Rabu, 18 Januari 2017

Khotbah Yeremia mengenai Bait Suci (Yeremia 7:1-15)



Yeremia, anak Imam Hilkia, lahir tahun 650 SM di Atot (6 km di Timur Laut Yerusalem) dan di situ pula ia dibesarkan. Masa pelayanannya dimulai pada tahun ketigabelas pemerintahan Raja Yosia (627 SM), dan ia termasuk pendukung reformasi Raja Yosia. Setelah kematian Yosia bangsa Israel kembali kepada pemujaan berhala, dan hal inilah yang dilawan Yeremia. Pelayanannya sebagai nabi dilaksanakan di wilayah Kerajaan Selatan dan berlangsung selama 40 tahun. Ia turut menyaksikan serbuan Babel ke Yehuda yang berakhir dengan kehancuran Yerusalem dan Bait Suci. Ia hidup selama pengepungan Yerusalem yang pertama (579 SM) dan kedua (587 SM). Ia juga turut menyaksikan kenisah dihacurkan, Yerusalem ditinggalkan, penduduknya dibuang ke Babel. Pada akhirnya ia sendiri dibuang ke Mesir dan diperkirakan meninggal di sana sebagai seorang buangan pada tahun 580 SM. Pengaruh Yeremia lebih besar dirasakan setelah kematiannya ketimbang semasa hidupnya. Pengaruhnya dapat ditemukan dalam Kitab Yehezkiel, Mazmur, Yesaya 40-66, dan Daniel.
Khotbah dalam Yer. 7:1-15 ini ia sampaikan pada awal masa pemerintahan Yoyakim (Yer. 26:1), dan ditulis dalam gaya deuteronimistis (gaya kitab Ulangan) yang isinya penuh dengan tuduhan dan kutukan. Khotbah ini dialamatkan kepada orang-orang Yudea yang telah melakukan kesalahan dengan saling menghancurkan di antara mereka sendiri. Meskipun teks ini didominasi suara Yeremia, akan tetapi Yeremia sendiri tidak begitu tampak dalam teks ini. Dalam teks ini ia hanya berperan sebagai corong mulut Allah. Pelanggaran umat Yehuda, yaitu penyembahan berhala dan ketidakadilan yang mereka praktikkan di antara mereka sendiri, merupakan perlawanan mereka terhadap Allah yang terus-menerus memelihara mereka, dan karena itu Allah menghukum mereka.
Khotbah di Bait Suci ditujukan bagi dua isu yang saling berhubungan dan selalu ada dalam masyarakat Yehuda, yaitu a) mengenai ketidakseimbangan antara pemujaan mereka terhadap Allah dengan cara hidup yang mereka praktikan, dan b) kestabilan Bait Suci sebagai jaminan keamanan. Pertanyaan dalam teks ini adalah “apakah keberadaan Bait Suci sebagai tempat tinggal Allah -bahkan ketika berhadapan dengan bahaya seperti pada masa lalu, khususnya pada zaman Yesaya- dapat menjadi jaminan bagi keamanan seluruh negeri, khususnya Yerusalem, sebagai jaminan dari Allah utuk melindungi Sion kendati mereka berperilaku buruk?
Ayat pembuka mengungkapkan konteks teks ini. Yeremia mengalamatkan khotbahnya kepada “sekalian orang Yehuda yang masuk melalui semua pintu gerbang ini untuk sujud menyembah kepada Tuhan” (ay.2). Dalam ayat ini para pendengar khotbah Yeremia digambarkan dalam dua hal. Pertama melalui frasa, “sekalian orang Yehuda”. Dari sini bisa saja diperkirakan bahwa khotbah ini dilakukan dalam sebuah kesempatan ketika “semua” orang Yehuda berkumpul. Kedua, mereka ini diidentifikasi sebagai orang-orang yang “masuk untuk menyembah Tuhan”.
Penyembahan yang salah oleh bangsa Yehuda terdiri atas dua sisi: penyembahan kepada ilah-ilah palsu dan penyembahan yang salah kepada Allah. Termasuk dalam poin kedua ini adalah kesalahan dalam tata peribadatan. Kalimat-kalimat setelah ayat 2 bertalian dengan tindakan penyembahan, hal ini berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku yang dapat mensahkan penyembahan itu atau menghapusnya, atau juga yang mempertegasnya. Selain itu, kalimat-kalimat selanjutnya juga menjadi titik balik khotbah Yeremia menjadi nubuat profetis mengenai “cara masuk ke dalam liturgi”. Hal yang sama juga digunakan dalam Mazmur 15 dan 24, yang tampak sebagai syarat bagi mereka yang hendak masuk ke dalam Bait Suci, dan dalam hal ini syarat tersebut adalah tindakan moral yang baik.
Liturgi diidentifikasi dari kualifikasi moral seseorang, hidup yang suci yang membuat seseorang pantas untuk menghadap Allah. Dalam mazmur pemeriksaan terhadap kualifikasi perilaku yang pantas untuk menyembah Allah di bait-Nya dilakukan dalam bentuk pertanyaan, sedangkan bagi para nabi pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Hanya mereka yang memenuhi kualifikasi-kualifikasi moral yang disyaratkan saja yang bisa masuk untuk menyembah Allah.  Dengan kata-kata sakral yang keras Yeremia mengingatkan bahwa Allah tidak tertarik hanya kepada persembahan saja, tetapi juga pada hidup yang adil yang seharusnya dipraktikkan oleh orang-orang Yehuda sebagai umat perjanjian (ay.5-11).
Selain itu, ay. 5-10 berbicara tentang daftar perintah perjanjian. Bagian pertama mencakup tiga contoh orang-orang yang sungguh tak berdaya: orang asing yang tinggal di dalam wilayah Yehuda, yatim piatu dan janda. Ketiga kelompok ini adalah mereka yang tidak memiliki keluarga untuk memperjuangkan hidup mereka dan memenuhi kebutuhan mereka (bdk. Mzm 10:14,18; 68:6; Yes. 1:23; Ul. 10:18). Penumpahan darah orang yang tak bersalah juga termasuk dalam kelas ini karena yang menjadi korban adalah mereka yang dihukum mati karena tuduhan palsu oleh otoritas yang berwenang, dan mereka yang lemah atau tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri mereka.
Dua contoh biblis klasik tentang kengerian tindakan kejahatan ini adalah cerita tentang bagaimana Daud mengatur kematian Uria orang Het, pengikutnya yang paling setia, demi memiliki istrinya (2 Sam. 11-12), dan bagaimana Raja Ahab mengeksekusi Naboth, tetangganya yang miskin, demi memperoleh kebun anggurnya (1 Raj. 21). Terhadap dua kasus ini (Daud dan Ahab) Allah mengutus nabinya untuk mengutuk tindakan kejahatan tersebut. Selanjutnya ay. 9 dan 10 menggambarkan dosa yang paling umum dilakukan bangsa Israel, yakni penyembahan kepada ilah-ilah lain.  Frasa “ilah lain yang tidak kamu kenal” dan “rumah yang atasnya nama-Ku diserukan”, merupakan penekanan atas hubungan personal dalam perjanjian antara Allah dan bangsa Israel.   
Dalam khotbah di Bait Suci ini Yeremia juga menggarisbawahi penipuan diri (self-deception) umat Israel yang menjadi dosa terbesar mereka. Mereka yakin bahwa Allah akan tetap menyertai mereka selama Bait Suci berdiri, kendati mereka bertindak jahat. Dalam ay. 12 Yeremia menggunakan Silo, pusat peribadatan Kerajaan Utara saat masa pemerintahan Yosua (Yos. 18:1) sebagai poin perbandingan. Seperti Silo yang tidak dapat menyelamatkan bangsa Israel dari invasi bangsa Asyur pada tahun 722 SM, begitu pun dengan Bait Suci di Yerusalem tidak dapat menjadi jaminan bahwa bangsa Yehuda tidak akan dihancurkan oleh musuh-musuhnya. Dalam teks ini bangsa Yehuda meyakini bahwa kehadiran Allah dalam Bait Suci akan melindungi mereka (Bdk. Yes. 36-37) dari musuh-musuh (ay. 4).
Jika dicermati, maka keyakinan akan jaminan dari Bait Suci ini dapat dikaitkan dengan paham “teologi Sion”, yaitu perjanjian antara Allah dengan Daud. Teologi Sion diadopsi oleh bangsa Israel dari orang-orang Kanaan. Bangsa Kanaan meyakini dewa mereka, Baal, sebagai dewa perang yang memerintah seluruh bangsa dan ciptaan. Ia memiliki daya untuk mengacaukan ciptaan. Setelah kemenangan atas musuh-musuhnya, Baal memasuki baitnya di puncak sebuah gunung yang tinggi yang tidak dapat dicapai oleh segala bangsa dan oleh musuh-musuhnya. Menurut tradisi bangsa Kanaan gunung tersebut adalah Gunung Zaphon. Di kemudian hari, bangsa Israel yang memiliki hubungan kebudayaan, bahasa, dan keagamaan dengan bangsa Kanaan mentransfer gagasan teologis ini dengan menyamakan Gunung Zaphon dengan gunung suci mereka, Gunug Zion, yang terletak di Yerusalem. Bangsa Israel juga mengadopsi dan mengadaptasi gagasan tentang dewa perang bangsa Kanaan dengan Allah nasional mereka, yakni YHWH. Dalam pandangan bangsa Israel, sebagai Yang Ilahi, Allah menata perairan yang semula kacau menjadi ciptaan yang baik adanya (bdk. Kej. 1: 1-10), dan setelahnya Allah duduk di atas gunungnya yang suci, di mana tidak seorang pun dapat memasukinya (Mzm. 93).
Salah satu bagian penting dari Kitab Suci yang paling berpengaruh bagi Teologi Sion dapat dilihat dalam Mzm. 46. Teks ini meyakini kekuasaan Allah yang tak tergoyahkan atas seluruh manusia dan ciptaan. Mereka yang percaya kepada Allah akan memperoleh keamanan dan kedamaian. Bagi mereka yang meyakini Teologi Sion, Allah telah memilih untuk menetap secara permanen di Bait Suci Yerusalem. Bangsa Israel Kuno meyakini tabut perjanjian sebagai takhta Allah. Di mana takhta Allah hadir, maka di situ hadir pula kemuliaan dan kekuatan Allah.
Lebih jauh dalam kaitannya dengan dinasti Daud, diyakini bahwa selama Bait Suci dan dinasti Daud berdiri maka Allah akan menyertai umat-Nya (2Sam.7:16). Oleh karena berpegang pada jaminan ini maka bangsa Yehuda di kemudian hari beranggapan bahwa selama Bait Suci dan dinasti Daud berdiri maka mereka dapat bertindak sesuka hati. Hal inilah yang kiranya dikritik para nabi, termasuk nabi Yeremia. Bait Suci tidak selamanya menjadi penjamin mutlak bagi kehadiran Allah. Bait Suci melambangkan kehadiran Allah hanya sejauh umat itu menolak ilah-ilah lain dan menaati hukum Allah yang kudus. Mikha, misalnya, mengecam para pemimpin umat Allah yang menjadi bengis dan materialistis namun pada saat bersamaan masih  yakin bahwa mereka tidak akan ditimpakan malapetaka selama lambang kehadiran Allah masih ada di tengah-tengah mereka. Kepada mereka Mikha bernubuat bahwa Allah akan memberi mereka pelajaran dengan membinasakan Yerusalem dan Bait Suci-Nya.
Hal yang sama juga dilakukan Yeremia. Ia  menegur orang-orang Yehuda yang menyembah berhala dan bertindak tidak adil terhadap sesama mereka dan menghibur diri dengan mengulang-ulang kata-kata, "Inilah bait Tuhan, bait Tuhan, bait Tuhan!" (ay.4). Oleh karena gaya hidup mereka yang fasik, Allah akan memusnahkan lambang kehadiran-Nya (Bait Suci). Satu-satunya harapan mereka ialah memperbaiki tingkah laku mereka. Di dalam ay. 3-7 Yeremia memberi harapan bagi umat Yehuda bahwa Allah akan tetap tinggal bersama mereka asalkan mereka mau mengubah sikap mereka dengan mau bertindak adil dan tidak menindas satu sama lain, serta mau meninggalkan ilah-ilah lain.
Keseluruhan bagian dari ay. 1-15 mengandung tiga kata kunci, baik di dalam maupun di luar teks, yaitu: kepercayaan, nama, dan ilah lain. Ketiga kata ini digunakan untuk menunjukkan kegagalan Israel dalam percaya kepada Allah dan kepada namanya. Tindakan mereka berbeda dengan sikap leluhur mereka, Abraham dan Yakub, yang percaya kepada janji dan tindakan iman mereka (Kej. 13:14-17; 15:18-21; Kel. 3:7-8).


Daftar Pustaka
Bergant, Dianne CSA dan Karris, Robert J. OFM (ed.). Pengantar Perjanjian Lama. Kanisius: Yogyakarta. 2002.
Doran, Robert., dkk. New Interpreter’s Bible Volume VI. Abingdon Press: Nashville. 1996.  
Farmer, William R., dkk (ed.). The International Bible Commentary. The Liturgical Press: Minnesota. 1998.
Halveson, Taylor. Ancient Israelite Zion Theology, Judeo Christian Apocalypticism, and Biblical (Mis)interpretation: Potential Implication For the Stability of the Modern Middle East.
http://alkitab.sabda.org.       

Hiasan Kepala Wanita (1 Kor. 11: 2-16)


Teks ini sering disalahpahami sebagai teks yang berbicara tentang sikap dan penampilan wanita dalam berliturgi. Hal ini kurang tepat. Lebih tepat apabila teks ini dipahami sebagai komentar Paulus mengenai penampilan yang tepat bagi pria dan wanita dalam berdoa dan bernubuat (ay. 4 dan 5). Banyak problem dalam kehidupan jemaat di Korintus muncul sebagai akibat dari sikap meremehkan dan acuh tak acuh terhadap hal-hal fisik dan kelakuan yang baik, padahal sikap remeh dan acuh tak acuh terhadap hal-hal fisik ini dapat mengantar kepada pelecehan yang lebih serius atas kewibawaan dan kebebasan Krtisten, serta merusak tujuan sesungguhnya dari tindakan liturgi dan ibadat. Paulus juga mendorong umat Korintus untuk menghargai perbedaan seks. Tindakan menolak perbedaan ini oleh Paulus dianggap sebagai tindakan menolak tatanan yang dimaksudkan Allah dalam menciptakan pria dan wanita.
Ayat 2 merupakan awal dari bagian ini. Dalam hal ini Paulus menggunakan cara yang khusus, sebab dalam hal ini Paulus tidak langsung menyalahkan umat di Korintus akan kesalahan yang mereka buat, melainkan Paulus mengawali surat ini dengan pujian. Melalui kata aku harus memuji kamu, Paulus tidak mengabaikan kemungkinan untuk memuji apa yang patut dipuji dari jemaat di Korintus, dalam hal ini Paulus memuji mereka sebab mereka setia berpegang pada ajaran moral dan doktrin yang diteruskan Paulus kepada mereka. Dalam kasus ini jemaat Korintus bertumbuh secara pesat, dan karenanya mereka dituntut untuk menentukan batas-batas dan standar perilaku mereka. Akan tetapi mereka gagal dalam menjaga keseimbangan ini. Jemaat Korintus menyalahgunakan kebebasan mereka sebagai orang Kristen. Beberapa wanita Kristen dalam jemaat berdoa dan bernubuat dalam ibadat publik tanpa penutup kepala.
Ay.3 dalam teks ini memiliki kaitan dengan ay.11 dan 12. Pokok dalam ay. 3 adalah “semua berasal dari Allah” yang adalah asal mula seluruh kehidupan, bukan tentang perbedaan peranan, sebab pria dan wanita meimiliki peranan yang sama yaitu berdoa dan bernubuat. Dalam ay. 3 tertulis Kristus adalah kepala dari setiap laki-laki. Hal ini memiliki relevansi besar bagi umat Kristen yang baru, menjadi pemisah antara kesetiaan kepada keluarga dan kepada Kristus. Dalam sistem resmi Romawi, hanya pria paling tua yang diakui dalam keluarga (yaitu kepala), sebab ia yang mengambil keputusan domestik, finansial, dan legal di dalam keluarga, merancang perkawinan, dan menentukan pilihan religius di dalam keluarga untuk berpartisipasi di dalam penyembahan dan persembahan kepada leluhur. Begitu juga dengan tradisi Yunani, meskipun tidak seketat tradisi Romawi, tetap saja menghalangi pertumbuhan seorang anak menjadi manusia yang penuh. Oleh karena itu, Kristus sebagai kepala adalah berita baik untuk mereka yang merasa tertekan dengan tradisi pagan.
Kata kepala dalam peristilahan Latin dan Yunani berarti “sumber”, “awal”. Laki-laki harus melihat Kristus sebagai sumber kelahirannya yang baru, dan kesetiaan mereka yang esensial tertuju kepada Kristus. Sedangkan kata kepala dalam frasa laki-laki sebagai kepala wanita tidak berarti sebuah metafora dari otoritas, melainkan sebagai sebuah “sumber” atau “titik mula”. Hal ini merujuk pada Hawa yang berasal dari Adam (ay. 8, 12). Bagian terakhir dari ay. 3 menetapkan Allah sebagai kepala Kristus. Secara logis frasa ini mau menunjukkan bahwa Bapa sebagai sumber, mengirim Puteranya, Putera sebagai sumber setiap laki-laki, dan laki-laki sebagai sumber bagi wanita. Selanjutnya terdapat dua kalimat simetris dalam ay 4-5a: laki-laki dan perempaun, kepala yang bertudung dan tidak bertudung selama berdoa dan bernubuat, dan dalam kasus ini adalah sesuatu yang tercela.
Ay. 5b-6 menampilkan problem yang ada dalam jemaat Korintus, yakni para wanita yang tidak menudungi kepalanya. Urusan pengaturan rambut dan penutupnya menjadi isu penting bagi status dan kehormatan seorang wanita saat itu, dan hiasan kepala yang benar menjadi sangat penting di masa-masa transisi. Masyarakat Yunani membenci wanita yang tidak menutupi kepalanya saat berdoa dan bernubuat. Rambut yang tidak diikat menjadi ciri khas para wanita yang menyembah Dyonisos. Para wanita ini disebut “maenad” (mad ones). Ada indikasi bahwa wanita-wanita Kristen yang berdoa dan bernubuat tanpa menudungi kepalanya adalah bekas “maenad” yang masih membawa kebiasaan pemujaan mereka terhadap Dyonisos ke dalam ibadah Kristen. Dalam kasus tertentu rambut yang tidak diikat memiliki arti “keliaran”, wanita yang tak beradab, dan pelacur. Hal inilah yang kiranya dikecam Paulus.
Ay. 7-12 menggunakan cerita penciptaan dari Kejadian 2. Laki-laki diciptakan oleh Allah, dan perempuan berasal dari laki-laki, laki-laki (bukan perempuan) secara langsung adalah “sinar dan gambaran Allah” (ay.7). Urutan tatanannya adalah; wanita, laki-laki, Allah (ay. 12), dan di sini Kristus tidak disebut. Dalam ay. 8-9 Paulus mengelaborasi gagasan ini, dan pada ay. 10 ia menerapkannya pada kerudung. Akan tetapi pada ay. 11 (dan ay. 12) koreksi dimasukkan: wanita dan pria adalah sama (bdk. Bab 7); mereka saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun referensinya masih pada kisah penciptaan- dan bukan pada “ciptaan baru” seperti pada Gal. 3:28- elemen Kristologi dimasukkan dalam ay. 11: “dalam Tuhan”.
Interpretasi atas ay. 10 masih belum bisa ditentukan. Mungkin ay. 10 bisa dipahami demikian: seorang wanita harus memiliki (tanda) kewibawaan (=kerudung) pada kepalanya. Kerudung menunjukkan bahwa ia berada di bawah wewenang suaminya. Sedangkan frasa “karena para malaikat” mungkin menunjukkan kehadiran para malaikat (dalam penyembahan) yang menuntut perilaku yang layak, atau juga diartikan sebagai para malaikat dalam kisah Kej. 6:1-4, yakni para malaikat yang turun ke bumi karena tergoda oleh kecantikan para wanita. Jika dihubungkan dengan kisah Kej. 6:1-4, maka bisa ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud Paulus ialah jika wanita tidak menutupi kepalanya ketika berdoa dan bernubuat, maka ia tidak memiliki perlindungan dari serangan para malaikat jahat. Penutup kepalanya adalah “kuasanya” atas para malaikat jahat itu.
   Ay. 13-15 berbicara tentang kodrat. Dalam ay. 13 Paulus menyela alasannya dan menyerukan kepada jemaat Korintus: “pertimbangkanlah sendiri”; pertimbangkan “apa yang baik bagi seorang wanita”. Laki-laki (memalukan apabila berambut panjang) dilawankan dengan wanita (rambut panjang adalah “kemuliaannya” dan juga berfungsi sebagai kerudungnya, ay. 14-15). Beberapa ekseget lain berpandangan bahwa di dalam keseluruhan teks Paulus tidak berbicara tentang kepala yang ditutupi dan yang tidak ditutupi, melainkan mengenai rambut yang diikat dan yang tidak diikat (dan beberapa berargumen mengenai kecenderungan homoseksual). Rambut panjang bagi wanita menjadi pembeda dengan para wanita tunasusila atau lesbian yang memendekkan rambutnya. Mencukur kepala bagi wanita juga menunjukkan hukuman yang diberikan kepada wanita tunasusila.  
   Ay. 16 menunjukkan otoritas apostolik Paulus dan kebiasaan di gereja-gereja lain. Paulus tidak menerima jika ada wanita yang tidak menutupi kepalanya ketika berdoa dan bernubuat. Paulus menganggap tindakan para wanita yang berdoa tanpa penutup kepala merupakan tindakan para wanita yang penuh nafsu birahi. Bagi Paulus tidak ada tempat bagi mereka yang ingin membantahnya, sebab bukan kebiasaannya dan jemaat-jemaat Allah untuk saling berselisih. Interpretasi lain, Paulus begitu yakin dengan pesannya, sehingga pesannya ini tidak perlu diperdebatkan. Apa yang disampaikan di sini hanya berkaitan dengan perilaku jemaat, Paulus bukan sedang bertengkar, dan karena itu ia tidak ingin memperdebatkannya. Paulus tidak mengkehendaki sesuatu yang spesial dari jemaat Korintus, apa yang ia minta dari mereka sama seperti halnya yang ia minta dari seluruh jemaat (7:17; 14:33). Paulus tidak ingin jemaat wanita Korintus berpikir apa yang Paulus minta kepada mereka tidak ia minta kepada jemaat lainnya.
Tindakan umat Korintus yang kelihatannya sepele ternyata ditanggapi secara serius oleh Paulus, bukan karena tingkah laku jemaat wanita di Korintus menimbulkan kekacauan di dalam komunitas jemaat, melainkan karena mereka melecehkan tatanan ciptaan Allah. Kepada para wanita yang tidak menutupi kepalanya Paulus tidak memberikan perintah khusus untuk melakukan sesuatu, tetapi Paulus mengajarkan bahwa wanita disalahkan apabila dalam beberapa hal mengabaikan perbedaan mereka dengan para pria, termasuk perbedaan di dalam Gereja. Teguran ini tepat untuk segala keadaan, bahkan apabila seseorang mengklaim jika apa yang disampaikan Paulus ini tidak merujuk pada perilaku publik, melainkan perihal pelayanan di rumah.

Daftar Pustaka
Catherine Clark Kroeger & Mary J. Evans (ed.) The IVP Women’s Bible Commentary. InterVarsity Press: Illinois 2002.
Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed.), A.S Hadiwiyata (trans.). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Kanisius: Yogyakarta. 2002.
F.W. Grosheide. The New International Commentary on The New Testament: The First Epistle to The Corinthians. Eermands Printing Company: Michigan. 1953.
Farmer, R. William, dkk (ed.). The International Bible Commentary. The Liturgical Press: Collegeville, Minnesota. 1998.
Matthew Black, dkk (ed.). Peake’s Commentary nn The Bible. T. Nelson: California. 1962.