Kamis, 25 Februari 2016

Konsep negara menurut John Locke (dalam perbandingan dengan Hobbes)


Locke, sebagaimana Hobbes, berpendapat bahwa pembentukan masyarakat politik atau negara didahului oleh suatu keadaan alamiah di mana individu memiliki hak-hak alamiah atau kodrati. Namun keadaan alamiah dalam pandangan kedua tokoh ini berbeda secara fundamental. Berbeda dari Hobbes yang memandang keadaan alamiah sebagai keadaan perang, Locke memandang keadaan alamiah sebagai sebuah keadaan harmonis. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan (state of libery), tetapi bukan berarti orang berbuat sekehendaknya (state of license). Dalam keadaan ini individu terikat oleh hukum-hukum kodrat,[1] yang melarang siapa pun untuk merusak atau memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik pihak lain. Dalam kondisi ini ada kebebasan dan kesamaan. Namun dalam keadaan alamiah itu hak-hak kodrati individu tidak selalu terjaga, karena dalam keadaan alamiah itu setiap individu adalah raja dan sebagian besar individu tidak sepenuhnya menghormati hak orang lain. Bila pelaksanaan hukum diserahkan kepada masing-masing, maka akan terjadi konflik interpretasi tentang makna hukum. Oleh karena itu kondisi ini tidak memadai untuk menjamin hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik.[2] Inilah yang dinamakan keadaan perang (state of war).
Kondisi ketika banyak individu tidak lagi menghargai hak individu lain yang berakibat pada tidak terjaminnya hak hidup, hak kebebasan, dan harta milik, atau yang dapat diringkas dengan sebutan hak milik mendorong individu-individu itu bersepakat mengadakan kontrak untuk mendirikan negara. Lewat kontrak sosial itu dihasilkan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif yang dibatasi oleh hukum-hukum dasar tertentu. Hukum-hukum itu melarang pemerintah merampas hak-hak individu, dan pemerintah diperlukan justru untuk menjamin keamanan seluruh masyarakat, dan lebih khusus lagi fungsi pokok pemerintah, menurut Locke, adalah menjaga milik pribadi.[3] Hal ini tampak dalam Letter on Toleration di mana Locke sendiri menulis:
Negara bagi saya adalah sebuah masyarakat manusia yang didirikan hanya untuk memelihara dan memajukan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Apa yang saya sebut kepentingan-kepentingan masyarakat adalah kehidupan, kebebasan, kesehatan fisik dan kebebasan dari rasa sakit, serta kepemilikan benda-benda jasmani, seperti tanah, uang, perabotan  rumah tangga, dan lain sebagainya.[4]
Jadi bagi Locke motif dasar didirikannya negara adalah untuk memelihara keharmonisan dalam keadaan alamiah, yaitu keadaan kesamaan dan kebebasan, di mana hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik terjamin. Berbeda dari Locke, bagi Hobbes alasan berdirinya negara adalah untuk mengakhiri keadaan alamiah (keadaan perang), sebab di dalam keadaan ini hidup individu terancam. Untuk itu, menurut Hobbes, berdasarkan pertimbangan akal budinya manusia kemudian mengadakan suatu perjanjian untuk mendirikan negara yang akan memaksa mereka untuk hidup bersama dengan aman dan damai, dan kepada negara hasil perjanjian tersebut individu-individu menyerahkan seluruh haknya dan menaklukkan diri di bawahnya.[5]
Implikasi negara yang akan terbentuk atas dasar motif Hobbesian adalah sebuah negara absolut, sebab dalam negara Hobbesian individu menyerahkan semua haknya kepada negara dan tunduk sepenuhnya kepada negara. Negara yang kepadanya individu menyerahkan seluruh haknya, tidak terikat dan tunduk kepada individu-individu yang membentuknya. Sedangkan pada negara Lockean tidak semua hak individu diserahkan kepada negara. Individu hanya menyerahkan dua hak yang mereka miliki dalam keadaan alamiah, yaitu hak untuk menentukan sendiri bagaimana setiap warga harus mempertahankan diri dan hak untuk menghukum para pelanggar hukum menurut aturan hukum kodrat. Hak membuat undang-undang, yakni hak legislatif atau hak eksekutif dan pelaksanaannya, diserahkan kepada negara, tetapi seluruh proses harus didasarkan pada syarat yang harus dipenuhi negara, yaitu keberlangsungan hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Kekuasaan tertinggi, yaitu kedaulatan, tetap menjadi milik rakyat. Negara absolut tidak sesuai dengan tujuan masyarakat.[6]
Dalam konteks Indonesia pandangan John Locke tentang peran negara dalam melindungi harta milik warganya dapat kita lihat salah satunya dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peran KPK , sebagai sebuah lembaga negara, dalam memberantas tindakan korupsi saya lihat sebagai salah satu upaya negara dalam melindungi harta milik rakyat (misalnya saja uang negara yang sejatinya digunakan demi kesejahteraan rakyat) dari ancaman para koruptor. Dalam pelaksanaan tugasnya KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. Apa yang dilakukan KPK ini saya pandang sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, terutama dalam melindungi harta milik rakyatnya.

Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga. 2002.
Locke, John. Kuasa itu Milik Rakyat. Terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Parry, Geraint (Ed.). Political Thinkers No. 8: John Locke. London: George Allen & Uwin, 1978.
Tjahjadi, Simon P.L. Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern. Jakarta: STF Driyarkara. 2014.




[1] Sastrapratedja, kata pengantar  dalamKuasa itu Milik Rakyat, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 9.
[2] Sastrapratedja, hal. 12
[3] F. Budi Hardiman, pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta: Erlangga, 20012,  hal. 70.
[4] Geraint Parry (Ed.), Political Thinkers No. 8: John Locke, London: George Allen & Uwin, 1978,  hal. 110.
[5] Simon P.L. Tjahjadi, Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta: STF Driyarkara, 2014, hal.44-45.
[6] Sastrapratedja,  hal. 12.

Senin, 01 Februari 2016

Gereja yang Satu dan Katolik


Indonesia merupakan sebuah negara dengan masyarakat yang majemuk. Hal ini dapat dibuktikan dengan beraneka ragamnya budaya, bahasa daerah, agama, suku, dan ras yang terdapat di Indoensia. Kemajemukan ini di satu sisi memberi rasa bangga tetapi di sisi lain bisa menjadi sumber konflik. Gereja Katolik sendiri ketika masuk ke Indonesia (dan juga tentunya di wilayah-wilayah lain di belahan bumi lainnya) dituntut untuk dapat beradaptasi. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah, sebab selain tuntutan untuk beradaptasi dengan kebudayaan setempat, Gereja Katolik juga dituntut untuk tetap mempertahankan keautentikan ajarannya. Jangan sampai karena hasrat untuk beradaptasi yang begitu mengebu-gebu, Gereja Katolik malah kehilangan identitas dirinya.
Dalam tulisan singkat ini saya akan mencoba untuk mengulas sikap Gereja Katolik terhadap agama/kebudayaan lain, terutama berkaitan dengan sifat Gereja Katolik yang satu dan Katolik. Kedua sifat ini, di satu sisi bisa merupakan peluang bagi sebuah sikap inklusivitas, tetapi di lain pihak bisa menjatuhkan Gereja Katolik pada sikap ekslusivitas. Paper ini coba menjawab tesis: Gereja Katolik mementingkan sekali sifat satu dan katolik. Bagaimana kedua hal itu sejalan/tidak sejalan dengan hasrat membangun komunitas inklusif ? Mengingat situasi masyarakat Indonesia yang majemuk, terutama dalam hal keagamaan, maka bertolak dari tesis ini saya mencoba untuk melihat hubungan antara Gereja Katolik dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia (baik agama yang diakui negara maupun agama-agama lokal). 

  Gereja yang Satu
          Dari alkitab tampaklah bahwa Gereja terbina oleh karya satu Allah (1 Kor. 8:6); berkat satu wahyu dalam satu Tuhan Yesus Kristus, yang sudah disalibkan, wafat dan bangkit serta dimuliakan (Rm. 14:7, dst.); dalam karya satu Roh Allah dan Roh Kristus (Ef. 2:18). Kesatuan ini dibuka dalam satu Injil, satu Baptis dan satu Jabatan yang dikurniakan kepada Petrus dan Keduabelasan.[1] Oleh Paulus kesatuan ini digambarkan sebagai “tubuh” yang dibentuk dengan baptis dan diaktualisasikan dengan Perayaan Pemecahan Roti (1 Kor. 10:17).
          Selain dalam Kitab Suci, sifat Gereja yang satu dapat kita lihat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) art. 815:
kesatuan Gereja penziarah juga diamankan oleh ikatan persekutuan yang tampak berikut ini:
– pengakuan iman yang satu dan sama, yang diwariskan oleh para Rasul;
– perayaan ibadat bersama, terutama Sakramen-sakramen;
– suksesi apostolik, yang oleh Sakramen Tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara-saudari dalam keluarga Allah.
Lebih jauh, dalam KGK art. 816 dijelaskan:
"Itulah satu-satunya Gereja Kristus... Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para Rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing... Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam [subsistit in] Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya (LG 8).
Dekrit Konsili Vatikan II mengenai ekumene menyatakan: "Hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia. Dalam Tubuh itu harus disatu-ragakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk Umat Allah" (UR 3).[2]
Segi lahiriah sifat satu ini tampak dalam satunya iman, sakramen, ibadat dan pimpinan. Semua ini merupakan buah dari karya Yesus dan Rohnya serta sekaligus mewujudkan bentuk inderawi dari Kehendak Tunggal Allah untuk menyelamatkan manusia, yang harus ditampilkan oleh Gereja.[3]

Gereja yang Katolik
            Kata “Katolik” tidak terdapat dalam Kitab Suci, tetapi sudah dipakai oleh Ignatius dari Antiokhia untuk menunjukkan sifat universal (semesta) Gereja yang tersebar di seluruh dunia. Sejak abad ke-2 kata “Katolik”, dalam arti universal, mulai dilawankan dengan aneka sekte dan bidaah (ajaran salah) yang bermunculan pada zaman itu. Kata “Katolik” tetap berarti “umum”, universal, tetapi dipakai untuk menunjuk pada Gereja yang “benar”, dilawankan dengan bidaah-bidaah itu. “Katolik” adalah kata yang baru dan sebelum tahun 380 tidak dipakai dalam syahadat.[4]
Makna kekatolikan Gereja adalah bahwa Gereja, berkat kehendak Allah untuk menyelamatkan semesta dunia, karena penebusan Yesus Kristus yang secara hakiki berlaku bagi semua orang dan mengingat karya Roh Kudus untuk seluruh umat manusia, terbuka dan harus terbuka untuk semua manusia baik dilihat dari sudut tempat maupun waktu. Maka Gereja harus menerima pluralisme yang hakiki bagi sejarah manusia dan dikehendaki Tuhan, pluralisme bidang perorangan dan bidang kemasyarakan. Gereja juga tidak dapat membatasi pewartaan dan bentuk-bentuk hidupnya pada sesuatu bentuk lingkungan kebudayaan tertentu atau suku bangsa tertentu sampai menolak yang lain.[5] Pemanggilan Paulus untuk menjadi rasul bagi orang non-Yahudi menunjukkan bahwa keselamatan tersedia bagi semua bangsa tanpa terkecuali.
          Gereja sebagai perwujudan Kehendak Allah untuk menyelamatkan semua dan seluruh pribadi manusia ditunjukkan dalam LG art. 13:
Sebab demi tujuan itulah (memperstukan anak-anakNya yang tersebar) Allah mengutus putera-Nya, yang dijadikan-Nya ahli waris alam semesta (lih. Ibr 1:2), agar Ia menjadi Guru, Raja, dan Imam bagi semua orang, kepala umat anak-anak Allah yang baru dan universal.[6]

Bahaya Eksklusivitas
          Sifat Gereja yang satu dan katolik dapat menjadi penghambat bagi terciptanya sebuah komunitas inklusif apabila kedua sifat ini dilihat sebagai dua hal yang terpisah. Dalam sifat satu Gereja dapat jatuh ke dalam ektrem eksklusivitas apabila sifat ini begitu ditekankan sedemikian rupa sampai-sampai tidak membuka kemungkinan bagi adanya dialog dengan pihak di luar dirinya. Misalnya saja sebagaima yang sudah disebutkan dalam KGK art. 815 di mana Gereja Katolik memandang dirinya sebagai satu-satunya kepenuhan keselamatan. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidaksenagan bagi saudara-saudari dari denominasi lain, sebab di sini seolah-olah Gereja Katolik tidak menghargai ajaran iman dari denominasi lain.
          Selain itu, sifat Satu tampaknya bertentangan dengan sifat Katolik, sebab di satu sisi Gereja memandang diri sebagai tempat kepenuhan keselamatan, tetapi di lain sisi Gereja juga mengakui adanya kebenaran dalam agama/budaya lain yang dapat membawa para penganutnya kepada keselamatan. Sebagaimana jika memahami secara dangkal sifat gereja yang satu jatuh dalam sikap inklusivisme, sama halnya jika memahami secara dangkal sifat Gereja yang katolik. Seolah-olah sifat Katolik mau menggambarkan sikap Gereja yang begitu saja mau menerima unsur-unsur di luar dirinya tanpa disertai sikap kritis.
Cara pandang seperti ini bisa dikatakan sempit, sebab kedua sifat Gereja ini dilihat secara dangkal dan dipandang sebagai dua sifat yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Cara melihat secara dangkal inilah yang dapat mengantar orang pada pemahaman yang salah berkaitan dengan sikap Gereja terhadap agama/budaya lain, sehingga tampaknya Gereja bersikap eksklusif.

  Gereja yang Inklusif
          Sifat Gereja yang satu dan katolik tampaknya memang bertolak belakang, tetapi kedua hal ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Di satu sisi Gereja perlu memberi penegasan berkaitan dengan sifat kesatuannya sebagaimana tampak dalam KGK art. 815, akan tetapi jika hal ini begitu ditekankan maka Gereja akan jatuh pada sikap eksklusivitas, sebab bisa saja Gereja tidak mengakui benih-benih kebenaran yang mungkin ada dalam agama/kebudayaan di luar dirinya. Di sisi lain Gereja juga tidak bisa terlalu menekankan sifat katoliknya yang apabila disalahartikan bisa juga jatuh pada sikap relativisme, sebab keterbukaan yang dimaksud bukanlah keterbukaan buta di mana semua unsur di luar dirinya dipandang sebagai kebenaran. Kedua sifat ini (satu dan katolik, tanpa mengecualikan sifat kudus dan apostolik) harus selalu berjalan bersamaan, sebab antara keempatnya terdapat unsur-unsur yang saling melengkapi sehingga memberi kekhasan pada Gereja Katolik.
          Salah satu contoh sikap Gereja yang inklusif dapat dilihat dalam artikel “Inkulturasi di Keuskupan Ruteng” (terlampir). Di situ digambarkan bagaimana iman Katolik dipadukan dengan budaya setempat (budaya Manggarai, Flores, NTT) ditunjukkan dalam misa inkulturasi. Dalam misa yang memperingati Yubelium 100 Tahun Gereja Katolik di Manggarai, unsur-unsur budaya Manggarai dimasukkan dalam liturgi, misalnya saja upacara kepok[7] (dilaksanakan di awal misa, tepatnya sebelum perarakan masuk, untuk menyambut rombongan uskup dan para imam), misa dengan menggunakan bahasa Manggarai, serta tari-tarian daerah Manggarai dalam misa tersebut (dalam perarakan pembuka dan persiapan persembahan). Selain itu, dalam artikel tersebut juga dijelaskan bagaimana iman Katolik mulai meresapi aspek kehidupan orang Manggarai, misalnya dalam upacara pembagian lahan pertanian (lingko). Dalam upacara ini, tidak hanya didoakan doa-doa adat, tetapi juga digunakan doa-doa Katolik.
          Salah satu hal yang penting di sini adalah bahwa meskipun terdapat inkulturasi, ajaran iman Katolik tidak menjadi kabur ketika berjumpa dengan budaya Manggarai. Keautentikan ajaran iman Katolik tetap terjaga. Gereja Katolik, dalam perjumpaannya dengan budaya setempat, tetap menjaga jarak, ada unsur-unsur tertentu dalam Gereja Katolik yang tidak bisa diubah ketika berjumpa dengan budaya setempat. Misalnya saja dalam artikel tersebut upacara kepok dilakukan sebelum misa dimulai sehingga tidak mengubah tata urutan dalam ekaristi. Selain itu unsur-unsur lain dari budaya Manggarai yang dimasukkan dalam misa tersebut juga tidak mengubah tata urutan perayaan ekaristi, misalnya tarian yang dilaksanakan saat perarakan imam atau dalam perarakan bahan-bahan persembahan. Penggunaan bahasa Manggarai pun disesuaikan sedemikian sehingga tidak mengubah makna iman sebagaimana dimaksudkan oleh Gereja.
Dalam refleksi saya Gereja Katolik pada prinsipnya senantiasa membuka diri bagi terciptanya dialog dengan agama/budaya lain. Hanya saja ketika terjadi perjumpaan Gereja mau tidak mau harus tetap menjaga jarak dengan agama/budaya tersebut demi kemurnian ajarannya. Salah satu caranya adalah dengan mempertegas batas-batas ajaran iman katolik yang sama sekali tidak boleh direlatifkan ketika berjumpa/berdialog dengan agama/budaya lain, sebab jika tidak bisa terjadi bahwa nilai ajaran iman Katolik menjadi kabur ketika coba “didamaikan” dengan unsur-unsur tertentu dari agama/budaya lain. Terutama setelah Konsili Vatikan II, pandangan Gereja Katolik terhadap agama/budaya lain condong pada penilaian yang positif.
          Dalam Gereja Katolik kita dapat menjumpai beragam pendapat (terutama dari para teolog) berkaitan dengan sikap yang harus diambil ketika berhadapan dengan agama/budaya lain. Para teolog memiliki kebebasan untuk menyampaikan pandangannya, termasuk berkaitan dengan sikap Gereja terhadap pluralisme dan dialog antara Gereja Katolik dengan agama/budaya lain. Pandangan mereka haruslah disesuaikan dengan ajaran iman Gereja Katolik. Jika pandangan mereka menyimpang maka mau tidak mau teolog yang bersangkutan harus menarik kembali pandangannya jika masih ingin menjadi anggota Gereja. Contohnya adalah pandangan John Hick, Paul Knitter, dan Raymond Panikkar.[8] Berangkat dari kesadaran postmodern bahwa setiap kebudayaan dan setiap agama secara historis dikondisikan dan diarahkan menuju kepada kebenaran, terutama kebenaran tentang Tuhan, yang secara linguistik dan kultural diyakini (dan karenanya terbatas, parsial dan relatif). Para pluralis berpandangan bahwa semua agama muncul dari dan menggambarkan pengalaman realitas yang sama, dan karena itu semuanya sama validnya sebagai mediator keselamatan. Klaim kebenaran dari setiap agama (dari perspektif kaum pluralis) seharusnya merupakan urusan internal agama tersebut.[9] Akan tetapi pandangan ini memiliki kelemahan, sebab pandangan ini mengabaikan peran Kristus sebagai penyelamat dan mengosongkan makna iman, dan juga pandangan ini bisa jatuh pada paham indiferentisme, di mana setiap agama dipandang tidak ada bedanya.
Pandangan lain yang mungkin dapat kita lihat selain pandangan kaum pluralis adalah pandangan Karl Rahner. Dengan istilahnya yang khas “Kristen anonim” Karl Rahner membuka dialog yang “lebih sehat”. Bagi Rahner seorang “Kristen anonim”[10] dapat memperoleh keselamatan dengan mengikuti kesadaran mereka dalam iman, harap, dan kasih. Meskipun mengakui keselamatan juga ada di luar agama Kristen, tetapi Rahner sendiri tetap mengakui bahwa kepenuhan keselamatan hanya ada dalam agama Kristen dan peran Kristus sebagai satu-satunya mediator keselamatan. Kisah dalam Mat.25:32-46 (kisah pemisahan antara kambing dan domba) menjadi acuan Rahner dalam pandangannya ini. Akan tetapi pandangan Rahner ini juga tidak luput dari kritik, sebab penyebutan “Kristen anonim” bagi mereka yang non-Kristen tanpa persetujuan mereka dinilai sewenang-wenang.[11] Menurut saya pandangan Rahner lebih membuka terciptanya dialog yang sehat dengan agama/budaya lain dibandingkan dengan pandangan kaum pluralis, sebab di satu sisi kita bisa mengakui kebenaran yang ada dalam diri mereka tetapi di sisi lain kita juga tetap bisa mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang kita yakini hanya terdapat dalam agama kita tanpa jatuh pada bahaya sinkretisme. Dalam hal ini Gereja dapat membangun sebuah sikap inklusif, tetapi dengan disertai sikap yang lebih kritis.
          Sikap Gereja Katolik terhadap kepercayaan lain yang bukan Kristiani dapat kita lihat juga dalam Lumen Gentium art. 16. Di sana dijelaskan bahwa rencana keselamatan juga merangkum mereka yang mengakui Sang Pencipta. Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Sebab apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan injil, dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.[12]

Penutup
      Menurut saya sifat Gereja yang satu dan Katolik pada dasarnya tidak perlu dipertentangkan, sebab ketika kedua hal ini dipertentangkan maka akan ada bahaya eksklusivisme dan relativisme. Gereja Katolik, terutama pasca Konsili Vatikan II, telah membuka pandangan yang lebih sehat berkaitan dengan hubungannya dengan agama/kebudayaan lain. Gereja Katolik senantiasa terbuka terhadap unsur-unsur kebenaran yang ada dalam agama/kebudayaan lain, bahkan melalui agama/kebudayaan tersebut seseorang bisa mencapai keselamatan. Akan tetapi, mengikuti Karl Rahner, kepenuhan keselamatan hanyalah mungkin terjadi di dalam Gereja Katolik, dan satu-satunya penyelamat segenap umat manusia adalah Yesus Kristus. Di sini Gereja Katolik telah mengambil sikap yang kritis. Di satu pihak Gereja mengakui adanya benih-benih kebenaran dalam agama/budaya lain, tetapi di lain pihak Gereja Katolik tetap berpegang pada ajaran imannya. Pada akhir paper ini baiklah jika melihat sikap Gereja yang mungkin dapat dilihat sebagai sebuah sikap inklusif. Hal ini tertuang dalam Gaudium et Spes art. 22:
          “karena Kristus telah wafat bagi semua orang dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh bahwa    Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang untuk… digabungkan dengan misteri paskah itu.[13]



Lampiran
Inkulturasi di Keuskupan Ruteng[14]
HIDUPKATOLIK.com - Keuskupan Ruteng terletak di ujung barat Pulau Flores. Gereja Keuskupan Ruteng mencakup wilayah tiga kabupaten, yakni Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Luas wilayah pelayanannya mencapai 7.136,04 km2.
Keuskupan ini merupakan keuskupan dengan jumlah umat Katolik terbanyak di Indonesia. Keuskupan ini memiliki jumlah umat Katolik sebanyak 770.219 orang dari 853. 937 penduduk Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Jumlah ini mencapai 90% lebih. Keuskupan juga memiliki 80 paroki dengan 52 kongregasi yang berkarya di dalamnya.
Secara geografis, Pulau Flores terletak di sebelah selatan khatulistiwa dengan iklim moonson. Sebagian besar wilayah Keuskupan Ruteng berada di daerah dataran tinggi sehingga udara cenderung dingin. Sedikit berbeda dengan wilayah Labuhan Bajo, yang merupakan daerah pesisir pantai. Udara di Labuhan Bajo dan sekitarnya cenderung panas. Daerah Manggarai, Keuskupan Ruteng, merupakan daerah yang subur dibandingkan daerah lain di NTT.
Dalam budaya agraris masyarakat Manggarai, Keuskupan Ruteng, terdapat keunikan dalam pola pembagian lahan pertanian (lingko), khususnya sawah. Masyarakat setempat menyebut sawah tersebut sawah lodok. Sawah lodok adalah areal persawahan yang pola pembagiannya menyerupai jaring laba-laba. Sawah lodok banyak dijumpai di Kampung Cara, Cancar dan Lembor, Manggarai Barat.
Inkulturasi

Di titik pusat (lodok) tersebut, masyarakat sering melakukan upacara adat. Upacara itu dilakukan saat memasuki musim tanam dan panen. Seiring berjalannya waktu, inkulturasi terjadi dalam upacara adat yang digelar. Selain doa-doa secara adat, upacara musim tanam dan panen menggunakan tata cara doa Katolik. Biasanya dalam upacara adat seperti itu diadakan ibadat atau Misa secara Katolik.
Ini menunjukkan bahwa iman dan budaya bisa berjalan beriringan. Seiring berkembangnya Gereja Katolik Manggarai, Keuskupan Ruteng juga mempengaruhi pola kehidupan masyarakat setempat. Mereka tetap mempertahankan budaya masyarakat Manggarai dengan tak melupakan iman mereka sebagai orang Katolik.
Masyarakat Manggarai dan Gereja Katolik Manggarai berusaha untuk mempertahankan budaya setempat. Menurut Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng, inkulturasi menjadi salah satu gerakan yang hendak diupayakan Gereja, untuk ikut ambil bagian dalam usaha melestarikan budaya setempat, khususnya melalui perayaan Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai.

Uskup Bogor Mgr Michael Cosmas Angkur, yang merupakan putra Manggarai, mengungkapkan, ada kecenderungan besar terjadinya inkulturasi. “Saya berharap di tengah inkulturasi yang terjadi, Injil benar-benar mengakar dalam budaya, tapi tetap terbuka dalam kerajaan surga. Dalam bahasa Manggarai misalnya, muncul dalam pantun-pantun Manggarai,” ujar Mgr Angkur.
Salah satu cara Gereja Katolik Manggarai mempertahankan budaya, dengan menyelenggarakan Misa inkulturasi. Termasuk Misa inkulturasi dalam perayaan Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai di Gereja St Mikael Kumba, Jumat, 19/10.
Dalam Misa inkulturasi itu, suasana semarak begitu tampak. Kepok atau penyambutan secara adat dilakukan sebelum Misa dimulai. Para uskup yang hadir menerima selendang dan peci, yang juga dikenakan saat Misa inkulturasi.
Tarian Sae dan irama takkitu-mbata, iringan musik khas Manggarai, mengiringi jalannya Misa. Umat yang hadir mengenakan songke, songkok (peci), dan selendang. Pada Misa yang dipimpin Mgr Michael Cosmas Angkur tersebut, seluruh Tata Perayaan Ekaristi menggunakan bahasa Manggarai. Lagu-lagu hingga khotbah menggunakan bahasa Manggarai. 
Semarak Misa inkulturasi dalam perayaan 100 tahun Gereja Katolik Manggarai, sedikit berbeda dengan Misa Yubileum keluarga pada hari berikutnya, 20/10. Misa keluarga yang diselenggarakan di Gereja Katedral Ruteng ini dipimpin oleh Duta besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Antonio Guido Filipazzi, didampingi para uskup dan imam. Suasana tenang mewarnai gereja. Meskipun demikian, inkulturasi dengan budaya setempat tetap tampak dalam kepok sebelum Misa dimulai, dan tarian Sae yang ditampilkan dalam Misa.



Maria Pertiwi






Daftar Pustaka


Hardawiryana, SJ (Penrj.). Dokumen Konsili Vatikan II. Obor: Jakarta. 2012.

Harry Susanto, SJ (Penrj.) Katekismus Gereja Katolik. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. 2013.

Manion, Gerard (ed.). Ecclesiological Investigations, Vol. 6: Globalization and the Mission of the Church. London: T&T Clark, 2009.


Maria Pratiwi, Inkulturasi di Keuskupan Ruteng, http://www.hidupkatolik.com/2012/12/14/inkulturasi-di-keuskupan-ruteng.

Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat Bahan Matakuliah Eklesiologi

Sifat-sifat atau Ciri-ciri Gereja, http://pendalamanimankatolik.com/sifat-sifat-atau-sifat-sifat-gereja/,       







[1] Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat Bahan Matakuliah Eklesiologi, hal. 2.
[2] Katekismus Gereja Katolik, art. 186.
[3] Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat Bahan Matakuliah Eklesiologi, hal. 2.
           diunduh pada Rabu, 2 Desember 2015, pkl. 21.15 wib.
[5] Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ. Ciri-ciri Gereja, Diktat Bahan Matakuliah Eklesiologi, hal. 2.
[6] Lumen Gentium art. 13, dalam Hardawiryana, SJ (Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Obor: Jakarta. 2012), hal. 87.
[7] Kepok adalah salah satu bentuk upacara dalam budaya Manggarai yang dilaksanakan untuk menyambut    seorang              tamu terhormat.
[8] Gerard Manion (ed.), Ecclesiological Investigations, Vol. 6: Globalization and the Mission of the Church, (London: T&T Clark, 2009), hal. 180.
[9] Gerard Manion (ed.), Ecclesiological Investigations, Vol. 6: Globalization and the Mission of the Church, hal. 180.           
[10] Istilah ini merujuk pada orang-orang non-Kristen yang meskipun tidak mengimani Yesus Kristus tetapi seturut hati nuraninya hidup sebagaimana diperintahkan dan diajarkan Yesus Kristus kepada para pengikutnya.
[11] Gerard Manion (ed.), Ecclesiological Investigations, Vol. 6: Globalization and the Mission of the Church, 179-180.
[12] Lumen Gentium art. 16, dalam Hardawiryana, SJ (Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Obor: Jakarta. 2012), hal.          91.
[13] Gaudium et Spes art. 22, dalam Hardawiryana, SJ (Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Obor: Jakarta.     2012),              hal. 548.
[14] Maria Pratiwi, Inkulturasi di Keuskupan Ruteng, http://www.hidupkatolik.com/2012/12/14/inkulturasi-di-              keuskupan-ruteng, diunduh pada Sabtu, 6 Desember 2015, okl. 10.00 wib.