Riwayat
Hidup Sokrates
Oleh
orang-orang Yunani figur Sokrates sering dianggap sebagai orang bijak yang “tidak
tahu apa-apa”. Tidak banyak hal yang diketahui secara pasti mengenai dirinya,
kecuali dari berbagai sumber yang terkadang saling mendukung satu sama lain,
tetapi juga sering saling bertentangan. Hal ini terutama karena Sokrates
sendiri tidak pernah menulis satu buku pun. Namun, meskipun tidak pernah
menuliskan satu buku pun, semua sekolah filsafat yang muncul setelahnya
menganggapnya sebagai guru mereka.
Sokrates,
pria pertama yang terkenal sebagai seorang filsuf, lahir di Athena sekitar
tahun 496 SM. Meskipun tumbuh di era keemasan Athena, namun sumber-sumber kuno
tidak menyebutkan informasi mengenai pendidikannya. Keluarganya tidak termasuk
keluarga miskin ataupun kaya. Ayahnya bernama Sophoroniscus yang adalah seorang
tukang batu, sedangkan ibunya adalah seorang dukun beranak (bidan) yang bernama
Phaenarete. Kewarganegaraannya diperoleh melalui kelahiran, dan ia adalah anggota
distrik Alopece. Kedua muridnya, Plato (sumber utama untuk hampir seluruh yang
kita ketahui mengenai Sokrates) dan Xenophon menggambarkan Sokrates sebagai
seorang yang buruk rupa. Hidungnya pesek melebar, matanya melotot ke luar,
bibir bawahnya tebal, perutnya buncit dan besar. Meskipun memiliki keadaan
fisik yang demikian, dikatakan jika Sokrates tidak berusaha menyembunyikan
keadaan fisiknya ini, misalnya saja dengan memakai pakaian dengan ukuran
tertentu untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang jelek.
Salah
satu hal menonjol dalam kisah hidup Sokrates adalah kemampuannya untuk
mendengarkan suara Ilahi yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri tetapi
tidak dapat didengar oleh orang lain. Ia mengisahkan sejak kanak-kanak hidupnya
adalah menjalankan “misi dari yang ilahi”. Dalam situasi-situasi tertentu suara
ilahi ini memerintahkan Sokrates untuk menghentikan aktivitasnya atau untuk
mengubah jalan kelakuannya, tetapi suara ilahi itu samasekali tidak menunjukkan
apa yang harus Sokrates lakukan. Menurut beberapa sumber, suara ilahi ini
membuat Sokrates terpisah dari lingkungannya. Ketika kecil ia seperti terisolasi
karena merasa dirinya berbeda, dan karenanya ini bagaikan sebuah kehilangan
besar baginya dalam fase hidupnya sebagai seorang manusia dan dalam
keberadaanya sebagai seorang makhluk sosial. Menurut Diogenes Laertius, ketika
wabah sampar pecah di Athena, Sokrates adalah satu-satunya pria yang lolos dari
wabah ini, sebuah tindakan yang sangat jelas membesar-besarkan Sokrates di mana
ketika itu jumlah masyarakat Athena yang musnah sangat besar, termasuk di
dalamnya adalah Perikles.
Saat
itu, setiap orang Athena memiliki hasrat yang besar untuk dapat berperang demi
membela tanah air mereka. Berperang pada masa ini hampir menjadi sebuah perhatian
tetap, sebagaimana orang Athena berjuang untuk mempertahankan supremasi
regional mereka atas rival utama mereka, Sparta. Meskipun tidak kaya, Sokrates
dapat membekali dirinya dengan baja ketika menjadi seorang prajurit infanteri.
Pada tahun 432 SM, Sokrates bergabung dalam pengepungan atas Potidaea, di mana
ia menunjukkan kekuatannya yang hebat yang menjadi ciri-cirinya dalam beberapa
sumber kuno tentang dirinya. Tokoh Alkibiades (dalam buku Platon berjudul Symposion) mengisahkan bahwa ketika
perang sedang menghebat dan dirinya terdesak oleh nusuh, bukan hanya senjatanya
yang diselamatkan Sokrates, tetapi dirinya pun lolos dari kematian berkat
Sokrates.
Pertalian
kata philosophy dengan Sokrates dan
cara hidupnya sebagian besar merupakan karya seorang pria, Plato, yang adalah
pengikutnya yang paling terkenal. Kata hubung dari kata Yunani philo (pecinta) dan sophos (kebijaksanaan), philosophos
atau pecinta kebijaksanaan, oleh Plato kata ini menggambarkan seseorang yang
ingin sekali mencari kebijaksanaan, seorang pencari kebenaran-seperti Sokrates,
yang dengan tajam oleh Plato dibedakan dengan filsuf lain. Ketika Sokrates
muncul, Athena berlimpah dengan guru-guru dari seluruh daerah berbahasa Yunani.
Athena sangat dipengaruhi oleh pemimpin demokrasi, Perikles, yang mengatakan
bahwa ia berteman dengan beberapa guru kebijaksanaan yang sangat masyur saat
itu, termasuk Anaxagoras. Anaxagoras berpidato untuk mendapat bayaran, terutama
dalam mempresentasikan teori-teori tentang unsur-unsur pembentuk kosmos. Dia mengguncang
orang-orang Athena dengan berani mengklaim bahwa matahari sangat besar, dan
merupakan batu yang berpijar karena sangat panas. Guru-guru lain, seperti
Gorgias (485-380) yang adalah seorang ahli pidato, memperoleh uang dengan
menunjukkan kepada para muridnya bagimana membentuk opini di hadapan rakyat
dengan seni berbicara ketika rakyat berkumpul di lapangan terbuka yang
merupakan ciri demokrasi Athena saat itu. Bagi Plato Sokrates tidak puas dengan
guru-guru seperti Anaxagoras dan Gorgias, dan karena itu kemudian ia berjalan
dalam jalannya sendiri untuk secara bebas memperoleh pertanyaan-pertanyaan
mengenai cara hidup terbaik. Namun menurut Aristoteles, Sokrates terutama
sangat diinspirasi oleh motto yang tertulis pada kuil Apollo di Delphi, “kenalilah
dirimu”.
Pada
tahun 339 SM, seorang penyair yang bernama Meletus, yang didukung oleh dua
warga kota lain, Lycon dan Anytus, mengajukan tuduhan resmi ke pengadilan.
Tuduhan itu adalah bahwa “Sokrates melakukan penyimpangan dengan tidak
mempercayai Dewa-Dewi yang dipercayai oleh polis (Athena) tetapi ia
memperkenalkan Dewa-Dewi baru yang tidak dikenal. Ia juga dituduh memberikan
pengaruh buruk bagi anak-anak. Hukuman yang dituntut adalah hukuman mati. Dua
penjabaran kemudian mengenai pengadilan Sokrates ini dibuat oleh Xenophon dan
Plato. Xenophon dan Plato sepakat bahwa Sokrates mengembangkan pidatonya
sendiri di pengadilan, dan mereka juga sepakat jika Sokrates bersikap
membangkang, dan kadang berbicara dengan “nada yang angkuh”.
Di
bawah demokrasi warga Athena, dewan juri dalam pengadilan yang terdiri dari
sejumlah besar warga kota, dalam kasus Sokrates jumlah seluruhnya 501 (jumlah
ganjil yang digunakan untuk menghidari persamaan jumlah suara dalam voting).
Para pendakwa dan terdakwa berbicara bergantian. Ketika percakapan selesai,
anggota dewan juri menjatuhkan vonis melalui voting. Melalui kesempatan yang
sempit, juri menemukan kesalahan Sokrates. Adalah kebiasaan warga Athena bahwa
seorang terdakwa yang ditemukan kesalahannya untuk mengajukan pertimbangan
hukuman yang dianggapnya adil. Menurut Plato, keangkuhan Sokrates sekarang
mencapai puncak keagungan. Sokrates tidak menolak hukuman, malah ia mengajukan
bahwa dengan menerima hukuman ia tidak menghabiskan biaya publik Athena untuk
membiayai biaya makan dan rumahnya. Sokrates akhirnya digiring ke penjara. Para
sahabatnya berkumpul di sekitarnya-Phaedo, Aeschines, Antisthenes, Apollodorus,
Crito, Critoboulos, plato. Meskipun beberapa dari mereka menawarkan bantuan
kepadanya untuk melarikan diri-pergi ke daerah terpencil untuk beberapa waktu
adalah sebuah praktik biasa warga Athena untuk merehabilitasi diri sebelum
kembali lagi ke kota. Sokrates secara tegas menolak tawaran ini dan lebih
memilih untuk taat menerima hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya. Kematian
Sokrates menjadi peristiwa terbaik dalam hidupnya di mata para sahabatnya yang
menyaksikan Sokrates menjalankan hukuman matinya dengan meminum racun. Ketenangannya dalam menghadapi
kematian tampak menguatkan kesempurnaan kebajikannya: ia adalah seorang pria
yang secara menyeluruh damai dengan dirinya sendiri dalam waktu terakhir
hidupnya. Beberapa bulan dan tahun setelah kematiannya, sebuah kelompok
informal pengagumnya bekerja keras untuk memelihara agar ingatan akan Sokrates
tetap hidup.
Sokrates:
Pemikirannya
Sokrates
selalu berusaha menjalani hidupnya secara terang, selalu jelas dengan dirinya
sendiri, dan ia membangun kemanusiaannya sebagai anak cahaya dalam pencarian
bersama orang lain, bukan secara autis. Dalam perjumpaan dan dialog inilah
hidup baru yang bercahaya dilahirkan oleh orang lain. Baginya, setiap ide,
pengetahuan, dan cara hidup harus selalu dikonfrontasikan dengan orang lain.
Kebenaran adalah jalan yang tidak pernah selesai, kecintaan pada kebenaran
adalah praktek hidup, dan hidup adalah tuntutan untuk secara berani dan rela
hati meninggalkan kegelapan dan seluruh kerumitannya yang penuh dengan
kemunafikan.
Dalam
tahun-tahun ini secara politik Athena dibagi. Di satu sisi berdiri pihak yang
mendukung perluasan hak dan kewajiban politik bagi setiap warga kota. Partai
yang mengakui demokrasi ini dipimpin oleh Perikles (495-429), pemimpin utama
yang dipilih oleh warga kota dan merupakan pemimpin Athena yang tak tergantikan
pada 440-an dan 430-an. Ia juga merupakan seorang ahli pidato yang menggunakan bakatnya
yang hebat ini untuk menopang alasan pemerintahan dirinya atas kota melalui
masyarakat kota biasa. Sebagai respon, beberapa warga Athena yang lebih kaya
berperang, sebagaimana sering dilakukan orang kaya saat itu, untuk melatih kekuatan
mereka agar tidak dapat dikekang. Mereka merendahkan kecerdasan masyarakat
Athena biasa, dan dalam beberapa kasus mereka mempercayakan kuasa lembaga-lembaga
khas dari negara-negara kota Yunani yang
lain, seperti Sparta.
Namun
di mana Sokrates berdiri atas debat demokrasi saat itu tidak diketahui secara
pasti. Sebuah sumber yang tidak pasti menyatakan jika saat itu setiap warga
Athena diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik
polis, dan sebagai seorang muda dikatakan saat itu Sokrates sering berkumpul di
sekitar Perikles. Ada juga bukti yang tidak lengkap yang menyatakan bahwa istri
Sokrates, Xanthippe, adalah seorang bangsawan. Meskipun tidak memiliki bukti pasti
tentang keberpihakan Sokrates, namun ada sebuah politik yang dikehendaki Sokrates.
Sokrates secara tegas menolak “politik pencitraan” yang pada akhirnya berujung
pada “proses pembohongan diri”.
Bagi
Sokrates berpolitik bukanlah untuk survival, apalagi sekadar untuk tunduk
pada dominasi pemuas sesaat nafsu makan, minum, dan seks. Untuk mengkritisi
kepentingan diri yang sempit itu Sokrates menyerang akarnya: menolak segala
bentuk pencitraan diri. Sokrates menentang penggembar-gemboran prestasi atau
kebaikan diri di depan umum, karena baginya hal semacam itu bisa dilihat orang
tanpa harus digembar-gemborkan. Ia tanpa ragu mengkritik kehidupan publik dan
privat seseorang di depan umum dengan maksud untuk menyadarkan mereka akan
adanya sesuatu yang tidak beres dalam panggung demokrasi yang didominasi
pencitraan dan kata-kata kosong. Selain itu Sokrates juga menolak inti model
politik demokrasi yang memusatkan segala keputusan pada suara terbanyak. Bagi
Sokrates sebuah pilihan tepat lebih didasarkan pada pengetahuan (episteme) dan bukan pada opini (doxa). Namun meskipun menolak bentuk
demokrasi seperti ini, Sokrates justru tetap taat pada sitem demokrasi yang
dianut polisnya, dan di sinilah nampak keutamaan Sokrates sebagai seorang yang
benar, di mana antara perkataan dan perbuatan etisnya menyatu.
Sokrates:
Warisan Ajarannya
Mengenai
warisan intelektual Sokrates, kita bisa mencatat bahwa sejak 405 SM, salah satu
murid Sokrates, Euklides dari Megara mulai mendirikan sekolah sokratik
pertama-yang para pengikutnya nantinya kemudian dikenal sebagai kaum Megarik.
Pada tahun 400 SM, salah satu murid Sokraes lainnya , Antisthenes, mendirikan
sekolah sokratik kedua-yang nantinya dikenal sebagai sekolah kaum Sinis. Selain
itu Aristippos yang memimpin kaum Kirenaik menekankan aspek “Humanisme gnostik”
Sokrates. Empat abad setelah kematian Sokrates orang-orang Kristiani akan
melihat dalam diri Sokrates figur pendahulu Yesus Kristus. Montaigne sangat
terinspirasi oleh doktrin moral sokratik, sementara Rousseau akan melihat bayangan
dirinya sendiri dalam figur Sokrates sebagai “orang benar yang tertindas”.
Voltaire menjuluki Sokrates sebagai korban intoleransi (agama), maka memakai
mulut Socrates, Voltaire tidak segan-segan mengkritik agama-agama. Kierkegaard
memandang Sokrates sebagai sang bidan. Di mata murid-muridnya, bidan ini
hanyalah pembantu supaya mereka bisa kembali pada diri mereka sendiri, dan
menemukan apa yang menjadi pusat diri mereka sendiri.
Daftar
Pustaka
Miller, James., The Philosophical Life, Oxford:
Oneworld, 2011.
Wibowo, A.
Setyo., Mari Berbincang-Bincang Bersama
Platon, iPublishing: Jakarta, 2011.