Sabtu, 25 April 2015

Perjanjian Allah dan Nuh (Kejadian 9:1-17)



Kitab kejadian terbagi atas dua bagian besar, yakni kisah awal mula alam semesta (Kej. 1-11) dan kisah para Bapa bangsa (Kej. 12-50). Di dalam dua bagian besar kitab ini, sebagaimana juga terdapat dalam semua kitab Perjanjian Lama, dikenal berbagai bentuk sastra seperti mite, legenda, saga, sejarah, daftar silsilah, dsb. Secara umum, Kej. 1-11 penuh dengan cerita-cerita jenis mite. Mite adalah istilah teknis yang umum diapakai dalam penyelidikan mengenai agama. Cerita jenis mite banyak dijumpai di wilayah Timur Tengah. Kemungkinan besar mite-mite ini beredar luas dalam bentuk lisan di budaya-budaya Timur Tengah, dan itu dikenal oleh orang-orang Ibrani. Ketika hendak mengungkapkan pemahaman mereka tentang penciptaan dan keadaan manusia, bisa jadi mereka dipengaruhi mite-mite tersebut.Iman mereka akan Allah yang Mahakuasa kemudian diungkapkan dalam bentuk cerita-cerita yang berasal dari lingkungan mereka sendiri tetapi juga diambil dari tempat lain dan disesuaikan. Mite dalam Perjanjian Lama menggambarkan karya Yahwe (Allah Israel yang Mahakuasa) serta campur tanganNya di dunia.Kisah Nuh dan keturunannya yang termasuk dalam bagian pertama kitab Kejadian (Kej. 6-9) merupakan jenis kisah mite.
Kisah Nuh mirip dengan kisah-kisah dari Mesopotamia yang juga berbicara tentang air bah, yakni epik Atrahasis dan Gilgamesy. Dalam epik Atrahasis air bah dibuat oleh dewa-dewa sebagai bentuk hukuman kepada manusia yang mengganggu tidur para dewa. Akan tetapi hanya ada satu manusia yang atas informasi salah satu dewa mampu menyelamatkan diri dari bencana ini dengan membuat perahu bagi dirinya, rumah tangganya, dan binatang-binatang. Dia adalah Atrahasis. Sedangkan pada epik Gilgamesy, dikisahkan tentang usaha Gilgamesy yang mencari keabadian dengan pergi mencari Utnapishtim dan istrinya yang tidak dapat mati setelah bencana air bah. Kendati mirip dengan epik Atrahasis dan Gilgamesy, perbedaan mencolok antara kisah Nuh dan kedua epik tersebut adalah tujuan dari air bah. Dalam kisah Nuh tujuan air bah adalah hukuman bagi dosa manusia.Kisah Nuh sendirijuga merupakan penggabungan dari dua tradisi, yakni tradisi Yahwis (J) dan tradisi Imam (P). Di dalam kisah Nuh terdapat beberapa perbedaan mencolok antara kedua tradisi ini, salah satunya adalah lamanya air bah, 40 hari menurut tradisi J dan 150 hari oleh tradisi P.
Setelah ditampilkan kisah mengenai riwayat Nuh, air bah, dan surutnya air bah, pada Kej. 9:1-17 ditampilkan kisah perjanjian antara Allah dengan Nuh.Perjanjian antara Allah dengan Nuh merupakan perjanjian yang unik, sebab dalam perjanjian ini ditambahkan beberapa unsur baru dalam perjanjian antara Allah dengan manusia sebagaimana jika dibandingkan dengan kisah penciptaan manusia pertama. Perjanjian dalam kisah ini tidak hanya meliputi kelompok tertentu saja, melainkan meliputi seluruh ciptaan.
Perjanjian (berit, Ibr.) merupakan kesepakatan antara dua orang (atau kelompok) atau lebih demi memperjelas relasi di antara mereka. Ungkapan bahasa Ibrani untuk membuat perjanjian adalah “memotong” perjanjian. Mungkin ini menunjuk kepada praktik memotong seekor hewan kurban menjadi dua dan kemudian pihak yang mengadakan perjanjian berjalan di antara kedua bagian itu sebagai ungkapan kesetiaan kepada perjanjian (Kej. 15:7-21, Yer. 34:18-19). Perjanjian biasanya diakhiri dengan makan bersama (Kej. 26:26-31), memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan (1Sam. 18:3-4), mendirikan sebuah timbunan batu sebagai peringatan (Kej. 31:43-55), melepaskan sandal sebelah dan memberikannya kepada orang lain (Rut. 4:7-8), atau berjabat tangan saja (2Raj. 10:15). Perjanjian dimaksudkan untuk membangun kesetiaan di antara pihak-pihak terkait. Melanggar perjanjian merupakan suatu perkara serius.
Kisah Kej. 9:1-17 terbagi atas dua bagian, yakni perintah perjanjian (ay. 1-7) dan tanda perjanjian (ay.8-17). Pada bagian pertama kisah ini, tampak bahwa perjanjian tersebutberisi peraturan mengenaipengembangan hidup (ay. 1,7), perlindungan hidup dan pengudusannya (ay. 2,5-6), dan mempertahankan hidup (ay. 3-4). Setelah peristiwa air bah Allah memberi peraturan yang lebih longgar kepada manusia berkaitan dengan makanan. Sebelumnya manusia hanya diizinkan memakan tumbuhan (Kej 1:29), tetapi setelah peristiwa air bah manusia juga diizinkan untuk memakan daging binatang. Peraturan baru ini disertai dengan larangan yang berkaitan dengan darah, yakni larangan untuk memakan darah atau daging yang masih ada darahnya, serta larangan untuk menumpahkan darah sesama manusia. Pantangan mengenai darah atau daging yang masih ada darahnya merupakan hal mendasar dalam peraturan mengenai makanan yang berlaku dalam masyarakat Israel (Im 17:10-14, Ul 22:23).
Dalam Perjanjian Lama darah dipandang sebagai tempat adanya hidup (Im. 17:11). Oleh karena hidup adalah milik Allah, maka penumpahan darah merupakan perampasan apa yang menjadi milik Allah dan karena itu hal tersebut dilarang keras. Darah dianggap bukti kehidupan yang dikaruniakan Allah. Allah melarang keras penumpahan darah manusia, sebab manusia merupakan gambar Allah (ay 6). Kata “gambarNya” kembali diucapkan Allah sebagaimana pernah ia ucapkan ketika hendak menciptakan manusia. Kata ini hanya diberikan kepada manusia, dan tidak kepada ciptaan lain. Kata “gambar” (sinonim dengan kata rupa) menunjukkan bahwa manusia serupa (tidak sama) dengan Allah. Karena diciptakan seturut gambar Allah maka manusia memiliki kedudukan yang istimewa jika dibandingkan dengan ciptaan lainnya.  Siapa yang menghilangkan nyawa sesamanya maka Allah akan menuntut balas daripadanya (Kej. 4:10), dan darahnya akan tertumpah oleh manusia lain. Darah makhluk hidup, terutama darah manusia yang dijadikan menurut gambar dan rupaNya sendiri, adalah milik Allah (Im. 1:5).
Bagian kedua kisah perjanjian antara Allah dengan Nuh merupakan kisah mengenai tanda perjanjian, yakni busur yang ditaruh Allah di langit (pelangi). Busur adalah terjemahan dari bahasa Ibrani qešet, yang artinya senjata. Dalam dunia Perjanjian Lama ada gambaran Allah sebagai pemanah (Ayb 6:4, Mzm 38:3). Dengan busurNya Allah mengancam manusia yang tidak patuh. Ketika bumi dipenuhi dengan kejahatan dan dosa manusia, Allah melepaskan anak panahnya sehingga datanglah air bah untuk menghukum manusia karena dosa dan kejahatan yang ia buat. Akan tetapi setelah peristiwa air bah Allah meletakkan untuk selama-lamanyabusur yang Ia gunakan untuk memanah musuh-musuhNya dan untuk menghukum manusia karena kejahatan dan dosanya. Allah menggunakan busur itu sebagai tanda perjanjian antara diriNya dengan Nuh, dan dengan ciptaan lainnya. Busur tersebut ditaruh di langit sehingga setiap orang dapat melihatnya, serta mengingatkan Allah untuk tidak lagi menghukum manusia sekalipun mereka berbuat jahat dan berdosa.Jadi, tanda yang secara tradisional diartikan sebagai pelangi itu berfungsi sebagai tanda pengingat perjanjian. Bagi Allah tanda itu mengingatkanNya untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah, sedangkan bagi manusia tanda itu mengingatkannya pada kesetiaan Allah yang tidak lagi akan memusnahkan dunia dengan air bah.
Dalam kisah ini Allah memberi janji tidak bersyarat untuk tidak lagi melenyapkan segala yang hidup dengan air bah serta tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi. Perjanjian antara Allah dengan Nuh berbeda dengan perjanjian antara Allah dengan Abraham, atau antara Allah dengan Musa. Perjanjian yang dibuat Allah dalam kisah ini tidak hanya meliputi Nuh dan keturuannya saja tetapi merangkum seluruh dunia ciptaan. Dalam perjanjian antara Allah dengan Abraham yang tandanya ialah sunat, yang terlibat dalam perjanjian itu hanya keturunan Abraham saja (Kej.17), sedangkan pada perjanjian atara Allah dengan Musa yang ditandai dengan ketaatan dalam pelaksanaan hukum serta sabat hanya terbatas pada bangsa Israel saja (Kel. 19:5, 24:7-8). Tanda pelangi ini juga menjadi pembeda antara perjanjian Allah dengan Nuh dan perjanjian Allah dengan Abraham atau dengan Musa, sebab berbeda dengan tanda sunat atau hukum dan sabat, tanda pelangi bukanlah sebuah tindakan yang dituntut dalam perjanjian tersebut, bukan pula hukum yang harus ditepati melainkan tanda damai dari Tuhan yang terpancang di langit dan dapat dilihat semua orang.
Lantas bagaimana konsep Allah dalam kisah perjanjian ini? Di dalam kisah-kisah awal penciptaan Allah digambarkan sebagai “pembuat peraturan yang absolut”. Ia yang menciptakan manusia dan ciptaan lainnya, dan jika Ia tidak menyenanginya maka Ia dapat menghancurkannya. Paham tentang Allah seperti ini diimbangi dengan pandangan manusia sebagai rival Allah. Dalam kisah penciptaan, manusia digambarkan memiliki potensi untuk menjadi rival Allah. Manusia dapat menjadi seperti Allah apabila ia memakan buah kehidupan dan buah pengetahuan. Akan tetapi manusia hanya memakan buah pengetahuan. Karena ada kekhawatiran bahwa ia juga memakan buah kehidupan yang dapat menjadikannya kekal seperti Allah, yang mana tentu dapat mengancam supremasi Allah, maka Allah mengusirnya dari taman Eden (Kej. 3:22).Selain itu, gambaran tentang Allah sebagai pembuat peraturan yang absolut juga tampak dalam kisah awal air bah. Karena dosa dan kejahatan manusia (Kej.6:5-8), maka Allah kemudian mendatangkan air bah untuk melenyapkan semua ciptaan.
Gambaran tentang Allah dalam kisah perjanjian Allah dan Nuh berbeda dengan gambaran Allah pada kisah-kisah sebelumnya. Pada kisah ini Allah tidak lagi tampil sebagai seorang Raja “absolut”,tetapi Allah tampil sebagai Raja yang “konstitusional”. Perjanjian antara Allah dengan Nuh, dan juga dengan seluruh ciptaan tidak hanya mengikat pihak Nuh dan ciptaan lainnya, tetapi Allah juga mengikatkan diriNya sendiri pada perjanjian itu, yakni Ia berjanji untuk tidak lagi mendatangkan air bah demi menghancurkan manusia dan alam ciptaan karena dosa dan kejahatan yang mereka buat. Dalam perjanjian ini Allah menjadi partner manusia. Dengan mengikatkan diriNya pada perjanjian ini Allah kehilangan kebebasanNya untuk bertindak sewenang-wenang, tetapi manusia justru memperoleh kebebasannya, bahkan kebebasan untuk menolak Allah.
Apa relevansi teks ini bagi hidup kita sekarang? Pertama, adalah penghargaan atas hidup seluruh ciptaan. Sebagaimana Allah yang menjamin kehidupan setiap ciptaanNya di muka bumi ini, maka manusia yang diciptakan seturut gambar Allah haruslah bertindak seperti Allah. Diciptakan seturut gambar Allah berarti manusia menjadi wakil Allah di dunia. Sebagai wakil tentunya manusia tidak bisa bertindak sewenang-wenang atas sesamanya dan ciptaan lainnya, sebaliknya manusia dituntut untuk dapat bertindak bijaksana dalam relasinya dengan sesama dan dalam menjaga/menggunakan ciptaan lainnya.
Kedua, dengan menaruh busurnya sebagai tanda perjanjian dengan manusia, Allah berjanji untuk tidak lagi memusnahkan kehidupan dengan air bah, sekalipun manusia berbuat dosa.Allah sebagaimana digambarkan dari kisah ini adalah Allah yang mengasihi segenap ciptaanNya tanpa memandang dosa dan kejahatan yang ia miliki.Selain itu perjanjian ini juga berimplikasi pada pemahaman akan kebebasan manusia. Melalui perjanjian ini, di mana Allah berjanji untuk tidak lagi menghukum manusia karena dosa dan kejahatannya, tampak bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya. Manusia bebas untuk menerima atau menolak Allah.
Ketiga, melalui kisah ini kita dapat belajar untuk setia kepada janji yang telah kita buat. Sebagaimana Allah yang telah menaruh busurnya dan berjanji untuk tidak lagi memusnahkan kehidupan dengan air bah, maka sudah sepantasnya kita manusia berlaku sama seperti Allah, yakni setia pada janji-janji yang telah kita ikrarkan kepada sesama kita.Ingkar janji menandakan ketidakpedulian kita terhadap pihak lain, dan dengan bersikap ingkar janji berarti kita telah mengabaikan kepercayaan yang telah diberikan sesama kepada kita. Dengan itu relasi kita dengan sesama menjadi rusak. Di samping itu, dengan mengikatkan diri kita di dalam suatu perjanjian berarti kita memberikan dirikita seluruhnya ke dalam perjanjian itu. Apabila kita kemudian melarikan diri dari perjanjian yang telah dibuat itu maka kita menunjukkan diri sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab.






Daftar Pustaka

Fromm, Erich. You Shall Be as Gods: A Radical Interpretation of The Old Testament and Its Tradition. Greenwich: A Fawceet Premier Book. 1966.
Kitab Suci Katolik. Ende: Percetakan Arnoldus. 2011
Marsunu, Seto Y.M. Dari Penciptaan Sampai Babel: Ulasan Kejadian 1-11. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2008.
Suharyo, Ignasius, Pr. Membaca Kitab Suci: Mengenal Tulisan-tulisan Perjanjian Lama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.




Jumat, 17 April 2015

Gadget dan Problem Komunikasi di Dalam Keluarga


Suatu waktu saya berkumpul bersama teman-teman saya di Starbucks Metropol. Ada satu fenomena menarik yang saya temukan ketika kami sedang ngumpul. Di dekat tempat kami duduk ada sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan kedua anaknya yang berumur kurang dari 10 tahun. Meskipun sedang kumpul bersama, tetapi tampaknya tidak terjadi komunikasi di antara mereka. Mereka sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Mereka tertawa, tersenyum, dan menampilkan beragam ekspresi ketika memainkan gadgetnya, tetapi samasekali tidak terjadi komunikasi di antara mereka sendiri. Saya jadi bertanya-tanya di dalam diri saya, apakah dalam pertemuan face to face itu mereka masih memerlukan gadget untuk berkomunikasi satu sama lain? Apakah orang tua kedua anak itu menyadari kehadiran dan keadaan anak-anaknya, atau sebaliknya sang anak menyadari kehadiran orang tuanya? Ataukah mungkin sang istri tidak tahu kalau suaminya sedang berkomunikasi dengan selingkuhannya? Itulah kira-kira beragam pertanyaan yang muncul di dalam diri saya ketika melihat keadaan (anggota) keluarga itu yang tampaknya bersama tetapi sebenarnya berada dalam kesendirian.
Fenomena ini tentu bukanlah sebuah hal baru di dalam keluarga-keluarga zaman ini. Perkembangan teknologi, khususnya di bidang komunikasi dan informasi, sudah tentu membawa dampak bagi relasi manusia dengan sesamanya, termasuk komunikasi di dalam keluarga. Perkembangan ini bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, jika digunakan secara bijak maka akan sangat membantu kehidupan manusia, terutama dalam hal relasi, komunikasi, akses informasi, dsb. Akan tetapi di sisi lain, jika tidak digunakan secara bijak maka sudah tentu penggunaan alat-alat komunikasi ini justru membawa kita kepada kebinasaan.
Contoh positif dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi misalanya dalam hal pengiriman pesan. Jika dulu untuk menyampaikan pesan kepada kerabat kita yang tinggal jauh kita harus menggunakan surat yang memakan waktu berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu, kini dengan adanya telpon seluler pengiriman pesan bisa dilakukan secara cepat. Sedangkan contoh negatifnya adalah timbulnya kecanduan dalam penggunaan media-media komunikasi tersebut, seperti kecanduan dalam menggunakan facebook, twitter, dsb.
Kepemilikan alat-alat komunikasi pada setiap anggota keluarga tidak dapat dipungkiri menjadi pendukung terciptanya sikap individualitas di dalam keluarga. Masing-masing anggota keluarga sibuk dengan alat komunikasinya, menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di dunia maya, berbisnis melalui dunia maya, mencari hiburan dengan bermain game online, atau juga melakukan beragam aktivitas lainnya lewat alat-alat komunikasi tersebut. Namun satu yang mereka lupakan, yaitu kehadiran sesama di dunia nyata. Ada benarnya pernyataan ini “internet mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Seorang anak dapat saja mengetahui apa yang sekarang sedang dilakukan artis idolanya yang berada di belahan dunia lain, tetapi dia tidak tahu kalau pada saat yang sama ibunya sedang bingung memikirkan uang sekolahnya.
Setiap anggota keluarga tentu tidak ingin komunikasi di antara mereka menjadi rusak karena penyalahgunaan alat-alat komunikasi yang semestinya menjadi perekat hubungan mereka. Misalnya saja sebagai penghubung antara anggota keluarga yang tinggal berjauhan. Namun sayangnya ketika disalahgunakan alat-alat ini justru hadir sebagai perusak komunikasi di dalam keluarga. Untuk itu perlu dibangun kembali kesadaran pada diri setiap anggota keluarga dalam menjaga kehidupan komunikasi di antara mereka.
Siapa yang bertanggung jawab atas situasi ini? lantas bagaimana mengatasi problem komunikasi di dalam keluarga yang renggang akibat penyalahgunaan gadget? Sudah pasti setiap anggota keluargalah yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah ini, dan untuk mengatasi permasalahan ini, langkah-langkah yang dapat diambil antara lain:
 Pertama hal yang paling penting menurut saya adalah bagaimana di dalam keluarga disediakan waktu bersama. Dalam kesempatan ini setiap anggota keluarga hadir, dan sedapat mungkin penggunaan gadget dalam hal ini dihindari. Waktu bersama ini bisa digunakan untuk bermain, sharing, rekreasi, dsb. Melalui waktu bersama ini bisa dipastikan komunikasi terjalin secara lebih intensif. Orang tua dapat mengetahui kebutuhan sang anak secara lebih baik, sang istri dapat memahami kondisi sang suami di tempat kerjanya, atau sebaliknya sang suami juga dapat lebih memahami kondisi sang istri dalam pekerjaannya.
Kedua setiap anggota keluarga hendaknya bersedia untuk dengan sabar saling mendengarkan. Dengan sikap seperti ini bisa dipastikan bahwa setiap anggota keluarga tidak takut untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya, mensharingkan pergulatan/masalah yang ia hadapai, atau dengan kata lain setiap anggota keluarga dengan berani dan terbuka menyampaikan isi hatinya. Hal ini dirasa penting sebab tidak jarang dijumpai bahwa ada orang yang merasa lebih nyaman mengutarakan isi hatinya melalui media sosial, entah berupa status di facebook, atau dengan chatting bersama temannya di dunia maya yang keberadaannya tidak dapat dipastikan, ketimbang menyampaikannya keluh kesahnya kepada anggota keluarganya.
Di samping itu, dalam kaitan dengan pembentukkan karakter anak, di sini orang tua memiliki tanggung jawab yang besar, dan karena itu kehadirannya sangat dibutuhkan. Apa saja yang perlu dilakukan orang tua?
Orang tua perlu mengawasi anak dalam menggunakan alat-alat komunikasi, dan terutama dalam mengakses informasi, agar anak menggunakan media-media komunikasi tersebut secara benar, bukan hanya sebagai media permainan tetapi juga sebagai media pembelajaran. Juga agar segala jenis informasi yang diakses anak dapat disesuaikan dengan jenjang usianya. Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan anak pada gadget, orang tua dapat mengajak anak untuk memainkan permainan lain, misalnya saja permainan-permainan fisik di luar rumah. Sebab melalui permainan-permainan ini, selain mengurangi ketergantungan anak pada gadget, juga dapat meningkatkan kreativitas sang anak.


Memahami (Lagu) Doa Bapa Kami



I. Pendahuluan         
            Doa Bapa Kami sudah sering kita doakan. Setiap kali doa pribadi maupun doa bersama, doa ini hampir pasti didoakan. Misalnya saja di dalam perayaan ekaristi, ibadat harian, saat devosi, dsb. Di dalam tradisi Kristen, doa Bapa Kami diterima sebagai doa yang sempurna, sebab doa ini diajarkan oleh Tuhan sendiri dengan maknanya yang begitu mendalam. Unsur permohonan, puji-pujian, pertobatan, atau pun penyerahan diri tercakup di dalam doa ini. Doa ini, karena terdapat di dalam Kitab Suci, maka telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.

            Cara mendoakan doa Bapa Kami pun tidak hanya dengan mendaraskannya, tetapi juga dengan menyanyikannya. Akan tetapi ketika masuk ke dalam ranah liturgi mau tidak mau banyak hal yang harus diperhatikan dan ditaati, tidak hanya berkaitan dengan keindahan musiknya, tetapi juga berkaitan dengan penggunaan kata-katanya, sehingga unsur-unsur di dalamnya tidak menyimpang dari makna aslinya. Hal inilah yang kurang lebih dipertanyakan oleh Caecilia dari Tanggerang Selatan ketika untuk pertama kalinya ia mendengar salah satu versi lagu Bapa Kami yang diarransemen Andre Manika, yang  mana tidak terdapat di dalam Puji Syukur atau pun di luar lagu Bapa Kami yang biasa dinyanyikan. Di dalam tulisan singkat ini, saya mencoba mengkritisi masalah yang diangkat oleh Caecilia dari Tanggerang Selatan sebagaimana termuat di dalam Mingguan Hidup, No. 24, Th ke-67, 16 Juni 2013.
II. Pembahasan
             Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam liturgi tentulah bukan sembarang lagu, tetapi merupakan lagu-lagu yang sudah melalui tahap seleksi sebelumnya. Tahap seleksi ini sendiri tidak hanya memperhatikan keindahan melodi lagu tersebut, tetapi juga mempertimbankan aspek bahasa, makna, dsb. Di dalam Sacrosantum Concilium art. 44 dan 45 dijelaskan berkenan dengan Komisi Liturgi Nasional dan Keuskupan. Komisi ini antara lain diisi oleh orang-orang yang ahli di dalam ilmu liturgi, musik, kesenian liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi ini bertujuan membina kegiatan pastoral liturgis di kawasannya, dan sudah tentu termasuk di dalamnya pengaturan tentang musik liturgi. Sebagai contoh adalah lagu-lagu di dalam Puji Syukur yang sudah disahkan oleh KWI, atau lagu-lagu di dalam buku Jubilate untuk keuskupan-keuskupan di NTT. Ciri khas sebuah lagu yang baik untuk perayaan liturgi hendaknya bersifat khidmat, terpelihara, istimewa, dan lain daripada yang sehari-hari. Juga hendaknya sederhana, tidak aneh-aneh, mampu mengungkapkan makna hidup iman umat dan mengandung unsur kedalaman (sublim), bukan dangkal.[1] Musik yang digunakan juga hendaknya memperhatikan kesederhanaan melodi, tetapi sekaligus agung dan layak untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu, sebuah lagu yang digunakan di dalam perayaan liturgi selain memperhatikan aspek keindahan, juga harus mampu mengungkapkan makna hidup iman umat dan mengandung unsur kedalaman, serta tentunya harus melalui perestuan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada Uskup  (SC art. 22).
            Pendapat dan pemahaman banyak orang tentang doa Bapa Kami berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa doa Bapa Kami (dalam perayaan ekaristi) menarik karena musiknya yang indah, atau juga ada yang berpendapat bahwa saat doa Bapa Kami adalah bagian yang menyentuh karena saat seperti itu menjadi penguat keharmonisan antara anggota keluarga,  karena saat mendoakan doa Bapa Kami setiap anggota keluarga saling bergandengan tangan. Akan tetapi ada juga yang pemahamannya lebih dalam. Bagi kelompok terakhir ini Doa Bapa Kami merupakan doa yang sempurna karena diajarkan oleh Yesus sendiri dengan strukturnya yang sempurna di mana terdapat unsur pujian dan permohonan atau pun penyerahan diri. Dari sini bisa dilihat bahwa umat Katolik sendiri meskipun telah sering mendoakan doa Bapa Kami tetapi belum memiliki pemahaman yang mendalam tentangnya.
            Selain itu, hal yang juga perlu mendapat perhatian dalam penggubahan lagu Bapa Kami adalah pemilihan kata-kata yang tepat. Jangan sampai hanya karena terlalu menekankan aspek keindahan musik maka ketepatan penggunaan kata-kata diabaikan. Penggunaan/pemilihan kata terjemahan yang kurang tepat dapat mengaburkan kedalaman makna yang terkandung di dalam doa Bapa Kami. Jika demikian maka doa Bapa Kami yang dinyanyikan direduksi hanya menjadi hiburan semata. Jika diteliti secara mendalam, doa Bapa Kami (Matius 6:9-13) memiliki struktur lengkap, yakni sebuah sapaan awal dan sapta permohonan. Tiga dari sapta permohonan adalah “permohonan-Mu”, sedangkan empat adalah “permohonan kami”. Ketiga permohonan pertama berkenan dengan perkara Allah sendiri di dunia ini, sedangkan empat permohonan selanjutnya berpautan dengan harapan-harapan kita, kebutuhan-kebutuhan kita, dan perjuangan kita. Doa Bapa Kami bermula dengan penegakkan primat Allah, yang kemudian bermuara pada pertimbangan tentang cara benar menjadi manusia.[2] Jika dilihat secara lengkap maka tampklah doa Bapa Kami sebagai sebuah doa yang bermakna dalam, sebuah doa yang sempurna.
III. Kesimpulan
            Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan berkaitan dengan penggubahan lagu doa Bapa Kami. Pertama, doa Bapa Kami adalah doa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri kepada para pengikutnya, maka sudah sepantasnya bagi setiap pengikutnya untuk dengan sungguh-sungguh mengimani dan memaknai doa yang diajarkan Tuhan ini, sebab jika dilihat dari strukturnya, doa ini merupakan doa yang sempurna. Di dalam doa ini terkandung unsur pujian, permohonan, tobat, dan juga penyerahan diri kita kepada Allah. Pengurangan atau penambahan kata-kata pada doa ini secara sembarangan dapat mengaburkan makna yang sudah terkandung di dalam doa ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi umat untuk berpegang pada teks asli dan terjemahan yang sudah disahkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Untuk terjemahan yang tepat rupanya perlu kerja sama antara teolog, ahli bahasa, dan sastrawan, sebab kosa kata Bahasa Indonesia cukup sulit mengungkapkan kedalaman filsafat-teologi Barat[3]
            Kedua, dalam mengarransemen lagu doa Bapa Kami, hendaknya dipertimbangkan karakter-karakter nyanyian liturgi. Seperti yang sudah diseburkan di atas, nyanyian liturgi yang baik memiliki ciri khas yang khidmat, terpelihara, istimewa, dan lain daripada yang sehari-hari, serta dapat mengungkapkan kedalaman hidup iman umat serta mengandung kedalaman. Yang paling penting bukanlah pertama-tama lagu tersebut enak didengar tetapi tidak membantu umat untuk menghayatinya, sehingga terkesan hanya sekadar sebagai entertaintment. Lebih dari itu, yang paling penting adalah bagaimana lagu tersebut membawa umat pada kedalaman maknanya sehingga umat dapat mengalami perjumpaan dengan Allah. Sebagaimana teks doa Bapa Kami yang dalam penerjemahannya perlu pengesahan dari pihak yang berwenang, demikianpun dalam hal ini penggubahan lagu doa Bapa Kami pun perlu mendapat restu dari pihak yang berwenang, dalam hal ini tentu saja dari pihak Konferensi Waligereja Indonesia.


Daftar Pustaka
Hardawiryana, R (Penrj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor. 2008. 
Ratzinger, Joseph. Yesus dari Nazareth. Terj. B.S Mardiatmaja, SJ.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Tarigan, Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng. 2011.
_______________. Ritus Kehidupan. Jakarta: Cahaya Pineleng. 2011.





[1] Jacobus Tarigan Pr, Memahami Liturgi, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hal. 135.
[2] Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 145.
[3] Jacobus Tarigan Pr, Ritus Kehidupan, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hal. 93.