Jumat, 17 April 2015

Memahami (Lagu) Doa Bapa Kami



I. Pendahuluan         
            Doa Bapa Kami sudah sering kita doakan. Setiap kali doa pribadi maupun doa bersama, doa ini hampir pasti didoakan. Misalnya saja di dalam perayaan ekaristi, ibadat harian, saat devosi, dsb. Di dalam tradisi Kristen, doa Bapa Kami diterima sebagai doa yang sempurna, sebab doa ini diajarkan oleh Tuhan sendiri dengan maknanya yang begitu mendalam. Unsur permohonan, puji-pujian, pertobatan, atau pun penyerahan diri tercakup di dalam doa ini. Doa ini, karena terdapat di dalam Kitab Suci, maka telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.

            Cara mendoakan doa Bapa Kami pun tidak hanya dengan mendaraskannya, tetapi juga dengan menyanyikannya. Akan tetapi ketika masuk ke dalam ranah liturgi mau tidak mau banyak hal yang harus diperhatikan dan ditaati, tidak hanya berkaitan dengan keindahan musiknya, tetapi juga berkaitan dengan penggunaan kata-katanya, sehingga unsur-unsur di dalamnya tidak menyimpang dari makna aslinya. Hal inilah yang kurang lebih dipertanyakan oleh Caecilia dari Tanggerang Selatan ketika untuk pertama kalinya ia mendengar salah satu versi lagu Bapa Kami yang diarransemen Andre Manika, yang  mana tidak terdapat di dalam Puji Syukur atau pun di luar lagu Bapa Kami yang biasa dinyanyikan. Di dalam tulisan singkat ini, saya mencoba mengkritisi masalah yang diangkat oleh Caecilia dari Tanggerang Selatan sebagaimana termuat di dalam Mingguan Hidup, No. 24, Th ke-67, 16 Juni 2013.
II. Pembahasan
             Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam liturgi tentulah bukan sembarang lagu, tetapi merupakan lagu-lagu yang sudah melalui tahap seleksi sebelumnya. Tahap seleksi ini sendiri tidak hanya memperhatikan keindahan melodi lagu tersebut, tetapi juga mempertimbankan aspek bahasa, makna, dsb. Di dalam Sacrosantum Concilium art. 44 dan 45 dijelaskan berkenan dengan Komisi Liturgi Nasional dan Keuskupan. Komisi ini antara lain diisi oleh orang-orang yang ahli di dalam ilmu liturgi, musik, kesenian liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi ini bertujuan membina kegiatan pastoral liturgis di kawasannya, dan sudah tentu termasuk di dalamnya pengaturan tentang musik liturgi. Sebagai contoh adalah lagu-lagu di dalam Puji Syukur yang sudah disahkan oleh KWI, atau lagu-lagu di dalam buku Jubilate untuk keuskupan-keuskupan di NTT. Ciri khas sebuah lagu yang baik untuk perayaan liturgi hendaknya bersifat khidmat, terpelihara, istimewa, dan lain daripada yang sehari-hari. Juga hendaknya sederhana, tidak aneh-aneh, mampu mengungkapkan makna hidup iman umat dan mengandung unsur kedalaman (sublim), bukan dangkal.[1] Musik yang digunakan juga hendaknya memperhatikan kesederhanaan melodi, tetapi sekaligus agung dan layak untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu, sebuah lagu yang digunakan di dalam perayaan liturgi selain memperhatikan aspek keindahan, juga harus mampu mengungkapkan makna hidup iman umat dan mengandung unsur kedalaman, serta tentunya harus melalui perestuan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada Uskup  (SC art. 22).
            Pendapat dan pemahaman banyak orang tentang doa Bapa Kami berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa doa Bapa Kami (dalam perayaan ekaristi) menarik karena musiknya yang indah, atau juga ada yang berpendapat bahwa saat doa Bapa Kami adalah bagian yang menyentuh karena saat seperti itu menjadi penguat keharmonisan antara anggota keluarga,  karena saat mendoakan doa Bapa Kami setiap anggota keluarga saling bergandengan tangan. Akan tetapi ada juga yang pemahamannya lebih dalam. Bagi kelompok terakhir ini Doa Bapa Kami merupakan doa yang sempurna karena diajarkan oleh Yesus sendiri dengan strukturnya yang sempurna di mana terdapat unsur pujian dan permohonan atau pun penyerahan diri. Dari sini bisa dilihat bahwa umat Katolik sendiri meskipun telah sering mendoakan doa Bapa Kami tetapi belum memiliki pemahaman yang mendalam tentangnya.
            Selain itu, hal yang juga perlu mendapat perhatian dalam penggubahan lagu Bapa Kami adalah pemilihan kata-kata yang tepat. Jangan sampai hanya karena terlalu menekankan aspek keindahan musik maka ketepatan penggunaan kata-kata diabaikan. Penggunaan/pemilihan kata terjemahan yang kurang tepat dapat mengaburkan kedalaman makna yang terkandung di dalam doa Bapa Kami. Jika demikian maka doa Bapa Kami yang dinyanyikan direduksi hanya menjadi hiburan semata. Jika diteliti secara mendalam, doa Bapa Kami (Matius 6:9-13) memiliki struktur lengkap, yakni sebuah sapaan awal dan sapta permohonan. Tiga dari sapta permohonan adalah “permohonan-Mu”, sedangkan empat adalah “permohonan kami”. Ketiga permohonan pertama berkenan dengan perkara Allah sendiri di dunia ini, sedangkan empat permohonan selanjutnya berpautan dengan harapan-harapan kita, kebutuhan-kebutuhan kita, dan perjuangan kita. Doa Bapa Kami bermula dengan penegakkan primat Allah, yang kemudian bermuara pada pertimbangan tentang cara benar menjadi manusia.[2] Jika dilihat secara lengkap maka tampklah doa Bapa Kami sebagai sebuah doa yang bermakna dalam, sebuah doa yang sempurna.
III. Kesimpulan
            Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan berkaitan dengan penggubahan lagu doa Bapa Kami. Pertama, doa Bapa Kami adalah doa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri kepada para pengikutnya, maka sudah sepantasnya bagi setiap pengikutnya untuk dengan sungguh-sungguh mengimani dan memaknai doa yang diajarkan Tuhan ini, sebab jika dilihat dari strukturnya, doa ini merupakan doa yang sempurna. Di dalam doa ini terkandung unsur pujian, permohonan, tobat, dan juga penyerahan diri kita kepada Allah. Pengurangan atau penambahan kata-kata pada doa ini secara sembarangan dapat mengaburkan makna yang sudah terkandung di dalam doa ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi umat untuk berpegang pada teks asli dan terjemahan yang sudah disahkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Untuk terjemahan yang tepat rupanya perlu kerja sama antara teolog, ahli bahasa, dan sastrawan, sebab kosa kata Bahasa Indonesia cukup sulit mengungkapkan kedalaman filsafat-teologi Barat[3]
            Kedua, dalam mengarransemen lagu doa Bapa Kami, hendaknya dipertimbangkan karakter-karakter nyanyian liturgi. Seperti yang sudah diseburkan di atas, nyanyian liturgi yang baik memiliki ciri khas yang khidmat, terpelihara, istimewa, dan lain daripada yang sehari-hari, serta dapat mengungkapkan kedalaman hidup iman umat serta mengandung kedalaman. Yang paling penting bukanlah pertama-tama lagu tersebut enak didengar tetapi tidak membantu umat untuk menghayatinya, sehingga terkesan hanya sekadar sebagai entertaintment. Lebih dari itu, yang paling penting adalah bagaimana lagu tersebut membawa umat pada kedalaman maknanya sehingga umat dapat mengalami perjumpaan dengan Allah. Sebagaimana teks doa Bapa Kami yang dalam penerjemahannya perlu pengesahan dari pihak yang berwenang, demikianpun dalam hal ini penggubahan lagu doa Bapa Kami pun perlu mendapat restu dari pihak yang berwenang, dalam hal ini tentu saja dari pihak Konferensi Waligereja Indonesia.


Daftar Pustaka
Hardawiryana, R (Penrj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor. 2008. 
Ratzinger, Joseph. Yesus dari Nazareth. Terj. B.S Mardiatmaja, SJ.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Tarigan, Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng. 2011.
_______________. Ritus Kehidupan. Jakarta: Cahaya Pineleng. 2011.





[1] Jacobus Tarigan Pr, Memahami Liturgi, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hal. 135.
[2] Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 145.
[3] Jacobus Tarigan Pr, Ritus Kehidupan, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hal. 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar