Kitab
kejadian terbagi atas dua bagian besar, yakni kisah awal mula alam semesta (Kej.
1-11) dan kisah para Bapa bangsa (Kej. 12-50). Di dalam dua bagian besar kitab ini,
sebagaimana juga terdapat dalam semua kitab Perjanjian Lama, dikenal berbagai
bentuk sastra seperti mite, legenda, saga, sejarah, daftar silsilah, dsb. Secara
umum, Kej. 1-11 penuh dengan cerita-cerita jenis mite. Mite adalah istilah
teknis yang umum diapakai dalam penyelidikan mengenai agama. Cerita jenis mite
banyak dijumpai di wilayah Timur Tengah. Kemungkinan besar mite-mite ini
beredar luas dalam bentuk lisan di budaya-budaya Timur Tengah, dan itu dikenal oleh
orang-orang Ibrani. Ketika hendak mengungkapkan pemahaman mereka tentang
penciptaan dan keadaan manusia, bisa jadi mereka dipengaruhi mite-mite
tersebut.Iman mereka akan Allah yang Mahakuasa kemudian diungkapkan dalam
bentuk cerita-cerita yang berasal dari lingkungan mereka sendiri tetapi juga
diambil dari tempat lain dan disesuaikan. Mite dalam Perjanjian Lama
menggambarkan karya Yahwe (Allah Israel yang Mahakuasa) serta campur tanganNya
di dunia.Kisah Nuh dan keturunannya yang termasuk dalam bagian pertama kitab
Kejadian (Kej. 6-9) merupakan jenis kisah mite.
Kisah
Nuh mirip dengan kisah-kisah dari Mesopotamia yang juga berbicara tentang air
bah, yakni epik Atrahasis dan Gilgamesy. Dalam epik Atrahasis air bah dibuat
oleh dewa-dewa sebagai bentuk hukuman kepada manusia yang mengganggu tidur para
dewa. Akan tetapi hanya ada satu manusia yang atas informasi salah satu dewa
mampu menyelamatkan diri dari bencana ini dengan membuat perahu bagi dirinya,
rumah tangganya, dan binatang-binatang. Dia adalah Atrahasis. Sedangkan pada
epik Gilgamesy, dikisahkan tentang usaha Gilgamesy yang mencari keabadian
dengan pergi mencari Utnapishtim dan istrinya yang tidak dapat mati setelah
bencana air bah. Kendati mirip dengan epik Atrahasis dan Gilgamesy, perbedaan
mencolok antara kisah Nuh dan kedua epik tersebut adalah tujuan dari air bah. Dalam
kisah Nuh tujuan air bah adalah hukuman bagi dosa manusia.Kisah Nuh sendirijuga
merupakan penggabungan dari dua tradisi, yakni tradisi Yahwis (J) dan tradisi Imam
(P). Di dalam kisah Nuh terdapat beberapa perbedaan mencolok antara kedua
tradisi ini, salah satunya adalah lamanya air bah, 40 hari menurut tradisi J
dan 150 hari oleh tradisi P.
Setelah
ditampilkan kisah mengenai riwayat Nuh, air bah, dan surutnya air bah, pada
Kej. 9:1-17 ditampilkan kisah perjanjian antara Allah dengan Nuh.Perjanjian
antara Allah dengan Nuh merupakan perjanjian yang unik, sebab dalam perjanjian
ini ditambahkan beberapa unsur baru dalam perjanjian antara Allah dengan
manusia sebagaimana jika dibandingkan dengan kisah penciptaan manusia pertama.
Perjanjian dalam kisah ini tidak hanya meliputi kelompok tertentu saja,
melainkan meliputi seluruh ciptaan.
Perjanjian
(berit, Ibr.) merupakan kesepakatan
antara dua orang (atau kelompok) atau lebih demi memperjelas relasi di antara
mereka. Ungkapan bahasa Ibrani untuk membuat perjanjian adalah “memotong”
perjanjian. Mungkin ini menunjuk kepada praktik memotong seekor hewan kurban
menjadi dua dan kemudian pihak yang mengadakan perjanjian berjalan di antara
kedua bagian itu sebagai ungkapan kesetiaan kepada perjanjian (Kej. 15:7-21,
Yer. 34:18-19). Perjanjian biasanya diakhiri dengan makan bersama (Kej.
26:26-31), memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan (1Sam. 18:3-4),
mendirikan sebuah timbunan batu sebagai peringatan (Kej. 31:43-55), melepaskan
sandal sebelah dan memberikannya kepada orang lain (Rut. 4:7-8), atau berjabat
tangan saja (2Raj. 10:15). Perjanjian dimaksudkan untuk membangun kesetiaan di
antara pihak-pihak terkait. Melanggar perjanjian merupakan suatu perkara
serius.
Kisah
Kej. 9:1-17 terbagi atas dua bagian, yakni perintah perjanjian (ay. 1-7) dan
tanda perjanjian (ay.8-17). Pada bagian pertama kisah ini, tampak bahwa
perjanjian tersebutberisi peraturan mengenaipengembangan hidup (ay. 1,7),
perlindungan hidup dan pengudusannya (ay. 2,5-6), dan mempertahankan hidup (ay.
3-4). Setelah peristiwa air bah Allah memberi peraturan yang lebih longgar
kepada manusia berkaitan dengan makanan. Sebelumnya manusia hanya diizinkan
memakan tumbuhan (Kej 1:29), tetapi setelah peristiwa air bah manusia juga
diizinkan untuk memakan daging binatang. Peraturan baru ini disertai dengan
larangan yang berkaitan dengan darah, yakni larangan untuk memakan darah atau daging
yang masih ada darahnya, serta larangan untuk menumpahkan darah sesama manusia.
Pantangan mengenai darah atau daging yang masih ada darahnya merupakan hal
mendasar dalam peraturan mengenai makanan yang berlaku dalam masyarakat Israel
(Im 17:10-14, Ul 22:23).
Dalam
Perjanjian Lama darah dipandang sebagai tempat adanya hidup (Im. 17:11). Oleh
karena hidup adalah milik Allah, maka penumpahan darah merupakan perampasan apa
yang menjadi milik Allah dan karena itu hal tersebut dilarang keras. Darah
dianggap bukti kehidupan yang dikaruniakan Allah. Allah melarang keras penumpahan
darah manusia, sebab manusia merupakan gambar Allah (ay 6). Kata “gambarNya”
kembali diucapkan Allah sebagaimana pernah ia ucapkan ketika hendak menciptakan
manusia. Kata ini hanya diberikan kepada manusia, dan tidak kepada ciptaan
lain. Kata “gambar” (sinonim dengan kata rupa) menunjukkan bahwa manusia serupa
(tidak sama) dengan Allah. Karena diciptakan seturut gambar Allah maka manusia
memiliki kedudukan yang istimewa jika dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Siapa yang menghilangkan nyawa sesamanya maka
Allah akan menuntut balas daripadanya (Kej. 4:10), dan darahnya akan tertumpah
oleh manusia lain. Darah makhluk hidup, terutama darah manusia yang dijadikan
menurut gambar dan rupaNya sendiri, adalah milik Allah (Im. 1:5).
Bagian kedua kisah perjanjian antara Allah dengan
Nuh merupakan kisah mengenai tanda perjanjian, yakni busur yang ditaruh Allah
di langit (pelangi). Busur adalah terjemahan dari bahasa Ibrani qešet, yang artinya senjata.
Dalam dunia Perjanjian Lama ada gambaran Allah sebagai pemanah (Ayb 6:4, Mzm
38:3). Dengan busurNya Allah mengancam manusia yang tidak patuh. Ketika bumi
dipenuhi dengan kejahatan dan dosa manusia, Allah melepaskan anak panahnya
sehingga datanglah air bah untuk menghukum manusia karena dosa dan kejahatan
yang ia buat. Akan tetapi setelah peristiwa air bah Allah meletakkan untuk
selama-lamanyabusur yang Ia gunakan untuk memanah musuh-musuhNya dan untuk
menghukum manusia karena kejahatan dan dosanya. Allah menggunakan busur itu
sebagai tanda perjanjian antara diriNya dengan Nuh, dan dengan ciptaan lainnya.
Busur tersebut ditaruh di langit sehingga setiap orang
dapat melihatnya, serta mengingatkan Allah untuk tidak lagi menghukum manusia
sekalipun mereka berbuat jahat dan berdosa.Jadi, tanda yang secara tradisional
diartikan sebagai pelangi itu berfungsi sebagai tanda pengingat perjanjian.
Bagi Allah tanda itu mengingatkanNya untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan
air bah, sedangkan bagi manusia tanda itu mengingatkannya pada kesetiaan Allah
yang tidak lagi akan memusnahkan dunia dengan air bah.
Dalam
kisah ini Allah memberi janji tidak bersyarat untuk tidak lagi melenyapkan
segala yang hidup dengan air bah serta tidak akan ada lagi air bah untuk
memusnahkan bumi. Perjanjian antara Allah dengan Nuh berbeda dengan perjanjian
antara Allah dengan Abraham, atau antara Allah dengan Musa. Perjanjian yang
dibuat Allah dalam kisah ini tidak hanya meliputi Nuh dan keturuannya saja
tetapi merangkum seluruh dunia ciptaan. Dalam perjanjian antara Allah dengan
Abraham yang tandanya ialah sunat, yang terlibat dalam perjanjian itu hanya
keturunan Abraham saja (Kej.17), sedangkan pada perjanjian atara Allah dengan
Musa yang ditandai dengan ketaatan dalam pelaksanaan hukum serta sabat hanya
terbatas pada bangsa Israel saja (Kel. 19:5, 24:7-8). Tanda pelangi ini juga
menjadi pembeda antara perjanjian Allah dengan Nuh dan perjanjian Allah dengan
Abraham atau dengan Musa, sebab berbeda dengan tanda sunat atau hukum dan
sabat, tanda pelangi bukanlah sebuah tindakan yang dituntut dalam perjanjian
tersebut, bukan pula hukum yang harus ditepati melainkan tanda damai dari Tuhan
yang terpancang di langit dan dapat dilihat semua orang.
Lantas
bagaimana konsep Allah dalam kisah perjanjian ini? Di dalam kisah-kisah awal
penciptaan Allah digambarkan sebagai “pembuat peraturan yang absolut”. Ia yang
menciptakan manusia dan ciptaan lainnya, dan jika Ia tidak menyenanginya maka
Ia dapat menghancurkannya. Paham tentang Allah seperti ini diimbangi dengan
pandangan manusia sebagai rival Allah. Dalam kisah penciptaan, manusia
digambarkan memiliki potensi untuk menjadi rival Allah. Manusia dapat menjadi
seperti Allah apabila ia memakan buah kehidupan dan buah pengetahuan. Akan
tetapi manusia hanya memakan buah pengetahuan. Karena ada kekhawatiran bahwa ia
juga memakan buah kehidupan yang dapat menjadikannya kekal seperti Allah, yang
mana tentu dapat mengancam supremasi Allah, maka Allah mengusirnya dari taman
Eden (Kej. 3:22).Selain itu, gambaran tentang Allah sebagai pembuat peraturan yang absolut juga tampak
dalam kisah awal air bah. Karena dosa dan kejahatan manusia (Kej.6:5-8), maka
Allah kemudian mendatangkan air bah untuk melenyapkan semua ciptaan.
Gambaran
tentang Allah dalam kisah perjanjian Allah dan Nuh berbeda dengan gambaran
Allah pada kisah-kisah sebelumnya. Pada kisah ini Allah tidak lagi tampil sebagai
seorang Raja “absolut”,tetapi Allah tampil sebagai Raja yang “konstitusional”.
Perjanjian antara Allah dengan Nuh, dan juga dengan seluruh ciptaan tidak hanya
mengikat pihak Nuh dan ciptaan lainnya, tetapi Allah juga mengikatkan diriNya
sendiri pada perjanjian itu, yakni Ia berjanji untuk tidak lagi mendatangkan
air bah demi menghancurkan manusia dan alam ciptaan karena dosa dan kejahatan
yang mereka buat. Dalam perjanjian ini Allah menjadi partner manusia. Dengan
mengikatkan diriNya pada perjanjian ini Allah kehilangan kebebasanNya untuk
bertindak sewenang-wenang, tetapi manusia justru memperoleh kebebasannya,
bahkan kebebasan untuk menolak Allah.
Apa
relevansi teks ini bagi hidup kita sekarang? Pertama, adalah penghargaan atas hidup seluruh ciptaan. Sebagaimana
Allah yang menjamin kehidupan setiap ciptaanNya di muka bumi ini, maka manusia
yang diciptakan seturut gambar Allah haruslah bertindak seperti Allah. Diciptakan
seturut gambar Allah berarti manusia menjadi wakil Allah di dunia. Sebagai
wakil tentunya manusia tidak bisa bertindak sewenang-wenang atas sesamanya dan
ciptaan lainnya, sebaliknya manusia dituntut untuk dapat bertindak bijaksana
dalam relasinya dengan sesama dan dalam menjaga/menggunakan ciptaan lainnya.
Kedua,
dengan menaruh busurnya sebagai tanda perjanjian dengan manusia, Allah berjanji
untuk tidak lagi memusnahkan kehidupan dengan air bah, sekalipun manusia
berbuat dosa.Allah sebagaimana digambarkan dari kisah ini adalah Allah yang
mengasihi segenap ciptaanNya tanpa memandang dosa dan kejahatan yang ia miliki.Selain
itu perjanjian ini juga berimplikasi pada pemahaman akan kebebasan manusia.
Melalui perjanjian ini, di mana Allah berjanji untuk tidak lagi menghukum
manusia karena dosa dan kejahatannya, tampak bahwa Allah memberi kebebasan
kepada manusia untuk dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya. Manusia bebas
untuk menerima atau menolak Allah.
Ketiga,
melalui kisah ini kita dapat
belajar untuk setia kepada janji yang telah kita buat. Sebagaimana
Allah yang telah menaruh busurnya dan berjanji untuk tidak lagi memusnahkan
kehidupan dengan air bah, maka sudah sepantasnya kita manusia berlaku sama
seperti Allah, yakni setia pada janji-janji yang telah kita ikrarkan kepada
sesama kita.Ingkar janji menandakan ketidakpedulian kita terhadap pihak lain,
dan dengan bersikap ingkar janji berarti kita telah mengabaikan kepercayaan
yang telah diberikan sesama kepada kita. Dengan itu relasi kita dengan sesama
menjadi rusak. Di samping itu, dengan mengikatkan diri kita di dalam suatu
perjanjian berarti kita memberikan dirikita seluruhnya ke dalam perjanjian itu.
Apabila kita kemudian melarikan diri dari perjanjian yang telah dibuat itu maka
kita menunjukkan diri sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab.
Daftar
Pustaka
Fromm, Erich. You Shall Be as Gods: A Radical Interpretation of The Old Testament and
Its Tradition. Greenwich: A Fawceet Premier Book. 1966.
Kitab
Suci Katolik. Ende: Percetakan Arnoldus. 2011
Marsunu, Seto Y.M. Dari Penciptaan Sampai Babel: Ulasan
Kejadian 1-11. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2008.
Suharyo, Ignasius, Pr. Membaca Kitab Suci: Mengenal Tulisan-tulisan
Perjanjian Lama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.