Sabtu, 25 April 2015

Perjanjian Allah dan Nuh (Kejadian 9:1-17)



Kitab kejadian terbagi atas dua bagian besar, yakni kisah awal mula alam semesta (Kej. 1-11) dan kisah para Bapa bangsa (Kej. 12-50). Di dalam dua bagian besar kitab ini, sebagaimana juga terdapat dalam semua kitab Perjanjian Lama, dikenal berbagai bentuk sastra seperti mite, legenda, saga, sejarah, daftar silsilah, dsb. Secara umum, Kej. 1-11 penuh dengan cerita-cerita jenis mite. Mite adalah istilah teknis yang umum diapakai dalam penyelidikan mengenai agama. Cerita jenis mite banyak dijumpai di wilayah Timur Tengah. Kemungkinan besar mite-mite ini beredar luas dalam bentuk lisan di budaya-budaya Timur Tengah, dan itu dikenal oleh orang-orang Ibrani. Ketika hendak mengungkapkan pemahaman mereka tentang penciptaan dan keadaan manusia, bisa jadi mereka dipengaruhi mite-mite tersebut.Iman mereka akan Allah yang Mahakuasa kemudian diungkapkan dalam bentuk cerita-cerita yang berasal dari lingkungan mereka sendiri tetapi juga diambil dari tempat lain dan disesuaikan. Mite dalam Perjanjian Lama menggambarkan karya Yahwe (Allah Israel yang Mahakuasa) serta campur tanganNya di dunia.Kisah Nuh dan keturunannya yang termasuk dalam bagian pertama kitab Kejadian (Kej. 6-9) merupakan jenis kisah mite.
Kisah Nuh mirip dengan kisah-kisah dari Mesopotamia yang juga berbicara tentang air bah, yakni epik Atrahasis dan Gilgamesy. Dalam epik Atrahasis air bah dibuat oleh dewa-dewa sebagai bentuk hukuman kepada manusia yang mengganggu tidur para dewa. Akan tetapi hanya ada satu manusia yang atas informasi salah satu dewa mampu menyelamatkan diri dari bencana ini dengan membuat perahu bagi dirinya, rumah tangganya, dan binatang-binatang. Dia adalah Atrahasis. Sedangkan pada epik Gilgamesy, dikisahkan tentang usaha Gilgamesy yang mencari keabadian dengan pergi mencari Utnapishtim dan istrinya yang tidak dapat mati setelah bencana air bah. Kendati mirip dengan epik Atrahasis dan Gilgamesy, perbedaan mencolok antara kisah Nuh dan kedua epik tersebut adalah tujuan dari air bah. Dalam kisah Nuh tujuan air bah adalah hukuman bagi dosa manusia.Kisah Nuh sendirijuga merupakan penggabungan dari dua tradisi, yakni tradisi Yahwis (J) dan tradisi Imam (P). Di dalam kisah Nuh terdapat beberapa perbedaan mencolok antara kedua tradisi ini, salah satunya adalah lamanya air bah, 40 hari menurut tradisi J dan 150 hari oleh tradisi P.
Setelah ditampilkan kisah mengenai riwayat Nuh, air bah, dan surutnya air bah, pada Kej. 9:1-17 ditampilkan kisah perjanjian antara Allah dengan Nuh.Perjanjian antara Allah dengan Nuh merupakan perjanjian yang unik, sebab dalam perjanjian ini ditambahkan beberapa unsur baru dalam perjanjian antara Allah dengan manusia sebagaimana jika dibandingkan dengan kisah penciptaan manusia pertama. Perjanjian dalam kisah ini tidak hanya meliputi kelompok tertentu saja, melainkan meliputi seluruh ciptaan.
Perjanjian (berit, Ibr.) merupakan kesepakatan antara dua orang (atau kelompok) atau lebih demi memperjelas relasi di antara mereka. Ungkapan bahasa Ibrani untuk membuat perjanjian adalah “memotong” perjanjian. Mungkin ini menunjuk kepada praktik memotong seekor hewan kurban menjadi dua dan kemudian pihak yang mengadakan perjanjian berjalan di antara kedua bagian itu sebagai ungkapan kesetiaan kepada perjanjian (Kej. 15:7-21, Yer. 34:18-19). Perjanjian biasanya diakhiri dengan makan bersama (Kej. 26:26-31), memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan (1Sam. 18:3-4), mendirikan sebuah timbunan batu sebagai peringatan (Kej. 31:43-55), melepaskan sandal sebelah dan memberikannya kepada orang lain (Rut. 4:7-8), atau berjabat tangan saja (2Raj. 10:15). Perjanjian dimaksudkan untuk membangun kesetiaan di antara pihak-pihak terkait. Melanggar perjanjian merupakan suatu perkara serius.
