1.
Pendahuluan
Gagasan
tentang magisterium Gereja atau wewenang mengajar Gereja sudah ada sejak zaman
Gereja awal. Hanya saja pembicaraan mengenai magisterium senantiasa berbeda
antara zaman yang satu dan zaman yang lain. Begitu pun ketika kita berbicara
tentang magisterium pada periode abad XIX dan parohan abad XX. Terutama dalam
periode ini Gereja “digoncang” oleh badai modernisme[1],
dan dalam situasi demikian Gereja dituntut untuk memperthankan identitasnya,
baik dalam kehidupan berpolitik maupun dalam hal iman.
Oleh
karena itu, khusus dalam makalah ini, penulis akan membahas magisterium dalam
kaitannya dengan gelombang besar arus modernisme yang ketika itu dilihat
sebagai ancaman bagi Gereja. Secara garis besar pokok pembahasan tentang
magisterium dalam kurun waktu tersebut dilihat melalui peristiwa Konsili
Vatikan I (khususnya dalam gagasan infalibilitas Paus), dalam dogma “Maria
diangkat ke surga” dan “Maria dikandung tanpa noda”, serta melalui dokumen Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu. Pertanyaan yang
hendak dijawab dalam paper ini ialah: apakah
magisterium dalam rentang waktu antara abad XIX sampai parohan abad XX hendak
melawan modernisme?
2.
Arti
Magisterium
Kata dalam Bahasa Inggris yang cocok
untuk kata Bahasa Latin magister
adalah master (tuan), tidak hanya
dalam artian teacher (guru): misalnya
tuan kapal, tuan para budak, dsb. Kata Latin magister selalu memiliki konotasi otoritas, berasal dari akar kata magis (more, lebih) yang diperlawankan dengan minister (less, kurang).
Serupa dengan itu, kata magisterium
dalam pengertian Bahasa Latin klasik bermakna peran (the role) dan otoritas (authority)
dari seseorang yang adalah magister.
Kata mastery (penguasaan) adalah kata
yang paling dekat dengan kata magisterium.
Tentu saja kata magister paling
sering digunakan salah satunya untuk menunjuk pada kata teacher (guru), sehingga kata magister
paling sering digunakan untuk menunjuk pada peran dan otoritas seorang guru.[2]
Dalam
peristilahan para filsuf dan teolog Abad Pertengahan kata magisterium bermakna otoritas seorang yang mengajar. Simbol
“mengajar” adalah “kursi”, dan dalam konteks ini mereka memahami ada dua jenis
“kursi”: yaitu uskup di katedral dan profesor di universitas. Sehingga Santo
Thomas Aquinas berbicara tentang dua jenis magisterium: magisterium cathedrae magistralis dari seorang teolog dan magisterium cathedrae pastoralis dari
seorang uskup. Bagi St. Thomas dua bentuk magisterium ini mengandung makna
otoritas. Otoritas uskup didasarkan pada perannya sebagai seorang wali Gereja
atau uskup (ex officio praelationis),
sementara bagi teolog otoritasnya didasarkan pada pengetahuan teologisnya.[3] Dalam
perkembangan selanjutnya istilah magisterium
digunakan hanya dalam konteks eklesiologis. Kata magisterium digunakan
untuk menunjuk pada kuasa mengajar para uskup (dalam peristilahan St. Thomas
disebut magisterium cathedrae pastoralis).
Tidak dapat disangkal bahwa para teolog tetap memiliki peran mengajar dalam
Gereja, tetapi ketika kata magisterium digunakan maka hal ini merujuk secara eksklusif
pada peran mengajar para uskup.[4]
Pada
perkembangan selanjutnya para pemikir neo-skolastik menempatkan dan memusatkan
magisterium pada diri seorang Paus. Oleh karena pengaruh aliran neo-skolastik
ini pemahaman akan magisterium berciri yurisdiksional dan kemudian mengarah
pada sentralisasi Takhta Suci. Artinya Takhta Suci memiliki kewenangan mutlak
dalam hal pengajaran: pengajaran yang mempersatukan Gereja. Paus menjadi person yang istimewa karena dia adalah
uskup di antara para uskup (primus inter
pares), di mana para uskup lainnya memperoleh kewenangannya dalam hubungan
dengan Paus dan di bawah iuridiksi Paus. Dalam menjalankan kuasa mengajarnya
Paus bukan menyatakan pandangan pribadi, tetapi mengungkapkan kebenaran wahyu
Kristiani serta kebenaran-kebenaran yang terkait dengan iman dan moral. Selanjutnya
Konsili Vatikan II merevitalisasi pandangan yurisdiksional dan papalisme ini
dengan mengacu pada pemahaman patristik dan kolegialitas para uskup.[5]
Dewasa
ini kita mengenal dua bentuk pelaksanaan magisterium, yakni magisterium biasa dan luar
biasa. Magisterium biasa adalah
otoritas mengajar yang diungkapkan Paus dengan cara yang tidak definitif misalnya:
dalam surat atau ensikliknya, dalam konstitusi apostolik, dalam
khotbah-khotbahnya, dalam pernyataan-pernyataan yang muncul sebagai hasil
wawancara dengannya, bahkan dalam persetujuan terhadap pernyataan resmi yang
dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman. Dalam bahasa yang lebih teknis,
magisterium biasa adalah amanat bukan ex
cathedra.[6]
Sedangkan yang dimaksud dengan magisterium luar biasa adalah kewenangan yang dimiliki oleh Paus
untuk secara resmi atau secara definitif menyatakan sebuah ajaran iman dan
moral ex cathedra. Ajaran ini
sifatnya mengikat semua umat beriman dan mewajibkan suatu ketaatan iman dan
akal budi (LG. 25). Primat Paus di antara para uskup lainnya menjadikan
tindakannya, dalam konteks ini, sebagai representasi kesatuan Gereja. Selain
itu, magisterium luar biasa juga dapat dihasilkan dari pengajaran definitif
para uskup yang bersatu dalam konsili ekumenis. Dengan demikian ada tiga syarat
yang memunculkan sebuah pengajaran luar biasa: pernyataan yang definitif,
pengajaran iman dan moral ex cathedra,
dan konsili ekumenis.[7]
Dalam
Katekismus Gereja Katolik tentang magisterium dikatakan: “adapun tugas
menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu,
dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang
kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus" (DV 10). Wewenang
Mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni
dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Sabda itu, karena
perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat,
dipelihara dengan suci, dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua
diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani
sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah" (DV 10). Kaum beriman
mengenangkan perkataan Kristus kepada para Rasul: "Barang siapa
mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Luk 10:16) dan menerima dengan
rela ajaran dan petunjuk yang diberikan para gembala kepada mereka dalam
berbagai macam bentuk.[8]
Sedangkan
dalam Konsili Vatikan II, setidaknya magisterium diartikan sebagai tugas
mengajar pastoral. Lumen Gentium (LG)
art. 18 berbicara tentang ketidakdapatsesatan wewenang mengajar Pontifikat Roma.
Dalam art. 22 dikatakan pemerintahan para uskup adalah penerus kolegialitas
para rasul dalam magisterium. Dalam art. 25 dibicarakan tentang magisterium
yang otentik dan tertinggi, dan juga dikatakan bahwa para uskup yang berkumpul
dalam konsili ekumenis merupakan magisterium tertinggi bersama dengan penerus
Petrus. Jadi dalam perkembangan modern istilah magisterium digunakan untuk
merujuk pada kuasa mengajar hierarki dan hierarki itu sendiri yang mengemban
tugas mengajar tersebut.[9]
3.
Magisterium
dalam Abad XIX dan Parohan Abad XX
Abad
XIX ditandai oleh perlawanan Gereja terhadap badai modernisme. Perlawanan ini
misalnya dapat kita lihat dalam Syllabus
of Errors (1864) dari Pius IX yang mengutuk panteisme, rasionalisme,
sosialisme, komunisme, penundukan Gereja di bawah negara, pemisahan Gereja dan
negara, kebebasan beragama, dsb.[10] Kebencian
Pius IX terhadap modernisme juga muncul akibat kebijakan-kebijakan sekular yang
membawa kerugian bagi Kepausan, seperti pencabutan status legal entitas-entitas
religius dan perampasan tanah serta harta milik Gereja. Kehilangan wilayah bagi
Pius IX sama artinya dengan kehilangan wewenang dan kepercayaan kepada Takhta
Suci. Inilah alasan mengapa Paus mengutuk liberalisme.[11] Syllabus dalam hal ini menunjukkan
betapa radikalnya perubahan yang disebabkan oleh “peradaban modern” dan betapa
dalamnya tantangan modernisme bagi Katolisisme dan Kekristenan. Kondisi inilah
yang menjadi salah satu pemicu diselenggarakannya Konsili Vatikan I oleh Pius
IX. Gagasan tentang infalibilitas tampak jelas dalam dokumen Pastor Aeternus, dan karena dokumen Pastor Aeternus inilah Konsili Vatikan I
dikenang.[12]
Infalibilitas Paus dianggap sebagai cara tepat dalam membendung badai
modernisme.
Berangkat
dari konteks sosial-politik ini, maka ketika berbicara tentang magisterium
dalam periode abad XIX dan parohan abad XX, terdapat indikasi kuat bahwa
magisterium dalam periode itu bercorak kontra
modernisme. Oleh karena itu kita tidak bisa mengabaikan topik tentang infalibilitas
Paus yang ketika itu menjadi isu penting dalam membendung badai modernisme. Selain
itu, dalam bagian ini pemahaman tentang magisterium dalam kurun waktu tersebut
juga akan diulas dengan berlandaskan pada dua dogma tentang Maria, yaitu dogma
“Maria dikandung tanpa noda” dan dogma “Maria diangkat ke surga”, serta dua dokumen
tentang studi Kitab Suci, yaitu dokumen Providentissimus
Deus dan Divino Afflante Spiritu.
3.1 Magisterium dalam Konsili Vatikan I
Konsili
ini dimulai oleh Pius IX dengan memanggil para konsiliaris melalui bulla Aeterni Patris pada 29 Juni 1868. Sesi
pertama digelar di basilika St. Petrus pada 8 Desember 1869 di bawah
kepemimpinan Pius IX dan dihadiri oleh banyak peserta, termasuk uskup-uskup
dari luar Eropa. Dalam konsili ini ada dua konstitusi yang disetujui, yaitu
Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik (Dei
Filius) dan Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Kristus (Pastor Aeternus). Konstitusi Pastor
Aeternus yang menguraikan primat dan infalibilitas uskup Roma menimbulkan
kontroversi, khususnya di Jerman, yang kemudian berujung pada pengunduran diri
kelompok “Katolik Kuno” dari Gereja Katolik. Pecahnya perang Franco-Prussian menginterupsi Konsili.
Konsili tidak pernah ditutup secara resmi.[13] Selain
hendak mendefinisikan doktrin Katolik tentang Gereja Kristus, Konsili ini juga hendak
menentang Liberalisme abad ke-19 yang mendukung kebebasan beragama, pemisahan
Gereja dan negara, serta program sekularisasi di sekolah dan institusi lainnya.[14]
Salah
satu isu penting berkaitan dengan magisterium dalam Konsili Vatikan I adalah
gagasan mengenai infalibilitas Paus atau ketidakdapatsesatan Paus dalam hal
iman dan moral. Sebenarnya, gagasan mengenai infalibilitas itu sendiri bukanlah
isu baru dalam sejarah Gereja. Terhitung sejak zaman para rasul gagasan ini
sudah ada. Akan tetapi gagasan ini benar-benar mendapat perhatian khalayak ketika
dideklarasikan secara resmi dalam Konsili Vatikan I, sebab gagasan ini
menimbulkan banyak kontroversi.
Gagasan
tentang infalibilitas didasarkan pada beberapa teks Kitab Suci. Pertama, pada pernyataan Yesus yang akan
mendirikan Gereja-Nya di atas diri Petrus (Mat. 16:17-20). Kedua, ketika Yesus memerintahkan Petrus untuk memelihara
domba-domba-Nya (Yoh. 21:14-22). Ketiga,
yang menjadi pendasaran kuat bagi gagasan infaliblitas Paus pada abad ke-19
ditemukan dalam doa Yesus untuk Petrus (Luk. 22: 32).[15] Selanjutnya gagasan ini ditegaskan oleh para
Bapa Gereja, misalnya saja dalam pemikiran Siprianus Karthago (256) yang pernah
bertanya: “akankah para pengajar sesat berani mendekati takhta Petrus, tempat
iman rasuli berasal dan dari mana kebenaran berasal?”. Selain itu, dalam sebuah karyanya, St. Agustinus menyatakan: “jika
Roma telah berkata, maka bereslah sudah persoalan itu”.[16]
Gagasan
tentang infalibilitas Paus terus dipertahankan oleh para teolog Abad
Pertengahan, terutama dalam pemikiran Petrus Olivi, seorang Fransiskan. Dalam questio-nya (1283) ia menulis: “Paus
tidak dapat sesat dalam hal iman dan moral, dan karenanya harus ditaati oleh
semua umat Katolik”. Baginya, sebagiamana seorang Paus terikat oleh keputusan
konsili ekumenis, maka ia juga terikat pada keputusan dogmatis para Paus
sebelumnya. Paus yang melawan dogma hasil sebuah konsili ekumenis sama artinya
dengan mengkhianati dirinya dan menyamakan dirinya dengan seorang heresi, dan
secara otomatis tidak lagi menjadi Paus yang legitim.[17]
Intensi
Petrus Olivi mengutarakan paham infalibel ini ialah untuk mengantisipasi
munculnya Paus “heretik” yang akan melawan keputusan Paus Nicholas III. Perlu diketahui, Nicholas III melalui bulla Exiit qui Seminat (1279) merestui
praktik kemiskinan radikal para Fransiskan Spiritual yang menyangkal hak milik
pribadi dan komunal. Jadi bisa dipahami jika gagasan infalibilitas Paus yang
diusung Petrus Olivi diutarakan pertam-tama demi mempertahankan kelangsungan
praktik kemiskinan radikal kelompok Fransiskan Spiritual pada masa selanjutnya.
Pandangan Olivi kemudian diteruskan oleh William Ockham.[18]
Pada abad ke-15 pemikiran Petrus
Olivi dimodifikasi oleh seorang Karmelit bernama Guido Terreni. Menurut Terreni,
meskipun terdapat Paus yang heresi, namun ajaran Paus tidak mungkin sesat. Baginya
infalibilitas Paus bukanlah hasil usaha manusia, melainkan campur tangan Roh
Kudus. Roh Kudus lah yang menghindarkan Paus dari kesesatan dalam hal iman.
Menurutnya Paus dapat sesat dalam opini-opini pribadinya, namun Roh Kudus akan
mencegah dia dari kesesatan dalam hal iman. Pemikiran Tereni kemudian
diteruskan oleh para teolog seperti Juan de Torquemada, Cajetan, John Driedo,
Thomas Stapleton, Robert Bellarminus, Francisco Suarez, dan oleh fakultas
teologi Louvain.[19]
Khusus dalam hal ini, paham infalibilitas yang diutarakan Robertus Bellarminus
perlu mendapat perhatian. Mengikuti paham Terreni, Bellarminus berasumsi bahwa
entah pribadi seorang Paus heretik ataukah tidak, namun ia tidak mungkin
mengajarkan doktrin sesat. Pemikirannya ini turut mempengaruhi pokok-pokok
tentang paham infalibilitas dalam Konsili Vatikan I.[20]
Dalam
Konsili Vatikan I, gagasan tentang infalibilitas Paus terutama didukung oleh
kelompok ultramonte[21],
yang terinspirasi gagasan infalbilitas Robertus Bellarminus. Konsili Vatikan I
mendefinisikan infalibilitas Paus sebagai doktrin yang menegaskan bahwa ketika
Paus, dalam kondisi tertentu, mengumumkan ajaran tentang iman ilahi dan
apostolik, ia tidak dapat salah, dan pernyataannya ini tidak dapat dibatalkan.
Bagi gerakan ultramonte, infalibilitas Paus adalah cara terbaik dalam
membendung gerakan liberalisme dan nasionalisme ketika itu. Infalibilitas Paus
adalah inti gerakan mereka, dan konsili dipandang sebagai kesempatan untuk meloloskan
gagasan ini.[22]
Salah
satu tokoh penting dari kelompok ultramonte adalah seorang filsuf bernama Joseph
de Maistre. De Maistre salah seorang pendukung restorasi Monarki Perancis. Ia
melihat bahaya individualisme bagi struktur masyarakat dalam Revolusi Perancis
dan Pencerahan. Sebaliknya ia mendukung gagasan kesatuan organis sebagaimana terdapat
dalam periode romantik. Menurut de Maistre masyarakat harus memiliki prinsip
kesatuan yang menghidupkan struktur masyarakat. Hal ini berlaku juga bagi
Gereja yang merupakan sebuah struktur. Dalam karyanya Du pape (1817) ia melihat Paus sebagai prinsip penyatu dalam Gereja
sebagaimana fungsi-fungsi monarki sebagai prinsip penyatu dalam masyarakat
sipil. Ia menggunakan pandangan monarkis tentang kedaulatan sebagai pembenaran
atas infalibilitas Paus. Bagi de Maistre infalibilitas mensyaratkan otoritas
absolut. Selain de Maistre, tokoh-tokoh yang mendukung infalibilitas Paus yang
absolut dan personal antara lain Louis Veuillot, William George Ward, Manning
dari Westminster dan Senestrey dari Ratisbon. Akan tetapi tidak sedikit juga
yang menolak posisi kelompok ultramonte ini, sebut saja Ignaz von Dollinger, Charles-Henri
Maret, dan Felix Dupanloup.[23]
Keberhasilan
gagasan tentang infalibilitas di abad ke-19 tidak terlepas dari keadaan politik
yang memburuk. Infalibilitas muncul sebagai reaksi atas ancaman kultural,
sosial, dan intelektual “dunia modern” atas Gereja. Revolusi saintifik
mengancam pendekatan filsafat Aristoteles yang telah mengikat Gereja sejak abad
ke-13. Rasionalisme pencerahan mengacaukan keseimbangan antara iman dan rasio
dalam teologi tradisional Katolik, dan terutama paham radikal modernisme yang
lebih menaruh kepercayaan pada rasio ketimbang Allah. Revolusi Perancis yang
mengagungkan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, merusak tatanan politik
dan gerejawi. Kritisisme biblis juga mengancam kredibilitas Kitab Suci.
Tantangan-tantangan ini dipandang mengancam basis gereja dan masyarakat.[24]
Lantas
bagaimana hasil final ajaran Konsili Vatikan I tentang magisterium? Dokumen Dei Filius mengartikan magisterium
sebagai doktrin yang diajarkan Gereja entah melalui keputusan luar biasa (solemn judgment) atau melalui wewenang
mengajar biasa dan universal (sive
solemni iudicio sive ordinario et universali magisterio). Wewenang mengajar
biasa dan universal berarti wewenang mengajar yang mereka (para uskup) gunakan
ketika mereka tidak berkumpul dalam konsili ekumenis. Sedangkan dalam dokumen Pastor Aeternus konsili bergerak dari
pertimbangan primat Paus secara umum ke wewenang mengajar tertinggi Paus
sebagai bagian dari primatnya. Pastor
Aeternus menyatakan bahwa primat Paus adalah kuasa tertinggi dalam
magisterium.[25]
Tentang infalibilitas, konsili menyatakan:
“oleh karena itu...kami...mengajarkan dan menetapkan
sebagai sebuah dogma yang diwahyukan secara ilahi bahwa ketika Kepausan Roma
berbicara ex cathedra, yaitu bahwa,
ketika, dalam melaksanakan tugasnya sebagai gembala dan guru semua umat
Kristen, dalam keutamaan wewenang apostoliknya yang tertinggi, ia menetapkan
sebuah doktrin tentang iman dan moral untuk diyakini seluruh Gereja, ia
memiliki, melalui pertolongan ilahi yang dijanjikan kepadanya dalam Petrus, infalibilitas
dalam menetapkan doktrin tentang iman dan moral, yang Penebus Ilahi kehendaki
dimiliki oleh Gereja-Nya. Oleh karena itu penetapan-penetapan yang dibuat
Kepasuan Roma, dan bukan melalui persetujuan Gereja, tidak dapat diubah.[26]
Menurut
Richard Gaillardetz, setelah Konsili Vatikan I berakhir terdapat dua
interpretasi atas doktrin infalibilitas Paus. Pertama definisi infalibilitas Paus kurang memperhatikan relasi antara
Paus dengan kolegialitas para uskup. Konsekuensinya kepausan dilihat sebagai
pusat kekuasaan yang sama sekali lain. Selain itu primat Paus lebih didasarkan
pada aspek yuridis ketimbang teologis. Penetapan infalibilitas Paus juga
dinilai tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai batasan-batasan
penerapannya, seperti pelibatan pendapat para uskup. Interpretasi kedua atas infalibilitas Paus lebih melihat
intensi para bapa konsili. Para uskup Jerman menerbitkan surat pastoral megenai
ajaran konsili pada tahun 1870 yang merepresentasikana pembacaan yang lebih
moderat tentang infalibilitas dan primat Paus. Interpretasi serupa juga
ditemukan di Inggris dan Perancis. Ironisnya, gagasan eklesiologis kelompok
minoritas uskup dalam Konsili Vatikan I, yang menekankan unsur kolegialitas
dalam wewenang mengajar Gereja dan penekanan pada iman Gereja yang bersumberkan
pada Kitab Suci dan tradisi, justru menjadi gagasan yang dikehendaki oleh
mayoritas uskup dalam Konsili Vatikan II.[27]
3.2
Magisterium
dalam Dogma tentang Maria
Ada
dua dogma penting sepanjang abad XIX dan XX, yaitu dogma “Maria dikandung tanpa
noda” dan “Maria diangkat ke surga”. Tahun 1854 Pius IX mengumumkan dogma “Maria
dikandung tanpa noda” dalam konstitusi apostolik Ineffabilis Deus. Gagasan tentang Maria dikandung tanpa noda sudah
ada sejak zaman Bapa-bapa Gereja, namun baru secara gencar dikembangkan oleh
para teolog Fransiskan pada abad pertengahan. Pada awal abad ke-19 isu tentang
gagasan ini berhembus kuat di kalangan umat Katolik. Ditambah lagi, pada 17
November 1830 terjadi visiun yang dialami Catherine Laboure di Perancis. Dalam
visiun itu Bunda Maria memperkenalkan diri sebagai “yang dikandung tanpa noda”.
Pada tahun 1846 para uskup di Amerika mengumumkan “Maria yang dikandung tanpa noda”
sebagai pelindung Amerika. Pada tahun 1847 Giovanni Perrone, teolog ternama
dari Kolese Yesuit di Roma, menerbitkan risalah yang menyatakan bahwa doktrin tersebut
sudah dapat ditetapkan.[28] Tahun
1849 Pius IX mulai bertindak dengan menerbitkan ensiklik Ubi Primum di mana ia meminta tanggapan para uskup di seluruh dunia
mengenai rencana Takhta Suci meresmikan dogma tersebut. Terdapat sekitar 600
responden, dan hanya 56 yang berkeberatan. Berdasarkan tanggapan para uskup, ia
kemudian membentuk komisi yang terdiri dari para kardinal dan teolog utuk
menelaah dogma ini, dan komisi ini menanggapinya secara positif. [29]
Penetapan
dogma ini memiliki arti penting bagi Konsili Vatikan I karena dua alasan. Pertama, inilah untuk pertama kalinya
secara resmi Paus menetapkan dogma. Ineffabilis
Deus menyatakan bahwa Maria dikandung tanpa noda adalah kebenaran “yang
secara ilahi diwahyukan Allah”. Jika hal tersebut benar, maka tidak dapat
diubah, dan karenanya tidak dapat salah. Dari sini terlihat bahwa Pius IX sudah
mengantisipasi definisi tentang infalibilitas dalam Konsili Vatikan I dan
memberi angin segar bagi mereka yang mendukung infalibilitas. Selain itu,
meskipun ia meminta persetujuan para uskup, namun di dalam Ineffabilis Deus ia tidak menyatakan bahwa keputusan menyatakan
dogma tersebut ia buat dengan meminta persetujuan mereka. Penetapan dogma
tersebut adalah murni keputusan Paus. Kedua,
penetapan dogma ini adalah bagian dari perlawanan atas dunia modern. Indikasinya
dapat dilihat dari artikel yang diterbitkan di La Civilta Cattolica tahun 1852, dua tahun sebelum penetapan dogma.
Penulisnya berasumsi bahwa penetapan dogma tersebut akan menjadi perlawanan
iman yang kuat atas rasionalisme dan segala bentuk filsafat profan ketika itu.
Maria baginya adalah penghancur segala bentuk heresi.[30]
Selanjutnya, pada abad XX dogma
tentang “Maria diangkat ke surga” ditetapkan. Sebelum penetapan tersebut, Pius
XII tengah mempertimbangkan permintaan para kardinal, uskup, imam, dan kaum
beriman untuk menjadikan iman akan ‘Maria diangkat ke surga” sebagai sebuah
dogma. Pada 1 Mei 1946, melalui ensiklik Deiparae
Virginis Mariae, Pius XII meminta pendapat para Patriark, Kardinal, dan
para Uskup. Proposal Pius XII disambut baik oleh para responden. Apalagi, sama
seperti dogma “Maria dikandung tanpa noda” yang mendapat afirmasi ilahi melalui
visiun yang dialami Catherine Laboure, rencana penetapan dogma “Maria diangkat
ke surga” juga seolah mendapat afirmasi ilahi melalui penampakan Bunda Maria
kepada Bruno Cornacchiola di Tre Fontane, pada 12 April 1947. Dalam penampakan
tersebut Bunda Maria meminta dia untuk kembali ke pangkuan Gereja Katolik, dan
kepadanya Bunda Maria berkata: “tubuhku tidak dapat hancur dan tidak pernah
hancur, Aku diangkat ke surga oleh Putera-ku dan para malaekat-Nya”.
Pius
XII seolah mendapat kekuatan untuk menyatakan praktik iman ini sebagai dogma.
Hingga kemudian pada pada 1 November 1950 secara resmi praktik iman ini
dinyatakan sebagai dogma melalui ensiklik Munificentissimus
Deus. Dalam Munificentissimus Deus Pius
XII menyatakan:
Melalui
wewenang Tuhan Kita Yesus Kristus, para Rasul yang kudus, Petrus dan Paulus,
dan melalui diri kami sendiri, kami mengumumkan dan menyatakan ini (Maria
diangkat ke surga) menjadi dogma yang diwahyukan oleh Allah, bahwa Bunda Allah
yang dikandung tanpa noda, Maria Sang Perawan, ketika hidupnya di dunia
berakhir, diangkat badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.[31]
Secara tidak langsung, kedua
doktrin tentang Maria ini menjadi penting dalam kaitannya dengan magisterium,
khususnya dengan paham infalibilitas Paus. Doktrin “Maria dikandung tanpa
noda”, dianggap sangat sesuai dengan syarat-syarat infalibilitas yang ditetapkan
dalam Konsili Vatikan I. Hal ini diperkuat satu abad kemudian ketika pada tahun
1950 Pius XII menyatakaan dogma “Maria diangkat ke surga” yang juga dinilai
sesuai dengan gagasan infalibilitas sebagaimana diputuskan dalam Konsili
Vatikan I. Oleh karena itu, Konsili Vatikan I menjadi penting karena
menempatkan doktrin tentang Maria (khususnya dua doktrin ini) sebagai pusat
seputar debat tentang infalibilitas.[32]
Selain itu, melalui kedua dogma ini
kita pun bisa melihat peran kolegialitas para uskup sebagai magisterium Gereja.
Sebelum secara resmi menyatakan kedua dogma tersebut, Sri Paus terlebih dahulu
meminta pendapat rekan-rekan uskup mengenai rencananya. Meskipun dalam dogma
“Maria dikandung tanpa noda” tampaknya peran Pius IX begitu ditonjolkan, namun
kita tidak bisa mengabaikan peran uskup lainnya. Begitu pun dalam penetapan
dogma “Maria diangkat ke surga”, di mana Pius IX turut mempertimbangkan masukan
dan usul para uskup.
3.3 Magisterium dalam Ensiklik Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu
Providentissumus Deus
adalah ensiklik tentang studi Kitab Suci yang dikeluarkan oleh Leo XIII pada 18
November 1893. Providentissimus Deus muncul
dalam suatu periode yang ditandai dengan polemik hebat melawan iman Gereja. Tujuan
diterbitkannya ensiklik ini ialah untuk melindungi penafsiran Katolik dari
serangan ilmu pengetahuan yang rasionalistik. Ketika itu, ilmu pengetahuan alam
dan historis berkembang pesat, dan pendekatan yang digunakan dalam ilmu
pengetahuan alam dan historis juga hendak digunakan untuk menafsirkan Kitab Suci.[33]
Penafsiran liberal memberi dukungan penting pada polemik ini, karena penafsiran
ini menggunakan semua sumber ilmiah, dari kritik teks sampai geologi, termasuk
filologi, kritik sastra/literer, sejarah agama-agama, arkeologi, di samping
disiplin ilmu lain.[34]
Berhadapan
dengan liberalisme, Providentissimus Deus
mengajak para ahli tafsir Katolik untuk mendapatkan keahlian ilmiah yang
mumpuni sehingga mereka bisa mengatasi lawan-lawan mereka dalam bidang mereka
sendiri. Gereja tidak takut terhadap kritik ilmiah, Gereja hanya tidak percaya
pada pendapat-pendapat yang mengklaim diri didasarkan pada ilmu pengetahuan,
tetapi pada kenyataannya, secara tersembunyi membuat ilmu pengetahuan
meninggalkan wewenangnya.[35]
Dalam
dokumen Providentissimus Deus Kitab
Suci dipandang sebagai sumber iman yang benar dan tidak dapat salah, berbeda
dengan pandangan kelompok rasionalis yang melihat Kitab Suci hanya sebagai hasil
karya manusia semata dan tidak lebih dari sebuah mitos (no. 10). Dalam rangka
membendung arus rasionalisme tersebut, Leo XIII mendesak agar para pengajar
Kitab Suci dipilih secara ketat serta memiliki kualifikasi yang mumpuni untuk
menjadi seorang pengajar Kitab Suci (no. 11). Untuk keperluan regenerasi, harus
dipilih para calon yang kompeten, dan mereka ini harus dipersiapkan secara khusus
dengan didukung oleh fasilitas yang memadai (no. 12). Dalam hal penafsiran
Kitab Suci Leo XIII juga menganjurkan penggunaan teks vulgata sebagai sumber
utama, namun ketika teks vulgata tidak memadai, seorang penafsir dapat kembali
kepada teks asli dalam bahasa Ibrani atau Yunani (no. 13). Leo XIII juga mendorong
para ahli tafsir untuk mempelajari bahasa-bahasa Timur kuno serta Kritik ilmiah
untuk menangkal serangan rasionalisme (no. 17), bahkan penguasaan ilmu
saintifik juga dianggap perlu untuk menangkal para rasionalis (no. 18).
Selain
itu, Kitab Suci yang dilihat sebagai inspirasi dari Roh Kudus, menurut dokumen
ini melampaui kemampuan pemahaman manusia. Untuk memahami Kitab Suci, seorang pembaca
harus mengikuti bimbingan yang ditetapkan Gereja yang kepadanya Kitab Suci
diwahyukan. Gereja dalam hal ini harus dijadikan sebagai guru. Segala bentuk
penafsiran atas Kitab Suci harus sesuai dengan interpretasi Gereja. Ketika Bapa
suci sebagai pemegang wewenang tertinggi menginterpretasikan teks Kitab Suci
yang berkaitan dengan soal iman dan moral, maka interpretasi tersebut harus
dilihat sebagai interpretasi yang berasal dari para rasul (no. 14).
Pada
peringatan 50 tahun dokumen Providentissimus
Deus, tepatnya pada 30 September 1943, Pius XII menerbitkan dokumen Divino Afflante Spiritu. Dokumen ini secara
khusus diterbitkan dalam rangka mendorong perkembangan studi Kitab Suci.[36] Ketika
itu bermunculan kritik terhadap usaha kajian ilmiah atas Kitab Suci. Di Italia
bahkan tersebar selebaran anonim untuk melawan usaha tersebut yang dinilai
sebagai sebuah penyelewengan dan ancaman bagi Gereja. Berhadapan dengan
tuntutan tersebut Pius XII, melalui dokumen Divino
Afflante Spiritu, menegaskan tentang kesatuan antara eksegese ilmiah dan
penafsiran spiritual. Ia menegaskan kesatuan yang erat antara kedua pendekatan
itu, di satu pihak dengan menekankan arti “teologis” dari makna literer yang
dirumuskan secara metodis dan di lain pihak ia menegaskan tentang pentingnya
makna “rohani” suatu teks.[37]
Dalam
rangka itu, melalui Divino Afflante
Spiritu Pius XII menggarisbawahi situasi studi Kitab Suci zamannya yang
berbeda dengan situasi abad ke-19, terutama berkaitan dengan penemuan-penemuan
arkeologis baru di Tanah Suci, seperti penemuan versi kuno kitab suci yang
berhubungan dengan tulisan-tulisan Kekristenan awal, dan juga perkembangan
dalam ilmu tafsir (no.11). Penemuan-penemuan ini baginya mendesak para ahli
Kitab Suci untuk mempelajari bahasa, kebiasaan, dan kebudayaan Timur Kuno. Baginya
penemuan-penemuan ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pemahaman
yang lebih baik tentang Kitab Suci. [38] Pius
XII juga mendorong kemajuan studi saintifik atas Kitab Suci melalui penerjemahan
Kitab Suci seturut teks aslinya, bukan hanya melalui versi vulgata. Ia juga
menekankan pentingnya kritisisme tekstual untuk memperoleh makna biblis yang
lebih akurat sebagaimana dimaksud oleh penulis aslinya (no. 16).
Menurut
Yohanes Paulus II, kedua ensiklik tersebut pada level terdalam sunggguh-sungguh
sesuai satu sama lain, meskipun kesulitan yang harus mereka hadapi amat
berbeda. Kedua ensiklik itu menolak pemisahan yang manusiawi dan yang ilahi,
antara penelitian ilmiah dan penghargaan terhadap iman, antara makna literer
dan makna rohani.[39]
Selain itu, dalam kedua dokumen ini, reaksi magisterium sungguh sangat berarti
karena tidak memberikan tanggapan yang yang semata-mata defensif.
4.
Penutup
Setelah
secara garis besar melihat perkembangan magisterium, khususnya dalam periode
abad XIX dan abad XX, setidaknya kita bisa menarik beberapa kesimpulan.
Pertama,
dalam periode abad XIX nuansa kontra
modernisme sangat tampak dalam magisterium Gereja. Hal ini terutama dapat
kita lihat dalam sikap defensif Gereja yang tertuang dalam dogma Maria
dikandung tanpa noda dan dalam Konsili Vatikan I, khususnya dalam paham
infalibilitas Takhta Suci. Sikap
Gereja ini salah satunya ditengarai oleh trauma akan peristiwa Revolusi
Perancis. Belajar dari peristiwa Revolusi Perancis yang membawa kehancuran bagi
Gereja di Perancis, maka Gereja merasa perlu untuk tidak mengulang peristiwa
pahit tersebut. Dalam rangka menandingi ancaman modernisme, Gereja merasa perlu
untuk menegaskan kembali status quo-nya
melalui sentralitas kekuasaan pada Uskup Roma. Uskup Roma dipandang sebagai
sosok yang dapat dijadikan ‘pemersatu” segenap umat beriman dalam membendung
ancaman modernisme.
Kedua, jika
aroma kontra modernisme begitu tampak dalam abad XIX, maka memasuki akhir abad
XIX dan khusus pada abad XX nuansa itu perlahan mulai berkurang. Selain karena
konteks zaman yang berbeda, sikap Gereja dalam menghadapi “serangan” badai
modernisme tidak lagi didominasi sikap defensif. Sebaliknya, Gereja lebih
menonjolkan sikap dialog. Ini terutama terlihat dalam dokumen Providentissimus Deus dan Divino Afflante Spiritu. Terhadap
serangan dari luar, khususnya atas tafsir Kitab Suci, Gereja justru melawan
serangan-serangan tersebut dengan mendorong para ahli tafsir untuk mempelajari
ilmu-ilmu profan, penemuan-penemuan arkeologis, bahasa-bahasa kuno, serta ilmu
tafsir terbaru untuk melawan para penentangnya. Gereja mempertahankan diri
dengan mempelajari ilmu yang justru digunakan oleh para lawannya.
Ketiga,
sikap defensif magisterium atas modernisme dalam abad XIX juga diwarnai oleh
sentralitas kekuasaan Uskup Roma. Dalam hal ini kekuasaan Sri Paus begitu
ditonjolkan, terutama dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, sedangkan
peran para uskup kurang begitu tampak. Memasuki abad XX dominasi ini mulai
memudar. Hal ini misalnya dapat kita lihat dalam penetapan dogma “Maria
diangkat ke surga”. Dalam penetapan dogma ini Sri Paus turut memperhitungkan
masukan dari para kolega uskup. Keputusan yang ia ambil tidak dilakukan secara
sepihak, meskipun sebagai pemimpin kolegialitas para uskup ia tetap memiliki
peran sentral.
Daftar
Pustaka
Baruwarso,
RD Riki Maulana. Mempertanyakan
Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja. Jakarta: Penerbit
Obor. 2015.
Coyle, Kathleen. Mary
in The Christian Tradition. Quezon City: Claretian Publication 1993.
Cross
F. L. & E. A. Livingstone (ed.) The
Oxford Dictionary of The Christian Church. Oxford: Oxford University Press.
2005.
Gaillardetz,
Richard R. Teaching with Authority: A
Theology of the Magisterium in the Church. Minnesota: The Liturgical Press.
1997.
Katekismus
Gereja Katolik
Komisi
Kitab Suci Kepausan. Penafsiran Alkitab
dalam Gereja. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2003.
Livingstone,
E. A. (ed.). The Oxford Dictionary of The
Christian Church. New York: Oxford University Press. 2005.https://www.papalencyclicals.net/councils/ecum20.htm
O’Malley,
John W. Vatican I: The Council and The
Making of the Ultramontane Church. Cambridge: Harvard University Press.
2018.
Sullivan.
Francis A. Magisterium: Teaching
Authority in The Catholic Church. Dublin: Gill and Macmillan Ltd. 1983.
Tanner, Norman. The
Curch in Council. London: I. B. Tauris. 2011.
[1] Modernisme adalah sebuah gerakan
dalam Gereja Katolik Roma yang hendak mendekatkan tradisi iman Katolik dengan
pandangan modern dalam bidang filsafat, sejarah, dan sains. Gerakan ini muncul
secara sepontan di beberapa negara, terutama pada abad ke19. Modernisme tidak
memiliki sebuah program bersama, namun ada beberapa ciri khas yang menjadi
kecenderungan gerakan ini. Pertama,
modernisme menerima sudut pandang kritis dalam studi Kitab Suci, hal mana
merupakan sesuatu yang lumrah di luar Gereja Katolik ketika itu. Kaum modernis
melihat para pengarang Kitab Suci juga memiliki keterbatasan tak ubahnya para
pengarang tulisan-tulisan sejarah lainnya. Pendekatan mereka atas Kitab Suci
bercorak skeptis. Kedua, mereka
menolak “intelektualisme” teologi skolastik, dan lebih mengutamakan praktik
kesalehan dibandingkan doktrin yang kaku. Figur terkenal dalam gerakan ini
antara lain A. F. Loisy, M. Blondel, E. I Mignot, Edouard Le Roy, Romolo Murri,
G. Tyrrell, F. von Hugel, dsb. (Modernisme,
dalam E. A. Livingstone (ed.), The Oxford
Dictionary of The Christian Church, (New York: Oxford University Press,
2005), hal. 1104-1105.
[2] Francis A. Sullivan, Magisterium: Teaching Authority in The
Catholic Church, (Dublin: Gill and Macmillan Ltd, 1983), hal. 24.
[3] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 24-25.
[4] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 25.
[5] Riki Maulana Baruwarso,Magisterium Biasa dan Luar Biasa: Praktik
dan Persoalannya dalam RD. Riki M. Baruwarso, Mempertanyakan Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja,
(Jakarta: Penerbit Obor, 2015), hal. 100-101.
[6] Riki Maulana Baruwarso, Magisterium Biasa dan Luar Biasa, hal.
101.
[7] Riki Maulana Baruwarso, Magisterium Biasa dan Luar Biasa, hal.
101-102.
[8] Katekismus Gereja Katolik, no. 85-87.
[9] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 25-26.
[10] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 105-106.
[11] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 104.
[12] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 11.
[13] Bagian ini disarikan dari https://www.papalencyclicals.net/councils/ecum20.htm.https://www.papalencyclicals.net/councils/ecum20.htm diunduh pada Minggu, 20 Oktober,
pkl. 17.00 wib.
[14] John W. O’Malley, Vatican I: The Council and The Making of the
Ultramontane Church, (Cambridge: Harvard University Press, 2018), hal. 2-3.
[15] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 7.
[16] A. Eddy Kristiyanto, OFM, Infalibilitas: Eksistensi dan Sejarah
Interpretasinya, dalam RD. Riki M. Baruwarso, Mempertanyakan Magisterium: Dinamika Pemahaman Kuasa Mengajar Gereja,
(Jakarta: Penerbit Obor, 2015), hal. 80.
[17] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 91.
[18] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority: A Theology of the
Magisterium in the Church, (Minnesota: The Liturgical Press, 1997), hal. 207.
[19] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 92-94.
[20] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 209.
[21] Ultramonte atau ultramontanisme adalah
sebutan yang merujuk pada gerakan yang mendukung sentralitas kewenangan
Kepausan, yang berlawanan dengan independensi keuskupan. Pada abad ke-17
ultramontanisme bertumbuh menjadi sebuah gerakan yang kuat seperti Jansenisme,
Gallicanisme, dan Josephinisme. Abad ke-19 menjadi puncak kejayaan
ultramontanisme, di mana mereka mengambil peran besar dalam Konsili Vatikan I
dan turut menjadi garda terdepan dalam menentang liberalisme teologi zaman itu.
(F. L. Cross & E. A. Livingstone, ed. The
Oxford Dictionary of The Christian Church, Oxford: Oxford University Press,
2005, hal. 1667)
[22] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 7-9.
[23] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 210-211.
[24] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 9-10.
[25] Francis A. Sullivan, Magisterium, hal. 25.
[26] Sebagaimana dikutip dalam Richard
R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal.
213-214.
[27] Richard R. Gaillardetz, Teaching with Authority, hal. 216-217.
[28] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 101-102.
[29] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 103.
[30] John W. O’Malley, Vatican I , hal. 103.
[31] Sebagiamana dikutip dalam Kathleen
Coyle, Mary in The Christian Tradition, (Quezon
City: Claretian Publication 1993), hal. 40-41.
[32] Norman Tanner, The Curch in Council, (London: I.B.
Tauris, 2011), hal. 152.
[33] https://www.encyclopedia.com/religion/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/providentissimus-deus diunduh pada 30 Oktober 2019,
pkl. 08.49 wib.
[34] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab dalam
Gereja, dalam Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2003), hal. 12.
[35] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab dalam Gereja, hal. 13.
[36] https://www.encyclopedia.com/religion/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/divino-afflante-spiritu diunduh pada 30 Oktober 2019,
pkl. 09.34 wib.
[37] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab
dalam Gereja, hal. 14.
[38] https://www.encyclopedia.com/religion/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/divino-afflante-spiritu diunduh
pada 31 Oktober 2019, pkl. 08.54 wib.
[39] Paus Yohanes Paulus II, Sambutan tentang Penafsiran Alkitab
dalam Gereja, hal. 14-15.