Senin, 28 Juli 2014

Agama Islam di Sunda dan Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda



Agama Islam di Sunda
 dan
Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda

I.                   Pendahuluan
Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu Negara yang memiliki perhatian yang besar dalam mengatur kehidupan beragama masyarakatnya. Sama seperti negara-negara Timur pada umumnya, agama memiliki kedudukan penting dalam sebuah negara, sebab agama menjadi pengatur kehidupan masyarakatnya, atau bahkan agama dapat berperan besar dalam menentukan arah kebijakan negara yang bersangkutan. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam kebudayaan (termasuk di dalamnya berbagai macam sistem kepercayaan tradisional) mau tidak mau harus menempatkan diri mereka pada agama-agama tertentu ketika pemerintah menetapkan daftar agama-agama yang diakui, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebagai imbasnya, sebagian masyarakat Indonesia yang sebelumnya sudah memeluk kepercayaan-kepercayaan tradisional tertentu terpaksa “meninggalkan” kepercayaan mereka dan menggabungkan diri dengan agama-agama yang disahkan pemerintah, meskipun di antara mereka ini masih banyak yang menggunakan identitas agama resmi itu hanya sebagai topeng untuk menutupi praktek-praktek kepercayaan tradisional yang mereka anut.
Pemerintah Indonesia sendiri menetapkan kriteria-kriteria tertentu dalam pengakuan sebuah agama, misalnya saja memiliki Tuhan, nabi, kitab suci, dan tempat ibadah. Hal inilah yang kemudian membuat kepercayaan-kepercayaan tradisional disingkirkan karena tidak memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan pemerintah. Atau lebih parahnya lagi pemerintah juga membentuk badan khusus dalam pemerintahan yang bertugas untuk mengawasi dan mengontrol aktivitas dan ideologi kepercayan-kepercayaan trasdisional.
Di samping itu, di Indonesia, agama dapat menjadi penegas identitas kebudayaan seseorang. Misalnya sajaorang-orang yang berasal dari daerah Bali identik dengan agama Hindu, orang-orang yang berasal dari daerah NTT identik dengan agama Kristen, sedangkan orang-orang yang berasal dari daerah Jawa sering diidentikkan dengan agama Islam. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Sunda, meskipun tidak semua masyarakat Sunda beragama Islam, namun dalam pandangan umum, Sunda identik dengan Islam. Selain itu, meskipun sebagian masyarakat Sunda telah memeluk agama Islam atau agama-agama resmi lainnya, tetapi tetap saja dalam pelaksanaannya masih ada masyarakat yang mempraktekkan ritus-ritus dari kepercayaan-kepercayaan tradisional. Di sini dapat dilihat bahwa meskipun sebagian besar masyarakat Sunda memeluk agama-agama resmi, bukan berarti bahwa dengan itu mereka meninggalkan praktek-praktek kepercayaan tradisional. Dalam tulisan ini saya akan mencoba untuk membahas agama (Islam) di Sunda dan sistem kepercayaan dalam masyarakat Sunda, dan bagaimana mereka menjalankan praktek-praktek agama Islam dan sistem-sistem kepercayaan yang mereka anut.

II.                Agama Islam di Sunda dan Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda
2.1              Agama Islam di Sunda
            Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yakni bahwa sebagian besar masyarakat Sunda memeluk agama Islam, dan sedikit sekali yang memeluk agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, atau Konghucu. Dengan demikian agama Islam adalah agama sebagian besar masyarakat Sunda. Orang Sunda kebanyakan taat menjalankan ajaran agama Islam, seperti menjalankan sembahyang lima waktu, sembahyang Jumat, puasa, membayar zakat, dan keinginan untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci sangatlah besar. Menurut pandangan orang Sunda agama itu harus menjadi ageman.[1] Di samping itu, menurut pandangan orang-orang Sunda, ajaran agama Islam itu harus diamalkan atau dilaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari.
            Agama Islam yang datang ke Indonesia berasal dari India dan masuk ke tanah Sunda melalui dua pelabuhan utama yang kemudian berkembang menjadi dua kerajaan, yaitun Cirebon dan Banten. Dari kedua kerajaan ini kemudian Islam menyebar ke selatan, ke pedalaman Jawa Barat. Dari Cirebon agama Islam disebarkan ke daerah pedalaman sebelah timur, dan dari Banten ke daerah pedalaman sebelah Barat dengan batasnya sungai Citarum. Pada akhir abad ke-16 M seluruh Tanah Sunda telah terjangkau oleh gerakan penyebaran agama Islam dan berada di bawah kekuasaan Islam dengan pusatnya di Cirebon dan juga Banten. Dalam rangka penyebaran agama Islam itu ditempuh berbagai cara, sejak dengan ajakan secara damai, pernikahan, media sosial budaya, ilmu pengetahuan, sampai cara kekerasan senjata. Sambutan masyarakat Sunda sendiri terhadap ajakan untuk menjadi Islam ini pada umumnya ditanggapi secara baik sehingga dalam jangka waktu relatif singkat sebagian besar penduduk Tanah Sunda telah memeluk agama Islam.[2]  
            Pendidikan agama Islam umumnya diperoleh sejak anak-anak, kira-kira ketika berusia tujuh tahun, di surau dengan bimbingan seorang guru ngaji, atau di madrasah-madrasah dengan bimbingan seorang guru agama. Apabila anak-anak telah tamat mengaji seluruh ayat al-Quran, maka diadakanlah hataman, dan untuk kenaikan kelas di madrasah-madrasah diadakan imtihan.[3] Sedangkan pendidikan agama bagi orang tua diadakan melalui pengajian yang dilakukan secara rutin. Pengajaran agama ini juga dilakukan ketika hari-hari besar Islam, dan pada kesempatan-kesempatan seperti ini biasanya diundang Kiai atau Ulama dari daerah lain untuk untuk memberi pengajaran di depan umum.
2.2              Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda
            Di atas telah dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Sunda telah memeluk agama Islam. Namun pada prakteknya unsur-unsur kepercayaan di luar Islam masih dapat dijumpai. Kehidupan beragama masyarakat Sunda masih dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap kekuatan makhluk halus atau kepada kekuatan-kekuatan magis, dan hal ini tidak hanya dijumpai dalam masyarakat Sunda saja, tetapi juga dapat kita jumpai dalam masyarakat-masyarakat yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan tradisional. Misalnya saja dalam upacara-upacara perayaan yang berhubungan dengan salah satu fase dalam hidup manusia, seperti kelahiran dan perkawinan, dan juga dalam peristiwa mendirikan rumah, menempati rumah baru, atau seusai panen padi. Sebagai contoh adalah upacara Tarawangsa. Upacara ini adalah upacara untuk menghormati Dewi Sri, yang dilakukan seusai panen padi. Setelah padi dikeringkan dan akan diangkut ke lumbung, pada malam harinya dilakukan upacara Tarawangsa. Upacara Tarawangsa sebenarnya hanya semacam ungkapan kegembiraan dengan bernyanyi. Sebagai upacara kegembiraan, nyanyi-nyanyian itu diiringi dengan sejenis rebab yang disebut tarawangsa, kecapi, dan tarian. Tarian Tarawangsa diiringi dengan tujuh lagu: Pangapungan, Pangambat, Panganginan, Pamapag, Panimang, Lalayaran, dan Pangbalikan. Lagu-lagu itu pada umum menceritakan tentang asal mula terjadinya padi. Dikisahkan bahwa sebenarnya padi merupakan pengejawantahan dari Dewi Sri. Maka supaya Dewi Sri tidak murka karena akan dijadikan makanan oleh masyarakat, diperlukan upacara sebagai penghormatan kepadanya. Di sisi lain, upacara ini juga dianggap sebagai upaya bersyukur kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, meskipun sekarang sudah memeluk Islam, namun orang Sunda masih melakukan upacara Tarawangsa, khususnya di daerah Rancakalong.[4] Dari sini bisa dilihat bahwa masyarakat Sunda masih mencampuradukkan antara beberapa unsur agama dengan beberapa unsur adat dalam kehidupan mereka.
