makna tragis dilawankan dengan gagasan umum kekristenan. Dalam makna tragis penderitaan intrinsik terhadap pengudusan hidup, sebagaimana “tidak” adalah bagian interior dari segala “afirmasi” yang tak terbatas.[11]
Sebuah pelayaran tanpa batas dianalogikan dengan jalan dalam sebuah labirin: simbol yang menyatukan Dionysus dengan Ariadne. Daripada berpegang pada rute yang direncanakan, penjelajah labirin tahu bahwa, meskipun ada sebuah akhir, tidak ada jalan langsung kepada akhir tersebut. “Labirin” adalah simbol chaos. Seorang penjelajah labirin tidak mencari kebenaran, ia hanya selalu mencari Ariadne. Ia tidak dengan bodoh mencoba untuk mencapai kedalaman sempurna. Seperti “labirin”, istilah “chaos” tidak harus didefinisikan dalam cara yang terlalu romantis atau nihilis. Chaos ada dalam diri setiap orang, sebagaimana setiap orang hilang di dalam labirin. Afirmasi karenanya tergolong sebuah gerakan yang mengurangi nilai diri; ini adalah sebuah undangan untuk masuk ke dalam permainan di mana seseorang bermain bersama kita. Tetapi orang yang mengalami semacam metamorfosis membayar harga darahnya sendiri. Mengikuti Dionysus, ia menderita pemotongan diri dan kematian yang tak kunjung henti. Penyelamatan tidak terjamin oleh iman seseorang melalui kematian orang lain (visi Paulus), tetapi melalui penumpahan darah sendiri.[12]
            Setiap murid Dionysus harus menghidupi kemartirannya sendiri. Identifikasi ini adalah hasil yang wajar dari iman sang murid; yaitu segera sesudah ia mengerti bahwa Dionysus ingin mengafirmasi segala sesuatu dan ia sendiri masuk ke dalam momen penyaliban afirmasi. Pada batas antara kesadaran dan ketidaksadaran, Nietzsche tetap bermain dengan memakai topeng yang akan menyembunyikan realitas dari ketidaktampakannya.[13]

IV. Dionysus dan Kekembalian Abadi
            Berangkat dari makna penderitaan dalam perspektis tragis, kita dapat menempatkan relasi antara Dionysus dan Kekembalian Abadi. Melalui kematian Dionysus hidup dapat diafirmasi: “hidup itu sendiri, kesuburan dan kekembaliannya yang kekal, termasuk kesakitan, destruksi, kehendak untuk membinasakan diri.” Sebagai seorang tuhan, Dionysus menyerahkan kepada Kekembalian Abadi: kehendak untuk tanpa henti kembali dari penderitaan dan kematian dirinya secara tepat demi mengafirmasi hidup. Begitu juga para pengikutnya harus mencoba untuk tidak mengkekalkan saat sekarang, tetapi untuk mematahkannya, sehingga kekekalan akan terus bergelora daripadanya.[14]
            Dalam filsafat Yunani, Kekembalian Abadi dipahami sebagai keabadian dalam bentuk lingkaran (ide siklis yang seolah-olah mengatakan bahwa tidak ada yang baru sama sekali karena semuanya akan terulang secara abadi, bahkan kita pun kekal karena kita akan muncul kembali secara persis sama). Tafsir ini berseberangan dengan seluruh filsafat Nietzsche yang mau mengafirmasi kehidupan, yang mengagungkan kreasi seniman dengan grand style yang tidak pernah mau menciptakan sesuatu yang identik.[15]
            Pemikiran ini juga mirip dengan Kehendak Kuasa, karena Kehendak Kuasa memberi sifat (qualifies) kehendak yang mengkehendaki Kekembalian Abadi: kehendak yang tajam dan murni (yaitu tanpa nostalgia atau dendam) mengkehendaki sebuah keabadian yang sama. Namun, afirmasi Kekembalian Abadi tidak identik dengan Kehendak Kuasa. Untuk memahami pemikiran ini, atau untuk mengkehendaki sebuah keabadian yang sama (yang mensyaratkan Kehendak Kuasa), ialah untuk menyatakan sebuah afirmasi murni bukan dari sebuah hal partikular, tapi dari penebusan kekal atas segala hal.[16] Kekembalian Abadi bukanlah sebuah pengulangan yang monoton dari suatu kejadian yang identik. Kekembalian Abadi adalah afirmasi yang selalu membutuhkan “ya” lain: Kekembalian Abadi membutuhkan sebuah kekembalian, tetapi sebuah kekembalian yang tidak lagi berkeras dan melemahkan masa lalu manusia yang penuh dendam.[17]
            Tuhan penggoda (Dionysus) terkadang datang untuk mengunjungi dia yang menantinya, dia yang selalu mengharapkan kedatangannya dan bersiap untuk mengafirmasinya. Reafirmasi -pengulangan ya- mengantisipasi apa yang mungkin datang, dan kemungkinan kedatangannya sudah cukup untuk “membenarkan” seluruh realitas. Tetapi karena si pengunjung lewat tanpa mendatangkan kekerasan atas para pengikutnya, tanpa dengan tajam menatap para pengikutnya, sebagaimana dilakukan Tuhan lama/tua (the old God), setiap penjagaan membutuhkan sebuah persiapan baru dan penegasan kembali “ya” sebagai inti paling dalam kondisi tersebut. Di sini ilusi-ilusi yang dapat memahami setiap tanda harus mati: Dionysus adalah dia sebagaimana adanya, sebuah tanda, sebuah jejak. Dia yang “berdevosi” kepada tuhan ini tidak dicabut dari kondisinya, tetapi diperkaya dan diperdalam oleh pemakluman kemungkinan kunjungannya. “Ucapan-ya” membutuhkan kekembalian, “waktu yang pertama” mengkehendaki “waktu yang kedua”, dan sebuah “kekekalan waktu”, dan dengan demikian menolak kehendak untuk mengakhirinya, aspirasi-aspirasi atas nihilisme “sekali untuk selamanya”.[18]
            Dionysus membimbing para muridnya kepada doktrin Kekembalian Abadi. Ia melakukannya tidak dalam cara tuhan yang bastrak, tetapi sebagai tuhan yang tragis (tragic god), sebab ia membimbing kepada sebuah realitas yang padanya ia berserah. Demikian, sekali lagi, Dionysus melawan tuhan versi Paulus (yang membatasi segalanya pada iman yang mengganti kematian yang lain) dan juga pada tuhannya Yesus (yang jernih dan segera memperlemah segalanya). Sementara Allah Kekristenan membiarkan anaknya mati, tanpa membiarkan dirinya sendiri yang mati, tuhan Dionysus melampaui kematian: sebagai sebuah tanda autensitas ia harus mengkehendaki penghapusan dan ketidaktampakkan dirinya. Kehadirannya haruslah menjadi ketiadaan atas afirmasi untuk terjadi sekali lagi.[19]
            Terhadap realitas yang merupakan perpaduan antara kebenaran dan kesalahan, antara kebaikan dan kejahatan, sikap yang harus diambil oleh para pengikut Dionysus adalah menghadapinya sebagaimana adanya, tanpa “mengapa” dan “untuk apa”. Melalui doktrin Kekembalian Yang Sama secara Abadi Nietzsche menunujukkan jalan untuk menghadapi realitas sebagaimana adanya dengan menghindarkan diri dari fiksasi dan hasrat untuk berhenti di satu titik karena godaan kelelahan. Kekembalian Yang Sama secara Abadi menjadi penggerak bagi manusia untuk mengkehendaki sesuatu secara baru apa pun yang telah ia taklukan sebagai kosmos. Tiap kosmos adalah sebuah ketakterbatasan baru, dan tiap ketakterbatasan akan mengundang peng-kosmos-an tentatif, demikian seterusnya secara abadi. Dunia adalah ketakterbatasan, bukan kosmos yang sekali tercipta lalu fixed.[20]
            Akhirnya, Dionysus sendiri sebenarnya adalah konsep, kata untuk membuat kita paham mengenai sesuatu. Ia sebenarnya tetap tinggal enigmatis, tak terpahami, tak bisa di-kata-kan. Ia asing dan tak dikenal, datang mengunjungi sesukanya, tidak mengharapkan apa-apa dan tidak menuntut apa-apa dari pengikutnya. Figur Dionysus diambil Nietzsche untuk menolong pembaca sampai kepada pemahaman tersebut. Kultus Nietzsche kepada Dionysus adalah kultusnya kepada realitas itu sendiri, yakni realitas sebagai perpaduan antara kebaikan dan kejahatan, antara kesalahan dan kebenaran. Sikap menerima realitas sebagaimana adanya dilihat Nietzsche sebagai sikap yang saleh. Dionysus sendiri, oleh Nietzsche, dilihat sebagai tipe tuhan, bukan Tuhan ultim atau Tuhan sebagai idée fixe.[21]















Daftar Pustaka
Allison, David B. (ed). The New Nietzsche. New York: Dell Publishing Co. 1977.
Burnham, Douglas. The Nietzsche Dictionary. London: Bloomsbury Academic. 2015.
Wibowo, Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press. 2004.








[1] Douglas Burnham,The Nietzsche Dictionary, London: Bloomsbury Academic, 2015, hal. 101.
[2] Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Galang Press, 2004, hal. 165.
[3] Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 167.
[4] Douglas Burnham, The Nietzsche Dictionary, hal. 102.
[5] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, dalam David B. Allison (ed.), The New Nietzsche, New York: Dell Publishing Co, 1977, hal. 247.
[6] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 247.
[7] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 248.
[8] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 250.
[9] Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 352.
[10] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 250.
[11] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 250.
[12] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 251.
[13] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 252.
[14] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 253.
[15] Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 340.
[16] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 254.
[17] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 254.
[18] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 255.
[19] Paul Valadier, Dionysus Versus The Crucified, hal. 257.
[20] Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 341-342.
[21] Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal. 355-356.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar