Pendahuluan: Narkoba, Terorisme, dan Korupsi sebagai Extraordinary Crime
Kejahatan narkoba, korupsi, dan
terorisme tergolong sebagai kejahatan Luar Biasa atau extraordinary crime. Ada beberapa ciri yang sama pada ketiga
kejahatan ini sehingga menjadikan tiga kejahatan ini dikategorikan demikian dan
membedakannya dengan kejahatan kecil, yaitu: Pertama, ketiga kejahatan ini mengancam integritas politis. Kedua, ketiga kejahatan ini beroperasi
dengan jejaring rahasia. Ketiga,
kejahatan-kejahatan ini berdampak sistemis dan massif ke berbagai dimensi
kehidupan (sosial, budaya, ekonomi, kemanusiaan, dan juga politik). Keempat, ketiga kejahatan ini terkait
dengan globalisasi (informasi dan pasar). Kelima,
kejahatan-kejahatan ini dikendalikan oleh oligarki bisnis. Ketiga kejahatan ini
ditangani oleh organisasi khusus, Korupsi ditangani Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), narkoba ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN), dan terorisme
ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menurut data yang dirilis dari BNN[1], di
Indonesia sedikitnya 50 orang meninggal setiap harinya akibat penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang, dan kerugian ekonomi maupun sosial mencapai Rp 63
triliun per tahun.[2]
Salah satu contoh aktual kasus narkoba adalah kasus Poni Tjandra, seorang
narapidana yang mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji. Poni Tjandra
tidak bekerja sendirian, melainkan bekerjasama dengan sindikat internasional.
Setiap hari jaringan ini melakukan sekitar 15-20 transaksi, dengan total nilai
transaksi sekitar Rp. 3,6 triliun.[3]
Sedangkan untuk kasus korupsi, Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada tahun 2015 kerugian negara akibat
kasus korupsi mencapai Rp. 3,1 triliun. Dari jumlah kerugian negara tersebut,
sebesar Rp. 1,2 triliun didapat pada paruh pertama tahun 2015. Sedangkan pada
semester kedua tahun 2015 mencapai Rp. 1,8 triliun. Adapun dari jumlah 550
kasus korupsi, tersangka yang terlibat kasus tersebut berjumlah 1.124 orang.[4] Hal
yang sama kurang lebih kita temukan dalam kasus terorisme. Selain memakan
korban jiwa, terorisme juga turut menyumbangkan kerugian finansial bagi negara.
Misalnya saja pasca peristiwa Bom Bali I dan II kunjungan wisatawan asing ke
Bali menurun drastis untuk jangka waktu tertentu karena alasan keamanan. Selain
itu itu, aksi terorisme pun berdampak pada kondisi psikis masyarakat, seperti
ketakutan, trauma, paranoid, dan bahkan gangguan mental lainnya. Hal ini terutama
menimpa mereka yang menjadi korban aksi terorisme.[5] Selain berdampak negatif
bagi kemanusiaan dan juga perekonomian, aksi terorisme pun mengancam integritas
bangsa karena bertentangan dengan ideologi pancasila sebagai ideologi pemersatu
bangsa. Aksi terorisme mengkhianati nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan. Khusus dalam
paper singkat ini saya hanya akan membahas kejahatan korupsi sebagai kejahatan
Luar Biasa, serta saya juga akan mencoba mengemukakan kebijakan untuk
menanggulangi kejahatan korupsi dengan menggunakan perspektif demokrasi
deliberatif Habermas,
khususnya berkaitan dengan peran Ruang Publik.
Korupsi dan Oligarki
Salah satu
contoh aktual kasus korupsi adalah kasus yang melibatkan Sekretaris Mahkamah
Agung Nurhadi. Nurhadi ditangkap
selang beberapa jam setelah penangkapan Panitera Sekretaris Pengadilan Negreri
Jakarta Pusat Edy Nasution dan perantara suap Doddy Aryanto Supeno. Suap
ditengarai terkait dengan pengaturan perkara Lippo Group di Pengadilan Negeri
sampai Mahkamah Agung. Nurhadi sebenarnya bukan pejabat penentu putusan di
lembaga peradilan tertinggi itu, namun menurut KPK ia mengendalikan penanganan
perkara-perkara kakap di sana.