            Kelompok agama Sunda yang masih memegang adat-istiadat nenek moyang yang tidak beragama Islam adalah masyarakat Baduy, yang tinggal di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak (Banten). Mereka mengaku agama Sunda Wiwitan, tetapi apabila kita teliti sebenarnya mereka juga mengucapkan kalimat Sahadat yang sama dengan Sahadat umat Islam. Mereka juga mengakui bahwa hanya kabagean Sahadatna wungkul, hanya mendapat Sahadatnya saja, sedangkan ketentuan lain, seperti sembahyang, puasa, dan lain sebagainya, tidak mereka ketahui. Memang pada saat-saat awal penyebaran Islam, orang untuk pertama kali masuk ke dalam agama Islam harus mengucapkan kalimat Sahadat dan bagi masyarakat Baduy, rupanya setelah mengucapkan Sahadat, lantas tidak memperoleh kelanjutannya lagi, mungkin karena suatu perkembangan tertentu dalam masyarakat, sehingga terjadi putus hubungan dengan umat Islam lainnya.
            Dalam masyarakat Sunda sendiri sangat sulit untuk memisahkan antara agama dan sistem kepercayaan yang masih dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Sunda, sebab bagi mereka keduanya berfungsi sebagai pengatur sikap dan sistem nilai, sehingga di samping taat menjalankan hukum-hukum agama, mereka juga masih mempraktekkan upacara-upacara yang tidak terdapat dalam agama Islam, atau bahkan upacara-upacara yang dilarang di dalam agama Islam. Salah satu contoh praktek sistem kepercayaan yang bertentangan dengan agama Islam adalah menjadi kaya dengan jalan munjung yang bagi umat Islam dianggap menuruti jalan setan. Tempat munjung yang terkenal adalah Gunung Koromong, Kabupaten Cirebon. Tempat ini sering didatangi oleh orang-orang yang ingin kaya dengan cara yang cepat. Dalam prakteknya ada beberapa jenis munjung. Nyengik munjung kepada babi, ngipri kepada ular, ngetek kepada kera, dan ada juga kepada buaya putih.[5] Apabila telah menjadi kaya raya orang yang bersangkutan pada waktu tertentu akan meninggal dunia sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati, atau bahkan mungkin saja ia dapat menjelma menjadi binatang-binatang tertentu sesuai dengan kepada apa orang itu munjungnya (memuja), seperti anjing, kera, atau babi. Atau ada juga persyaratan lain, yaitu tunji, yaitu anak orang yang munjung itu akan meninggal setiap tahun. Apabila anak-anaknya telah habis, dapat pula diganti oleh kerabat atau pelayannya.
            Dalam pikiran orang Sunda, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, batas antara unsur agama dan unsur sistem kepercayaan tidak disadari lagi. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul sekelompok orang Sunda yang ingin betul-betul menjalankan Syariat Islam dengan bersumber hanya pada Hadis dan Quran, sebab mereka ingin menjalankan syariat Islam yang murni tanpa adanya percampuran dengan unsur-unsur dari sistem kepercayaan tradisional. Di samping itu, sebagian masyarakat Sunda juga masih percaya kepada roh-roh halus nenek moyang. Hal ini terutama nampak dalam upacara-upacara sesajen yang ditujukan kepada arwah karuhun (leluhur), untuk meminta berkah sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan penting. Sebagian dari masyarakat Sunda juga masih menaruh kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu yang suka mengganggu anak-anak, ibu hamil, atau gadis, sehingga anak-anak, ibu hamil, dan gadis dilarang pergi ke tempat-tempat tertentu seperti mata air, kuburan, atau tempat yang memiliki batu atau pohon besar, sebab di situ mereka dapat diganggu oleh roh halus. Makhluk-makhluk halus orang Sunda dikenal dengan sebutan dedemit, jurig, ririwa, kuntianak, kelong, budak hideung, dan sebaginya.
            Masyarakat Sunda yang masih mempercayai kekuatan magis menganggap bahwa kekuatan magis tersebut dapat mempengaruhi seluruh perjalanan hidupnya. Dalam kaitan dengan hal inilah kemudian masyarakat Sunda melakukan berbagai upacara guna menghilangkan pengaruh buruk dari datangnya roh-roh halus yang dapat mengganggu kehidupan manusia.
            Dalam peristiwa khitanan orang Sunda menempuh cara-cara tertentu. Jika dalam sebuah keluarga terdapat anak laki-laki yang sudah berumur 6 atau 7 tahun, maka anak itu harus segera dikhitan, apalagi kalau anak itu sudah tamat mengaji, sebab khitanan itu tanda bagi seorang muslim. Akan tetapi dalam tradisi orang Sunda pantang mengkhitan tiga anak laki-laki sekaligus, sebab dalam kepercayaan mereka angka tiga itu disebut nungku. Kalau pantangan itu dilanggar maka dapat saja terjadi saling mengalahkan antara ketiga anak tersebut dan salah seorang dari anak tersebut akan menjadi sukar sembuh atau keluarganya mendapat malapetaka. Kira-kira 4 atau 5 hari lagi anak itu akan dikhitan seluruh tubuhnya diluluri dengan dengan parem beras kencur dan sehari sebelum dikhitan anak itu dibawa keluarganya untuk berziarah ke makam leluhur unrtuk melaksanakan upacara nyekar, ngembang, atau nadran sebagai pemberi tahu kepada para karuhun bahwa cucunya akan dikhitan dengan maksud meminta keselamatan. Sehari sebelumnya anak yang akan dikhitan terlebih dahulu akan disawer sebagai upacara untuk menasihati agar kelak anak itu menjadi anak yang saleh. Bahan sawer itu ialah beras, irisan kunyit, panglay ditambah dengan uang logam. Pada waktu disawer, anak-anak tetangga berebutan untuk mendapatkan uang yang ditaburkan itu. Pada waktunya anak yang akan dikhitan itu dimandikan dengan air bunga dan air beras pagi-pagi sekali. Orang yang mengkhitan disebut paraji sunat atau bengkong.[6]
            Kepercayaan lain yang dipegang oleh masyarakat Sunda adalah dalam peristiwa kehamilan. Bagi perempuan yang sedang hamil, sejak mulai masa ngidam hingga kehamilannya pada bulan kesembilan, perempuan hamil dilarang melihat sesuatu yang jelek atau menjijikkan, tidak boleh melihat monyet atau lutung, tidak boleh melihat orang cacat atau sakit, dan sebagainya. Sebab menurut kepercayaan mereka hal itu akan berpengaruh buruk bagi keadaan bayi yang sedang dikandung. Demikian juga suaminya tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang baik, seperti menyembelih hewan, memotong tanaman, atau membengkokkan besi, sebab menurut kepercayaan, bayi yang dikandung bisa jadi mendapat pengaruh buruk, seperti bengkok tangannya atau kakinya, cacat, dan sebagainya.
            Upacara penting lain yang dianggap penting dalam masyarakat Sunda adalah perkawinan, sebab bagi mereka perkawinan adalah peristiwa sakral. Untuk melakukan sebuah perkawinan harus dicari waktu yang tepat agar perkawinan itu dapat berlangsung kekal. Tidak semua orang dapat mencari hari baik untuk perkawinan, karena berlaku pantangan dan persyaratan bagi orang yang ingin memperdalam hal tersebut. Tirakat merupakan salah satu persyaratannya, yaitu tidak makan, minum, dan tidur dalam jangka waktu tertentu, dan bahkan bisa berlangsung sampai 40 hari lamanya yang disebut matigeni. Selain mengetahui hari baik bagi suatu pekerjaan penting, juga harus tahu tentang penaasan masing-masing. Hari naas biasanya bertepatan dengan hari kematian ayah atau ibunya. Di samping upacara khitanan, kelahiran, dan perkawinan, upacara kematian juga merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan orang Sunda. Pada hari meninggalnya seseorang, kemudian hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan bahkan sampai hari keseribu kematian seseorang itu selalu diperingati dengan suatu upacara.[7]
            Semua upacara ini dilakukan guna ditujukan kepada sesuatu kekuatan supranatural, guna mendatangkan kebaikan dan menghindarkan hidup masyarakat dari pengaruh-pengaruh buruk yang dapat mengganggu keseimbangan kehidupan seseorang atau masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, sebagian orang Sunda masih percaya pada kekuatan magis yang melampaui kekuatan manusia dan dapat memancarkan pengaruh baik atau buruk atas kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, seorang dukun dianggap memiliki kekuatan magis yang melebihi kekuatan manusia lainnya dan ia dapat menggunakan kekuatannya untuk menyembuhkan orang sakit atau juga untuk membuat orang menjadi sakit. Orang Sunda masih mempercayai keberadaan tukang-tukang tenung, teluh yang dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit atau mati. Mereka juga mempercayai dukun-duklun yang dipandang dapat menjadikan orang menjadi jatuh cinta atau benci kepada seseorang, sedangkan orang yang ingin kelihatan awet muda dan selalu tampak cantik menggunakan susuk yang terbuat dari kepingan emas yang dimasukkan di bawah kulit. Susuk juga digunakan untuk menjadikan dirinya kebal. Tumbuh-tumbuhan pun dianggap dapat menambah kekuatan magis manusia, seperti batang tebu, pohon pisang, pinang, kelapa gading, dan lain sebagainya. Masyarakat Sunda juga masih ada yang menggunakan batu cincin dan gelang seperti batu akik, batu wulung, pirus, kuku macam, akar bahar, dan memakai keris, dan sebagainya guna menambah kekuatan magisnya.
            Pada masyarakat Sunda ada anggapan bahwa seluruh kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kosmos yang merupakan suatu kesatuan yang lebih besar. Berbagai kejadian dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesatuannya dengan alam semesta. Kejadian-kejadian ini dipandang memiliki hubungan sebab-akibat dengan alam semesta, sehingga kemudian ketika terjadi sesuatu dalam kehidupan manusia semuanya dikaitkan dalam baik-buruknya relasi seseorang dengan keseluruhan alam semesta.

III.             Penutup
            Dari tulisan singkat ini dapat dilihat bahwa, sama seperti daerah-daerah lain di Nusantara yang masih berpegang pada nilai-nilai adat istiadat dan sistem kepercayaan tradisional, masyarakat Sunda pun mengalami hal yang sama. Kendati sudah menerima pengaruh Islam dan menjadi seorang muslim, tetapi dalam praktek hidup mereka tidak serta merta melepaskan unsur-unsur dalam sistem kepercayaan tradisional. Ada kecendrungan bahwa masyarakat sunda sendiri memasukkan unsur-unsur dalam sistem kepercayaan mereka dalam praktek agama Islam. Di satu sisi mereka mengakui identitas diri mereka sebagai seorang muslim, tetapi di sisi lain mereka tidak melepaskan unsur-unsur dalam sistem kepercayaan mereka.
            Selain itu, masyarakat Sunda berpandangan bahwa hidup ini ditujukan untuk memelihara keseimbangan yang mereka anggap ada dalam alam semesta. Bagi masyarakat Sunda, hidup mereka tidak dapat dilepaskan dari alam semesta. Mereka hidup di dalam alam semesta dan mereka sangat bergantung pada alam semesta. Dalam relasinya dengan alam semesata, mereka mempercayai bahwa ada daya magis yang melampaui kekuatan manusiawi mereka, dan karenanya mereka kemudian juga percaya akan pengaruh roh-roh halus dan kekuatan amgis lainnya yang dapat memberi pengaruh atas jalan hidup mereka, entah itu pengaruh yang baik atau juga pengaruh yang buruk. Segala bentuk kesialan atau nasib buruk yang menimpa mereka ditafsirkan sebagai akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan dalam berelasi dengan alam semesta, termasuk dengan kekuatan-kekuatan magis dari roh-roh halus atau dari arwah nenek moyang. Untuk menghindarkan diri dari peristiwa-peristiwa buruk, mereka kemudian melakukan berbagai ritus dalam sistem kepercayaan mereka guna memperbaharui dan menjaga keseimbangan relasi mereka dengan keseluruhan alam semesta. Atau ritus-ritus itu juga dibuat sebagai upaya meminta pertolongan kepada arwah-arwah nenek moyang atau kekuatan magis lainnya agar pengaruh buruk dari roh-roh jahat tidak menghampiri diri dan hidup mereka.
             Upaya untuk menjaga keselarasan dalam relasi mereka dengan alam semesta atau dengan daya-daya magis lainnya tidak dilakukan hanya ketika mereka mengalami nasib buruk. Sebagai bentuk kepercayaan mereka akan pengaruh daya alam semesta bagi hidup, juga mereka ungkapkan melalui upacara-upacara dalam sistem kepercayaan mereka dalam bebrbagai fase hidup, seperti khitanan, kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Kekuatan yang dimiliki alam semesta, termasuk daya magis dari roh-roh halus dan dari arwah nenek moyang, dipercayai turut memberi pengaruh pada seluruh fase kehidupan mereka. Pada intinya, semua upacara yang dilakukan ini bertujuan untuk meminta berkah dari kekuatan-kekuatan yang melampaui daya manusiawi mereka demi terciptanya keselarasan dan kedamaian dalam keseluruhan rangkaian hidup mereka. Selain itu, agama dan sistem kepercayaan yang mereka anut juga berfungsi sebagai pemberi dan penjaga nilai, serta pegangan bagi orang-orang Sunda dalam menjalani hidup.



Daftar Pustaka
Ekadjati, Edi. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Grimukti Pasaka. 1984.
Rozak, Abdul. Teologi Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
            Kebatinan Perjalanan. Bandung: Kiblat Buku Utama. 2005.
Surjadi, A. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Penerbit Alumni. 1974.




           

               





[1] Menjadi ageman artinya bahwa agama harus menjadi pegangan atau pedomaan untuk hidup bermasyarakat dan   untuk hidup di akhirat kelak (Ekadjati: 1984, 280).
[2] Ekadjati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984), 93-95.
[3] Ibid., 280.
[4] Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi Agama Tentang Aliran Kebatinan Perjalanan, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005), 91-92.
[5] A. Surjadi, Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema (Bandung: Penerbit Alumni, 1974), 114.
[6] Ibid., 291.
[7] Ibid., 294.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar