Senin, 04 November 2019

Refleksi Filosofis atas Simbol Religius (Filsafat Paul Ricoeur)


1.                  Pengantar
Bagi Ricoeur, simbo-simbol tidak hanya memiliki makna di dalam dirinya, tetapi juga mengacu kepada makna di luar dirinya, yaitu kepada kehidupan kita dan kepada dunia. Baginya simbol-simbol yang berasal dari zaman lampau, khususnya simbol-simbol religius, dapat memiliki makna bagi manusia modern dewasa ini. Dalam hal ini, adalah tugas hermeneutik untuk menyingkap makna yang terkandung dalam sebuah simbol dan menghadirkannya kembali bagi manusia modern untuk untuk menambah pemahaman dia akan dirinya  dan akan dunianya.
2.                  Tugas Hermeneutik
Menurut Beatriz Couch dalam teorinya tentang simbol, Ricoeur berasumsi bahwa filsafat memiliki peran penting dalam menginterpretasi simbol, terutama simbol religius. Penyelidikan filosofis menjadi pertemuan kreatif antara hermeneutik dan fenomenologi dalam menginterpretasi simbol-simbol. Dalam rangka menjalankan tugas ini (interpretasi simbol) Ricoeur memulainya dengan bahasa sebagaimana terkandung dalam simbol-simbol tersebut. Bagi Ricoeur bahasa mitis dan simbolik menjadi sumber bagi manusia untuk memperoleh pemahaman mengenai dirinya. Ricoeur menempuh jalan semantik untuk sampai pada pemahaman ontologi. Jalan tidak langsung melalui simbol dan melalui interpretasi adalah kunci bagi filsafat hermeneutik Ricoeur.[1]
Simbolisme merupakan bahasa pada levelnya yang tertinggi, dan karenanya simbolisme secara tidak langsung mengungkapkan dimensi-dimensi eksistensi manusia yang tidak dapat direduksi hanya sebatas pada abstraksi-abstraksi konseptual. Simbol menggambarkan realitas dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh pemikiran filosofis ataupun pemikiran saintifik. Oleh karena simbol menyatukan pra-kesadaran dengan kesadaran, simbol melampaui pemikiran filosofis dalam melukiskan kondisi-kondisi terbatas yang dimiliki eksistensi manusia. Hal ini hendak mengatakan bahwa, tidak ada cara lain untuk mengakses pemahaman akan pengalaman-pengalaman tertentu, seperti kejahatan, kecuali melalui interpretasi bahasa simbolik, yang menunjuk pada situasi eksistensial manusia.[2]
Tugas hermeneutik berkaitan erat dengan penyingkapkan simbol, dan baik simbolisme maupun interpretasi atas simbol berhubungan erat dengan pemahaman seseorang akan dirinya dan akan dunianya. Semua simbol dan mitos berbicara tentang manusia yang berada dalam proses kemenjadian. Singkatnya, pemahaman mengenai “siapakah diriku” diperoleh melalui interpretasi atas simbol dan tanda, entah simbol atau tanda tersebut dieksperesikan melalui mitos, mimpi, atau puisi. Lebih lanjut, menurut Beatriz Couch, Ricoeur beranggapan bahwa relasi dialektikal antara beragam metode hermeneutik memungkinkan kita untuk sampai pada pemahaman yang lebih mendalam tentang subjek yang sedang ditelaah. Metode yang digunakan Ricoeur mengungkapkan pandangannya tentang kebenaran. Kebenaran bagi Ricoeur adalah perjalanan bersama dengan yang lain, kebenaran adalah sebuah masa depan dan sebuah jalan yang harus diikuti.[3]
3.                  Hermeneutik Simbolisme Kejahatan
Dari sudut pandang semantik, pengungkapan simbol secara literer menunjuk pada sebuah makna eksistensial. Sebuah simbol tidak hanya bersifat kognitif melainkan juga operatif, yaitu simbol tidak hanya menghadirkan kembali apa yang ditandakannya melainkan juga berelasi dengan apa yang ditandakannya. Ricoeur menyebutnya sebagai keterbukaan ontologis simbol. Menurut Ricoeur, inilah keunggulan sebuah simbol, menghubungkan bahasa yang berbeda dalam beragam cara dan menyatukannya dengan apa yang ditandakannya. Simbol mampu menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, antara manusia dalam ruang tertentu dengan benda-benda, antara individu dengan komunitas, dan antara manusia dalam kosmos dengan totalitas.[4]
Misalnya saja bagaimana Ricoeur “mementaskan kembali” pengalaman akan “kejahatan” sebagaimana terkandung dalam simbol noda-dosa-rasa bersalah. Dalam simbolisme kejahatan, Ricoeur bermaksud menunjukkan transisi manusia dari kondisi “dapat berbuat salah” kepada kondisi “berbuat bersalah”. Kejahatan itu selalu mendahului pengalaman manusia akan kejahatan, sehingga setiap manusia tidak dapat tidak mengakui adanya kejahatan. Menurut Ricoeur, bentuk paling kuno pengalaman manusia akan kejahatan ditemukan dalam gambaran tentang “noda”. Noda dijelaskan dan dialami melalui skema eksterioritas manusia. Noda adalah “peristiwa” quasi-material dan “menjangkiti” kemanusiaan melalui kontak langsung. Noda mengakibatkan hilangnya kemurnian etis seseorang, dan kondisi terjangkit “noda” memerlukan ritus pemurnian. Noda disadari sebagai “peristiwa obyektif” yang menimbulkan ketakutan atau “teror etis” pada pelakunya dan menuntut hukuman setimpal untuk pemurnian kembali, yakni “memulihkan tatanan”.[5]
Gambaran “noda” yang eksternal kemudian ditransformasikan ke dalam konsep internal tentang “dosa”. Jika simbolisme noda berasal dari bangsa kuno yang tidak mengenal konsep Allah, maka simbolisme dosa berasal dari bangsa yang mengenal konsep Allah. Dosa dipahami dalam relasi antara manusia dengan Allah. Simbol dosa berkaitan dengan hilangnya tujuan, jalan yang berbelit-belit, pemberontakan, dan ketersesatan manusia dari kehendak Allah. Dalam hal ini “seorang pendosa” adalah ia yang pergi jauh dari Allah, atau melupakan Allah. Hal ini membawa orang pada pemahaman akan konsep tentang penyembahan berhala dan konsep tentang Allah yang pecemburu.[6]
Selanjutnya simbol dosa beralih ke simbol “rasa bersalah”. Rasa bersalah bersifat subjektif, sedangkan noda dan dosa bersifat objektif. Rasa bersalah merupakan tahapan pengakuan dalam arti yang sesungguhnya, karena ketika dalam noda, saya masih menuduh yang lain, dalam dosa saya tertuduh, sedangkan baru dalam kesalahan saya menuduh diriku sendiri.[7] Sekalipun dalam rasa bersalah terjadi pergerakan dari kesadaran religius menjadi kesadaran etis, Ricoeur tidak memaksudkan konsep Allah dapat ditinggalkan sama sekali. Konsep rasa bersalah tetap perlu dirujukkan pada simbol yang lebih primordial, yakni noda dan dosa.[8]
Lebih lanjut, menurut Beatriz Couch, bagi Ricoeur tiga level pengalaman manusia akan kejahatan, noda-dosa-rasa salah, terhubung dalam bentuk naratif mitos-mitos. Mitos dapat dipandang sebagai simbol dalam bentuk narasi. Ricoeur menunjuk tiga fungsi mitos yaitu: 1) menghadirkan kembali pengalaman universal manusia yang konkret melalui bahasa simbolis, 2) memperkenalkan sebuah tegangan historis dalam pengalaman ini (yaitu awal dan akhir), 3) mengekplorasi jarak antara perasaan tidak bersalah dan perasaan bersalah.[9]
Ricoeur membedakan empat macam mitos, yaitu: mitos penciptaan dunia, mitos visi “tragedi” eksistensi manusia, mitos kejatuhan manusia, dan mitos jiwa yang terasing. Mitos penciptaan memberikan jawaban alternatif atas pertanyaan “dari mana saya berasal?” Contoh dari mitos jenis ini mitos Enuma elish dari Babilonia atau kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Satu hal penting yang ditemukan Ricoeur dalam refleksinya adalah bahwa yang baik itu lebih purba dari pada yang jahat.[10] Dalam mitos ini hendak ditampilkan dua kepercayaan dari orang-orang zaman dahulu: 1) Segala sesuatu yang ada di dunia memiliki asal-usulnya dan 2) kejahatan bersifat primordial yang tampak dalam wujud ketidakteraturan dan kemudian diatur secara tertata menjadi suatu dunia.[11]