Seorang mantan
Hakim Agung mengatakan Nurhadi memiliki “kuasa” untuk mengintervensi pejabat di
pengadilan sampai Hakim Agung di Mahkamah Agung. Melalui kaki tangannya di
pengadilan, Nurhadi bisa meloloskan permohonan kasasi atau peninjauan kembali
yang sebenarnya tidak memenuhi syarat formal. Di tingkat Mahkamah Agung, kata
dia, selain bisa mengatur perkara di tingkat admistrasi, Nurhadi diduga bisa
mempengaruhi hakim sampai mengintervensi pejabat Mahkamah yang berwenang
menentukan komposisi majelis. Hakim “favorit” yang ditentukan itu nantinya yang
akan mengeksekusi pesanan Nurhadi.[6]
Dari
contoh kasus ini setidaknya kita bisa memahami mengapa kejahatan ini dikatakan
sebagai kejahatan yang “rumit”, sebab kejahatan ini tidak hanya melibatkan
masyarakat warga, tetapi bahkan turut melibatkan aparat penegak hukum. Kasus
Nurhadi bukan satu-satunya kasus korupsi yang melibatkan aparat lembaga
peradilan negara. Kita mungkin masih ingat kasus serupa yang melibatkan Ketua
Mahkamah Konstitusi Indonesia Akil Mochtar terkait kasus suap perkara sengketa
pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah
dan Kabupaten Lebak, Banten.[7]
Selain kasus Hurhadi dan Aktil Mochtar, pada bulan Februari lalu KPK juga sudah
menangkap Andi Tristianto Sutrisna, pejabat di Mahkamah Agung, yang juga
menerima suap penanganan perkara.
Dari
contoh-contoh di atas tampak jelas bagi kita bahwa permainan kotor
kelompok-kelompok oligarki dalam mempertahankan kekuasaannya sudah menyusup sampai
ke dalam lembaga peradilan. Dengan terlibatnya oknum-oknum tertentu dalam
lembaga penegak hukum, maka pemberantasan korupsi seolah-olah menjadi sebuah
utopia. Dalam situasi seperti ini kita mungkin masih bisa berharap kepada KPK
sebagai lembaga independen yang dapat diandalkan. Dalam hal ini uang tampaknya
menjadi penentu segalanya. Mereka yang memiliki uang dapat mengendalikan
segalanya, termasuk mengendalikan aparat penegak hukum. Nurhadi, Andi Sutrisna,
atau pun Akil Mochtar dalam contoh di atas sebenarnya hanyalah kaki tangan dari
kelompok-kelompok oligarki yang memiliki kekuatan uang. Di balik Nurhadi dan
Akil Mochtar berdiri kelompok oligarki yang ingin mempertahankan kekuasaannya.
Melalui suap mereka hendak meloloskan diri dari jerat hukum, dan ternyata usaha
mereka ini “hampir berhasil”. Terbukti dengan kekuatan uang segalanya dapat
dikendalikan, termasuk mereka yang tergabung dalam lembaga penegak hukum.
Selain
itu, melalui kasus ini kita pun bisa melihat adanya pertaruhan kepentingan di
balik kasus korupsi, baik itu mereka yang disuap maupun mereka yang menyuap.
Mereka yang disuap tentu bersedia disuap demi memunuhi kepentingan mereka, seperti
untuk menikmati hidup yang mewah. Comtohnya Nurhadi. Sebagaimana diberitakan Tempo edisi 8 Mei 2016, Nurhadi memiliki
gaji pokok sebesar Rp. 18 Juta. Akan tetapi perbandingan antara gaji pokok dan
gaya hidupnya yang mewah tentu sangat mencurigakan. Bagaimana mungkin seorang
yang memiliki gaji pokok demikian memiliki nilai kekayaan sebesar Rp. 33,42 miliar
(pada tahun 2012). Ia memiliki batu mulia dan barang antik seniali Rp. 7, 83
miliar serta memiliki koleksi mobil mewah seperti Lexus, Jaguar, dan Mini
Cooper dengan nilai keseluruhan mencapai Rp. 4 miliar. Menjadi jelas bahwa
salah satu motivasi Nurhadi untuk menerima suap adalah untuk memenuhi hasrat
hidup mewahnya. Gaji pokok sebesar Rp. 18 juta sebulan saya pikir cukup untuk
sekadar bertahan hidup dan membiayai kebutuhan harian keluarga. Akan tetapi
jika ingin memiliki banyak rumah, mobil, dan beragam harta lainnya maka gaji
pokok yang ia miliki tentu jauh dari cukup.
Hal
yang kurang lebih sama juga kita temukan dalam diri kelompok-kelompok oligarki.
Mereka pun tentu rela melakukan suap demi kepentingan mereka sendiri. Masih
dalam kasus korupsi Nurhadi, PT Lippo Group, menyuap Nurhadi demi “mengamankan”
sejumlah aset dalam perseteruan mereka dengan Astro Group. Dari sini bisa juga
dilihat bahwa motif utama PT Lippo Group melakukan suap adalah untuk
mempertahankan harta milik. Apabila membiarkan hukum berjalan sebagaimana
mestinya, maka sudah pasti Lippo Group akan kehilangan banyak aset, dan
karenanya jalan yang ditempuh adalah dengan melakukan suap. Dengan kekuatan
uang yang mereka miliki, kelompok oligarki dapat melakukan segala hal, termasuk
menyuap aparat penegak keadilan. Jika sudah demikian maka tak ada hal yang
dapat merintangi pergerakan kelompok-kelompok oligarki ini dalam memperluas jaringan
kekuasaan mereka.
Selain
kasus suap yang melibatkan beberapa oknum dalam lembaga peradilan, kita dapat
melihat penguatan kejahatan korupsi juga turut meluas sampai ke tubuh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini saya lihat misalnya ketika DPR berusaha merevisi
Undang-Undang (UU) KPK beberapa waktu lalu. Usaha yang dilakuakan oleh DPR bagi
saya merupakan salah satu bentuk pelemahan terhadap KPK dan dukungan bagi
perluasan kejahatan korupsi. Apa yang dilakuakn oleh DPR bagi saya merupakan
salah satu usaha untuk menghindarkan diri dari jeratan hukum mengingat banyak
anggota DPR yang juga turut terlibat dalam kasus korupsi. Keberadaan KPK bagi
mereka yang turut terlibat dalam kasus korupsi merupakan sebuah ancaman besar,
sebab lembaga ini bersifat independen, dan mereka yang bekerja dalam lembaga
ini memiliki integritas yang tinggi sehingga sulit untuk disuap. Usaha untuk memperlemah
KPK melalui revisi UU KPK juga didorong oleh motivasi untuk mempertahankan diri,
sebagaimana juga pernah dikatakan Hobbes dalam antropologinya, pada dasarnya
manusia digerakkan oleh kebutuhan untuk mempertahankan diri. Dengan melemahnya
KPK, maka mereka yang terlibat dalam kasus korupsi akan semakin merajalela.
Selain itu, usaha untuk memperlemah KPK oleh DPR juga didorong oleh kepentingan
partai-partai di DPR itu sendiri dalam menjaga nama baik partainya, sebab
banyak anggota partai mereka yang terlibat dalam kasus narkoba.
Sejauh
ini negara, melalui KPK (baik itu dalam bentuk usaha kuratif, preventif,
ataupun melalui usaha pemberdayaan masyarakat), terbilang cukup serius dalam
menangani kasus korupsi. Hanya saja mengingat luasnya jaringan kejahatan
korupsi yang menysup sampai ke tubuh aparat penegak hukum serta turut
melibatkan pejabat-pejabat pemerintah, maka tidak heran apabila kejahatan ini
sulit dibasmi. Oleh karena itu, menurut saya tidak cukup apabila usaha
pemberantasan korupsi yang sedemikian rumit hanya dilakukan oleh pemerintah
atau juga oleh KPK melainkan sebaiknya turut melibatkan masyarakat.
