Abstrak: Dalam hubungan kerja antara
kaum buruh, pemilik modal, dan pemerintah, kaum buruh sering mendapat perlakuan
yang tidak adil. Kaum buruh sering dijadikan sebagai objek oleh para pemilik
modal dan pemerintah demi memperoleh keuntungan bagi mereka.
Dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat masalah ketidakadilan yang tergambar dalam puisi Pengemis
karya Ali Hasjmy dengan bertolak dari pandangan Karl Marx tentang kapitalisme.
Saya berkesimpulan bahwa kaum buruh di Indonesia masih hidup dalam
penderitaan akibat ketidakadilan yang mereka terima dalam hubungan kerja dengan
pemerintah dan para pemilik modal. Kaum buruh bukanlah objek dalam kegiatan ekonomi, tetapi
mereka adalah subjek dari kegiatan ekonomi.
Kata Kunci
Kapitalisme,
buruh, pemilik modal, pemerintah, kerja.
I. Pengantar
Bekerja merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Dengan bekerja manusia mengaktualisasikan dirinya dan
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Manusia harus bekerja untuk dapat
bertahan hidup. Dalam dunia ekonomi tindakan kerja erat kaitannya dengan usaha
manusia untuk menghasilkan barang dan jasa serta demi memperoleh pendapatan
(uang). Tindakan bekerja selalu dilihat sebagai usaha manusia untuk memenuhi
berbagai kebutuhannya. Tanpa bekerja manusia tidak hanya tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, tetapi lebih dari itu tanpa bekerja manusia tidak bisa
berkembang menjadi manusia yang utuh sebab melalui kerja pula manusia
menganktualisasikan dirinya.
Dalam ekonomi terdapat tiga pilar utama yang menjamin
berlangsungnya proses pembangunan, yakni tenaga kerja (buruh) yang menawarkan
tenaganya, pengusaha yang menyediakan modal (mempekerjakan buruh), dan
pemerintah sebagai pihak yang biasanya bertugas sebagai pengawas dalam hubungan
kerja. Sebagaimana yang diidealkan dalam hubungan kerja antara ketiganya
(buruh, pengusaha, dan pemerintah), hubungan antara ketiga pihak ini merupakan
hubungan timbal balik yang saling melengkapi satu sama lain dengan mengandaikan
terlaksananya prinsip keadilan, yakni setiap pihak memperoleh apa yang menjadi
haknya. Akan tetapi, dalam kenyataannya relasi
antara ketiga pilar ini tidak berjalan sebagaimana diidealkan.
Buruh sebagai pihak yang menawarkan tenaganya dalam hal
ini sering tampil sebagai pihak yang dirugikan. Dirugikan dalam hal ini
maksudnya bahwa dalam menjalin relasi kerja dengan pihak pengusaha dan
pemerintah, kaum buruh tidak memperoleh secara utuh apa yang menjadi haknya.
Sering dalam relasi kerja terdapat ketimpangan dalam pemenuhan hak dan
kewajiban kaum buruh. Keberadaan kaum buruh sering dilihat semata-mata sebagai
objek dan bukannya subjek dalam pembangunan. Akibatnya, keberadaan kaum buruh
sering digunakan oleh pihak pengusaha atau bahkan juga oleh pihak pemerintah
hanya sebagai “alat” untuk memenuhi kepentingan mereka, dan apa yang seharusnya
menjadi hak kaum buruh seperti upah yang cukup, jaminan kesehatan, hak untuk
berserikat, dsb diabaikan begitu saja.
Dalam tulisan sederhana ini, dengan bertolak dari pandangan
Karl Marx tentang kapitalisme, saya akan mencoba menyoroti permasalahan kaum
buruh di Indonesia dalam hubungan kerjanya dengan pemilik modal dan pemerintah,
dengan menganalisis puisi Pengemis karya Ali Hasjmy yang
secara tidak langsung menampilkan masalah-masalah yang dialami oleh kaum buruh
di Indonesia. Saya mencoba mengangkat tema ini karena bagi saya permasalahan
kaum buruh masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini dan
bahkan akan menjadi masalah yang terus menyertai perjalanan bangsa ini.