Mitos visi “tragedi” eksistensi manusia berpusat pada pemahaman tentang dewa yang licik, contohnya adalah mitos Prometheus dan Oedipus dalam tragedi Yunani. Dalam visi tragedi kita dihadapkan pada pertentangan antara seorang superhero yang takdirnya ditentukan oleh dewa melawan dewa yang pencemburu. Dalam hal ini kejahatan diasalkan pada dewa yang keji dan pecemburu. Visi tragis adalah sebuah tontonan, bukan mendengarkan cerita sebagaimana mitos penciptaan. Intensi tersembunyi dari visi tragis ialah pembebasan atau penyucian bagi objek tontonan melalui pengalamannya dan juga bagi para penonton melalui kesaksian mereka akan peristiwa tersebut.[12]
Tipe ketiga adalah mitos kejatuhan manusia atau mitos Adamis. Mitos ini adalah mitos antropologis. Mitos Adamis sering dibandingkan dengan mitos Prometheus (Yunani) yang lebih dekat dengan mitos visi tragedi. Menurut Ricoeur, mitos Adamis lebih spesial ketimbang mitos Prometheus sebab dalam mitos Adamis asal-susl kejahatan murni ditempatkan dalam diri manusia – inilah alasan mengapa mitos Adamis disebut sebagai mitos antropologis, sebab tidak ada pihak lain selain manusia yang dapat disalahkan atas hadirnya kejahatan di dunia. Intensi tersembunyi kisah ini ialah manusia berdosa – namun ia tidak seluruhnya jatuh dan tersesat. Intensi kedua ialah bahwa mitos ini hendak memisahkan asal-mula kejahatan dari asal-mula kebaikan. Kejahatan bersifat radikal karena dihadirkan ke dalam dunia oleh tindakan pelaku kejahatan itu sendiri.[13]
Mitos keempat adalah mitos jiwa yang terasing. Dalam mitos ini manusia memahami dirinya sama dengan jiwanya tetapi jiwanya berbeda dengan badannya. Mitos ini tampak dalam kisah Orpheus dalam mitologi Yunani. Mitos ini memberikan gambaran tentang daya eskatologis yang dimiliki tubuh; tubuh dapat mati, sedangkan jiwa bersifat kekal. Tema lain dari mitos ini ialah tentang “penghukuman neraka”.[14]
Menurut Beatriz Couch, dalam mitos Adamis manusia tidak lagi menjadi sasaran amarah para dewa yang jahat. Berbeda dengan Adam yang kebebasannya dianugerahkan Allah. Kebebasan Prometheus adalah kebebasan hasil pertentangannya dengan para dewa, dan bukan hasil sebuah partisipasi. Kebebasan yang ia peroleh adalah hasil rampasan, yang tidak diberikan secara tulus oleh dewa-dewa kepada manusia, melainkan diperoleh melalui pertentangan dan murkanya kepada Zeus.[15]
Sedangkan Oedipus, menurut Ricoeur, lebih merupakan tragedi tentang kebenaran, khususnya tentang pengetahuan diri (self-knowledge). Rasa bersalah Oedipus dalam tragedi ini bukanlah rasa bersalah yang ditimbulkan karena permasalahan seksual, melainkan lebih pada kemarahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Tragedi yang dialami Oedipus disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang ia miliki; ia membunuh ayah dan menikahi ibunya karena ia tidak tahu. Oedipus merepresentasikan kesombongan manusia yang tampak dalam relasinya dengan figur yang memiliki kebenaran, Tiresias. Bagi Ricoeur, tragedi ini adalah tragedi Oedipus sang Raja, bukan Oedipus sang pembunuh ayahnya atau Oedipus yang berhubungan incest dengan ibunya. Hubungan antara Oedipus, amarah, dan kekuatan kebenaran adalah pusat dalam tragedi Oedipus.[16]Selanjutnya menurut Beatriz Couch, interpretasi dialektis atas mitos-mitos ini mengantar kita untuk menemukan beberapa sifat kodrat manusia.
Adam juga berkehendak untuk memiliki kebenaran dan menjadi pusat kebenaran, bukan karena ia adalah raja yang angkuh sebagaimana Oedipus, namun karena ia memiliki kehendak yang memberinya kekuatan untuk menjadi seperti Allah.[17] Kesombongan Adam dan Oedipus menyudahi rantai drama mereka. Adam telah diberi kekuasaan atas segenap ciptaan (Kejadian 1 & 2), namun ia berhasrat untuk memiliki kekuasaan yang lebih, “matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:5). Di sini perjuangan untuk mendapatkan kebenaran didorong oleh semangat kekuasaan dan kesombongan. Kedua tokoh ini memperoleh pengetahuan tentang diri, namun pengetahuan ini diperoleh bukan melalui kebebasan, namun merupakan produk dari kesombongan dan hasrat akan kekuasaan.[18]
4.                  Penutup & Tanggapan
Sebagaimana telah kita lihat, Ricoeur telah menunjukkan nilai universalitas simbol dan mitos. Simbol dan mitos yang dibuat pada zaman purbakala ternyata tidak hanya relevan pada zamannya, namun juga relevan bagi masyarakat modern. Melalui metode hermeneutiknya, Ricoeur mampu menarik makna yang terkandung dalam simbol dan mitos tertentu untuk dihadirkan kembali bagi masyarakat modern. Makna yang ditarik dari simbol dan mitos dan yang dihadirkan kembali kepada para pembaca modern diharapkan mampu berbuah bagi kehidupan orang-orang modern. Makna yang terkandung dalam simbol mampu memunculkan pemikiran bagi manusia modern untuk melihat kembali dan memperluas pemahaman tentang dirinya dan dunianya. Manusia modern masih dapat mempercayai mitos yang berasal dari masa lampu melalui hermeneutika.
Bagaimana mitos dari masa lampau dapat berbicara bagi manusia modern kita jumpai dalam tafsir Ricoeur atas fenomena kejahatan. Fenomena kejahatan yang direfleksikan oleh manusia purba sebagaimana terutang dalam simbol dan mitos (misalnya dalam mitos Adamis) menunjukkan bahwa fenomena kejahatan terkait langsung dengan penyalahgunaan kebebasan manusia. Dalam hal ini Ricoeur memandang bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik. Kejahatan memang datang dari diri manusia, namun bukan karena kodrat manusia yang buruk (sebagaimana diyakini Agustinus dalam gagasannya tentang “dosa asal”), namun karena kesalahan manusia dalam menyalahgunakan kebebasannya.
Selain itu, hermeneutik Ricoeur atas teks-teks sakral kiranya membantu orang untuk beriman secara kritis. Melalui tafsirnya atas simbol dan mitos dalam Kitab Suci kita dimampukan untuk melihat makna universal yang terkandung dalam teks dan simbol tersebut, sehingga kita tidak menafsirkan teks-teks yang dianggap sakral tersebut secara harafiah. Teks-teks tersebut memang terikat pada konteks kemunculannya, namun teks-teks tersebut perlu dibaca secara baru dan secara kritis oleh orang-orang modern. Penafsiran teks-teks sakral secara harafiah dan tidak disertai sikap kritis hanya akan mengantar para pembacanya kepada fanatisme sempit. Sebaliknya menafsirkan teks-teks tersebut secara kritis memampukan orang untuk menyingkap makna yang terkandung dalam teks-teks tersebut untuk dihayati dan dihidupi, dan juga untuk memperluas pemahamannya akan dirinya sendiri dan akan dunianya.

Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.  Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. 2015.
Reagan, Charles E (Ed.). Studies in the Philosophy of Paul Ricoeur. Ohio: Ohio University Press. 1979.
Sastrapratedja, M. Hermeneutika Paul Ricoeur: Bahan Kuliah Antropologi Filosofis. Jakarta: STF Driyarkara.
Simms, Karl. Paul Ricoeur. NewYork: Routledge. 2003.




[1] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, dalam Charles E. Reagan, Studies in the Philosophy of Paul Ricoeur, Ohio: Ohio University Press, 1979, hal. 117.
[2] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 117.
[3] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 117-118.
[4] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 119-120.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,  Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2015, hal. 249-250.
[6] Karl Simms, Paul Ricoeur, NewYork: Routledge, 2003, hal. 22-23.
[7] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 23.
[8] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 121.
[9] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 121.
[10] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,  hal. 252-253.
[11] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 24.
[12] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 25.
[13] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 25.
[14] Karl Simms, Paul Ricoeur, hal. 26.
[15] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 122.
[16] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 122.
[17] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 123.
[18] Beatriz Melano Couch, Religious Symbols and Philosophical Reflection, hal. 123.

Teologi Sejarah Joachim Fiore



I.                   Pengantar
Joachin Fiore (1135-1202) dikenal sebagai salah satu pemikir apokaliptik yang berpengaruh setelah pengarang Kitab Wahyu. Warisan spiritualnya melampaui abad pertengahan dan masih hidup hingga saat ini. Meskipun dalam Konsili Lateran IV (1215) Paus Inocentius III mengutuk karyanya (De unitate seu essentia Trinitatis) yang merupakan kritik Joachim atas pemikiran Petrus Lombardus tentang Trinitas, namun oleh Dante ia dipuja sebagai seorang yang “dianugerahi roh kenabian”. Oleh Thomas Aquinas ia dinilai gagal memahami ketajaman pemikiran Petrus Lombardus, namun oleh kaum Fransiskan Spiritual ia dipandang sebagai bentara gerakan mereka. Joachim Fiore adalah seorang tokoh yang penuh kontroversi namun sekaligus memainkan peran penting dalam perkembangan teologi abad pertengahan.[1]Dalam abad 20, Joachim dipandang sebagai figur berbahaya oleh beberapa tokoh. Eric Voegelin menilai Joachim bertanggung jawab atas munculnya “semangat Gnostik” dalam politik modern, sedangngkan Henri de Lubac melihat bahwa Joachim menjadi inisiator bagi lahirnya konsep-konsep sejarah yang terbagi dalam tiga tahap dengan Kristus sebagai pusatnya.[2]
Secara garis besar makalah ini akan membahas pandangan teologi sejarah Joachim Fiore. Makalah ini terbagi atas tujuh bagian. Bagian pertama makalah ini adalah pengantar, dan dilanjutkan bagian kedua yang akan memaparkan riwayat hidup Joachim Fiore. Pada bagian ketiga akan dipaparkan konteks pemikiran, khususnya pemikiran mengenai teologi sejarah pada zaman sebelum Joachim Fiore yang diwakili oleh gagasan teologi sejarah Eusebius Caesarea dan Agustinus. Selanjutnya pada bagian keempat akan dipaparkan konteks sosial yang melatarbelakangi pemikiran Joachim Fiore. Pada bagian kelima, yang menjadi bagian inti makalah ini, akan dipaparkan gagasan teologi sejarah Joachim Fiore. Bagian kelima dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas tentang “dua pembabakan sejarah” dan bagian kedua tentang “tiga pembabakan sejarah” dalam teologi sejarah Joachim Fiore. Selanjutnya pada bagian keenam akan dibahas pengaruh pemikiran Joachim Fiore bagi zaman setelah dirinya. Terakhir, bagian ketujuh, pemakalah akan menampilkan relevansi pemikiran Joachim Fiore yang sekaligus merupakan penutup makalah ini.
II.                Riwayat Hidup
Joachim lahir pada tahun 1135 di Celico, Italia Selatan. Terdapat dua tradisi mengenai asal-usulnya. Tradisi yang pertama merujuk pada kutipan dalam Expositio in Apocalypsim di mana Joachim menyebut dirinya sebagai petani. Tradisi ini kurang meyakinkan, dan dinilai sebagai sebuah referensi dan alegori biblis. Tradisi kedua, merujuk pada penulis awal biografinya, Joachim adalah anak dari seorang notaris pengadilan kerajaan Norman.[3] Joachim dididik di Cosenza, dan setelah menyelesaikan studinya ia sempat bekerja sebagai notaris di kanselir kerajaan Palermo bersama dua notaris ternama dari Kerajaan Norman, yaitu Peregrinus dan Sanctorus. Ia kemudian berhenti dari pekerjaannya sebagai notaris dan memutuskan berziarah ke Tanah Suci (1168).[4]
Dalam ziarahnya ke Tanah Suci, tepatnya di Gunung Tabor, dikisahkan bahwa ia mendapat visiun. Visiun tersebut adalah yang pertama dari tiga visun yang ia alami, dua lainnya ia alami di biara Cistercian, Casmari. Dalam visiun pertama ini Joachim dianugerahi kemapuan untuk membaca dan memahami teks-teks Kitab Suci. Dalam dua visiun lainnya di biara Cistercian (1184) Joachim dianugerahi “kecerdasan spiritual” (Spiritum intelligentiae), yang memampukan dia mengiterpretasikan pola-pola sejarah dan perkembangan sejarah menuju akhir zaman sebagaimana diwahyukan dalam teks-teks Kitab Suci. Setelah mengalami visiun di Casmari, Joachim memperoleh pemahaman yang lebih matang tentang apokaliptik sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya yang utama, yakni Liber concordia Novi ac Veteris Testamenti, Expositioin Apocalypsim, Psalterium decem chordarum, dan Liber figurarum. Joachim mengembangkan pola “dua” dan “tiga” pembabakan dalam teologi sejarahnya. “Pola dua” didasarkan pada dua Perjanjian dalam Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), dan “pola tiga” didasarkan pada tiga pribadi Trinitas.[5]
Setelah mendapat pewahyuan di Tanah Suci ia kembali ke Italia, dan dalam periode waktu tertentu ia tinggal di sebuah gua dekat biara Yunani, dekat gunung Etna di Sisilia. Setelah itu, Joachim masuk biara Cistercian di Sambucina, Sisilia, tanpa menerima jubah. Akan tetapi karena tidak mengenakan jubah, Gereja mengkritiknya sebagai seorang pengkhotbah awam, dan karenanya ia kemudian mau mengenakan jubah Cistercian di Corazzo.[6] Tahun 1168 ia ditahbiskan, dan tahun 1177 dipilih menjadi abbas di Corazzo. tahun 1191 ia meninggalkan Corazzo dan tinggal di Fiore, di mana ia mendirikan ordo baru yaitu ordo St. John yang mendapat persetujuan Paus pada tahun 1196.[7] Ia meninggal tahun 1202 di Calabria, ujung selatan Italia.[8]
Dalam Konsili Lateran IV (1215) pemikiran Joachim, khususnya tentang Trinitas, dianggap sesat dan dikutuk oleh Gereja. Dalam karyanya De unitate seu essentia Trinitatis Joachim secara terang-terangan menentang Sentences Petrus Lombardus. Dalam Sentences (Book i, Dist. 5, Ch. 1) Petrus Lombardus mengajukan pertanyaan, apakah Bapa memperanakkan esensi ilahi, atau apakah Bapa memperanakkan Putera, atau apakah esensi ilahi memperanakkan dirinya sendiri, ataukah esensi ilahi tidak memperanakkan atau diperanakkan. Petrus Lombardus kemudian menyimpulkan bahwa karena esensi ilahi adalah sesuatu, dan sungguh merupakan sesuatu yang tertinggi, dan karena sesuatu tidak memperanakkan dirinya sendiri, esensi ilahi dengan demikian tidak diperanakkan atau memperanakkan.[9]
Joachim menganggap bahwa ketika Petrus Lombardus menyebut esensi ilahi sebagai “sesuatu” maka Petrus Lombardus memaksudkan sebuah konsep kuaternitas, bukan Trinitas, yang terdiri dari tiga pribadi ilahi dan esensi bersama dari ketiganya sebagai realitas keempat. Akibatnya, Joachim menuduh Petrus Lombardus sebagai heresi.[10] Sayangnya, Konsili Lateran justru melihat Joachim salah memahami pandangan Trinitas Petrus Lombardus dan justru menganggap Joachim sebagai heresi. Dalam konsili Lateran IV, Paus Inocentius III menyatakan: “kami, dengan berlandaskan pada persetujuan Konsili Suci berkeyakinan dan sepengakuan dengan Petrus Lombardus...”. Dengan demikian, jelas bahwa menurut Paus Inocentius III Petrus Lombardus tidak sedang mengusung paham kuaternitas, tetapi Joachim – dalam pemahamannya atas Petrus Lombardus- salah menilai esensi analogi Petrus Lombardus.[11]
Joachim menulis tiga karya besar, yakni: Concordance to the New and Old Testaments (1189), Exposition of the Apocalypse (1196­), dan Psaltery of Ten Strings (1200). Tahun 1254 karyanya dipublikasikan di Paris oleh seorang Fransiskan bernama Gerard dari Borgo San Donnino dengan judul The Eternal Gospel.[12]
III.              Konteks Pemikiran
Dalam alam pikir Kristen, Joachim diperhitungkan sebagai salah satu teolog sejarah yang berpengaruh. Bersama dengan Eusebius Caesarea dan Agustinus, Joachim disebut memiliki pengaruh yang besar bagi pandangan Kekristenan tentang sejarah. Padangan apokaliptik teologi sejarah Joachim disejajarkan dengan optimistis teologi politik Eusebius Caesarea dan pesimistis teologi internalisasi Agustinus.[13] Teologi sejarah Eusbius (260-340) dan Agustinus (354-430) lahir dalam rentang waktu antara tahun 315 sampai 425 di mana terjadi perubahan dramatis dalam dunia kuno, khususnya dalam dunia Kekristenan. Pertama peralihan dari Kekaisaran Romawi kepada Kekristenan dan kemudian kejatuhan Kekaisaran Kristen oleh invasi kaum Barbar serta kelemahan-kelemahan internal Kekaisaran Kristen.[14]
Eusebius melihat bahwa aliansi antara kekuasaan politik kekaisaran Roma dengan Gereja Katolik merupakan bentuk penyelenggaraan Ilahi. Eusebius menemukan legitimasi atas pemikirannya ini bukan hanya dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan Kerajaan Israel sebagai kerajaan Allah di dunia, tetapi juga di dalam nubuat mesianik yang diinterpretasi sebagai ramalan atas pemerintahan kaisar Konstantinus.[15]
Karya Eusebius, Chronica, adalah usaha paling ambisiusnya dalam membandingkan sejarah sekular dengan kejadian-kejadian dalam Kitab Suci. Karya ini diterjemahkan Hieronimus dan menjadi kerangka sejarah umum Kekristenan selama beberapa abad. Lebih jauh, identifikasi Eusebius atas takdir Gereja dan Roma dapat dilihat sebagai versi Kristiani dari teologi politik Yunani dan Romawi kuno, yang menolak pembedaan antara agama dan politik. Gereja dan kekaisaran adalah “dua kekuatan yang mengalir dari satu aliran”. Pandangan Eusebius kemudian menjadi akar bagi perkembangan pandangan pemerintahan teokrasi Kristen tentang sejarah, entah itu variasi dari kekaisaran ataupun dari kepausan.[16]
Berbeda dengan pandangan Eusebius yang cenderung optimis, teologi sejarah Agustinus dalam arti tertentu berciri pesimistik dan sekular. Pandangan Agustinus bersifat pesimistik dalam arti bahwa doktrinnya tentang dosa asal meyakinkan dia bahwa harapan akan keadaan yang lebih baik di dalam dunia lahiriah adalah sebuah ilusi. Sejarah dunia dan kerajaan-kerajaan sejak zaman Adam selalu merupakan sebuah tragedi. Sama seperti Bapa-bapa Gereja lainnya, Agustinus meyakini bahwa penyelenggaraan Allah bekerja dalam sejarah, namun ia menegaskan bahwa penyelenggaraan tersebut bekerja secara tersembunyi.[17]
Oleh karena itu dalam City of God Agustinus mensekulerkan sejarah dunia dengan menghapus aura kesakralannya. Ia melihat kebangkitan dan kejatuhan kekaisaran-kekaisaran, termasuk Roma, tidak ada hubungannya dengan “rencana Allah”. “Rencana Allah” yang dimaksud Agustinus adalah didirikannya Kota Allah yang tak dapat dilihat, yang berisikan orang-orang pilihan dari berbagai masa- sebuah komunitas yang keanggotaannya akan menjadi nyata secara penuh pada akhir zaman. Bahkan sebagian dari diri Gereja itu sendiri bercorak sekular. Bagi Agustinus, perselisihannya dengan Donatisme menunjukkan bahwa Gereja, sekalipun diperlukan sebagai sarana keselamatan, namun di akhir zaman akan tetap memerlukan penyucian oleh Kristus. Selama Gereja masih berada di dunia maka Gereja masih merupakan “tubuh campuran” (corpus permixium) antara mereka yang dipilih dan mereka yang tidak ditentukan untuk selamat.[18]
Menurut Agustinus, Roma 5:5 menjelaskan bahwa kodrat dan nilai dari setiap individu (di dalam waktu) didasarkan pada kasih yang dihidupinya, apakah cinta kasih (caritas) Roh Kudus ataukah hawa nafsu (cupiditas). Selanjutnya dalam City of God, Agustinus menyatakan bahwa terdapat dua kota yang dibentuk oleh dua macam kasih, yakni kota dunia yang diciptakan oleh cinta akan diri sendiri namun merendahkan Allah, dan kota surgawi yang diciptakan oleh kasih akan Allah namun memandang rendah diri sendiri.[19]
Baik Eusebius maupun Agustinus sedikit saja menggunakan dimensi apokaliptik Kristiani dalam teologi sejarah mereka, yaitu keyakinan bahwa Allah telah mewahyukan akhir dari pergumulan antara yang baik dan yang jahat dalam akhir sejarah yang telah mendekat, dan bahwa pewahyuan tersebut mengharuskan Gereja untuk hidup dalam terang akhir zaman. Keduanya sama-sama meyakini bahwa pesan-pesan apokaliptik sebagaimana dikumpulkan dari pewahyuan dalam Perjanjian Lama, Injil, tulisan-tulisan Paulus, ataupun tulisan-tulisan Yohanes sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi di akhir zaman. Akan tetapi keduanya tidak melihat pesan apokaliptik sebagai peristiwa yang sudah dekat atau melihat urgensi makna apokaliptik untuk memperkuat atau mendorong aksi di dunia.[20]
Baik Eusebius maupun Agustinus menerjemahkan simbol-simbol apokaliptik dalam Kitab Suci ke dalam diskursus mereka tentang sejarah. Eusebius membaca kenabian mesianik dalam Perjanjian Lama sebagai prediksi atas kekaisaran Konstantinus, sementara Agustinus menginterpretasikan apokaliptik Yohanes sebagai sebuah pesan tentang pertentangan yang terus berlanjut antara yang baik dan yang buruk di dalam Gereja, yang mana ia samakan dengan kerajaan milenial yang dijanjikan dalam kitab Wahyu bab 20. Bahkan Agustinus menentang segala usaha dalam mengaitkan interpretasi Kitab Suci untuk mengaitkan peristiwa saat ini dengan tanda-tanda akhir zaman, sebagaimana dikatakan Yesus kepada para rasul-Nya (Kis.1:7).[21]
IV.             Konteks Sosial
Teologi sejarah yang dikonstruksi Eusebius dan Agustinus mendominasi selama tujuh abad sebelum Joachim. Akan tetapi teologi sejarah Abad ke-12 memiliki konteks yang berbeda. Muncul ketertarikan baru dalam pandangan tentang makna sejarah, terutama berkaitan dengan pembaruan peran Gereja.[22] Dalam zaman ketika Joachim hidup, Kekristenan Barat - institusi Gereja, kedaulatan Gereja, dan bentuk-bentuk peribadatan – berada dalam bahaya. Di dalam Gereja korupsi merajalela di antara para uskup dan para raja, sementara badai ketidaksetiaan mengancam umat Kristen. Di tengah badai tersebut, Joachim melihat adanya kebaikan di masa depan, yakni datangnya “manusia spiritual”, para rahib yang akan mereformasi Gereja Latin, memanggil Gereja Yunani (yang oleh Gereja Latin dianggap sesat) untuk kembali bersatu dengan Gereja Roma, dan membawa orang-orang Yahudi kembali kepada iman akan Kristus. Di bawah kepemimpinan “pemimpin spiritual”, sejarah akan mengarah ke zaman yang menakjubkan, yang menurut Joachim dipenuhi suasana damai, tanpa perang, tanpa skandal, tanpa kecemasan dan kekerasan, sebab Allah akan memberkati dan menguduskan zaman tersebut, sebab dalam zaman tersebut Allah akan berhenti dari segala pekerjaannya.[23]
Aspek-aspek lain yang turut melatarbelakangi konteks teologi sejarah abad ke-12 adalah beragam peristiwa yang terjadi di Eropa, seperti perang salib, bangkitnya heresi, dan pembaruan teologi. Beberapa pemikir melibatkan diri pada persoalan-persoalan tersebut, sebut saja Rupert dari Deutz, Hugo St. Victor, Anselmus dari Havelberg, Hildegard dari Bingen, Otto dari Freising, dan Gerhoh dari Reischersberg.[24] Joachim hidup di zaman, yang oleh para ahli modern, dianggap sarat dengan peristiwa-peristiwa historis penting dan karenanya diberi banyak label: “abad duabelas yang panjang”, periode “reformasi” dalam struktur Gereja Katolik, zaman “renaissance” dalam kehidupan intelektual dan kebudayaan, serta zaman transformasi kehidupan religius.[25]
V.                Pemikiran Joachim Fiore
5.1       Dua Pembabakan Sejarah
Sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan-tulisan awalnya, Joachim meyakini bahwa waktu manusia (human time) dapat dibagi dalam dua periode (tempora) yaitu periode Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Joachim melukiskan dua Perjanjian tersebut seumpama dua pohon. Pohon pertama tumbuh sejak Adam dan berakhir dengan kelahiran Kristus, sedangkan pohon kedua bertumbuh sejak zaman Uziah (raja Yehuda) dan berakhir pada saat kedatangan Kristus yang kedua. Menurut perhitungan Joachim, setiap pohon memiliki 63 generasi yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan 21 generasi dalam setiap kelompok. Generasi-generasi dalam pohon pertama bersifat badaniah, sedangkan generasi-generasi dalam pohon kedua lebih bercorak spiritual.[26]
Pohon perjanjian lama dibagi sebagai berikut: dari Adam sampai ke Ishak, dan kemudian 42 generasi dari Yakub sampai dengan kedatangan Kristus yang pertama kali. Pohon Perjanjian Baru yang dimulai sejak Raja Uziah (sezaman dengan nabi Yesaya, nabi yang menurut Joachim merupakan nabi pertama yang mulai mewartakan Injil) juga terbagi dalam tiga kelompok. Dua di antara tiga kelompok tersebut menyiratkan 42 generasi yang bermula sejak kedatangan Kristus sampai dengan munculnya Antikristus. Lamanya setiap generasi dalam Perjanjian Baru adalah 30 tahun, sebab angka ini merepresentasikan usia Kristus ketika ia mulai memiliki murid-murid. Munculnya Antikristus diperkirakan terjadi pada tahun 1260 (42 generasi pasca kelahiran Kristus dari 30 tahun setiap generasi). Duabelas suku Israel tumbuh dari cabang Yakub, sedangkan duabelas Gereja (tujuh di Asia dan lima Gereja-gereja Metropolitan; Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem) tumbuh dari cabang Yesus Kristus. Yesus Kristus muncul dari cabang Yehuda, sehingga kedatangan Yesus yang kedua akan muncul dari cabang Gereja Katolik.[27]
Kitab Wahyu secara khusus menjadi kerangka bagi Joachim dalam memahami periode-periode historis yang direpresentasikan setiap cabang. Ia memahami tujuh materai dari kitab Wahyu (Why. 5) merepresentasikan tujuh periode penyiksaan orang Yahudi dalam Perjanjian Lama, dan sesuai dengan metodologi konkordansi, ia berasumsi bahwa akan terdapat tujuh penganiayaan dalam Gereja. Orang Yahudi dianiaya oleh orang-orang Mesir, Kanaan, Syria, Asyur, Kaldea, Mades, dan Yunani, sedangkan orang-orang Kristen dianiaya oleh orang-orang Yahudi, para penyembah berhala, dan secara serentak oleh orang Persia, Goths, Vandal, dan Lombard, serta oleh kaum Muslim, dan pada zaman Joachim oleh kekaisaran Jerman. Masih ada dua penganiayaan lagi yang tersisa. Dua penganiayaan terakhir (materai keenam dan ketujuh) akan terjadi secara bersamaan sebab kedatangan kedua Kristus sudah dekat.[28]
Menurut Joachim, ia hidup dalam generasi ke-40 dalam tahap kedua, yaitu zaman Putera, Perjanjian Baru, dan Gereja, atau dalam periode menjelang terbukanya materai keenam yang juga akan diikuti terbukanya materai ketujuh dalam generasi ke 41 dan 42. Generasi ini akan ditandai dengan penganiayaan oleh kepala keenam dan ketujuh hewan buas dalam Wahyu 12, di mana kepala ketujuh melambangkan Antikristus. Perkiraan ini menunjuk pada tahun 1200-1260, meskipun hanya dalam Liber Figurarum Joachim secara eksplisit menyebut tahun 1260, sebagai akhir dari dua generasi tersebut.[29]
Joachim memprediksikan bahwa dalam generasi-generasi ini juga akan muncul dua ordo manusia spiritual (viri spirituales) yang akan membimbing manusia lain menuju kepada zaman baru. Ordo yang satu lebih kontemplatif dan yang lain lebih aktif. Ia juga memprediksikan bahwa dalam tempora keenam pada zaman kedua, seorang Paus akan datang. Ia diutus dari Babilonia ke Yerusalem untuk memperbarui Gereja dan melawan anti-Kristus.[30] Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan selama masa hidup Joachim, seperti kematian Gregorius VII di tempat pembuangan, penyerangan terhadap Paus Paskalis II oleh Raja Henry V (1099-1118), skisma kepausan di bawah Alexander III (1159-1181), menjadi tanda bahwa saat terbukanya materai keenam sudah semakin dekat.[31]
5.2       Tiga Pembabakan Sejarah
Pola Trinitaris dalam pembabakan sejarah merupakan hasil dari visiun kedua di Casamari tahun 1184 dan berpengaruh dalam pandangannya tentang apokaliptik. Selain itu, visiun ini juga menjadi dasar bagi refleksi Joachim tentang Trinitas. Tentang visiun tersebut Joachim menulis sebagai berikut:
“ketika aku masuk ke dalam Gereja untuk berdoa kepada Allah yang Mahakuasa, di depan altar yang kudus, tiba-tiba aku dihampiri ketidakpastian akan imanku kepada Trinitas. Sulit dipahami bahwa tiga pribadi adalah Allah yang satu dan Allah yang satu adalah tiga pribadi. Ketika ketidakpastian iman itu melanda diriku, Roh Kudus berkenan menunjukkan kepadaku misteri Trinitas yang kudus. Allah sendiri menjanjikan kepada kita bahwa segala pemahaman tentang kebenaran dapat ditemukan dalam Trinitas (Yoh. 16:13). Aku kemudian mendoakan Mazmur, dan kemudian gambaran tentang sepuluh tali mazmur muncul dalam pikiranku. Misteri Trinitas yang kudus bercahaya begitu cemerlang dan dalam keadaan demikian aku berseru “adakah Allah yang sehebat Allah kami?” (Mzm. 77:14).[32]

Hal ini menunjukkan bahwa gagasan Trinitas Joachim muncul bukan dari sebuah usaha intelektual, melainkan berasal dari pengalaman spiritual. Hal ini sesuai dengan pemahaman tentang konsep dirinya yang lebih dikenal sebagai seorang manusia spiritual ketimbang sebagai seorang teolog atau seorang filsuf. Pandangannya tentang Trinitas berakar pada pengalaman spritual dan pada meditasinya atas Kitab Suci. Bagi Joachim berpikir tentang Trinitas bukanlah sebuah persoalan yang harus dipecahkan layaknya teka-teki, melainkan lebih pada sebuah latihan spiritual atas pikiran. Joachim menyatakan: “makhluk rasional (manusia) harus dibentuk/dilatih untuk menjadi serupa dengan kebaikan tertinggi (Allah)”.[33]
Konsep sentral pemikiran Joachim tentang tiga pembabakan sejarah ialah bahwa sejarah umat manusia terbentang dalam tiga pembabakan yang saling tumpang tindih. Masing-masing pembabakan tersebut diidentifikasikan dengan tiga pribadi Trinitas (Bapa, Putera, dan Roh Kudus), serta merefleksikan relasi ketiganya. Tahap pertama dimulai sejak Adam sampai dengan Yesus Kristus, dicirikan dengan scientia (pengetahuan). Tahap kedua dimulai sejak raja Uzia sampai tahun 1260, dicirikan dengan sapientia (kebijaksanaan). Tahap ketiga dimulai sejak St. Benediktus sampai dengan akhir zaman, dicirikan oleh plenitude intellectus, yakni rahmat untuk menyingkap pesan dalam teks Kitab Suci. Rahmat plenitude intellectus mengalir dari kedua Perjanjian (Perjanjian Lama dan Baru), sebagaimana Roh Kudus yang berasal dari Bapa dan Putera. Zaman Bapa direpresentasikan oleh duabelas suku, zaman Putera oleh duabelas rasul, dan zaman Roh Kudus oleh duabelas manusia spiritual.[34]
Oleh karena terdapat gerak maju dalam sejarah menuju keselamatan, maka dalam tahap pertama, yaitu zaman Bapa, manusia hidup menurut daging. Dalam tahap kedua, zaman Putera, manusia hidup diantara dua kutub, yaitu antara daging dan roh. Selanjutnya pada tahap ketiga, yaitu zaman Roh Kudus, manusia hidup menurut Roh. Ketiga tahap itu saling terkait dan dihubungkan oleh zaman Putera (tahap kedua), yaitu zaman Gereja. Tahap kedua berakar pada zaman Bapa, dengan Harun yang menandakan imamat dan Yesaya yang melambangkan evangelisasi. Tahap ketiga berakar pada tahap pertama dan kedua, dengan Elia atau muridnya Elisa bersama St. Benediktus yang menandakan cara hidup spiritual monastik yang mendominasi zaman ketiga.[35]
Menurut Joachim ordo para rahib memiliki peran penting dalam menyongsong kedatangan zaman Greath Sabbath. Kehidupan monastik memiliki asal-usul ganda. Kemunculan pertama kehidupan monastik dimulai dalam zaman Bapa, tepatnya dalam kehidupan para nabi, seperti Elia dan Elisa, yang menegur para raja Israel karena kesalahan mereka. Dalam zaman Putera, monastisisme Kristen berkembang di Gereja Timur. Menurut Joachim bahkan setelah Gereja Timur menolak Roma (yang dianggap sebagai heresi), di Gereja Timur masih tersisa beberapa Abbas dan murid-murid mereka yang menggambarkan kesempurnaan hidup monastik. Selanjutnya ordo para rahib berkembang di Gereja Latin dalam periode Benediktus Nursia yang menjadi mediator antara para rahib Gereja Timur dan Barat. Joachim kemudian beranggapan bahwa usaha untuk memperjuangkan kehidupan monastik yang sempurna berpindah ke Gereja Katolik Roma, berkembang secara khusus di Italia, Gaul, dan Jerman. Menurut Joachim, sejak saat itu kehidupan monastik yang berpindah dari Gereja Timur ke Gereja Barat, diberkati oleh Trinitas yang Mahakudus, berkembang pertama-tama dalam Ordo Cluny, dan kemudian dalam Ordo Cistercian. [36]
Tiga zaman ini juga menggambarkan relasi permusuhan antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Joachim menaruh perhatian pada nasib bekas “umat pilihan Allah”, orang Yahudi, dalam relasinya dengan umat Kristen yang ia pandang sebagai penerima rahmat Allah berkat kedatangan Kristus dan Gereja-Nya. Di antara umat Kristen, Joachim juga membedakan antara orang Kristen Yunani atau anggota Gereja Timur dan orang Kristen Latin atau anggota Gereja Kristen Barat (yang taat pada Paus di Roma). Orang-orang Yunani menurutnya adalah orang-orang yang pertama menerima iman Kristen, namun karena kesesatan mereka dan penolakan mereka atas kepausan Roma maka mereka menderita hukuman yang berat, kehilangan kerajaan dan semangat hidup membiara. Orang-orang Kristen Latin, penerima kekuasaan kekaisaran dan semangat monastik, menjadi pengejewantahan rencana Allah dalam sejarah. Gereja Latin menjadi representasi “Yehuda baru” dan Roma adalah “Yerusalem Baru”.[37]
Joachim berasumsi bahwa orang-orang Yahudi hidup dalam zaman pertama, orang non-Yahudi pada zaman kedua, dan keduanya akan hidup secara bersama-sama pada zaman ketiga, yakni zaman Roh kudus yang penuh dengan pengampunan dan penghiburan. Dalam karyanya Tractus Joachim menyatakan bahwa baik orang Kristen Yunani dan orang-orang Yahudi akan bersama-sama masuk dalam Gereja pada akhir zaman kedua. Dalam zaman ketiga akan terjadi sebuah  metamorfosis, sebuah zaman baru, zaman quasi-utopia.[38]
Zaman ketiga diwarnai pembaruan global yang mulai di dalam tubuh Gereja dan kemudian mengalir keluar Gereja. Zaman di mana Roh akan bertindak secara bebas, masyarakat akan menjadi damai, dan karakter kontemplatif akan mengatur dan mewarnai seluruh tatanan. Tatanan ini akan menjadi puncak dari gerak naik sejarah, dan dimulai pada zaman St. Benediktus.[39]  
Misi Roh Kudus yang dimulai pada saat Pentekosta, akan meluas dan semakin subur. Meskipun para pengkritik menyebut bahwa Joachim membahayakan peran Kristus dalam sejarah keselamatan, namun Joachim menegaskan bahwa Roh Kudus tidak menggantikan peran kristus melainkan melanjutkan karya yang sudah dimulai oleh Kristus. Dalam diri manusia spiritual dalam zaman ketiga, Kristus akan memerintah secara lebih kuat. Gereja itu sendiri tidak akan secara radikal dihancurkan atau diubah, sebagaimana diyakini oleh sebagian pengikutnya, melainkan gereja akan terus bertahan sampai Akhir, meskipun gereja bertransformasi dari ecclesia active kepada sebuah ecclesia contemplativa.[40] Gereja spiritual tidak akan menggantikan Gereja purba melainkan menaikkan Gereja purba kepada level yang lebih tinggi.[41]
Elia merupakan figur penting dalam pemikiran Joachim, sebab ia menjadi simbol Roh Kudus dalam zaman pertama dan ketiga. Ia diidentifikasikan dengan api karena ia menurunkan api Ilahi di Gunung Karmel ketika mengutuk para nabi dewa Ba’al, dan ia juga diangkat ke surga dengan kereta kuda berapi. Ia juga mempermaklumkan prosesi Roh Kudus dari Bapa, dan ia juga akan mempermaklumkan prosesi Roh Kudus dari Putera dalam akhir zaman kedua. Ia dihubungkan dengan Musa yang berbicara dengan Yesus dalam kisah trasnfigurasi di Gunung Tabor (tempat Joachim memperoleh visiun pertama), dan dalam Injil ia dihubungkan dengan Yohanes Pembaptis yang kemudian menjadi bentara kehadiran pertama Kristus di dunia.[42]
Elia adalah figur yang sempurna untuk melukiskan pola dua dan tiga dalam pembabakan sejarah, atau perkembangan historis dan spiritual yang saling terhubung dalam pemikiran Joachim. Pola dua atau pola historis lebih tradisional karena pola ini menghadirkan gerak maju sejarah dari zaman Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, yang akan berakhir saat kedatangan Kristus yang kedua. Pola Trinitarian lebih bersifat inovatif karena menempatkan tahap ketiga dalam sejarah, dan menempatkan kemajuan spiritual menuju tahap yang lebih sempurna yang berasal dari (bukan menggantikan) Perjanjian Baru dengan akarnya pada Perjanjian Lama. Elia merepresentasikan perkembangan spiritual dalam sejarah sebagaimana perannya yang krusial dalam menggambarkan pewahyuan Trinitas dalam sejarah; prosesi Roh Kudus dari Bapa dan Putera, dan inisiasi ke dalam tahap ketiga, yang merupakan buah dari tahap pertama dan kedua.[43]
Selain itu, dalam membaca tiga pembabakan sejarah dalam teologi sejarah Joachim, kita tidak bisa lepas dari simbol Tetragrammaton[44] (IEUE) yang sangat diperlukan untuk memahami pemikiran Joachim tentang aktivitas pewahyuan Ilahi dalam sejarah. Tetragrammaton pertama kali muncul dalam Expositio in Apocalypsim dan Psalterium Decem Chordam. Kedua karya ini ditulis berdasarkan visiun Paskah di Casamari yang menjelaskan makna Trinitas. Dalam pembacaannya atas Wahyu 1:8 (tentang Alfa dan Omega) dan komentarnya tentang apokaliptik, Joachim menunjukkan Alpha (Α) dan Omicron (Ο) merepresentasikan Trinitas dan kesatuan pribadi dalam Trinitas. Ia membuktikan ini dengan menggunakan Tetragrammaton yang tampak sebagai kesatuan dalam Omicron, dan dibagi ke dalam IE di puncak Alpha, dan EU dan UE masing-masing di bagian bawah huruf Alpha. Bagi Joachim, ini membuktikan bahwa Trinitas telah diwahyukan dalam kitab orang Yahudi melalui nama Allah Yang Mahasuci.[45]
Dalam  Psalterium decem chordam Joachim menguraikan Tetragrammaton IEUE (lihat gambar). IE adalah nama yang merujuk pada Bapa, EU adalah Putera, dan UE adalah Roh Kudus. IEUE adalah satu nama, namun nama tersebut tidak dapat secara sederhana ditujukan hanya kepada Bapa, atau hanya kepada Putera, atau hanya kepada Roh Kudus, tetapi secara bersama-sama ditujukan kepadea ketiganya. Tetragrammaton tersebut digambarkan di pusat rosa (yang merepresentasikan Omicron) dengan  inskripsi di sekitarnya yang berbunyi: Deus omnipotents, Sancta Trinitas unus Deus.[46]
Dalam Liber Figurarum Joachim menggambarkan tiga pusat lingkaran yang saling terkait melukiskan bagian waktu sejak penciptaan sampai akhir dunia dan aktivitas pribadi Trinitas dalam tiga zaman. Gambar Alpha (Α) dan Omega (Ω) mengindikasikan relasi antara tiga pribadi. Dalam Alpha, Bapa (IE) mengutus Putera (EU) dan Roh Kudus (UE) dan ketiganya satu sebagai IEUE digambarkan di tengah. Dalam huruf Omega yang merepresentasikan misi Trinitas dalam sejarah, Roh Kudus (E) mengalir baik dari Bapa (I) maupun Putera (U). Prosesi rangkap dua ini ditujukan ke dalam sejarah, sebagaimana dapat dilihat di bawah Omega. Alpha dan Omega bersatu dalam ketiga lingkaran yang saling tersambung di mana keduanya bertemu di tengah lingkaran pertama dengan IEUE di dalam lingkaran kecil yang menandakan kesatuan, dan kemunculan ke dalam sejarah dengan Bapa (IE) dalam lingkaran pertama, Putera (EU) dalam lingkaran kedua, dan Roh Kudus (UE) di lingkaran ketiga. Lingkaran pertama adalah zaman Perjanjian Lama, dan lingkaran kedua dan ketiga adalah zaman Perjanjian Baru, meskipun lingkaran ketiga merepresentasikan kepenuhan spiritual dari kedua Perjanjian. Di sini hubungan antara nama Adonai dan Tetragrammaton juga secara eksplisit dijabarkan di pusat dari ketiga lingkaran.[47]
VI.             Pengaruh
            Tulisan Joachim memiliki pengaruh atas salah satu gerakan dalam ordo Fransiskan yang disebut sebagai kelompok Fransiskan Spirituales, atau yang juga dikenal sebagai kelompok Fraticelli[48]. Kelompok ini secara radikal menafsirkan dan menghidupi Anggaran Dasar St. Fransiskus Assisi dan memegang teguh pesan kemiskinan religius-injili St. Fransiskus. Pendirian mereka ini bersebrangan dengan sebagian besar anggota tarekat yang disebut kaum Conventuales. Pemimpin Gereja cenderung mendukung kaum Conventuales sebab cara hidup kaum spirituales seakan menjadi kritik yang tajam terhadap kehidupan para pemimpin Gereja saat itu, mengingat pada periode 1198-1303 Gereja berada pada puncak kekuasaannya. Selain itu, bagi hierarki Gereja, dengan mendukung kaum Conventuales sama artinya dengan memasukkan tarekat dalam struktur kegerejaan sekaligus tarekat dapat menjadi aparat yang dapat diandalkan bagi kepentingan kepausan.[49]
Kelompok ini mengadopsi ajaran Joachim, dan meyakini bahwa sosok St. Fransiskus adalah pelopor munculnya zaman ketiga. Ordo yang didirikannya, atau paling kurang anggota ordo yang mengikuti ajarannya, merupakan representasi dari salah satu dari dua ordo “manusia spiritual” yang akan menuntun manusia lain memasuki zaman akhir. Kelompok ini, yang pada pertengahan abad XIII dijumpai di Palermo, Paris, Norbonne, dan Roma, membaca karya asli Joachim Fiore maupun pseudo-Joachimite. Bersama ordo Florensian dan Cistercians, kelompok ini menganggap diri mereka sebagai salah satu ordo yang dimaksud Joachim akan muncul pada zaman Roh Kudus.[50]
            Selain itu, karya Joachim juga rupanya memiliki pengaruh atas ekspedisi Christopher Columbus. Columbus menduga bahwa penemuan “dunia baru” dan “orang-orang baru” adalah tanda-tanda akhir zaman yang sudah mendekat. Penemuan-penemuan ini juga meyakinkan Columbus bahwa ia telah menemukan “surga dunia”. Menurut Columbus, masih tersisa 150 tahun lagi sebelum akhir zaman tiba. Dalam periode tersebut Spanyol akan menggantikan Yerusalem dan membangun Bait Allah, dan di Spanyol sendiri pada tahun 1470-an berkembang harapan akan kedatangan Mesias. Columbus meyakini bahwa ia sedang membuka misi Kekristenan yang baru.[51]
Dalam karyanya, Libro de las profecias, Columbus menyajikan justifikasi dan apologetik atas programnya tersebut, yang kemudian ia persembahkan kepada penguasa Katolik; raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dalam karya tersebut pengaruh Joachim Fiore sangat terasa, terutama dalam bagia ketiga buku tersebut yang berjudul Propechies of The Future. Bagian tersebut diapit oleh kutipan pernyataan dari pseudo-Joachim tentang akhir zaman yang akan terbit dari Spanyol dan tentang penemuan pulau-pulau alkitabiah dan penemuan benua-benua baru yang tidak diketahui. Sayangnya banyak bagian dalam karya Columbus tentang Joachim yang sengaja dihilangkan oleh pihak inkuisisi Gereja ataupun oleh rekan-rekan Joachim untuk menjauhkan karya Columbus dari pengaruh doktrin Joachim Fiore yang dianggap sesat. Selain itu, Columbus yang adalah anggota Ordo III Fransiskan juga sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber yang berasal dari Joachite-Fransiskan.[52]
VII.          Penutup
Cara Joachim menafsirkan Kitab Suci, jika dipandang dari zaman sekarang, mungkin akan terkesan sebagai sebuah tafsir literer yang memandang Kitab Suci sebagai sebuah laporan sejarah. Akan tetapi menyalahkan metode tafsir Joachim dengan kaca mata perkembangan ilmu tafsir modern justru membawa kita jatuh pada kesalahan diakronik. Kita hidup dalam zaman yang berbeda dengan zaman Joachim. Untuk itu, cara tafsir Joachim perlu dilihat berdasarkan konteks masa hidupnya. Jika melihat konteks zaman itu, dengan kemajuan ilmu tafsir Kitab Suci yang berkembang ketika itu, maka cara Joachim membaca Kitab Suci patut diapresiasi.
Joachim mampu menunjukkan keterkaitan teks-teks dalam Kitab Suci dan mampu menghubungkannya menjadi sebuah pola yang kemudian dia aplikasikan pada gagasan teologi sejarahnya. Selain itu, pembacaan Joachim atas teks-teks apokaliptik dalam Kitab Suci, seperti kitab Wahyu, menunjukkan juga bahwa ia tangkas dalam menafsirkan simbol-simbol dalam Kitab Suci dan menerapkannya dalam pandangan apokaliptiknya. Dapat disimpulkan bahwa Joachim memiliki kecerdasan khusus dalam membaca dan menafsirkan Kitab Suci. Akan tetapi perlu diingat, menurut kesaksian Joachim sendiri, kecerdasan yang ia miliki bukan hasil usaha intelektualnya, melainkan anugerah yang ia peroleh dalam visiun-visiun yang ia alami.
Selain soal ketangkasannya dalam menafsirkan Kitab Suci, tahap-tahap perkembangan sejarah sebagaimana dikemukakan Joachim juga menunjukkan harapan dan kerinduan dalam diri Joachim akan terwujudnya sebuah suasana penuh damai. Menurut Joachim suasana penuh damai tersebut akan terwujud pada zaman ketiga atau zaman Roh Kudus. Harapan dan kerinduan akan situasi damai ini juga menjadi kerinduan setiap manusia, khususnya orang Kristen. Sama seperti Joachim yang merindukan zaman penuh kedamaian, kita pun pasti memiliki kerinduan yang sama. Kita pasti merasa muak ketika menyaksikan beragam tindak ketidakadilan, korupsi, pelecehan martabat manusia, atau tindakan-tindakan lain yang menghancurkan masyarakat. Kita menghendaki terciptanya komunitas masyarakat yang hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.
Jika Joachim, berangkat dari tafsirnya atas Kitab Suci, dengan yakin dapat memastikan saat munculnya zaman ketiga, maka kita yang hidup di zaman ini menempuh jalan yang berbeda. Kita tidak bisa memastikan secara pasti kapan persisnya peristiwa “akhir zaman” (yang digambarkan Joachim sebagai suasana yang penuh dengan kedamaian) akan terjadi. Daripada berspekulasi dan secara pasif menunggu saat munculnya zaman itu, lebih baik adanya jika kita berusaha mewujudkan suasana damai tersebut sejak saat ini, mulai dari diri kita sendiri dan dari lingkungan tempat kita tinggal. Atau meminjam istilah dalam injil “berjaga-jagalah”. Sejak kini kita berjaga-jaga menantikan datangnya akhir zaman yang penuh misteri dengan mengusahakan terciptanya kedamaian bagi diri kita, sesama, dan lingkungan alam di sekitar kita.



Daftar Pustaka
Brown, Stephen F. & Juan Carlos Flores (Eds.). Historical Dictionary of Medieval Philosophy and Theology. Maryland: Scarecrow Press. 2007.
Douglas, J. D. dan Philip W. Comfort (Eds.). Who’s Who in Christian History. Illinois: Tyndale House Publishers  Inc. 1992.
Effendi, Bahtiar & Hendro Prasetyo (Eds.). Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM. 1998.
Hames, Harvey J. Like Angels on Jacob’s Ladder: Abraham Abulafia, The Franciscans and Joachimism. Albany: State University of  New York Press. 2007.
Herrera, R. A. Reasons For Our Rhymes: An Inquiry into the Philosophy of History. Michigan: Wm. B. Eerdmans Co. 2001.
Riedl, Matthias (ed.).  A Companion to Joachim of Fiore. Boston: Brill. 2017.



























Description: fiore 2.jpg


















[1] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An Overview, dalam Matthias Riedl (ed.),
A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 20.
[2] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An Overview, hal. 11.
[3] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An Overview, hal. 21.
[4] Alfredo Gatto, The Life and Works of Joachim of Fiore - An Overview, hal. 22.
[5] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder: Abraham Abulafia, The Franciscans and Joachimism, Albany: State University of New York Press, 2007, hal. 12.
[6] Stephen F. Brown & Juan Carlos Flores (eds.), Historical Dictionary of Medieval Philosophy and Theology, Maryland: Scarecrow Press, 2007, hal. 156.
[7] J. D. Douglas dan Philip W. Comfort (Eds.), Who’s Who in Christian History, Illinois: Tyndale House Publishers, Inc., 1992, hal. 369.
[8] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes: An Inquiry into the Philosophy of History, Michigan: Wm. B. Eerdmans Co., 2001,  hal. 35.
[9] Sven Grosse, Thomas Aquinas, Bonaventure, and the Critiques of Joachimist Topics from the Fourth Lateran Council to Dante, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 147.
[10] Sven Grosse, Thomas Aquinas, Bonaventure, and the Critiques of Joachimist Topics from the Fourth Lateran Council to Dante, hal. 147.
[11] Sven Grosse, Thomas Aquinas, Bonaventure, and the Critiques of Joachimist Topics from the Fourth Lateran Council to Dante, hal. 148.
[12] J. D. Douglas dan Philip W. Comfort (Eds.), Who’s Who in Christian History, hal. 369.
[13] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 2.
[14] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 2.
[15] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal.2.
[16] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 2-3.
[17] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 3.
[18] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 4.
[19] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 4.
[20] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 4.
[21] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 4-5.
[22] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 5.
[23] Brett Edward Whalen, Joachim the Theorist of History and Society, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal. 89-90.
[24] Bernard McGinn, Introduction: Joachim of Fiore in the History of Western Culture, hal. 5.
[25] Brett Edward Whalen, Joachim the Theorist of History and Society, hal. 90.
[26] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 12-13
[27] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 13.
[28] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 13.
[29] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 17.
[30] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 17-18.
[31] Brett Edward Whalen, Joachim the Theorist of History and Society, hal. 99-100.
[32] Peter Gemeinhardt, Joachim the Theologian: Trinitarian Speculation and Doctrinal Debate, dalam Matthias Riedl (ed.), A Companion to Joachim of Fiore, Boston: Brill, 2017, hal.  50.
[33] Gemeinhardt, Joachim the Theologian: Trinitarian Speculation and Doctrinal Debate, hal. 51.
[34] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes: An Inquiry into the Philosophy of History, hal. 37.
[35] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 13-14.
[36] Brett Edward Whalen, Joachim the Theorist of History and Society, hal. 102-103.
[37] Brett Edward Whalen, Joachim the Theorist of History and Society, hal. 89.
[38] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 37-38.
[39] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 38.
[40] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 38-39.
[41] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 39.
[42] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 14.
[43] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 15.
[44] Merujuk pada literatur rabinik, Tetragrammaton adalah kata dalam sastra Ibrani yang terdiri dari empat huruf yud-hey-vav-hey (יהוה) dan digunakan dalam Kitab Suci Ibrani untuk menunjuk pada nama Allah. Disadur dari https://www.myjewishlearning.com/article/the-tetragrammaton/ diunduh pada tanggal 27 Maret  2019, pkl. 21.00 wib.
[45] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 15.
[46] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 15.
[47] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 15-16.
[48] Fraticelli (Frater, bhs. Latin berarti saudara) merupakan ejekan terhadap mereka yang hendak menerapkan keterarahan batin dan spiritualitas Fransiskus Assisi secara lebih raadikal, terutama dalam hal-hal yang menyangkutkemiskinan relijius-injili. Bdk. Eddy Kristiyanto, OFM, Fraticelli, dalam Bahtiar Effendi & Hendro Prasetyo (Eds.), Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM, 1998, hal. 62.
[49] Bdk. Eddy Kristiyanto, OFM, Fraticelli, hal. 64-65.
[50] Harvey J. Hames, Like Angels on Jacob’s Ladder, hal. 3, 11.
[51] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 34
[52] R. A. Herrera, Reasons For Our Rhymes, hal. 34-35.