Kisah Kej. 9:1-17 terbagi atas dua bagian, yakni perintah perjanjian (ay. 1-7) dan tanda perjanjian (ay.8-17). Pada bagian pertama kisah ini, tampak bahwa perjanjian tersebutberisi peraturan mengenaipengembangan hidup (ay. 1,7), perlindungan hidup dan pengudusannya (ay. 2,5-6), dan mempertahankan hidup (ay. 3-4). Setelah peristiwa air bah Allah memberi peraturan yang lebih longgar kepada manusia berkaitan dengan makanan. Sebelumnya manusia hanya diizinkan memakan tumbuhan (Kej 1:29), tetapi setelah peristiwa air bah manusia juga diizinkan untuk memakan daging binatang. Peraturan baru ini disertai dengan larangan yang berkaitan dengan darah, yakni larangan untuk memakan darah atau daging yang masih ada darahnya, serta larangan untuk menumpahkan darah sesama manusia. Pantangan mengenai darah atau daging yang masih ada darahnya merupakan hal mendasar dalam peraturan mengenai makanan yang berlaku dalam masyarakat Israel (Im 17:10-14, Ul 22:23).
Dalam Perjanjian Lama darah dipandang sebagai tempat adanya hidup (Im. 17:11). Oleh karena hidup adalah milik Allah, maka penumpahan darah merupakan perampasan apa yang menjadi milik Allah dan karena itu hal tersebut dilarang keras. Darah dianggap bukti kehidupan yang dikaruniakan Allah. Allah melarang keras penumpahan darah manusia, sebab manusia merupakan gambar Allah (ay 6). Kata “gambarNya” kembali diucapkan Allah sebagaimana pernah ia ucapkan ketika hendak menciptakan manusia. Kata ini hanya diberikan kepada manusia, dan tidak kepada ciptaan lain. Kata “gambar” (sinonim dengan kata rupa) menunjukkan bahwa manusia serupa (tidak sama) dengan Allah. Karena diciptakan seturut gambar Allah maka manusia memiliki kedudukan yang istimewa jika dibandingkan dengan ciptaan lainnya.  Siapa yang menghilangkan nyawa sesamanya maka Allah akan menuntut balas daripadanya (Kej. 4:10), dan darahnya akan tertumpah oleh manusia lain. Darah makhluk hidup, terutama darah manusia yang dijadikan menurut gambar dan rupaNya sendiri, adalah milik Allah (Im. 1:5).
Bagian kedua kisah perjanjian antara Allah dengan Nuh merupakan kisah mengenai tanda perjanjian, yakni busur yang ditaruh Allah di langit (pelangi). Busur adalah terjemahan dari bahasa Ibrani qešet, yang artinya senjata. Dalam dunia Perjanjian Lama ada gambaran Allah sebagai pemanah (Ayb 6:4, Mzm 38:3). Dengan busurNya Allah mengancam manusia yang tidak patuh. Ketika bumi dipenuhi dengan kejahatan dan dosa manusia, Allah melepaskan anak panahnya sehingga datanglah air bah untuk menghukum manusia karena dosa dan kejahatan yang ia buat. Akan tetapi setelah peristiwa air bah Allah meletakkan untuk selama-lamanyabusur yang Ia gunakan untuk memanah musuh-musuhNya dan untuk menghukum manusia karena kejahatan dan dosanya. Allah menggunakan busur itu sebagai tanda perjanjian antara diriNya dengan Nuh, dan dengan ciptaan lainnya. Busur tersebut ditaruh di langit sehingga setiap orang dapat melihatnya, serta mengingatkan Allah untuk tidak lagi menghukum manusia sekalipun mereka berbuat jahat dan berdosa.Jadi, tanda yang secara tradisional diartikan sebagai pelangi itu berfungsi sebagai tanda pengingat perjanjian. Bagi Allah tanda itu mengingatkanNya untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah, sedangkan bagi manusia tanda itu mengingatkannya pada kesetiaan Allah yang tidak lagi akan memusnahkan dunia dengan air bah.
Dalam kisah ini Allah memberi janji tidak bersyarat untuk tidak lagi melenyapkan segala yang hidup dengan air bah serta tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi. Perjanjian antara Allah dengan Nuh berbeda dengan perjanjian antara Allah dengan Abraham, atau antara Allah dengan Musa. Perjanjian yang dibuat Allah dalam kisah ini tidak hanya meliputi Nuh dan keturuannya saja tetapi merangkum seluruh dunia ciptaan. Dalam perjanjian antara Allah dengan Abraham yang tandanya ialah sunat, yang terlibat dalam perjanjian itu hanya keturunan Abraham saja (Kej.17), sedangkan pada perjanjian atara Allah dengan Musa yang ditandai dengan ketaatan dalam pelaksanaan hukum serta sabat hanya terbatas pada bangsa Israel saja (Kel. 19:5, 24:7-8). Tanda pelangi ini juga menjadi pembeda antara perjanjian Allah dengan Nuh dan perjanjian Allah dengan Abraham atau dengan Musa, sebab berbeda dengan tanda sunat atau hukum dan sabat, tanda pelangi bukanlah sebuah tindakan yang dituntut dalam perjanjian tersebut, bukan pula hukum yang harus ditepati melainkan tanda damai dari Tuhan yang terpancang di langit dan dapat dilihat semua orang.
Lantas bagaimana konsep Allah dalam kisah perjanjian ini? Di dalam kisah-kisah awal penciptaan Allah digambarkan sebagai “pembuat peraturan yang absolut”. Ia yang menciptakan manusia dan ciptaan lainnya, dan jika Ia tidak menyenanginya maka Ia dapat menghancurkannya. Paham tentang Allah seperti ini diimbangi dengan pandangan manusia sebagai rival Allah. Dalam kisah penciptaan, manusia digambarkan memiliki potensi untuk menjadi rival Allah. Manusia dapat menjadi seperti Allah apabila ia memakan buah kehidupan dan buah pengetahuan. Akan tetapi manusia hanya memakan buah pengetahuan. Karena ada kekhawatiran bahwa ia juga memakan buah kehidupan yang dapat menjadikannya kekal seperti Allah, yang mana tentu dapat mengancam supremasi Allah, maka Allah mengusirnya dari taman Eden (Kej. 3:22).Selain itu, gambaran tentang Allah sebagai pembuat peraturan yang absolut juga tampak dalam kisah awal air bah. Karena dosa dan kejahatan manusia (Kej.6:5-8), maka Allah kemudian mendatangkan air bah untuk melenyapkan semua ciptaan.
Gambaran tentang Allah dalam kisah perjanjian Allah dan Nuh berbeda dengan gambaran Allah pada kisah-kisah sebelumnya. Pada kisah ini Allah tidak lagi tampil sebagai seorang Raja “absolut”,tetapi Allah tampil sebagai Raja yang “konstitusional”. Perjanjian antara Allah dengan Nuh, dan juga dengan seluruh ciptaan tidak hanya mengikat pihak Nuh dan ciptaan lainnya, tetapi Allah juga mengikatkan diriNya sendiri pada perjanjian itu, yakni Ia berjanji untuk tidak lagi mendatangkan air bah demi menghancurkan manusia dan alam ciptaan karena dosa dan kejahatan yang mereka buat. Dalam perjanjian ini Allah menjadi partner manusia. Dengan mengikatkan diriNya pada perjanjian ini Allah kehilangan kebebasanNya untuk bertindak sewenang-wenang, tetapi manusia justru memperoleh kebebasannya, bahkan kebebasan untuk menolak Allah.
Apa relevansi teks ini bagi hidup kita sekarang? Pertama, adalah penghargaan atas hidup seluruh ciptaan. Sebagaimana Allah yang menjamin kehidupan setiap ciptaanNya di muka bumi ini, maka manusia yang diciptakan seturut gambar Allah haruslah bertindak seperti Allah. Diciptakan seturut gambar Allah berarti manusia menjadi wakil Allah di dunia. Sebagai wakil tentunya manusia tidak bisa bertindak sewenang-wenang atas sesamanya dan ciptaan lainnya, sebaliknya manusia dituntut untuk dapat bertindak bijaksana dalam relasinya dengan sesama dan dalam menjaga/menggunakan ciptaan lainnya.
Kedua, dengan menaruh busurnya sebagai tanda perjanjian dengan manusia, Allah berjanji untuk tidak lagi memusnahkan kehidupan dengan air bah, sekalipun manusia berbuat dosa.Allah sebagaimana digambarkan dari kisah ini adalah Allah yang mengasihi segenap ciptaanNya tanpa memandang dosa dan kejahatan yang ia miliki.Selain itu perjanjian ini juga berimplikasi pada pemahaman akan kebebasan manusia. Melalui perjanjian ini, di mana Allah berjanji untuk tidak lagi menghukum manusia karena dosa dan kejahatannya, tampak bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya. Manusia bebas untuk menerima atau menolak Allah.
Ketiga, melalui kisah ini kita dapat belajar untuk setia kepada janji yang telah kita buat. Sebagaimana Allah yang telah menaruh busurnya dan berjanji untuk tidak lagi memusnahkan kehidupan dengan air bah, maka sudah sepantasnya kita manusia berlaku sama seperti Allah, yakni setia pada janji-janji yang telah kita ikrarkan kepada sesama kita.Ingkar janji menandakan ketidakpedulian kita terhadap pihak lain, dan dengan bersikap ingkar janji berarti kita telah mengabaikan kepercayaan yang telah diberikan sesama kepada kita. Dengan itu relasi kita dengan sesama menjadi rusak. Di samping itu, dengan mengikatkan diri kita di dalam suatu perjanjian berarti kita memberikan dirikita seluruhnya ke dalam perjanjian itu. Apabila kita kemudian melarikan diri dari perjanjian yang telah dibuat itu maka kita menunjukkan diri sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab.






Daftar Pustaka

Fromm, Erich. You Shall Be as Gods: A Radical Interpretation of The Old Testament and Its Tradition. Greenwich: A Fawceet Premier Book. 1966.
Kitab Suci Katolik. Ende: Percetakan Arnoldus. 2011
Marsunu, Seto Y.M. Dari Penciptaan Sampai Babel: Ulasan Kejadian 1-11. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2008.
Suharyo, Ignasius, Pr. Membaca Kitab Suci: Mengenal Tulisan-tulisan Perjanjian Lama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar