Agama Islam di Sunda
dan
Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda
I.
Pendahuluan
Indonesia
bisa dikatakan sebagai salah satu Negara yang memiliki perhatian yang besar dalam
mengatur kehidupan beragama masyarakatnya. Sama seperti negara-negara Timur
pada umumnya, agama memiliki kedudukan penting dalam sebuah negara, sebab agama
menjadi pengatur kehidupan masyarakatnya, atau bahkan agama dapat berperan
besar dalam menentukan arah kebijakan negara yang bersangkutan. Masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam kebudayaan (termasuk di dalamnya
berbagai macam sistem kepercayaan tradisional) mau tidak mau
harus menempatkan diri mereka pada agama-agama tertentu ketika pemerintah
menetapkan daftar agama-agama yang diakui, yaitu Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebagai imbasnya, sebagian masyarakat Indonesia
yang sebelumnya sudah memeluk kepercayaan-kepercayaan tradisional tertentu terpaksa
“meninggalkan” kepercayaan mereka dan menggabungkan diri dengan agama-agama
yang disahkan pemerintah, meskipun di antara mereka ini masih banyak yang
menggunakan identitas agama resmi itu hanya sebagai topeng untuk menutupi
praktek-praktek kepercayaan tradisional yang mereka anut.
Pemerintah
Indonesia sendiri menetapkan kriteria-kriteria tertentu dalam pengakuan sebuah
agama, misalnya saja memiliki Tuhan, nabi, kitab suci, dan tempat ibadah. Hal
inilah yang kemudian membuat kepercayaan-kepercayaan tradisional disingkirkan
karena tidak memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan pemerintah. Atau
lebih parahnya lagi pemerintah juga membentuk badan khusus dalam pemerintahan
yang bertugas untuk mengawasi dan mengontrol aktivitas dan ideologi kepercayan-kepercayaan
trasdisional.
Di
samping itu, di Indonesia, agama dapat menjadi penegas identitas kebudayaan
seseorang. Misalnya sajaorang-orang yang berasal dari daerah Bali identik
dengan agama Hindu, orang-orang yang berasal dari daerah NTT identik dengan
agama Kristen, sedangkan orang-orang yang berasal dari daerah Jawa sering diidentikkan
dengan agama Islam. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Sunda, meskipun
tidak semua masyarakat Sunda beragama Islam, namun dalam pandangan umum, Sunda identik dengan Islam. Selain itu, meskipun sebagian
masyarakat Sunda telah memeluk agama Islam atau agama-agama resmi lainnya,
tetapi tetap saja dalam pelaksanaannya masih ada masyarakat yang mempraktekkan
ritus-ritus dari kepercayaan-kepercayaan tradisional. Di
sini dapat dilihat bahwa meskipun sebagian besar masyarakat Sunda memeluk
agama-agama resmi, bukan berarti bahwa dengan itu mereka meninggalkan
praktek-praktek kepercayaan tradisional. Dalam tulisan ini saya akan mencoba
untuk membahas agama (Islam) di Sunda dan sistem kepercayaan
dalam masyarakat Sunda, dan bagaimana
mereka menjalankan praktek-praktek agama Islam dan sistem-sistem kepercayaan
yang mereka anut.
II.
Agama Islam di Sunda dan Sistem
Kepercayaan Masyarakat Sunda
2.1
Agama Islam di Sunda
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, yakni bahwa sebagian besar masyarakat Sunda memeluk agama Islam,
dan sedikit sekali yang memeluk agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu,
Buddha, atau Konghucu. Dengan demikian agama Islam adalah agama sebagian besar
masyarakat Sunda. Orang Sunda kebanyakan taat menjalankan ajaran agama Islam,
seperti menjalankan sembahyang lima waktu, sembahyang Jumat, puasa, membayar
zakat, dan keinginan untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci sangatlah
besar. Menurut pandangan orang Sunda agama itu harus menjadi ageman. Di samping itu, menurut pandangan
orang-orang Sunda, ajaran agama Islam itu harus diamalkan atau dilaksanakan di
dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Islam yang datang ke Indonesia
berasal dari India dan masuk ke tanah Sunda melalui dua pelabuhan utama yang kemudian
berkembang menjadi dua kerajaan, yaitun Cirebon dan Banten. Dari kedua kerajaan
ini kemudian Islam menyebar ke selatan, ke pedalaman Jawa Barat. Dari Cirebon
agama Islam disebarkan ke daerah pedalaman sebelah timur, dan dari Banten ke
daerah pedalaman sebelah Barat dengan batasnya sungai Citarum. Pada akhir abad
ke-16 M seluruh Tanah Sunda telah terjangkau oleh gerakan penyebaran agama
Islam dan berada di bawah kekuasaan Islam dengan pusatnya di Cirebon dan juga Banten. Dalam rangka penyebaran agama Islam itu ditempuh
berbagai cara, sejak dengan ajakan secara damai, pernikahan, media sosial
budaya, ilmu pengetahuan, sampai cara kekerasan senjata. Sambutan masyarakat
Sunda sendiri terhadap ajakan untuk menjadi Islam ini pada umumnya ditanggapi
secara baik sehingga dalam jangka waktu relatif singkat sebagian besar penduduk
Tanah Sunda telah memeluk agama Islam.
Pendidikan agama Islam umumnya
diperoleh sejak anak-anak, kira-kira ketika berusia tujuh tahun, di surau dengan
bimbingan seorang guru ngaji, atau di madrasah-madrasah dengan bimbingan
seorang guru agama. Apabila anak-anak telah tamat mengaji seluruh ayat
al-Quran, maka diadakanlah hataman, dan untuk kenaikan kelas di
madrasah-madrasah diadakan imtihan. Sedangkan
pendidikan agama bagi orang tua diadakan melalui pengajian yang dilakukan
secara rutin. Pengajaran agama ini juga dilakukan ketika hari-hari besar Islam,
dan pada kesempatan-kesempatan seperti ini biasanya diundang Kiai atau Ulama dari daerah lain untuk untuk
memberi pengajaran di depan umum.
2.2
Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda
Di atas telah dijelaskan bahwa
sebagian besar masyarakat Sunda telah memeluk agama Islam. Namun pada
prakteknya unsur-unsur kepercayaan di luar Islam masih dapat dijumpai.
Kehidupan beragama masyarakat Sunda masih dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap
kekuatan makhluk halus atau kepada kekuatan-kekuatan magis, dan hal ini tidak
hanya dijumpai dalam masyarakat Sunda saja, tetapi juga dapat kita jumpai dalam
masyarakat-masyarakat yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan tradisional.
Misalnya saja dalam upacara-upacara perayaan yang berhubungan dengan salah satu
fase dalam hidup manusia, seperti kelahiran dan perkawinan, dan juga dalam
peristiwa mendirikan rumah, menempati rumah baru, atau seusai panen padi. Sebagai
contoh adalah upacara Tarawangsa. Upacara ini adalah upacara untuk
menghormati Dewi Sri, yang dilakukan seusai panen padi. Setelah padi dikeringkan
dan akan diangkut ke lumbung, pada malam harinya dilakukan upacara Tarawangsa.
Upacara Tarawangsa sebenarnya hanya semacam ungkapan kegembiraan dengan
bernyanyi. Sebagai upacara kegembiraan,
nyanyi-nyanyian itu diiringi dengan sejenis rebab yang disebut tarawangsa, kecapi, dan tarian. Tarian
Tarawangsa diiringi dengan tujuh lagu: Pangapungan,
Pangambat, Panganginan, Pamapag, Panimang, Lalayaran, dan Pangbalikan. Lagu-lagu
itu pada umum menceritakan tentang asal mula terjadinya padi. Dikisahkan bahwa sebenarnya padi merupakan pengejawantahan dari Dewi Sri.
Maka supaya Dewi Sri tidak murka karena akan dijadikan makanan oleh masyarakat,
diperlukan upacara sebagai penghormatan kepadanya. Di sisi lain, upacara ini
juga dianggap sebagai upaya bersyukur kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu,
meskipun sekarang sudah memeluk Islam, namun orang Sunda masih melakukan
upacara Tarawangsa, khususnya di daerah Rancakalong. Dari sini bisa
dilihat bahwa masyarakat Sunda masih mencampuradukkan antara beberapa unsur
agama dengan beberapa unsur adat dalam kehidupan mereka.
Kelompok agama Sunda yang masih
memegang adat-istiadat nenek moyang yang tidak beragama Islam adalah masyarakat
Baduy, yang tinggal di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak (Banten). Mereka mengaku
agama Sunda Wiwitan, tetapi apabila
kita teliti sebenarnya mereka juga mengucapkan kalimat Sahadat yang sama dengan
Sahadat umat Islam. Mereka juga mengakui bahwa hanya kabagean Sahadatna wungkul, hanya mendapat Sahadatnya saja,
sedangkan ketentuan lain, seperti sembahyang, puasa, dan lain sebagainya, tidak
mereka ketahui. Memang pada saat-saat awal penyebaran Islam, orang untuk
pertama kali masuk ke dalam agama Islam harus mengucapkan kalimat Sahadat dan
bagi masyarakat Baduy, rupanya setelah mengucapkan Sahadat, lantas tidak
memperoleh kelanjutannya lagi, mungkin karena suatu perkembangan tertentu dalam
masyarakat, sehingga terjadi putus hubungan dengan umat Islam lainnya.
Dalam masyarakat Sunda sendiri
sangat sulit untuk memisahkan antara agama dan sistem
kepercayaan yang masih dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Sunda, sebab bagi
mereka keduanya berfungsi sebagai pengatur sikap dan sistem nilai, sehingga di samping taat menjalankan hukum-hukum agama,
mereka juga masih mempraktekkan upacara-upacara yang tidak terdapat dalam agama
Islam, atau bahkan upacara-upacara yang dilarang di dalam agama Islam. Salah
satu contoh praktek sistem kepercayaan yang bertentangan dengan agama Islam
adalah menjadi kaya dengan jalan munjung
yang bagi umat Islam dianggap menuruti jalan setan. Tempat munjung yang terkenal adalah Gunung Koromong, Kabupaten Cirebon.
Tempat ini sering didatangi oleh orang-orang yang ingin kaya dengan cara yang
cepat. Dalam prakteknya ada beberapa jenis munjung.
Nyengik munjung kepada babi, ngipri
kepada ular, ngetek kepada kera, dan
ada juga kepada buaya putih. Apabila telah
menjadi kaya raya orang yang bersangkutan pada waktu tertentu akan meninggal
dunia sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati, atau bahkan mungkin saja
ia dapat menjelma menjadi binatang-binatang tertentu sesuai dengan kepada apa
orang itu munjungnya (memuja), seperti
anjing, kera, atau babi. Atau ada juga persyaratan lain, yaitu tunji, yaitu anak orang yang munjung itu akan meninggal setiap tahun.
Apabila anak-anaknya telah habis, dapat pula diganti oleh kerabat atau
pelayannya.
Dalam
pikiran orang Sunda, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, batas
antara unsur agama dan unsur sistem kepercayaan tidak disadari lagi. Tidak
mengherankan apabila kemudian muncul sekelompok orang Sunda yang ingin
betul-betul menjalankan Syariat Islam dengan bersumber hanya pada Hadis dan
Quran, sebab mereka ingin menjalankan syariat Islam yang murni tanpa adanya
percampuran dengan unsur-unsur dari sistem kepercayaan tradisional. Di samping
itu, sebagian masyarakat Sunda juga masih percaya kepada roh-roh halus nenek
moyang. Hal ini terutama nampak dalam upacara-upacara sesajen yang ditujukan
kepada arwah karuhun (leluhur), untuk
meminta berkah sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan penting. Sebagian dari
masyarakat Sunda juga masih menaruh kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk
halus yang menempati tempat-tempat tertentu yang suka mengganggu anak-anak, ibu
hamil, atau gadis, sehingga anak-anak, ibu hamil, dan gadis dilarang pergi ke
tempat-tempat tertentu seperti mata air, kuburan, atau tempat yang memiliki
batu atau pohon besar, sebab di situ mereka dapat diganggu oleh roh halus.
Makhluk-makhluk halus orang Sunda dikenal dengan sebutan dedemit, jurig, ririwa, kuntianak, kelong, budak hideung, dan
sebaginya.
Masyarakat
Sunda yang masih mempercayai kekuatan magis menganggap bahwa kekuatan magis
tersebut dapat mempengaruhi seluruh perjalanan hidupnya. Dalam kaitan dengan
hal inilah kemudian masyarakat Sunda melakukan berbagai upacara guna
menghilangkan pengaruh buruk dari datangnya roh-roh halus yang dapat mengganggu
kehidupan manusia.
Dalam
peristiwa khitanan orang Sunda
menempuh cara-cara tertentu. Jika dalam sebuah keluarga terdapat anak laki-laki
yang sudah berumur 6 atau 7 tahun, maka anak itu harus segera dikhitan, apalagi
kalau anak itu sudah tamat mengaji, sebab khitanan itu tanda bagi seorang
muslim. Akan tetapi dalam tradisi orang Sunda pantang mengkhitan tiga anak
laki-laki sekaligus, sebab dalam kepercayaan mereka angka tiga itu disebut nungku. Kalau pantangan itu dilanggar
maka dapat saja terjadi saling mengalahkan antara ketiga anak tersebut dan
salah seorang dari anak tersebut akan menjadi sukar sembuh atau keluarganya
mendapat malapetaka. Kira-kira 4 atau 5 hari lagi anak itu akan dikhitan seluruh
tubuhnya diluluri dengan dengan parem
beras kencur dan sehari sebelum dikhitan
anak itu dibawa keluarganya untuk berziarah ke makam leluhur unrtuk melaksanakan
upacara nyekar, ngembang, atau nadran
sebagai pemberi tahu kepada para karuhun
bahwa cucunya akan dikhitan dengan maksud meminta keselamatan. Sehari
sebelumnya anak yang akan dikhitan terlebih dahulu akan disawer sebagai upacara untuk menasihati agar kelak anak itu
menjadi anak yang saleh. Bahan sawer itu ialah beras, irisan kunyit, panglay ditambah dengan uang logam. Pada waktu disawer, anak-anak tetangga berebutan untuk
mendapatkan uang yang ditaburkan itu. Pada waktunya anak yang akan dikhitan itu
dimandikan dengan air bunga dan air beras
pagi-pagi sekali. Orang yang mengkhitan disebut paraji sunat atau bengkong.
Kepercayaan
lain yang dipegang oleh masyarakat Sunda adalah dalam peristiwa kehamilan. Bagi
perempuan yang sedang hamil, sejak mulai masa ngidam hingga kehamilannya pada
bulan kesembilan, perempuan hamil dilarang melihat sesuatu yang jelek atau
menjijikkan, tidak boleh melihat monyet atau lutung, tidak boleh melihat orang
cacat atau sakit, dan sebagainya. Sebab menurut kepercayaan mereka hal itu akan
berpengaruh buruk bagi keadaan bayi yang sedang dikandung. Demikian juga
suaminya tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang baik, seperti
menyembelih hewan, memotong tanaman, atau membengkokkan besi, sebab menurut
kepercayaan, bayi yang dikandung bisa jadi mendapat pengaruh buruk, seperti
bengkok tangannya atau kakinya, cacat, dan sebagainya.
Upacara
penting lain yang dianggap penting dalam masyarakat Sunda adalah perkawinan,
sebab bagi mereka perkawinan adalah peristiwa sakral. Untuk melakukan sebuah
perkawinan harus dicari waktu yang tepat agar perkawinan itu dapat berlangsung
kekal. Tidak semua orang dapat mencari hari baik untuk perkawinan, karena
berlaku pantangan dan persyaratan bagi orang yang ingin memperdalam hal
tersebut. Tirakat merupakan salah satu persyaratannya, yaitu tidak makan,
minum, dan tidur dalam jangka waktu tertentu, dan bahkan bisa berlangsung
sampai 40 hari lamanya yang disebut matigeni.
Selain mengetahui hari baik bagi suatu pekerjaan penting, juga harus tahu
tentang penaasan masing-masing. Hari
naas biasanya bertepatan dengan hari kematian ayah atau ibunya. Di samping
upacara khitanan, kelahiran, dan perkawinan, upacara kematian juga merupakan
suatu hal yang penting dalam kehidupan orang Sunda. Pada hari meninggalnya
seseorang, kemudian hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan bahkan sampai hari
keseribu kematian seseorang itu selalu diperingati dengan suatu upacara.
Semua
upacara ini dilakukan guna ditujukan kepada sesuatu kekuatan supranatural, guna
mendatangkan kebaikan dan menghindarkan hidup masyarakat dari pengaruh-pengaruh
buruk yang dapat mengganggu keseimbangan kehidupan seseorang atau masyarakat
secara keseluruhan. Dengan kata lain, sebagian orang Sunda masih percaya pada
kekuatan magis yang melampaui kekuatan manusia dan dapat memancarkan pengaruh
baik atau buruk atas kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, seorang dukun dianggap memiliki kekuatan magis yang melebihi kekuatan manusia lainnya dan ia dapat
menggunakan kekuatannya untuk menyembuhkan orang sakit atau juga untuk membuat
orang menjadi sakit. Orang Sunda masih mempercayai keberadaan tukang-tukang tenung, teluh yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi sakit atau mati. Mereka juga mempercayai
dukun-duklun yang dipandang dapat menjadikan orang menjadi jatuh cinta atau
benci kepada seseorang, sedangkan orang yang ingin kelihatan awet muda dan
selalu tampak cantik menggunakan susuk
yang terbuat dari kepingan emas yang dimasukkan di bawah kulit. Susuk juga digunakan untuk menjadikan
dirinya kebal. Tumbuh-tumbuhan pun dianggap dapat menambah kekuatan magis
manusia, seperti batang tebu, pohon pisang, pinang, kelapa gading, dan lain
sebagainya. Masyarakat Sunda juga masih ada yang menggunakan batu cincin dan gelang seperti batu akik,
batu wulung, pirus, kuku macam, akar bahar, dan memakai keris, dan
sebagainya guna menambah kekuatan magisnya.
Pada
masyarakat Sunda ada anggapan bahwa seluruh kehidupan manusia tidak dapat
dipisahkan dari keseluruhan kosmos yang merupakan suatu kesatuan yang lebih
besar. Berbagai kejadian dalam kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari
kesatuannya dengan alam semesta. Kejadian-kejadian ini dipandang memiliki
hubungan sebab-akibat dengan alam semesta, sehingga kemudian ketika terjadi
sesuatu dalam kehidupan manusia semuanya dikaitkan dalam baik-buruknya relasi
seseorang dengan keseluruhan alam semesta.
III.
Penutup
Dari tulisan singkat ini dapat dilihat bahwa, sama seperti
daerah-daerah lain di Nusantara yang masih berpegang pada nilai-nilai adat
istiadat dan sistem kepercayaan tradisional, masyarakat Sunda pun mengalami hal
yang sama. Kendati sudah menerima pengaruh Islam dan menjadi seorang muslim,
tetapi dalam praktek hidup mereka tidak serta merta melepaskan unsur-unsur
dalam sistem kepercayaan tradisional. Ada kecendrungan bahwa masyarakat sunda
sendiri memasukkan unsur-unsur dalam sistem kepercayaan mereka dalam praktek
agama Islam. Di satu sisi mereka mengakui identitas diri mereka sebagai seorang
muslim, tetapi di sisi lain mereka tidak melepaskan unsur-unsur dalam sistem
kepercayaan mereka.
Selain
itu, masyarakat Sunda berpandangan bahwa hidup ini ditujukan untuk memelihara
keseimbangan yang mereka anggap ada dalam alam semesta. Bagi masyarakat Sunda,
hidup mereka tidak dapat dilepaskan dari alam semesta. Mereka hidup di dalam
alam semesta dan mereka sangat bergantung pada alam semesta. Dalam relasinya
dengan alam semesata, mereka mempercayai bahwa ada daya magis yang melampaui
kekuatan manusiawi mereka, dan karenanya mereka kemudian juga percaya akan pengaruh
roh-roh halus dan kekuatan amgis lainnya yang dapat memberi pengaruh atas jalan
hidup mereka, entah itu pengaruh yang baik atau juga pengaruh yang buruk.
Segala bentuk kesialan atau nasib buruk yang menimpa mereka ditafsirkan sebagai
akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan dalam berelasi dengan alam semesta,
termasuk dengan kekuatan-kekuatan magis dari roh-roh halus atau dari arwah
nenek moyang. Untuk menghindarkan diri dari peristiwa-peristiwa buruk, mereka
kemudian melakukan berbagai ritus dalam sistem kepercayaan mereka guna
memperbaharui dan menjaga keseimbangan relasi mereka dengan keseluruhan alam
semesta. Atau ritus-ritus itu juga dibuat sebagai upaya meminta pertolongan
kepada arwah-arwah nenek moyang atau kekuatan magis lainnya agar pengaruh buruk
dari roh-roh jahat tidak menghampiri diri dan hidup mereka.
Upaya untuk menjaga keselarasan dalam relasi
mereka dengan alam semesta atau dengan daya-daya magis lainnya tidak dilakukan
hanya ketika mereka mengalami nasib buruk. Sebagai bentuk kepercayaan mereka
akan pengaruh daya alam semesta bagi hidup, juga mereka ungkapkan melalui
upacara-upacara dalam sistem kepercayaan mereka dalam bebrbagai fase hidup,
seperti khitanan, kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Kekuatan yang
dimiliki alam semesta, termasuk daya magis dari roh-roh halus dan dari arwah
nenek moyang, dipercayai turut memberi pengaruh pada seluruh fase kehidupan
mereka. Pada intinya, semua upacara yang dilakukan ini bertujuan untuk meminta
berkah dari kekuatan-kekuatan yang melampaui daya manusiawi mereka demi
terciptanya keselarasan dan kedamaian dalam keseluruhan rangkaian hidup mereka.
Selain itu, agama dan sistem kepercayaan yang mereka anut juga berfungsi
sebagai pemberi dan penjaga nilai, serta pegangan bagi orang-orang Sunda dalam
menjalani hidup.
Daftar Pustaka
Ekadjati, Edi. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Grimukti Pasaka. 1984.
Rozak, Abdul. Teologi
Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan. Bandung: Kiblat Buku Utama. 2005.
Surjadi, A. Masyarakat
Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Penerbit Alumni. 1974.