II. Puisi Pengemis karya Ali Hasjmy sebagai Cermin
Masalah Kaum Buruh di Indonesia Ditinjau dari Pandangan Karl
Marx tentang Kapitalisme
2.1 Ali Hasjmy
Moehammad Ali (nama kecil)
lahir pada tanggal 28 Maret 1914 di Montasie, Kabupaten Aceh Besar. Nama
lengkapnya Moehammad Ali Hasyim, kemudian berubah menjadi Ali Hasjmy (nama
dewasa) dan dalam bidang sastra terkenal dengan nama samaran Aria Hadiningsun, Ali Hariry, dan Asmara Hakiki.[1] Dia
menjadi tokoh penting dalam mengubah status Aceh dari Darul
Harb menjadi Darussalam dan sekaligus sebagai ketua Pencipta dan Pembina Kota
Pelajar Mahasiswa Darussalam. Dia dijuluki Bapak Pendidikan Daerah Istimewa
Aceh.
Ali Hasjmy menempuh
pendidikan di Vervolkschool di Montaise (1926), Sanawiyah
Thawalib di Padangpanjang (1935), Al
Jamiah Al Islamiyah di Padang (1941), dan Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara (1951-1953). Pada periode
1957-1964 ia menjabat sebagai Gubernur Provinsi Aceh. Ali Hasjmy juga pernah
bekerja pada beberapa majalah, seperti majalah Matahari Islam, Majalah Panji
Islam, Sinar Darussalam, dsb.
Dalam bidang tulis-menulis
Ali Hasjmy bergerak dalam bidang jurnalistik, sastrawan, dan juga dalam
penulisan buku-buku ilmu pengetahuan umum, dan
terutama yang bercorak Islam. Sebagai
seorang sastrawan, Ali Hasjmy telah menghasilkan beragam roman, esai, dan
puisi. Sajak-sajaknya ada yang
dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe.
Tahun 1936 ia mengumpulkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Seorang Pengembara, yang empat
tahun kemudian disusul dengan yang kedua berjudul Dewan Sadjak (1940). [2]
2.2 Puisi Pengemis Karya Ali
Hasjmy
Puisi karya Ali Hasjmy ini
menggambarkan nasib malang seorang pengemis. Keadaan sang pengemis dalam puisi
ini digambarkan sebagai sosok yang menderita. Nasibnya sebagai seorang pengemis
mengharuskan ia untuk menjalani hidup dalam kemiskinan dan dalam penderitaan.
PENGEMIS
Beri hamba sedekah, o tuan
Belum makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai tuan,
Seteguk air, sesuap nasi,
Lihatlah, tuan, nasib kami,
Tiada sanak, tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepanjang jalan meminta-minta.
Lihatlah, tuan, untung kami,
Pondok tiada, huma tiada,
Bermandi hujan, berpanas hari,
Di tengah jalan terlunta-lunta.
Bukan salah bunda mengandung,
Buruk suratan tangan sendiri,
Sudah nasib, sudah untung,
Hidup malang hari ke hari.
O tuan, jangan kami dibiarkan,
Jika sedekah tidak diberi,
Cukup sudah sengsara badan,
Jangan lagi ditusuk hati.[3]
2.3 Karl Marx
Karl Marx lahir pada tahun
1818 di Rhineland yang tergabung dalam wilayah kerajaan Prusia. Pada tahun 1836
ia masuk Universitas Berlin, dan pada tahun 1841 ia memperoleh gelar doktor dengan
disertasi mengenai filsafat kuno. Dua tahun kemudian (1843) ia menjadi editor majalah Rheinische Zeitung dan Deutsche Franzosische Jahrbucker. Akan
tetapi kedua majalah ini ditutup oleh kekuasaan Prusia karena dianggap
melanggar hukum. Marx kemudian dibuang ke Brussel. Dalam tahun 1848 ia berhasil kembali ke Jerman, dan
kemudian menjadi editor majalah Neue
Rhenische Zeitung. Pada tahun 1849 ia kembali dibuang, tetapi kali ini di
London di mana ia menghabiskan sisa hidupnya.[4]
Di London ia mulai menarik
diri dari aktivitas revolusioner dan beralih ke kegiatan riset yang lebih rinci
tentang peran sistem kapitalis. Studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku
Das Kapital. Jilid pertama
diterbitkan tahun 1867, sedangkan kedua jilid lainnya diterbitkan sesudah ia
hidup dalam kemiskinan. Ia membiayai hidupnya secara sederhana dari honorarium
tulisannya. Tahun 1864 Marx terlibat kembali dalam kegiatan politik, bergabung
dengan “The International”, sebuah gerakan buruh internasional. Ia segera
menonjol dalam gerakan itu dan mencurahkan perhatian selama beberapa tahun
untuk gerakan itu. Ia mulai mendapat popularitas, baik sebagai pemimpin
internasional maupun sebagai penulis Das Kapital. Perpecahan
gerakan Internasional tahun 1876, kegagalan berbagai gerakan revolusioner dan
penyakit-penyakit, akhirnya membuat Mark ambruk. Marx wafat pada tahun 1883.[5]
2.4 Kapitalisme Karl Marx
Dalam kapitalisme, kerja yang sebelumnya bermakna sebagai
aktualisasi dan realisasi diri individu berubah menjadi beban hidup yang menjemukan
dan dibenci sebab kerja dialihfungsikan sebagai proses represi, eksploitasi,
dan negasi atas individu (pekerja). Selain itu, pembagian kerja dalam
kapitalisme juga mengubah hubungan antara pekerja dengan sesamanya dan dengan
produk. Hubungan sosial dinilai, diukur, dan direduksikan ke dalam hubungan
ekonomi, hubungan pemilik modal dan karyawan, tuan dan budak, produsen dan
konsumen. Nilai individu ditentukan oleh kemampuan berproduksi dan membeli,
memiliki, dan mengkonsumsi. Akibatnya, masyarakat terbagi dalam dua kelompok
sosial yang saling berhadapan, yakni penguasa dan jelata, pemberi kerja dan
pencari kerja, kaum kapitalis dan proletar. Dalam kapitalisme, terjadi pembalikan urutan peran dalam
kerja. Benda mati, produk, dan teknologi berlaku sebagai subjek, sedangkan
manusia (buruh) menjadi objek, sasaran dan dikuasai materi dan produk.[6]
Posisi pasar dalam kapitalisme adalah sebagai wasit,
hakim, dan penilai. Pasar yang menentukan layak tidaknya sebuah produk, dan
produk yang dihasilkan harus tunduk pada hukum pasar. Pasar dan hukum pasar
memunculkan penindasan, penguasaan, dan pengisapan. Ketiadaan keterampilan,
keahlian bisnis, modal, dan kekuasaan membuat kaum buruh menggantungkan diri
hanya pada tenaga. Ketika memerlukan buruh para pemodal membeli dan membayar
tenaganya sebagai nilai guna (produk). Tenaga buruh menjadi komoditi yang
dipertukarkan dengan pemilik modal.[7]
Selain itu, dalam kapitalisme, kontrak kerja yang mengatur
hubungan kerja antara pemodal dan buruh menjadi sarana penindasan dan pemerasan
terhadap kaum buruh oleh para pemilik modal, bukan sarana bagi terlaksananya
kesetaraan dalam hubungan kerja. Kaum
buruh hanya memiliki dua pilihan: atau membiarkan
diri terus dihisap kaum kapitalis dengan
pekerjaan di tangan atau menjadi
penganggur abadi. Mau tidak mau kaum buruh kemudian memilih bekerja dalam
kondisi yang tidak manusiawi sekalipun daripada harus menganggur dengan ancaman
ketiadaan pendapatan. Dengan memilih untuk bekerja demi memperoleh pendapatan
bagi kelangsungan hidupnya, kaum buruh dituntut untuk tunduk pada kontrak kerja
dalam hubungan kerjanya dengan pemodal. Di sini kontrak kerja lebih nampak
sebagai pemaksaan kehendak kaum berpunya terhadap buruh, serta menjadi
instrumen yuridis untuk melestarikan praktik ketidakadilan dan eksploitasi
manusia oleh manusia. Melalui instrumen yuridis ini penguasa dan pengusaha
dalam masyarakat kapitalis menyembunyikan kepentingan mereka.[8]
Hubungan masyarakat dalam konsep marksisme lebih bersifat
tidak harmonis daripada harmonis, diwarnai penguasaan, penindasan, dan
pemerasan daripada hubungan yang bersifat manusiawi. Pertarungan, penindasan,
pengisapan terjadi antara dua kelas sosial yang terdapat dalam kapitalisme,
yaitu pengusaha dan pekerja, pengusa dan rakyat jelata. Masyarakat sipil dan kehidupan
bernegara berada di bawah penjajahan dan penghisapan kaum kaya-kuat-kuasa.[9] Para
pemodal dan penguasa memperoleh kekayaan melalui pemiskinan, kebebasan dengan
penguasaan terhadap kaum buruh.
2.5 Analisis Puisi Pengemis
Seperti telah dijelaskan pada poin 2.2, puisi Pengemis karya Ali Hasjmy ini berkisah
tentang penderitaan yang dialami oleh seorang pengemis. Dalam tulisan ini saya
menganalogikan kaum buruh di Indonesia dengan pengemis dalam puisi karya Ali
Hasjmy. Secara pribadi saya melihat bahwa nasib pengemis dalam puisi Ali Hasjmy
sama seperti nasib kaum buruh di Indonesia yang juga hidup di dalam penderitaan
dan dalam kemiskinan. Dalam bagian ini saya mencoba untuk menganalisis puisi Pengemis karya Ali Hasjmy bait demi bait
dengan bertolak dari pandangan Karl Marx tentang
kapitalisme.
2.5.1
Bait Pertama
Beri hamba sedekah, o tuan
Belum makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai tuan,
Seteguk air, sesuap nasi
Berdasarkan interpretasi saya, bait pertama puisi
ini dapat dianalogikan sebagai kerinduan kaum buruh untuk memperoleh upah yang
layak. Pada dasarnya setiap daerah memiliki standar Upah Minumum
Regional (UMR) bagi kaum buruh yang bekerja di dalam daerah tersebut. Misalnya
saja di wilayah Jakarta UMR yang berlaku pada tahun 2014 adalah Rp2.441.000,00,
sedangkan pada tahun yang sama di daerah Tanggerang UMR bagi kaum buruh adalah
Rp2.444.301,00, di Batam Rp2.422.092,00, dan di Medan Rp1.851.500,00.[10]
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pengawasan terhadap berlangsungnya
ketentuan ini kurang diperhatikan, sehingga sering terjadi ketimpangan antara
ketentuan yang berlaku dengan kenyataan di lapangan. Buruh yang telah menyediakan tenaganya tidak mendapat apa
yang menjadi haknya, yakni upah yang sesuai dengan ketentuan yang telah
ditentukan oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari data Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi per 6 Januari 2014. Tercatat sebanyak 417 perusahaan
yang mengajukan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum provinsi (UMP) tahun 2014.[11]
Dalam kapitalisme tenaga
buruh adalah komoditi yang diperjualbelikan. Ketika pemilik modal membutuhkan
tenaga buruh maka ia akan membeli dan membayar tenaga buruh sebagai sebuah
produk. Akibatnya, dalam dunia kerja buruh dipandang hanya sebagai objek dan
bukan sebagai subjek. Di sini terjadi dehumanisasi pekerja. Ketika
tidak memiliki keterampilan tertentu kaum buruh dihapakan pada pilihan untuk
menganggur atau bekerja kepada para pemodal dengan upah yang rendah. Berhadapan
dengan kenyataan ini, pada umumnya kaum buruh lebih memilih untuk bekerja daripada
menganggur, meskipun dengan risiko upah yang diterima sedikit dan tidak
sebanding dengan pekerjaan yang mereka kerjakan.
2.5.2
Bait Kedua
Lihatlah, tuan, nasib kami,
Tiada sanak, tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepanjang jalan meminta-minta.
Batit kedua puisi ini saya interpretasikan
sebagai gambaran keadaan kaum buruh di Indonesia yang masih hidup di dalam
kondisi yang memprihatinkan, yaitu ketidakmampuan mereka dalam memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari. Berangkat dari kondisi hidup yang memprihatinkan ini, mereka mencoba meminta perhatian pemerintah dan para
pemilik modal untuk memperhatikan nasib mereka. Meskipun telah ditetapkan UMR
di setiap wilayah di Indonesia, dalam kenyataannya selain sering tidak dibayar
sesuai dengan UMR yang telah ditentukan, kaum buruh merasa bahwa UMR tidak
mencukupi dalam memenuhi kebutuhan pokok harian mereka.
Upah yang telah ditetapkan
pemerintah dinilai tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
yang setiap saat dapat melonjak harganya. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok
ini berlanjut pada menurunnya kualitas hidup kaum buruh, baik itu dalam bidang
kesehatan, pendidikan, dsb. Sama seperti sistem kapitalis yang dikritik Karl
Marx, demikian pun dengan situasi yang dihadapi kaum buruh di Indonesia. Para
pemilik modal mempekerjakan kaum buruh semata-mata demi mengejar keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Sebagai dampaknya, aspek manusiawi kaum buruh dalam bekerja diabaikan. Kaum
buruh hanyalah sarana yang dipakai oleh pemilik modal demi mencari keuntungan.
2.5.3
Bait ketiga
Lihatlah, tuan, untung kami,
Pondok tiada, huma tiada,
Bermandi hujan, berpanas hari,
Di tengah jalan terlunta-lunta.
Dalam bekerja, di samping
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kaum buruh, mereka juga memiliki
hak yang harus dipenuhi pula. Hak-hak yang mereka miliki antara lain adalah
fasilitas kerja, waktu berekreasi, jaminan sosial, tunjangan-tunjangan,
keselamatan kerja, pembebasan dari wajib kerja dsb.[12] Akan
tetapi, sayangnya tidak semua hak mereka terpenuhi meskipun mereka telah
sepenuhnya memenuhi kewajiban mereka.
Dalam interpretasi saya, bait ketiga puisi ini selain masih berbicara
mengenai akibat rendahnya upah kaum buruh
yang berujung pada rendahnya kualitas hidup mereka, bait ini juga hendak menggambarkan minimnya perhatian para pemilik modal dan pemerintah terhadap hak-hak lain kaum buruh
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hasrat untuk mengejar keuntungan
yang sebesar-besarnya membuat para pemilik modal terkadang menutup mata
terhadap pemenuhan hak-hak kaum buruh. Tuntutan untuk memnuhi kuota produksi
sebagaimana ditentukan pasar memaksa kaum buruh untuk bekerja melebihi batas
waktu standar. Hak-hak yang dimiliki kaum
buruh sendiri memiliki landasan hukum, misalnya, sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 186 UU
Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberikan perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik.[13]
Selain itu, salah satu hal
yang sering diabaikan oleh para pemilik modal dalam mempekerjakan kaum buruh
adalah peralatan kerja yang menjamin keselamatan kerja kaum buruh. Sering
terjadi karena tidak dilindungi oleh peralatan kerja yang memadai, kaum buruh kemudian mengalami kecelakaan kerja atau
berbagai macam penyakit fisik yang berasal dari tempat kerja. Misalnya, pekerja tambang yang tidak memiliki peralatan kerja yang
memadai dapat mengalami infeksi saluran pernapasan karena gas beracun yang
berasal dari pertambangan tempat ia bekerja.
2.5.4
Bait Keempat
Bukan salah bunda mengandung,
Buruk suratan tangan sendiri,
Sudah nasib, sudah untung,
Hidup malang hari ke hari.
Bait keempat puisi ini, seturut interpretasi saya, menunjukkan kepasrahan kaum buruh
terhadap pahitnya hidup yang harus mereka alami. Ketidakpedulian para pemilik
modal dan aparat pemerintahan seakan-akan menutup harapan mereka untuk
memperoleh hidup yang lebih baik. Usaha dan kerja keras mereka tampak menjadi
sia-sia karena ketidakadilan yang harus mereka terima, upah rendah yang tidak
sebanding dengan panjangnya jam kerja, minimnya jaminan sosial dan jaminan
kerja, ditambah biaya hidup yang terus meningkat menambah panjang daftar
penderitaan mereka. Harapan untuk memperoleh
hidup yang lebih layak berganti menjadi kepasrahan terhadap pahitnya hidup, sehingga
semuanya kemudian disikapi dengan sikap pasrah dan memandang semuanya sebagai
nasib, sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah.
Kerja tidak lagi menjadi
sesuatu yang menyenangkan dan tidak lagi menjadi sarana pengembangan dan
pengaktualisasian diri. Sama seperti yang dikritik Karl Marx dalam sistem
masyarakat Kapitalis, kerja dinilai dan dipandang dari sudut hubungan
tuan-hamba dan dalam hubungan ekonomi belaka. Kerja kehilangan maknanya. Kerja
yang seharusnya dilihat sebagai hal yang menyenangkan, oleh kaum buruh dilihat
sebagai sebuah penderitaan. Berada di tempat kerja sama artinya berada dalam
penderitaan. Selesainya waktu kerja menjadi waktu pembebasan dari penderitaan.
2.5.5
Bait Kelima
O tuan, jangan kami dibiarkan,
Jika sedekah tidak diberi,
Cukup sudah sengsara badan,
Jangan lagi ditusuk hati.
Dalam interpretasi saya, yang ingin ditampilkan
pada bait kelima puisi ini adalah pentingnya
perlindungan bagi kaum buruh
dalam bekerja. Selain seringkali tidak
menerima upah sebagaimana mestinya, kaum buruh juga sering menerima penyiksaan
fisik. Ambil contoh Kasus kekerasan
dan penyekapan terhadap 34 buruh di pabrik kuali/panci di Bayur, Kabupaten
Tangerang, Banten.[14]
Dijelaskan dalam berita tersebut bahwa selain mengalami penyekapan dan
penyiksaan fisik, para buruh tersebut menerima upah di bawah standar UMR
Tanggerang meskipun mereka telah bekerja dengan jangka waktu 18 jam per hari.
Sekali lagi, melalui kisah ini dapat dilihat bahwa masih sering
terjadi perlakuan yang buruk terhadap kaum buruh oleh para pemilik modal. Di
sini pemerintah memainkan peranan penting dalam mengawasi berlangsungnya proses
kerja. Kaum buruh bukanlah alat yang dapat digunakan sesuka hati oleh para
pemilik modal dan aparat pemerintahan dalam mencari keuntungan. Akan tetapi kaum
buruh juga adalah manusia sama seperti para pemilik modal dan aparat
pemerintahan yan memiliki harkat dan martabat yang harus dihargai. Melalui
peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan kerja antara pemerintah,
pemilik modal, dan kaum buruh, apa yang menjadi hak kaum buruh harus
diperhatikan lagi.
Dalam hal ini, peraturan
perundang-undangan yang ada jangan sampai menjadi instrumen yang hanya
melindungi kepentingan pemerintah dan pemilik modal saja tetapi merugikan kaum
buruh, sebagaimana yang dikritik Karl Marx dalam sistem masyarakat kapitalis, yaitu peraturan-peraturan yang dibuat dalam hubungan kerja
hanyalah sebagai pelindung kepentingan pemerintah dan pemilik modal. Selain
mengawasi keberlangsungan terlaksananya hubungan kerja yang adil, pemerintah di
sini juga harus bertindak tegas dan keras terhadap penyimpangan yang terjadi. Pihak-pihak yang melanggar ketetapan yang telah ditentukan
haruslah dijatuhi hukuman yang setimpal sebagaimana tertera dalam ketentuan
yang berlaku.
III. Penutup
Berdasarkan interpretasi saya atas
puisi Pengemis yang saya analogikan
dengan nasib kaum buruh di Indonesia, saya
berkesimpulan bahwa kaum buruh di Indonesia masih hidup di dalam situasi yang
memprihatinkan. Sebagaimana nasib pengemis yang dalam puisi Pengemis digambarkan hidup di dalam
penderitaan, demikianpun kondisi kaum buruh di Indonesia yang juga hidup di
dalam penderitaan. Penderitaan yang dialami kaum buruh di Indonesia berkaitan dengan
ketidakadilan yang mereka terima dalam hubungan kerjanya dengan pemerintah dan
pemilik modal. Kendati telah memenuhi kewajibannya sebagai seorang buruh,
tetapi kerap kali mereka tidak memperoleh apa yang menjadi hak mereka.
Sebagaimana seorang pengemis di dalam puisi Pengemis
yang diabaikan nasibnya, demikian juga kaum buruh di Indonesia. Kaum buruh
sering diabaikan ketika mereka menyerukan perjuangan mereka untuk memperoleh
keadilan.
Kaum buruh sebagai
salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi ternyata belum sepenuhnya
mengalami keadilan dalam bekerja. Masalah kaum buruh dapat menjadi masalah yang
tidak akan pernah terselesaikan selama para pemilik modal selalu mengutamakan
perolehan laba tanpa mempedulikan pemenuhan hak kaum buruh yang bekerja pada
mereka. Masalah ini juga tidak akan terselesaikan apabila pemerintah sebagai
pihak yang bertindak sebagai pengawas dan penegak hukum dalam hubungan kerja
menjadikan hukum dan peraturan yang mereka buat hanya sebagai topeng yang
melindungi kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini terutama kelompok
peguasa dan pengusaha.
Berdasarkan uraian di atas, sebagaimana juga ditunjukkan oleh Karl Marx dalam
kritiknya terhadap masyarakat kapitalis, makna kerja perlu
diartikan kembali. Kerja tidak hanya menjadi ajang pemenuhan kebutuhan hidup
manusia, tetapi lebih dari itu kerja menjadi ajang realisasi dan
pengaktualisasian diri manusia. Melalui kerja, manusia dapat mencapai
kepenuhan dirinya. Oleh karena itu,
Karl Marx kemudian menolak segala macam bentuk penindasan, terutama yang
dialami kaum buruh, dalam bekerja. Ia menolak apabila kerja hanya direduksi
menjadi kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup (barang dan jasa) dan hubungan kerja
antara buruh dan pemilik modal menjadi hubungan hamba dan tuan, penguasa dan
rakyat jelata. Lebih jauh kegiatan kerja dalam masyarakat kapitalis hanya akan
memperkaya para pemilik modal dengan memiskinkan kaum buruh.
Dalam pandangan Karl Marx kedudukan kaum buruh dalam dunia kerja
perlu diperhatikan kembali. Buruh bukanlah objek dalam dunia kerja, melainkan subjek/pelaku dalam kegiatan bekerja.
Tanpa buruh kerja sebagai kegiatan ekonomi tidak mungkin terjadi. Sebagai
subjek dalam hubungan kerja, kaum buruh pun memiliki hak-hak yang harus
dipenuhi oleh para pemilik modal dan juga oleh pemerintah. Para pemilik modal
harus menjamin terpenuhinya hak kaum buruh dalam bekerja, misalnya saja upah,
jaminan kesehatan, rekreasi, hari libur, dsb. Berkaitan dengan peran pemerintah dalam relasi kerjanya dengan kaum buruh dan
pemilik modal, pemerintah berlaku sebagai
pengawas, yakni menjamin terlaksananya hukum-hukum ketenagakerjaan,
mengapresiasi apabila hukum-hukum itu berjalan dengan baik dan menghukum
apabila terjadi pelanggaran. Hukum itu pun haruslah berprinsipkan keadilan,
yakni melayani kepentingan setiap pihak tanpa mengesampingkan pihak lain, serta
bukan sebagai topeng untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Bertolak dari keadaan kaum buruh
yang memprihatinkan ini, sudah sepantasnya pihak-pihak yang bersangkutan
membuka mata terhadap realitas ini. Hukum-hukum yang mengatur hubungan kerja
antara pemerintah, pemilik modal, dan kaum buruh perlu diperhatikan kembali, sehingga
tercipta keadilan bagi setiap pihak. Pelanggaran terhadap kesepakatan hubungan
kerja juga perlu ditindaki secara tegas, dan setiap pihak yang melanggar
kesepakatan-kesepakatan itu harus dijatuhi sanksi yang sesuai.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, Takdir. Puisi Baru. Jakarta: Pustaka Rakyat, 1954.
Brewer, Anthony. Kajian
Kritis Das Kapital Karl Marx. Jakarta: Teplok Press, 1999.
detik. com. 417 Perusahaan Tak
Mampu Gaji Karyawan Sesuai UMP 2014, diunduh pada tanggal 2 Mei 2014 pkl.21.09 WIB.
detik.com. Kekerasan Buruh Pabrik Panci, Cak Imin: Pelakunya Harus Dihukum Berat, diunduh pada tanggal 2 Mei 2014 pkl. 22.17 WIB.
Drs. H. A.
Ghazali. Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy. Jakarta:
Socialia, 1978.
http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-karl-marx/
Kompas.
Upah Minimum di Sejumlah Daerah, diunduh
pada tanggal 2 Mei 2014 pkl. 20.25 WIB
Marbun, Rocky. Jangan
Mau di-PHK Begitu Saja. Jakarta: Visimedia, 2010.
Rosidi,
Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
Percetakan Cikapundung, 1969.
Saeng, Valentinus. Herbert
Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012.
[1] Drs. H. A. Ghazali, Biografi
Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy (Jakarta: Socialia, 1978), 3.
[2] Ajip Rosidi, Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Percetakan Cikapundung, 1969), 70.
[3] Takdir
Alisjahbana, Puisi Baru (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1954), 41.
[4] Anthony Brewer, Das
Kapital Karl Marx (Jakarta: Teplok Press, 1999), 4.
[5] http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-karl-marx/
[6] Valentinus Saeng, Herbert Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 116.
[7] Saeng, Op. cit, p. 130.
[8] Saeng, Op.cit, p. 34, 138.
[9] Saeng, Op. cit, P.
115.
[10] Kompas, Upah Minimum di
Sejumlah Daerah, Jumat, 2 Mei 2014, 1.
[11] Detik. Com, 417
Perusahaan Tak Mampu Gaji Karyawan Sesuai UMP 2014, diunduh pada tanggal 2 Mei 2014 Pkl.21.09 WIB.
[12] Rocky Marbun, Jangan
Mau di-PHK Begitu Saja (Jakarta: Visimedia, 2010), 60-61.
[13]Marbun, Op. cit, P. 134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar