Selasa, 16 September 2014

Penyembahan Berhala



Penyembahan berhala pada dasarnya merupakan tindakan manusia yang memposisikan benda mati, sebagaimana yang mereka imajinasikan, sebagai sesuatu yang bernyawa, berdaya, dan memiliki kuasa yang melampaui kekuatan manusia, serta dapat mengendalikan keseluruhan realitas kehidupan manusia.
Berhala yang disembah bangsa Israel umumnya hanyalah sepotong kayu atau sebongkah batu yang diukir tangan manusia dan tidak memiliki kuasa sendiri, serta pada umumnya berbentuk patung ukiran dan patung tuangan yang dibuat dengan menuang logam ke dalam tuangan dan membentuknya dengan suatu alat (Kel.32:2,24).
Dalam sejarah kehidupan beriman bangsa Israel pada Perjanjian Lama, dosa penyembahan berhala dapat dikategorikan sebagai salah satu dosa yang sering dipraktikkan. Meskipun berkali-kali ditegur Allah, tetapi dalam sejarahnya berulang kali bangsa Israel jatuh dalam dosa ini. Kisah penyembahan berhala pertama yang dilakukan oleh seluruh umat Israel adalah penyembahan terhadap patung lembu emas ketika Musa berada di Gunung Sinai (Kel 32:1-6). Sepanjang zaman para Hakim bangsa Israel pun berkali-kali jatuh pada dosa penyembahan berhala, begitu juga ketika zaman para Raja. Hanya setelah masa pembuangan ke Babel penyembahan berhala berhenti dilakukan.
Para nabi dan pemazmur paling keras dalam menentang praktik penyembahan berhala. Samuel menyebut berhala sebagai dewa kesia-siaan (1Sam 12:21), sedangkan Yesaya menyebut berhala sebagai buatan tangan manusia belaka (Yes.2:8). Demikian juga pemazmur yang mengecam hidup para penyembah berhala akan sama sia-sianya dengan berhala yang  ia sembah (Mzm. 115:8).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa bangsa Israel melakukan praktik penyembahan berhala. Pertama, bangsa Israel dikelilingi oleh bangsa-bangsa kafir yang menyembah lebih dari satu Allah. Bagi mereka penyembahan terhadap banyak Allah lebih unggul dibandingkan penyembahan hanya kepada satu Allah. Kedua, dewa-dewa yang diyakini bangsa-bangsa lain tidak menuntut praktik moral yang tinggi sebagaimana seperti yang dituntut oleh Allah bangsa Israel. Upacara-upacara keagamaan pada bangsa-bangsa kafir yang meliputi tindakan-tindakan asusila di dalamnya dianggap lebih menarik oleh bangsa Israel, sehingga kemudian mereka memilih beralih dari Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir kepada allah-allah bangsa lain.




Minggu, 14 September 2014

Makna Puisi Pengemis Karya Ali Hasjmy bagi Permasalahan Kaum Buruh di Indonesia Menurut Pandangan Karl Marx tentang Kapitalisme


Abstrak: Dalam hubungan kerja antara kaum buruh, pemilik modal, dan pemerintah, kaum buruh sering mendapat perlakuan yang tidak adil. Kaum buruh sering dijadikan sebagai objek oleh para pemilik modal dan pemerintah demi memperoleh keuntungan bagi mereka. Dalam tulisan ini saya mencoba mengangkat masalah ketidakadilan yang tergambar dalam puisi Pengemis karya Ali Hasjmy dengan bertolak dari pandangan Karl Marx tentang kapitalisme. Saya berkesimpulan bahwa kaum buruh di Indonesia masih hidup dalam penderitaan akibat ketidakadilan yang mereka terima dalam hubungan kerja dengan pemerintah dan para pemilik modal. Kaum buruh bukanlah objek dalam kegiatan ekonomi, tetapi mereka adalah subjek dari kegiatan ekonomi.

Kata Kunci
Kapitalisme, buruh, pemilik modal, pemerintah, kerja.

I. Pengantar
Bekerja merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dengan bekerja manusia mengaktualisasikan dirinya dan memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Manusia harus bekerja untuk dapat bertahan hidup. Dalam dunia ekonomi tindakan kerja erat kaitannya dengan usaha manusia untuk menghasilkan barang dan jasa serta demi memperoleh pendapatan (uang). Tindakan bekerja selalu dilihat sebagai usaha manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Tanpa bekerja manusia tidak hanya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi lebih dari itu tanpa bekerja manusia tidak bisa berkembang menjadi manusia yang utuh sebab melalui kerja pula manusia menganktualisasikan dirinya.
Dalam ekonomi terdapat tiga pilar utama yang menjamin berlangsungnya proses pembangunan, yakni tenaga kerja (buruh) yang menawarkan tenaganya, pengusaha yang menyediakan modal (mempekerjakan buruh), dan pemerintah sebagai pihak yang biasanya bertugas sebagai pengawas dalam hubungan kerja. Sebagaimana yang diidealkan dalam hubungan kerja antara ketiganya (buruh, pengusaha, dan pemerintah), hubungan antara ketiga pihak ini merupakan hubungan timbal balik yang saling melengkapi satu sama lain dengan mengandaikan terlaksananya prinsip keadilan, yakni setiap pihak memperoleh apa yang menjadi haknya. Akan tetapi, dalam kenyataannya relasi antara ketiga pilar ini tidak berjalan sebagaimana diidealkan.
Buruh sebagai pihak yang menawarkan tenaganya dalam hal ini sering tampil sebagai pihak yang dirugikan. Dirugikan dalam hal ini maksudnya bahwa dalam menjalin relasi kerja dengan pihak pengusaha dan pemerintah, kaum buruh tidak memperoleh secara utuh apa yang menjadi haknya. Sering dalam relasi kerja terdapat ketimpangan dalam pemenuhan hak dan kewajiban kaum buruh. Keberadaan kaum buruh sering dilihat semata-mata sebagai objek dan bukannya subjek dalam pembangunan. Akibatnya, keberadaan kaum buruh sering digunakan oleh pihak pengusaha atau bahkan juga oleh pihak pemerintah hanya sebagai “alat” untuk memenuhi kepentingan mereka, dan apa yang seharusnya menjadi hak kaum buruh seperti upah yang cukup, jaminan kesehatan, hak untuk berserikat, dsb diabaikan begitu saja.
Dalam tulisan sederhana ini, dengan bertolak dari pandangan Karl Marx tentang kapitalisme, saya akan mencoba menyoroti permasalahan kaum buruh di Indonesia dalam hubungan kerjanya dengan pemilik modal dan pemerintah, dengan menganalisis puisi Pengemis karya Ali Hasjmy yang secara tidak langsung menampilkan masalah-masalah yang dialami oleh kaum buruh di Indonesia. Saya mencoba mengangkat tema ini karena bagi saya permasalahan kaum buruh masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini dan bahkan akan menjadi masalah yang terus menyertai perjalanan bangsa ini.



II. Puisi Pengemis karya Ali Hasjmy sebagai Cermin Masalah Kaum Buruh di Indonesia Ditinjau dari Pandangan Karl Marx tentang Kapitalisme

2.1 Ali Hasjmy
Moehammad Ali (nama kecil) lahir pada tanggal 28 Maret 1914 di Montasie, Kabupaten Aceh Besar. Nama lengkapnya Moehammad Ali Hasyim, kemudian berubah menjadi Ali Hasjmy (nama dewasa) dan dalam bidang sastra terkenal dengan nama samaran Aria Hadiningsun, Ali Hariry, dan Asmara Hakiki.[1] Dia menjadi tokoh penting dalam mengubah status Aceh dari Darul Harb menjadi Darussalam dan sekaligus sebagai ketua Pencipta dan Pembina Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam. Dia dijuluki Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh.
            Ali Hasjmy menempuh pendidikan di  Vervolkschool di Montaise (1926), Sanawiyah Thawalib di Padangpanjang (1935), Al Jamiah Al Islamiyah di Padang (1941), dan Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (1951-1953).  Pada periode 1957-1964 ia menjabat sebagai Gubernur Provinsi Aceh. Ali Hasjmy juga pernah bekerja pada beberapa majalah, seperti majalah Matahari Islam, Majalah Panji Islam, Sinar Darussalam,  dsb.
            Dalam bidang tulis-menulis Ali Hasjmy bergerak dalam bidang jurnalistik, sastrawan, dan juga dalam penulisan buku-buku ilmu pengetahuan umum, dan terutama yang bercorak Islam. Sebagai seorang sastrawan, Ali Hasjmy telah menghasilkan beragam roman, esai, dan puisi. Sajak-sajaknya ada yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Tahun 1936 ia mengumpulkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Seorang Pengembara, yang empat tahun kemudian disusul dengan yang kedua berjudul Dewan Sadjak (1940). [2]

2.2 Puisi Pengemis Karya Ali Hasjmy
            Puisi karya Ali Hasjmy ini menggambarkan nasib malang seorang pengemis. Keadaan sang pengemis dalam puisi ini digambarkan sebagai sosok yang menderita. Nasibnya sebagai seorang pengemis mengharuskan ia untuk menjalani hidup dalam kemiskinan dan dalam penderitaan.

PENGEMIS

Beri hamba sedekah, o tuan
Belum makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai tuan,
Seteguk air, sesuap nasi,

Lihatlah, tuan, nasib kami,
Tiada sanak, tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepanjang jalan meminta-minta.

Lihatlah, tuan, untung kami,
Pondok tiada, huma tiada,
Bermandi hujan, berpanas hari,
Di tengah jalan terlunta-lunta.

Bukan salah bunda mengandung,
Buruk suratan tangan sendiri,
Sudah nasib, sudah untung,
Hidup malang hari ke hari.

O tuan, jangan kami dibiarkan,
Jika sedekah tidak diberi,
Cukup sudah sengsara badan,
Jangan lagi ditusuk hati.[3]

2.3 Karl Marx
Karl Marx lahir pada tahun 1818 di Rhineland yang tergabung dalam wilayah kerajaan Prusia. Pada tahun 1836 ia masuk Universitas Berlin, dan pada tahun 1841 ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi mengenai filsafat kuno. Dua tahun kemudian  (1843) ia menjadi editor majalah Rheinische Zeitung dan Deutsche Franzosische Jahrbucker. Akan tetapi kedua majalah ini ditutup oleh kekuasaan Prusia karena dianggap melanggar hukum. Marx kemudian dibuang ke Brussel. Dalam tahun 1848 ia berhasil kembali ke Jerman, dan kemudian menjadi editor majalah Neue Rhenische Zeitung. Pada tahun 1849 ia kembali dibuang, tetapi kali ini di London di mana ia menghabiskan sisa hidupnya.[4]
Di London ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner dan beralih ke kegiatan riset yang lebih rinci tentang peran sistem kapitalis. Studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Das Kapital. Jilid pertama diterbitkan tahun 1867, sedangkan kedua jilid lainnya diterbitkan sesudah ia hidup dalam kemiskinan. Ia membiayai hidupnya secara sederhana dari honorarium tulisannya. Tahun 1864 Marx terlibat kembali dalam kegiatan politik, bergabung dengan “The International”, sebuah gerakan buruh internasional. Ia segera menonjol dalam gerakan itu dan mencurahkan perhatian selama beberapa tahun untuk gerakan itu. Ia mulai mendapat popularitas, baik sebagai pemimpin internasional maupun sebagai penulis Das Kapital. Perpecahan gerakan Internasional tahun 1876, kegagalan berbagai gerakan revolusioner dan penyakit-penyakit, akhirnya membuat Mark ambruk. Marx wafat pada tahun 1883.[5]

2.4 Kapitalisme Karl Marx
Dalam kapitalisme, kerja yang sebelumnya bermakna sebagai aktualisasi dan realisasi diri individu berubah menjadi beban hidup yang menjemukan dan dibenci sebab kerja dialihfungsikan sebagai proses represi, eksploitasi, dan negasi atas individu (pekerja). Selain itu, pembagian kerja dalam kapitalisme juga mengubah hubungan antara pekerja dengan sesamanya dan dengan produk. Hubungan sosial dinilai, diukur, dan direduksikan ke dalam hubungan ekonomi, hubungan pemilik modal dan karyawan, tuan dan budak, produsen dan konsumen. Nilai individu ditentukan oleh kemampuan berproduksi dan membeli, memiliki, dan mengkonsumsi. Akibatnya, masyarakat terbagi dalam dua kelompok sosial yang saling berhadapan, yakni penguasa dan jelata, pemberi kerja dan pencari kerja, kaum kapitalis dan proletar. Dalam kapitalisme, terjadi pembalikan urutan peran dalam kerja. Benda mati, produk, dan teknologi berlaku sebagai subjek, sedangkan manusia (buruh) menjadi objek, sasaran dan dikuasai materi dan produk.[6]
Posisi pasar dalam kapitalisme adalah sebagai wasit, hakim, dan penilai. Pasar yang menentukan layak tidaknya sebuah produk, dan produk yang dihasilkan harus tunduk pada hukum pasar. Pasar dan hukum pasar memunculkan penindasan, penguasaan, dan pengisapan. Ketiadaan keterampilan, keahlian bisnis, modal, dan kekuasaan membuat kaum buruh menggantungkan diri hanya pada tenaga. Ketika memerlukan buruh para pemodal membeli dan membayar tenaganya sebagai nilai guna (produk). Tenaga buruh menjadi komoditi yang dipertukarkan dengan pemilik modal.[7]
Selain itu, dalam kapitalisme, kontrak kerja yang mengatur hubungan kerja antara pemodal dan buruh menjadi sarana penindasan dan pemerasan terhadap kaum buruh oleh para pemilik modal, bukan sarana bagi terlaksananya kesetaraan dalam hubungan kerja. Kaum buruh hanya memiliki dua pilihan: atau membiarkan diri terus dihisap kaum kapitalis dengan pekerjaan di tangan atau menjadi penganggur abadi. Mau tidak mau kaum buruh kemudian memilih bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi sekalipun daripada harus menganggur dengan ancaman ketiadaan pendapatan. Dengan memilih untuk bekerja demi memperoleh pendapatan bagi kelangsungan hidupnya, kaum buruh dituntut untuk tunduk pada kontrak kerja dalam hubungan kerjanya dengan pemodal. Di sini kontrak kerja lebih nampak sebagai pemaksaan kehendak kaum berpunya terhadap buruh, serta menjadi instrumen yuridis untuk melestarikan praktik ketidakadilan dan eksploitasi manusia oleh manusia. Melalui instrumen yuridis ini penguasa dan pengusaha dalam masyarakat kapitalis menyembunyikan kepentingan mereka.[8]
Hubungan masyarakat dalam konsep marksisme lebih bersifat tidak harmonis daripada harmonis, diwarnai penguasaan, penindasan, dan pemerasan daripada hubungan yang bersifat manusiawi. Pertarungan, penindasan, pengisapan terjadi antara dua kelas sosial yang terdapat dalam kapitalisme, yaitu pengusaha dan pekerja, pengusa dan rakyat jelata. Masyarakat sipil dan kehidupan bernegara berada di bawah penjajahan dan penghisapan kaum kaya-kuat-kuasa.[9] Para pemodal dan penguasa memperoleh kekayaan melalui pemiskinan, kebebasan dengan penguasaan terhadap kaum buruh.

2.5 Analisis Puisi Pengemis
Seperti telah dijelaskan pada poin 2.2, puisi  Pengemis karya Ali Hasjmy ini berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh seorang pengemis. Dalam tulisan ini saya menganalogikan kaum buruh di Indonesia dengan pengemis dalam puisi karya Ali Hasjmy. Secara pribadi saya melihat bahwa nasib pengemis dalam puisi Ali Hasjmy sama seperti nasib kaum buruh di Indonesia yang juga hidup di dalam penderitaan dan dalam kemiskinan. Dalam bagian ini saya mencoba untuk menganalisis puisi Pengemis karya Ali Hasjmy bait demi bait dengan bertolak dari pandangan Karl Marx tentang kapitalisme.

2.5.1 Bait Pertama
Beri hamba sedekah, o tuan
Belum makan dari pagi,
Tolonglah patik, wahai tuan,
Seteguk air, sesuap nasi

Berdasarkan interpretasi saya, bait pertama puisi ini dapat dianalogikan sebagai kerinduan kaum buruh untuk memperoleh upah yang layak. Pada dasarnya setiap daerah memiliki standar Upah Minumum Regional (UMR) bagi kaum buruh yang bekerja di dalam daerah tersebut. Misalnya saja di wilayah Jakarta UMR yang berlaku pada tahun 2014 adalah Rp2.441.000,00, sedangkan pada tahun yang sama di daerah Tanggerang UMR bagi kaum buruh adalah Rp2.444.301,00, di Batam Rp2.422.092,00, dan di Medan Rp1.851.500,00.[10]
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pengawasan terhadap berlangsungnya ketentuan ini kurang diperhatikan, sehingga sering terjadi ketimpangan antara ketentuan yang berlaku dengan kenyataan di lapangan. Buruh yang telah menyediakan tenaganya tidak mendapat apa yang menjadi haknya, yakni upah yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi per 6 Januari 2014. Tercatat sebanyak 417 perusahaan yang mengajukan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum provinsi (UMP) tahun 2014.[11]
Dalam kapitalisme tenaga buruh adalah komoditi yang diperjualbelikan. Ketika pemilik modal membutuhkan tenaga buruh maka ia akan membeli dan membayar tenaga buruh sebagai sebuah produk. Akibatnya, dalam dunia kerja buruh dipandang hanya sebagai objek dan bukan sebagai subjek. Di sini terjadi dehumanisasi pekerja. Ketika tidak memiliki keterampilan tertentu kaum buruh dihapakan pada pilihan untuk menganggur atau bekerja kepada para pemodal dengan upah yang rendah. Berhadapan dengan kenyataan ini, pada umumnya kaum buruh lebih memilih untuk bekerja daripada menganggur, meskipun dengan risiko upah yang diterima sedikit dan tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka kerjakan.

2.5.2 Bait Kedua
Lihatlah, tuan, nasib kami,
Tiada sanak, tiada saudara,
Pakaian di badan tidak terbeli,
Sepanjang jalan meminta-minta.
           
Batit kedua puisi ini saya interpretasikan sebagai gambaran keadaan kaum buruh di Indonesia yang masih hidup di dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Berangkat dari kondisi hidup yang memprihatinkan ini, mereka mencoba meminta perhatian pemerintah dan para pemilik modal untuk memperhatikan nasib mereka. Meskipun telah ditetapkan UMR di setiap wilayah di Indonesia, dalam kenyataannya selain sering tidak dibayar sesuai dengan UMR yang telah ditentukan, kaum buruh merasa bahwa UMR tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan pokok harian mereka.
Upah yang telah ditetapkan pemerintah dinilai tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok yang setiap saat dapat melonjak harganya. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok ini berlanjut pada menurunnya kualitas hidup kaum buruh, baik itu dalam bidang kesehatan, pendidikan, dsb. Sama seperti sistem kapitalis yang dikritik Karl Marx, demikian pun dengan situasi yang dihadapi kaum buruh di Indonesia. Para pemilik modal mempekerjakan kaum buruh semata-mata demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Sebagai dampaknya, aspek manusiawi kaum buruh dalam bekerja diabaikan. Kaum buruh hanyalah sarana yang dipakai oleh pemilik modal demi mencari keuntungan.

2.5.3 Bait ketiga
Lihatlah, tuan, untung kami,
Pondok tiada, huma tiada,
Bermandi hujan, berpanas hari,
Di tengah jalan terlunta-lunta.

Dalam bekerja, di samping kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kaum buruh, mereka juga memiliki hak yang harus dipenuhi pula. Hak-hak yang mereka miliki antara lain adalah fasilitas kerja, waktu berekreasi, jaminan sosial, tunjangan-tunjangan, keselamatan kerja, pembebasan dari wajib kerja dsb.[12] Akan tetapi, sayangnya tidak semua hak mereka terpenuhi meskipun mereka telah sepenuhnya memenuhi kewajiban mereka.
Dalam interpretasi saya, bait ketiga puisi ini selain masih berbicara mengenai akibat rendahnya upah kaum buruh yang berujung pada rendahnya kualitas hidup mereka, bait ini juga hendak menggambarkan minimnya perhatian para pemilik modal dan pemerintah terhadap hak-hak lain kaum buruh sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hasrat untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya membuat para pemilik modal terkadang menutup mata terhadap pemenuhan hak-hak kaum buruh. Tuntutan untuk memnuhi kuota produksi sebagaimana ditentukan pasar memaksa kaum buruh untuk bekerja melebihi batas waktu standar. Hak-hak yang dimiliki kaum buruh sendiri memiliki landasan hukum, misalnya, sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 186 UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik.[13]
Selain itu, salah satu hal yang sering diabaikan oleh para pemilik modal dalam mempekerjakan kaum buruh adalah peralatan kerja yang menjamin keselamatan kerja kaum buruh. Sering terjadi karena tidak dilindungi oleh peralatan kerja yang memadai, kaum buruh kemudian mengalami kecelakaan kerja atau berbagai macam penyakit fisik yang berasal dari tempat kerja. Misalnya, pekerja tambang yang tidak memiliki peralatan kerja yang memadai dapat mengalami infeksi saluran pernapasan karena gas beracun yang berasal dari pertambangan tempat ia bekerja.

2.5.4 Bait Keempat
Bukan salah bunda mengandung,
Buruk suratan tangan sendiri,
Sudah nasib, sudah untung,
Hidup malang hari ke hari.

Bait keempat puisi ini, seturut interpretasi saya, menunjukkan kepasrahan kaum buruh terhadap pahitnya hidup yang harus mereka alami. Ketidakpedulian para pemilik modal dan aparat pemerintahan seakan-akan menutup harapan mereka untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Usaha dan kerja keras mereka tampak menjadi sia-sia karena ketidakadilan yang harus mereka terima, upah rendah yang tidak sebanding dengan panjangnya jam kerja, minimnya jaminan sosial dan jaminan kerja, ditambah biaya hidup yang terus meningkat menambah panjang daftar penderitaan mereka. Harapan untuk memperoleh hidup yang lebih layak berganti menjadi kepasrahan terhadap pahitnya hidup, sehingga semuanya kemudian disikapi dengan sikap pasrah dan memandang semuanya sebagai nasib, sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah.
Kerja tidak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan dan tidak lagi menjadi sarana pengembangan dan pengaktualisasian diri. Sama seperti yang dikritik Karl Marx dalam sistem masyarakat Kapitalis, kerja dinilai dan dipandang dari sudut hubungan tuan-hamba dan dalam hubungan ekonomi belaka. Kerja kehilangan maknanya. Kerja yang seharusnya dilihat sebagai hal yang menyenangkan, oleh kaum buruh dilihat sebagai sebuah penderitaan. Berada di tempat kerja sama artinya berada dalam penderitaan. Selesainya waktu kerja menjadi waktu pembebasan dari penderitaan.        

2.5.5 Bait Kelima
O tuan, jangan kami dibiarkan,
Jika sedekah tidak diberi,
Cukup sudah sengsara badan,
Jangan lagi ditusuk hati.

Dalam interpretasi saya, yang ingin ditampilkan pada bait kelima puisi ini adalah pentingnya perlindungan bagi kaum buruh dalam bekerja. Selain seringkali tidak menerima upah sebagaimana mestinya, kaum buruh juga sering menerima penyiksaan fisik. Ambil contoh Kasus kekerasan dan penyekapan terhadap 34 buruh di pabrik kuali/panci di Bayur, Kabupaten Tangerang, Banten.[14] Dijelaskan dalam berita tersebut bahwa selain mengalami penyekapan dan penyiksaan fisik, para buruh tersebut menerima upah di bawah standar UMR Tanggerang meskipun mereka telah bekerja dengan jangka waktu 18 jam per hari.
Sekali lagi, melalui kisah ini dapat dilihat bahwa masih sering terjadi perlakuan yang buruk terhadap kaum buruh oleh para pemilik modal. Di sini pemerintah memainkan peranan penting dalam mengawasi berlangsungnya proses kerja. Kaum buruh bukanlah alat yang dapat digunakan sesuka hati oleh para pemilik modal dan aparat pemerintahan dalam mencari keuntungan. Akan tetapi kaum buruh juga adalah manusia sama seperti para pemilik modal dan aparat pemerintahan yan memiliki harkat dan martabat yang harus dihargai. Melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan kerja antara pemerintah, pemilik modal, dan kaum buruh, apa yang menjadi hak kaum buruh harus diperhatikan lagi.
Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang ada jangan sampai menjadi instrumen yang hanya melindungi kepentingan pemerintah dan pemilik modal saja tetapi merugikan kaum buruh, sebagaimana yang dikritik Karl Marx dalam sistem masyarakat kapitalis, yaitu peraturan-peraturan yang dibuat dalam hubungan kerja hanyalah sebagai pelindung kepentingan pemerintah dan pemilik modal. Selain mengawasi keberlangsungan terlaksananya hubungan kerja yang adil, pemerintah di sini juga harus bertindak tegas dan keras terhadap penyimpangan yang terjadi. Pihak-pihak yang melanggar ketetapan yang telah ditentukan haruslah dijatuhi hukuman yang setimpal sebagaimana tertera dalam ketentuan yang berlaku.

III. Penutup
            Berdasarkan interpretasi saya atas puisi Pengemis yang saya analogikan dengan nasib kaum buruh di Indonesia, saya berkesimpulan bahwa kaum buruh di Indonesia masih hidup di dalam situasi yang memprihatinkan. Sebagaimana nasib pengemis yang dalam puisi Pengemis digambarkan hidup di dalam penderitaan, demikianpun kondisi kaum buruh di Indonesia yang juga hidup di dalam penderitaan. Penderitaan yang dialami kaum buruh di Indonesia berkaitan dengan ketidakadilan yang mereka terima dalam hubungan kerjanya dengan pemerintah dan pemilik modal. Kendati telah memenuhi kewajibannya sebagai seorang buruh, tetapi kerap kali mereka tidak memperoleh apa yang menjadi hak mereka. Sebagaimana seorang pengemis di dalam puisi Pengemis yang diabaikan nasibnya, demikian juga kaum buruh di Indonesia. Kaum buruh sering diabaikan ketika mereka menyerukan perjuangan mereka untuk memperoleh keadilan.

             Kaum buruh sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi ternyata belum sepenuhnya mengalami keadilan dalam bekerja. Masalah kaum buruh dapat menjadi masalah yang tidak akan pernah terselesaikan selama para pemilik modal selalu mengutamakan perolehan laba tanpa mempedulikan pemenuhan hak kaum buruh yang bekerja pada mereka. Masalah ini juga tidak akan terselesaikan apabila pemerintah sebagai pihak yang bertindak sebagai pengawas dan penegak hukum dalam hubungan kerja menjadikan hukum dan peraturan yang mereka buat hanya sebagai topeng yang melindungi kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini terutama kelompok peguasa dan pengusaha.
Berdasarkan uraian di atas, sebagaimana juga ditunjukkan oleh Karl Marx dalam kritiknya terhadap masyarakat kapitalis, makna kerja perlu diartikan kembali. Kerja tidak hanya menjadi ajang pemenuhan kebutuhan hidup manusia, tetapi lebih dari itu kerja menjadi ajang realisasi dan pengaktualisasian diri manusia. Melalui kerja, manusia dapat mencapai kepenuhan dirinya. Oleh karena itu, Karl Marx kemudian menolak segala macam bentuk penindasan, terutama yang dialami kaum buruh, dalam bekerja. Ia menolak apabila kerja hanya direduksi menjadi kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup (barang dan jasa) dan hubungan kerja antara buruh dan pemilik modal menjadi hubungan hamba dan tuan, penguasa dan rakyat jelata. Lebih jauh kegiatan kerja dalam masyarakat kapitalis hanya akan memperkaya para pemilik modal dengan memiskinkan kaum buruh.
            Dalam pandangan Karl Marx kedudukan kaum buruh dalam dunia kerja perlu diperhatikan kembali. Buruh bukanlah objek dalam dunia kerja, melainkan subjek/pelaku dalam kegiatan bekerja. Tanpa buruh kerja sebagai kegiatan ekonomi tidak mungkin terjadi. Sebagai subjek dalam hubungan kerja, kaum buruh pun memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh para pemilik modal dan juga oleh pemerintah. Para pemilik modal harus menjamin terpenuhinya hak kaum buruh dalam bekerja, misalnya saja upah, jaminan kesehatan, rekreasi, hari libur, dsb. Berkaitan dengan peran pemerintah dalam relasi kerjanya dengan kaum buruh dan pemilik modal, pemerintah  berlaku sebagai pengawas, yakni menjamin terlaksananya hukum-hukum ketenagakerjaan, mengapresiasi apabila hukum-hukum itu berjalan dengan baik dan menghukum apabila terjadi pelanggaran. Hukum itu pun haruslah berprinsipkan keadilan, yakni melayani kepentingan setiap pihak tanpa mengesampingkan pihak lain, serta bukan sebagai topeng untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu.  
            Bertolak dari keadaan kaum buruh yang memprihatinkan ini, sudah sepantasnya pihak-pihak yang bersangkutan membuka mata terhadap realitas ini. Hukum-hukum yang mengatur hubungan kerja antara pemerintah, pemilik modal, dan kaum buruh perlu diperhatikan kembali, sehingga tercipta keadilan bagi setiap pihak. Pelanggaran terhadap kesepakatan hubungan kerja juga perlu ditindaki secara tegas, dan setiap pihak yang melanggar kesepakatan-kesepakatan itu harus dijatuhi sanksi yang sesuai.

Daftar Pustaka
Alisjahbana, Takdir. Puisi  Baru. Jakarta: Pustaka Rakyat, 1954.      

Brewer, Anthony. Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx. Jakarta: Teplok Press,       1999.

detik. com. 417 Perusahaan Tak Mampu Gaji Karyawan Sesuai UMP 2014, diunduh pada tanggal 2 Mei 2014 pkl.21.09 WIB.

 

detik.com. Kekerasan Buruh Pabrik Panci, Cak Imin: Pelakunya Harus Dihukum Berat, diunduh pada tanggal  2 Mei 2014 pkl. 22.17 WIB.


Drs. H. A. Ghazali. Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy. Jakarta: Socialia, 1978.

http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-karl-marx/

Kompas. Upah Minimum di Sejumlah Daerah, diunduh pada tanggal 2 Mei 2014 pkl. 20.25 WIB

Marbun, Rocky. Jangan Mau di-PHK Begitu Saja. Jakarta: Visimedia, 2010.

Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Percetakan Cikapundung, 1969.

Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT  Gramedia Pustaka Utama, 2012.



[1] Drs. H. A. Ghazali, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy (Jakarta: Socialia, 1978), 3.
[2] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Percetakan Cikapundung, 1969), 70.
[3] Takdir Alisjahbana, Puisi  Baru (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1954), 41.
[4] Anthony Brewer, Das Kapital Karl Marx (Jakarta: Teplok Press, 1999), 4.
[5] http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-karl-marx/
[6] Valentinus Saeng, Herbert Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 116.
[7] Saeng, Op. cit, p. 130.
[8] Saeng, Op.cit,  p. 34, 138.
[9] Saeng, Op. cit, P. 115.
[10] Kompas, Upah Minimum di Sejumlah Daerah, Jumat, 2 Mei 2014, 1.
[11] Detik. Com, 417 Perusahaan Tak Mampu Gaji Karyawan Sesuai UMP 2014, diunduh pada tanggal 2 Mei 2014 Pkl.21.09 WIB.
[12] Rocky Marbun, Jangan Mau di-PHK Begitu Saja (Jakarta: Visimedia, 2010), 60-61.
[13]Marbun, Op. cit, P. 134.

[14] Detik.Com,  Kekerasan Buruh Pabrik Panci, Cak Imin: Pelakunya Harus Dihukum Berat, diunduh pada tanggal  2 Mei 2014 pkl. 22.17 WIB.