Peran
Ruang Publik dalam Mencegah Bahaya Korupsi
Gagasan
Habermas tentang ruang publik (yang mendapat legitimasi hukum) saya pikir
efektif dalam mengatasi masalah korupsi. Dalam demokrasi deliberatif ruang
publik memiliki peran sentral untuk mengatur kebijakan-kebijakan bersama dalam
kehidupan politis. Sebagaimana dikatakan Habermas, ruang publik merupakan
arena-arena komunikasi politis warganegara, sebuah kondisi kebebasan
komunikatif dan merupakan prosedur komunikasi, bukan institusi ataupun
organisasi. Para aktor ruang publik antara lain misalnya para tokoh lintas
agama, lembaga-lembaga LSM, gerakan-gerakan sosial, dsb.
Salah
satu poin yang juga menarik dari pemikiran Habermas adalah bagaimana ia merubah
pembagian kekuasaan dalam pemikiran demokrasi klasik menjadi bentuk-bentuk
komunikasi politis. Meskipun cara pandang demokrasi klasik atas pembagian
kekuasaan sudah mengacu pada logika komunikasi politis, tetapi logika ini masih
terkungkung di dalam sebuah kurungan institusional yang sangat terbatas. Logika
ini terbatas pada logika sistem politis.
Menurut Habermas pemahaman macam ini berbahaya. Kekuasaan politis dipahami
sebagai suatu substansi yang dapat “dipakai”. Bahayanya adalah bahwa hanya para
pejabatlah yang dapat memakai substansi itu, sementara para warga yang tidak
menduduki jabatan tertentu tidak memiliki akses ke kekuasaan politis itu.
Penalaran-penalaran politis tidak hanya menjadi urusan para pejabat atau para
politikus, melainkan juga urusan setiap warganegara.[8]
Sebagai
konsekuensi dari cara pandang ini, menurut Habermas (sebagaimana juga
ditegaskan Rousseau) DPR/MPR tidak bisa dipikirkan sebagai satu-satunya lembaga
pengejawantahan kehendak rakyat. Undang-undang yang telah disahkan sebagai
pengkristalan deliberasi politis tidak boleh mengklaim kebenaran absolut,
meskipun undang-undang itu legitim. Undang-undang harus terbuka untuk direvisi.[9] Lebih jauh Habermas kemudian berbicara mengenai
demokrasi radikal. Menurutnya demokrasi radikal terwujud dalam bentuk
organisasi - diri warganegara atau - dalam istilah Habermas “pemerintahan oleh
yang diperintah”. Demokrasi radikal bukanlah
demokrasi langsung tempat para warganegara sendiri sebagai legislator
secara langsung menghasilkan undang-undang mereka, melainkan kontrol tidak langsung atas
institusi-institusi demokratis dengan medium hukum.[10]
Peran
masyarakat (yang terwujud dalam ruang publik) dalam melawan kejahatan korupsi
di Indonesia salah satunya dapat dilihat dalam penolakan masyarakat terhadap rencana DPR untuk merevisi UU KPK sebagaimana
diuraikan dalam contoh sebelumnya. Kala itu masyarakat yang tergabung dalam
berbagai macam gerakan di berbagai daerah di Indonesia turut menyuarakan
aspirasi mereka yang pada intinya menolak rencana revisi UU KPK. Kita semua
tahu akhir dari perjuangan rakyat, Presiden kemudian menunda untuk mensahkan
rencana yang diajukan oleh DPR tersebut. Dalam hal ini bisa disaksikan
bagaimana masyarakat turut berperan dalam proses legislasi sebuah UU. Jika kita
merujuk pada pemikiran Habermas, baginya UU yang disahkan DPR/MPR seharusnya
merupakan hasil dari berbagai macam argumentasi untuk mencari solusi atas
masalah-masalah tertentu. Jadi, jika kita konsisten dengan apa yang dikatakan
Habermas, maka kemauan keras DPR yang ingin merevisi UU KPK perlu
dipertanyakan, sebab selain tidak melalui diskursus yang rasional, rencana
revisi UU tersebut tampaknya berlawanan dengan kehendak rakyat, sebab efek yang
dapat ditimbulkan apabila rencana revisi UU tersebut disahkan sepertinya hanya
akan menguntungkan pihak tertentu. Jadi bisa dilihat bahwa dalam politik
pemberdayaan, di mana ruang publik memiliki peran sentral dalam mengatur
kebijakan bersama, masyarakat turut memiliki andil besar dalam menentukan arah
kebijakan pemerintah, dan khusus dalam kasus ini setidaknya masyarakat turut
ambil bagian dalam mencegah semakin merebaknya korupsi dengan menolak rencana
revisi UU KPK oleh DPR.
Selain itu, dalam model
politik ini media massa turut menyumbangkan peran yang berarti. Melalui media
massa ide-ide masyarakat disampaikan kepada pemerintah, atau kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Melalui media massa masyarakat dimungkinkan untuk menyampaikan
kritikan, atau juga dukungan, bagi kebijakan-kebijakan pemerintah. Media massa
turut menjadi sarana terciptanya diskursus antara ruang publik dan pemerintah
dalam menentukan kebijakan yang mengatur kehidupan bersama.
Kesimpulan:
Keunggulan Model Politik Pemberdayaan
Keunggulan
penggunaan model politik pemberdayaan dalam hal pemberantasan kejahatan korupsi
dapat dilihat dalam peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dalam hal
ini bukanlah atas dasar paksaan, melainkan berangkat dari kesadaran. Dalam
model politik seperti ini masyarakat dilihat sebagai makhluk rasional yang
sadar akan kapasitas dan kemampuannya dalam memberi kontribusi bagi arah
kebijakan negara, dan karena kesadaran demikian mereka merasa sangat perlu
untuk menyuarakan hak mereka. Bagi mereka rencana revisi UU KPK oleh DPR hanya
menguntungkan pihak tertentu dan akan merugikan mereka, maka dari itu
masyarakat, dalam ruang publik, melalui berbagai macam gerakan menyuarakan
aspirasi mereka. Selain itu, pembuatan UU yang tidak lepas dari partisipasi
ruang publik juga bermanfaat untuk membuat UU yang mengabdi kepada HAM.
Misalnya saja kebijakan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. Untuk
membuat kebijakan ini sudah sepantasnya perlu melibatkan juga mereka yang tidak
menyetujui hukuman mati, sehingga alasan untuk menolak hukuman mati bisa
dijadikan bahan pertimbangan. Pelaksanaan hukuman mati tidak sebatas pada
persoalan pragmatis atau etis-politis, tetapi juga menyangkut persoalan HAM. Jadi
sistem kekuasaan yang terhubung ke ruang publik memungkinkan adanya kesetaraan
dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politis. Penentuan
kebijakan politis bukan merupakan monopoli kelompok tertentu, memalinkan
menjadi hak semua orang. Jika penentuan kebijakan politis pun turut melibatkan
masyarakat, maka bisa dipastikan kebijakan politis yang diambil tidak akan
emihak golongan tertentu, tetapi mengabdi kepada semua pihak yang tunduk pada
kebijakan yang diambil. Dalam kasus korupsi hal demikianpun bisa diterapkan.
Penentuan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan kejahatan korupsi
yang tdicapai melalui sebuah diskursus rasional bisa dipastikan tidak akan
memihak golongan oligarkis.
Apabila
menggunakan model politik penaklukan, hal sebaliknya justru terjadi, yaitu
masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk melawan kebijakan pemerintah yang
merugikan masyarakat. Dalam model politik demikian masyarakat sepenuhnya
bergantung pada kebijakan pemerintah, kebijakan yang diambil pemerintah selalu
“diamini” rakyatnya. Hal ini akan berjalan baik apabila kebijakan yang diambil
pemerintah dalam mencegah tindak korupsi dijamin berpihak pada rakyat. Akan
tetapi akan menjadi sebuah malapetaka apabila pemerintah justru bertindak
sebaliknya, yaitu menempuh kebijakan yang justru memihak para pelaku kejahatan
korupsi, atau bahkan pemerintah pun turut terlibat dalam kejahatan korupsi.
Dalam kasus seperti ini masyarakat tidak bisa melakukan perlawanan dan
sepenuhnya tunduk pada kebijakan pemerintah.
Dalam
model politik kebebasan, masyarakat terlibat, tetapi secara tidak penuh.
Misalnya saja dalam tubuh DPR/MPR. Dalam model seperti ini DPR/MPR dilihat
sebagai satu-satunya pengejawantahan suara rakyat. Apa yang disampaikan oleh
DPR/MPR bisa dikatakan sudah mewakili suara rakyat, sebab antara
lembaga-lembaga kekuasaan tidak terjalin komunikasi. Akibatnya, misalnya dalam
kasus pengambilan kebijakan berkaitan dengan tindakan korupsi, apa yang
disampaikan DPR/MPR bisa jadi segera disahkan tanpa adanya persetujuan
masyarakat. Dalam hal ini pun akses masyarakat untuk menyuarakan aspirasi
mereka terbilang terbatas. Aspirasi mereka sepenuhnya diserahkan kepada DPR/MPR
yang merupakan satu-satunya pengejawantahan suara rakyat.
Bagi
sebagian orang, cara melawan kejahatan korupsi dengan model politik
pemberdayaan mungkin dinilai lamban, sebab untuk mencapai sebuah konsensus dengan
diskursus rasional dibutuhkan waktu yang relatif lama. Akan tetapi, meskipun
memakan waktu yang cukup lama, model politik seperti ini lebih efektif karena
meresap sampai ke dalam kesadaran setiap individu yang terlibat di dalam
diskursus, sebab kebijakan-kebijakan yang dijadikan sebagai pegangan bersama
berasal dari diskurus rasional yang mewakili kepentingan setiap individu yang
terlibat dalam diskursus tersebut. Di samping itu, efek yang muncul dari
kebijakan yang berasal dari sebuah diskursus bisa bertahan lebih lama
dibandingkan dengan efek yang timbul dari kebijakan dalam politik model penaklukan
atau model politik kebebasan, sebab dalam politik pemberdayaan masyarakat
merasa menjadi bagian dari kebijakan yang dihasilkan.
Daftar Pustaka
Budi Hardiman, F. Demokrasi Deliberati. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
http://argyo.staff.uns.ac.id/2012/12/13/
Tempo, 8 Mei 2016.
[1] Data BNN mencatat sekitar 4,2 juta
warga Indonesia menggunakan narkoba pada pertengahan 2014 dan lembaga ini
menargetkan bisa merehabilitasi sekitar 100 ribu pengguna narkoba di tahun ini.
[2] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150429202212-12-50148/bnn-ingatkan-50-orang-meninggal-setiap-hari-karena-narkoba/, diunduh pada tanggal 2 Mei, pkl. 19.00 wib.
[3] Tempo, 8 Mei,
2016, hal. 72.
[4] http://www.antikorupsi.org/id/content/kerugian-negara-akibat-korupsi-2015-sebesar-31-triliun, diunduh pada tanggal 2 Mei, pkl.20.05
wib.
[5] http://argyo.staff.uns.ac.id/2012/12/13/terorisme-risiko-nyata-kehidupan-masyarakat-kota/ diunduh pada tanggal 2 Mei, pkl. 20.15
wib.
[6] Tempo, 8 Mei,
2016, hal. 38.
[7] http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912, diunduh pada tanggal 2 Mei, Pkl. 21.35 wib.
[8] F. Budi Hardiman, demokrasi deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 105-106.
[9] F. Budi Hardiman, demokrasi
deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 107.
[10] F. Budi Hardiman, demokrasi
deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal. 111.