Selasa, 23 Desember 2014

Sokrates : Hidup, Pemikiran, dan Warisan Ajarannya





Riwayat Hidup Sokrates
Oleh orang-orang Yunani figur Sokrates sering dianggap sebagai orang bijak yang “tidak tahu apa-apa”. Tidak banyak hal yang diketahui secara pasti mengenai dirinya, kecuali dari berbagai sumber yang terkadang saling mendukung satu sama lain, tetapi juga sering saling bertentangan. Hal ini terutama karena Sokrates sendiri tidak pernah menulis satu buku pun. Namun, meskipun tidak pernah menuliskan satu buku pun, semua sekolah filsafat yang muncul setelahnya menganggapnya sebagai guru mereka.
Sokrates, pria pertama yang terkenal sebagai seorang filsuf, lahir di Athena sekitar tahun 496 SM. Meskipun tumbuh di era keemasan Athena, namun sumber-sumber kuno tidak menyebutkan informasi mengenai pendidikannya. Keluarganya tidak termasuk keluarga miskin ataupun kaya. Ayahnya bernama Sophoroniscus yang adalah seorang tukang batu, sedangkan ibunya adalah seorang dukun beranak (bidan) yang bernama Phaenarete. Kewarganegaraannya diperoleh melalui kelahiran, dan ia adalah anggota distrik Alopece. Kedua muridnya, Plato (sumber utama untuk hampir seluruh yang kita ketahui mengenai Sokrates) dan Xenophon menggambarkan Sokrates sebagai seorang yang buruk rupa. Hidungnya pesek melebar, matanya melotot ke luar, bibir bawahnya tebal, perutnya buncit dan besar. Meskipun memiliki keadaan fisik yang demikian, dikatakan jika Sokrates tidak berusaha menyembunyikan keadaan fisiknya ini, misalnya saja dengan memakai pakaian dengan ukuran tertentu untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang jelek.
Salah satu hal menonjol dalam kisah hidup Sokrates adalah kemampuannya untuk mendengarkan suara Ilahi yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri tetapi tidak dapat didengar oleh orang lain. Ia mengisahkan sejak kanak-kanak hidupnya adalah menjalankan “misi dari yang ilahi”. Dalam situasi-situasi tertentu suara ilahi ini memerintahkan Sokrates untuk menghentikan aktivitasnya atau untuk mengubah jalan kelakuannya, tetapi suara ilahi itu samasekali tidak menunjukkan apa yang harus Sokrates lakukan. Menurut beberapa sumber, suara ilahi ini membuat Sokrates terpisah dari lingkungannya. Ketika kecil ia seperti terisolasi karena merasa dirinya berbeda, dan karenanya ini bagaikan sebuah kehilangan besar baginya dalam fase hidupnya sebagai seorang manusia dan dalam keberadaanya sebagai seorang makhluk sosial. Menurut Diogenes Laertius, ketika wabah sampar pecah di Athena, Sokrates adalah satu-satunya pria yang lolos dari wabah ini, sebuah tindakan yang sangat jelas membesar-besarkan Sokrates di mana ketika itu jumlah masyarakat Athena yang musnah sangat besar, termasuk di dalamnya adalah Perikles.
Saat itu, setiap orang Athena memiliki hasrat yang besar untuk dapat berperang demi membela tanah air mereka. Berperang pada masa ini hampir menjadi sebuah perhatian tetap, sebagaimana orang Athena berjuang untuk mempertahankan supremasi regional mereka atas rival utama mereka, Sparta. Meskipun tidak kaya, Sokrates dapat membekali dirinya dengan baja ketika menjadi seorang prajurit infanteri. Pada tahun 432 SM, Sokrates bergabung dalam pengepungan atas Potidaea, di mana ia menunjukkan kekuatannya yang hebat yang menjadi ciri-cirinya dalam beberapa sumber kuno tentang dirinya. Tokoh Alkibiades (dalam buku Platon berjudul Symposion) mengisahkan bahwa ketika perang sedang menghebat dan dirinya terdesak oleh nusuh, bukan hanya senjatanya yang diselamatkan Sokrates, tetapi dirinya pun lolos dari kematian berkat Sokrates.
Pertalian kata philosophy dengan Sokrates dan cara hidupnya sebagian besar merupakan karya seorang pria, Plato, yang adalah pengikutnya yang paling terkenal. Kata hubung dari kata Yunani philo (pecinta) dan sophos (kebijaksanaan), philosophos atau pecinta kebijaksanaan, oleh Plato kata ini menggambarkan seseorang yang ingin sekali mencari kebijaksanaan, seorang pencari kebenaran-seperti Sokrates, yang dengan tajam oleh Plato dibedakan dengan filsuf lain. Ketika Sokrates muncul, Athena berlimpah dengan guru-guru dari seluruh daerah berbahasa Yunani. Athena sangat dipengaruhi oleh pemimpin demokrasi, Perikles, yang mengatakan bahwa ia berteman dengan beberapa guru kebijaksanaan yang sangat masyur saat itu, termasuk Anaxagoras. Anaxagoras berpidato untuk mendapat bayaran, terutama dalam mempresentasikan teori-teori tentang unsur-unsur pembentuk kosmos. Dia mengguncang orang-orang Athena dengan berani mengklaim bahwa matahari sangat besar, dan merupakan batu yang berpijar karena sangat panas. Guru-guru lain, seperti Gorgias (485-380) yang adalah seorang ahli pidato, memperoleh uang dengan menunjukkan kepada para muridnya bagimana membentuk opini di hadapan rakyat dengan seni berbicara ketika rakyat berkumpul di lapangan terbuka yang merupakan ciri demokrasi Athena saat itu. Bagi Plato Sokrates tidak puas dengan guru-guru seperti Anaxagoras dan Gorgias, dan karena itu kemudian ia berjalan dalam jalannya sendiri untuk secara bebas memperoleh pertanyaan-pertanyaan mengenai cara hidup terbaik. Namun menurut Aristoteles, Sokrates terutama sangat diinspirasi oleh motto yang tertulis pada kuil Apollo di Delphi, “kenalilah dirimu”. 
Pada tahun 339 SM, seorang penyair yang bernama Meletus, yang didukung oleh dua warga kota lain, Lycon dan Anytus, mengajukan tuduhan resmi ke pengadilan. Tuduhan itu adalah bahwa “Sokrates melakukan penyimpangan dengan tidak mempercayai Dewa-Dewi yang dipercayai oleh polis (Athena) tetapi ia memperkenalkan Dewa-Dewi baru yang tidak dikenal. Ia juga dituduh memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak. Hukuman yang dituntut adalah hukuman mati. Dua penjabaran kemudian mengenai pengadilan Sokrates ini dibuat oleh Xenophon dan Plato. Xenophon dan Plato sepakat bahwa Sokrates mengembangkan pidatonya sendiri di pengadilan, dan mereka juga sepakat jika Sokrates bersikap membangkang, dan kadang berbicara dengan “nada yang angkuh”.
Di bawah demokrasi warga Athena, dewan juri dalam pengadilan yang terdiri dari sejumlah besar warga kota, dalam kasus Sokrates jumlah seluruhnya 501 (jumlah ganjil yang digunakan untuk menghidari persamaan jumlah suara dalam voting). Para pendakwa dan terdakwa berbicara bergantian. Ketika percakapan selesai, anggota dewan juri menjatuhkan vonis melalui voting. Melalui kesempatan yang sempit, juri menemukan kesalahan Sokrates. Adalah kebiasaan warga Athena bahwa seorang terdakwa yang ditemukan kesalahannya untuk mengajukan pertimbangan hukuman yang dianggapnya adil. Menurut Plato, keangkuhan Sokrates sekarang mencapai puncak keagungan. Sokrates tidak menolak hukuman, malah ia mengajukan bahwa dengan menerima hukuman ia tidak menghabiskan biaya publik Athena untuk membiayai biaya makan dan rumahnya. Sokrates akhirnya digiring ke penjara. Para sahabatnya berkumpul di sekitarnya-Phaedo, Aeschines, Antisthenes, Apollodorus, Crito, Critoboulos, plato. Meskipun beberapa dari mereka menawarkan bantuan kepadanya untuk melarikan diri-pergi ke daerah terpencil untuk beberapa waktu adalah sebuah praktik biasa warga Athena untuk merehabilitasi diri sebelum kembali lagi ke kota. Sokrates secara tegas menolak tawaran ini dan lebih memilih untuk taat menerima hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya. Kematian Sokrates menjadi peristiwa terbaik dalam hidupnya di mata para sahabatnya yang menyaksikan Sokrates menjalankan hukuman matinya dengan  meminum racun. Ketenangannya dalam menghadapi kematian tampak menguatkan kesempurnaan kebajikannya: ia adalah seorang pria yang secara menyeluruh damai dengan dirinya sendiri dalam waktu terakhir hidupnya. Beberapa bulan dan tahun setelah kematiannya, sebuah kelompok informal pengagumnya bekerja keras untuk memelihara agar ingatan akan Sokrates tetap hidup.

Sokrates: Pemikirannya
Sokrates selalu berusaha menjalani hidupnya secara terang, selalu jelas dengan dirinya sendiri, dan ia membangun kemanusiaannya sebagai anak cahaya dalam pencarian bersama orang lain, bukan secara autis. Dalam perjumpaan dan dialog inilah hidup baru yang bercahaya dilahirkan oleh orang lain. Baginya, setiap ide, pengetahuan, dan cara hidup harus selalu dikonfrontasikan dengan orang lain. Kebenaran adalah jalan yang tidak pernah selesai, kecintaan pada kebenaran adalah praktek hidup, dan hidup adalah tuntutan untuk secara berani dan rela hati meninggalkan kegelapan dan seluruh kerumitannya yang penuh dengan kemunafikan.
Dalam tahun-tahun ini secara politik Athena dibagi. Di satu sisi berdiri pihak yang mendukung perluasan hak dan kewajiban politik bagi setiap warga kota. Partai yang mengakui demokrasi ini dipimpin oleh Perikles (495-429), pemimpin utama yang dipilih oleh warga kota dan merupakan pemimpin Athena yang tak tergantikan pada 440-an dan 430-an. Ia juga merupakan seorang ahli pidato yang menggunakan bakatnya yang hebat ini untuk menopang alasan pemerintahan dirinya atas kota melalui masyarakat kota biasa. Sebagai respon, beberapa warga Athena yang lebih kaya berperang, sebagaimana sering dilakukan orang kaya saat itu, untuk melatih kekuatan mereka agar tidak dapat dikekang. Mereka merendahkan kecerdasan masyarakat Athena biasa, dan dalam beberapa kasus mereka mempercayakan kuasa lembaga-lembaga khas dari  negara-negara kota Yunani yang lain, seperti Sparta.
Namun di mana Sokrates berdiri atas debat demokrasi saat itu tidak diketahui secara pasti. Sebuah sumber yang tidak pasti menyatakan jika saat itu setiap warga Athena diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik polis, dan sebagai seorang muda dikatakan saat itu Sokrates sering berkumpul di sekitar Perikles. Ada juga bukti yang tidak lengkap yang menyatakan bahwa istri Sokrates, Xanthippe, adalah seorang bangsawan. Meskipun tidak memiliki bukti pasti tentang keberpihakan Sokrates, namun ada sebuah politik yang dikehendaki Sokrates. Sokrates secara tegas menolak “politik pencitraan” yang pada akhirnya berujung pada “proses pembohongan diri”.
Bagi Sokrates berpolitik bukanlah untuk  survival, apalagi sekadar untuk tunduk pada dominasi pemuas sesaat nafsu makan, minum, dan seks. Untuk mengkritisi kepentingan diri yang sempit itu Sokrates menyerang akarnya: menolak segala bentuk pencitraan diri. Sokrates menentang penggembar-gemboran prestasi atau kebaikan diri di depan umum, karena baginya hal semacam itu bisa dilihat orang tanpa harus digembar-gemborkan. Ia tanpa ragu mengkritik kehidupan publik dan privat seseorang di depan umum dengan maksud untuk menyadarkan mereka akan adanya sesuatu yang tidak beres dalam panggung demokrasi yang didominasi pencitraan dan kata-kata kosong. Selain itu Sokrates juga menolak inti model politik demokrasi yang memusatkan segala keputusan pada suara terbanyak. Bagi Sokrates sebuah pilihan tepat lebih didasarkan pada pengetahuan (episteme) dan bukan pada opini (doxa). Namun meskipun menolak bentuk demokrasi seperti ini, Sokrates justru tetap taat pada sitem demokrasi yang dianut polisnya, dan di sinilah nampak keutamaan Sokrates sebagai seorang yang benar, di mana antara perkataan dan perbuatan etisnya menyatu.

Sokrates: Warisan Ajarannya
Mengenai warisan intelektual Sokrates, kita bisa mencatat bahwa sejak 405 SM, salah satu murid Sokrates, Euklides dari Megara mulai mendirikan sekolah sokratik pertama-yang para pengikutnya nantinya kemudian dikenal sebagai kaum Megarik. Pada tahun 400 SM, salah satu murid Sokraes lainnya , Antisthenes, mendirikan sekolah sokratik kedua-yang nantinya dikenal sebagai sekolah kaum Sinis. Selain itu Aristippos yang memimpin kaum Kirenaik menekankan aspek “Humanisme gnostik” Sokrates. Empat abad setelah kematian Sokrates orang-orang Kristiani akan melihat dalam diri Sokrates figur pendahulu Yesus Kristus. Montaigne sangat terinspirasi oleh doktrin moral sokratik, sementara Rousseau akan melihat bayangan dirinya sendiri dalam figur Sokrates sebagai “orang benar yang tertindas”. Voltaire menjuluki Sokrates sebagai korban intoleransi (agama), maka memakai mulut Socrates, Voltaire tidak segan-segan mengkritik agama-agama. Kierkegaard memandang Sokrates sebagai sang bidan. Di mata murid-muridnya, bidan ini hanyalah pembantu supaya mereka bisa kembali pada diri mereka sendiri, dan menemukan apa yang menjadi pusat diri mereka sendiri.

Daftar Pustaka
Miller, James., The Philosophical Life, Oxford: Oneworld, 2011.
Wibowo, A. Setyo., Mari Berbincang-Bincang Bersama Platon, iPublishing: Jakarta, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar