I.
Pendahuluan
Doa Bapa Kami sudah sering kita
doakan. Setiap kali doa pribadi maupun doa bersama, doa ini hampir pasti
didoakan. Misalnya saja di dalam perayaan ekaristi, ibadat harian, saat devosi,
dsb. Di dalam tradisi Kristen, doa Bapa Kami diterima sebagai doa yang
sempurna, sebab doa ini diajarkan oleh Tuhan sendiri dengan maknanya yang
begitu mendalam. Unsur permohonan, puji-pujian, pertobatan, atau pun penyerahan
diri tercakup di dalam doa ini. Doa ini, karena terdapat di dalam Kitab Suci,
maka telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.
Cara mendoakan doa Bapa Kami pun
tidak hanya dengan mendaraskannya, tetapi juga dengan menyanyikannya. Akan
tetapi ketika masuk ke dalam ranah liturgi mau tidak mau banyak hal yang harus
diperhatikan dan ditaati, tidak hanya berkaitan dengan keindahan musiknya,
tetapi juga berkaitan dengan penggunaan kata-katanya, sehingga unsur-unsur di
dalamnya tidak menyimpang dari makna aslinya. Hal inilah yang kurang lebih
dipertanyakan oleh Caecilia dari Tanggerang Selatan ketika untuk pertama
kalinya ia mendengar salah satu versi lagu Bapa Kami yang diarransemen Andre
Manika, yang mana tidak terdapat di
dalam Puji Syukur atau pun di luar lagu Bapa Kami yang biasa dinyanyikan. Di
dalam tulisan singkat ini, saya mencoba mengkritisi masalah yang diangkat oleh
Caecilia dari Tanggerang Selatan sebagaimana termuat di dalam Mingguan Hidup, No. 24, Th ke-67, 16 Juni 2013.
II.
Pembahasan
Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam liturgi
tentulah bukan sembarang lagu, tetapi merupakan lagu-lagu yang sudah melalui
tahap seleksi sebelumnya. Tahap seleksi ini sendiri tidak hanya memperhatikan
keindahan melodi lagu tersebut, tetapi juga mempertimbankan aspek bahasa,
makna, dsb. Di dalam Sacrosantum Concilium art. 44 dan 45 dijelaskan berkenan dengan
Komisi Liturgi Nasional dan Keuskupan. Komisi ini antara lain diisi oleh
orang-orang yang ahli di dalam ilmu liturgi, musik, kesenian liturgi, dan di
bidang pastoral. Komisi ini bertujuan membina kegiatan pastoral liturgis di
kawasannya, dan sudah tentu termasuk di dalamnya pengaturan tentang musik
liturgi. Sebagai contoh adalah lagu-lagu di dalam Puji Syukur yang sudah disahkan oleh KWI, atau lagu-lagu di dalam
buku Jubilate untuk
keuskupan-keuskupan di NTT. Ciri khas sebuah lagu yang baik untuk perayaan
liturgi hendaknya bersifat khidmat, terpelihara, istimewa, dan lain daripada
yang sehari-hari. Juga hendaknya sederhana, tidak aneh-aneh, mampu
mengungkapkan makna hidup iman umat dan mengandung unsur kedalaman (sublim), bukan dangkal.[1] Musik
yang digunakan juga hendaknya memperhatikan kesederhanaan melodi, tetapi
sekaligus agung dan layak untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu, sebuah lagu
yang digunakan di dalam perayaan liturgi selain memperhatikan aspek keindahan,
juga harus mampu mengungkapkan makna hidup iman umat dan mengandung unsur
kedalaman, serta tentunya harus melalui perestuan oleh pihak yang berwenang,
dalam hal ini pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum
pada Uskup (SC art. 22).
Pendapat dan pemahaman banyak orang
tentang doa Bapa Kami berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa doa Bapa Kami
(dalam perayaan ekaristi) menarik karena musiknya yang indah, atau juga ada
yang berpendapat bahwa saat doa Bapa Kami adalah bagian yang menyentuh karena
saat seperti itu menjadi penguat keharmonisan antara anggota keluarga, karena saat mendoakan doa Bapa Kami setiap
anggota keluarga saling bergandengan tangan. Akan tetapi ada juga yang
pemahamannya lebih dalam. Bagi kelompok terakhir ini Doa Bapa Kami merupakan
doa yang sempurna karena diajarkan oleh Yesus sendiri dengan strukturnya yang
sempurna di mana terdapat unsur pujian dan permohonan atau pun penyerahan diri.
Dari sini bisa dilihat bahwa umat Katolik sendiri meskipun telah sering
mendoakan doa Bapa Kami tetapi belum memiliki pemahaman yang mendalam
tentangnya.
Selain itu, hal yang juga perlu
mendapat perhatian dalam penggubahan lagu Bapa Kami adalah pemilihan kata-kata
yang tepat. Jangan sampai hanya karena terlalu menekankan aspek keindahan musik
maka ketepatan penggunaan kata-kata diabaikan. Penggunaan/pemilihan kata
terjemahan yang kurang tepat dapat mengaburkan kedalaman makna yang terkandung
di dalam doa Bapa Kami. Jika demikian maka doa Bapa Kami yang dinyanyikan
direduksi hanya menjadi hiburan semata. Jika diteliti secara mendalam, doa Bapa
Kami (Matius 6:9-13) memiliki struktur lengkap, yakni sebuah sapaan awal dan
sapta permohonan. Tiga dari sapta permohonan adalah “permohonan-Mu”, sedangkan
empat adalah “permohonan kami”. Ketiga permohonan pertama berkenan dengan perkara
Allah sendiri di dunia ini, sedangkan empat permohonan selanjutnya berpautan
dengan harapan-harapan kita, kebutuhan-kebutuhan kita, dan perjuangan kita. Doa
Bapa Kami bermula dengan penegakkan primat Allah, yang kemudian bermuara pada
pertimbangan tentang cara benar menjadi manusia.[2] Jika
dilihat secara lengkap maka tampklah doa Bapa Kami sebagai sebuah doa yang bermakna
dalam, sebuah doa yang sempurna.
III.
Kesimpulan
Dari
uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan berkaitan dengan
penggubahan lagu doa Bapa Kami. Pertama, doa
Bapa Kami adalah doa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri kepada para pengikutnya,
maka sudah sepantasnya bagi setiap pengikutnya untuk dengan sungguh-sungguh
mengimani dan memaknai doa yang diajarkan Tuhan ini, sebab jika dilihat dari
strukturnya, doa ini merupakan doa yang sempurna. Di dalam doa ini terkandung
unsur pujian, permohonan, tobat, dan juga penyerahan diri kita kepada Allah.
Pengurangan atau penambahan kata-kata pada doa ini secara sembarangan dapat mengaburkan
makna yang sudah terkandung di dalam doa ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya
bagi umat untuk berpegang pada teks asli dan terjemahan yang sudah disahkan
oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Untuk terjemahan yang tepat rupanya perlu
kerja sama antara teolog, ahli bahasa, dan sastrawan, sebab kosa kata Bahasa
Indonesia cukup sulit mengungkapkan kedalaman filsafat-teologi Barat[3]
Kedua, dalam
mengarransemen lagu doa Bapa Kami,
hendaknya dipertimbangkan karakter-karakter nyanyian liturgi. Seperti yang
sudah diseburkan di atas, nyanyian liturgi yang baik memiliki ciri khas yang
khidmat, terpelihara, istimewa, dan lain daripada yang sehari-hari, serta dapat
mengungkapkan kedalaman hidup iman umat serta mengandung kedalaman. Yang paling
penting bukanlah pertama-tama lagu tersebut enak didengar tetapi tidak membantu
umat untuk menghayatinya, sehingga terkesan hanya sekadar sebagai
entertaintment. Lebih dari itu, yang paling penting adalah bagaimana lagu
tersebut membawa umat pada kedalaman maknanya sehingga umat dapat mengalami
perjumpaan dengan Allah. Sebagaimana teks doa Bapa Kami yang dalam
penerjemahannya perlu pengesahan dari pihak yang berwenang, demikianpun dalam
hal ini penggubahan lagu doa Bapa Kami pun perlu mendapat restu dari pihak yang
berwenang, dalam hal ini tentu saja dari pihak Konferensi Waligereja Indonesia.
Daftar
Pustaka
Hardawiryana, R
(Penrj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta:
Obor. 2008.
Ratzinger, Joseph. Yesus dari Nazareth. Terj. B.S Mardiatmaja, SJ.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 2010.
Tarigan,
Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta:
Cahaya Pineleng. 2011.
_______________.
Ritus Kehidupan. Jakarta: Cahaya
Pineleng. 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar