Yeremia, anak Imam Hilkia, lahir tahun 650 SM di Atot (6 km di Timur Laut Yerusalem) dan di situ pula ia dibesarkan. Masa pelayanannya dimulai pada tahun
ketigabelas pemerintahan Raja Yosia (627 SM), dan ia termasuk pendukung reformasi Raja
Yosia. Setelah
kematian Yosia bangsa Israel kembali kepada pemujaan berhala, dan hal inilah
yang dilawan Yeremia. Pelayanannya sebagai nabi dilaksanakan di wilayah Kerajaan
Selatan dan berlangsung selama 40 tahun. Ia
turut menyaksikan serbuan Babel ke Yehuda yang berakhir dengan kehancuran
Yerusalem dan Bait Suci. Ia hidup selama pengepungan Yerusalem yang pertama (579
SM) dan kedua (587 SM). Ia juga turut menyaksikan kenisah dihacurkan, Yerusalem
ditinggalkan, penduduknya dibuang ke Babel. Pada akhirnya ia sendiri dibuang ke
Mesir dan diperkirakan meninggal di sana sebagai seorang buangan pada tahun 580
SM. Pengaruh Yeremia lebih besar dirasakan setelah kematiannya ketimbang semasa
hidupnya. Pengaruhnya dapat ditemukan dalam Kitab
Yehezkiel, Mazmur, Yesaya 40-66, dan
Daniel.
Khotbah
dalam Yer. 7:1-15 ini ia sampaikan pada awal masa pemerintahan Yoyakim (Yer.
26:1), dan ditulis dalam gaya deuteronimistis (gaya kitab Ulangan) yang isinya
penuh dengan tuduhan dan kutukan. Khotbah ini dialamatkan kepada orang-orang
Yudea yang telah melakukan kesalahan dengan saling menghancurkan di antara
mereka sendiri. Meskipun teks ini didominasi suara Yeremia, akan tetapi Yeremia
sendiri tidak begitu tampak dalam teks ini. Dalam teks ini ia hanya berperan
sebagai corong mulut Allah. Pelanggaran umat Yehuda, yaitu penyembahan berhala
dan ketidakadilan yang mereka praktikkan di antara mereka sendiri, merupakan perlawanan
mereka terhadap Allah yang terus-menerus memelihara mereka, dan karena itu
Allah menghukum mereka.
Khotbah
di Bait Suci ditujukan bagi dua isu yang saling berhubungan dan selalu ada
dalam masyarakat Yehuda, yaitu a) mengenai ketidakseimbangan antara pemujaan
mereka terhadap Allah dengan cara hidup yang mereka praktikan, dan b) kestabilan
Bait Suci sebagai jaminan keamanan. Pertanyaan dalam teks ini adalah “apakah
keberadaan Bait Suci sebagai tempat tinggal Allah -bahkan ketika berhadapan
dengan bahaya seperti pada masa lalu, khususnya pada zaman Yesaya- dapat
menjadi jaminan bagi keamanan seluruh negeri, khususnya Yerusalem, sebagai
jaminan dari Allah utuk melindungi Sion kendati mereka berperilaku buruk?
Ayat
pembuka mengungkapkan konteks teks ini. Yeremia mengalamatkan khotbahnya kepada
“sekalian orang Yehuda yang masuk melalui
semua pintu gerbang ini untuk sujud menyembah kepada Tuhan” (ay.2). Dalam ayat ini para pendengar khotbah
Yeremia digambarkan dalam dua hal. Pertama melalui frasa, “sekalian orang
Yehuda”. Dari sini bisa saja diperkirakan bahwa khotbah ini dilakukan dalam
sebuah kesempatan ketika “semua” orang Yehuda berkumpul. Kedua, mereka ini
diidentifikasi sebagai orang-orang yang “masuk untuk menyembah Tuhan”.
Penyembahan yang salah oleh bangsa Yehuda terdiri atas
dua sisi: penyembahan kepada ilah-ilah palsu dan penyembahan yang salah kepada
Allah. Termasuk dalam poin kedua ini adalah kesalahan dalam tata peribadatan. Kalimat-kalimat
setelah ayat 2 bertalian dengan tindakan penyembahan, hal ini berkaitan dengan
tindakan atau tingkah laku yang dapat mensahkan penyembahan itu atau
menghapusnya, atau juga yang mempertegasnya. Selain itu, kalimat-kalimat
selanjutnya juga menjadi titik balik khotbah Yeremia menjadi nubuat profetis mengenai
“cara masuk ke dalam liturgi”. Hal
yang sama juga digunakan dalam Mazmur 15 dan 24, yang tampak sebagai syarat bagi
mereka yang hendak masuk ke dalam Bait Suci, dan dalam hal ini syarat tersebut
adalah tindakan moral yang baik.
Liturgi diidentifikasi dari kualifikasi moral
seseorang, hidup yang suci yang membuat seseorang pantas untuk menghadap Allah.
Dalam mazmur pemeriksaan terhadap kualifikasi perilaku yang pantas untuk
menyembah Allah di bait-Nya dilakukan dalam bentuk pertanyaan, sedangkan bagi
para nabi pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Hanya mereka yang memenuhi
kualifikasi-kualifikasi moral yang disyaratkan saja yang bisa masuk untuk
menyembah Allah. Dengan kata-kata sakral
yang keras Yeremia mengingatkan bahwa Allah tidak tertarik hanya kepada persembahan
saja, tetapi juga pada hidup yang adil yang seharusnya dipraktikkan oleh orang-orang
Yehuda sebagai umat perjanjian (ay.5-11).
Selain itu, ay. 5-10 berbicara tentang daftar perintah
perjanjian. Bagian pertama mencakup tiga contoh orang-orang yang sungguh tak
berdaya: orang asing yang tinggal di dalam wilayah Yehuda, yatim piatu dan
janda. Ketiga kelompok ini adalah mereka yang tidak memiliki keluarga untuk
memperjuangkan hidup mereka dan memenuhi kebutuhan mereka (bdk. Mzm 10:14,18;
68:6; Yes. 1:23; Ul. 10:18). Penumpahan darah orang yang tak bersalah juga
termasuk dalam kelas ini karena yang menjadi korban adalah mereka yang dihukum
mati karena tuduhan palsu oleh otoritas yang berwenang, dan mereka yang lemah
atau tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri mereka.
Dua contoh biblis klasik tentang kengerian tindakan
kejahatan ini adalah cerita tentang bagaimana Daud mengatur kematian Uria orang
Het, pengikutnya yang paling setia, demi memiliki istrinya (2 Sam. 11-12), dan
bagaimana Raja Ahab mengeksekusi Naboth, tetangganya yang miskin, demi
memperoleh kebun anggurnya (1 Raj. 21). Terhadap dua kasus ini (Daud dan Ahab) Allah
mengutus nabinya untuk mengutuk tindakan kejahatan tersebut. Selanjutnya ay. 9
dan 10 menggambarkan dosa yang paling umum dilakukan bangsa Israel, yakni
penyembahan kepada ilah-ilah lain. Frasa
“ilah lain yang tidak kamu kenal” dan “rumah yang atasnya nama-Ku diserukan”,
merupakan penekanan atas hubungan personal dalam perjanjian antara Allah dan
bangsa Israel.
Dalam khotbah di Bait Suci ini Yeremia juga menggarisbawahi
penipuan diri (self-deception) umat
Israel yang menjadi dosa terbesar mereka. Mereka yakin bahwa Allah akan tetap
menyertai mereka selama Bait Suci berdiri, kendati mereka bertindak jahat. Dalam
ay. 12 Yeremia menggunakan Silo, pusat peribadatan Kerajaan Utara saat masa
pemerintahan Yosua (Yos. 18:1) sebagai poin perbandingan. Seperti Silo yang
tidak dapat menyelamatkan bangsa Israel dari invasi bangsa Asyur pada tahun 722
SM, begitu pun dengan Bait Suci di Yerusalem tidak dapat menjadi jaminan bahwa
bangsa Yehuda tidak akan dihancurkan oleh musuh-musuhnya. Dalam teks ini bangsa
Yehuda meyakini bahwa kehadiran Allah dalam Bait Suci akan melindungi mereka
(Bdk. Yes. 36-37) dari musuh-musuh (ay. 4).
Jika dicermati, maka keyakinan akan jaminan dari Bait
Suci ini dapat dikaitkan dengan paham “teologi Sion”, yaitu perjanjian antara
Allah dengan Daud. Teologi Sion diadopsi oleh bangsa Israel dari orang-orang
Kanaan. Bangsa Kanaan meyakini dewa mereka, Baal, sebagai dewa perang yang
memerintah seluruh bangsa dan ciptaan. Ia memiliki daya untuk mengacaukan ciptaan.
Setelah kemenangan atas musuh-musuhnya, Baal memasuki baitnya di puncak sebuah
gunung yang tinggi yang tidak dapat dicapai oleh segala bangsa dan oleh
musuh-musuhnya. Menurut tradisi bangsa Kanaan gunung tersebut adalah Gunung
Zaphon. Di kemudian hari, bangsa Israel yang memiliki hubungan kebudayaan,
bahasa, dan keagamaan dengan bangsa Kanaan mentransfer gagasan teologis ini dengan
menyamakan Gunung Zaphon dengan gunung suci mereka, Gunug Zion, yang terletak
di Yerusalem. Bangsa Israel juga mengadopsi dan mengadaptasi gagasan tentang
dewa perang bangsa Kanaan dengan Allah nasional mereka, yakni YHWH. Dalam
pandangan bangsa Israel, sebagai Yang Ilahi, Allah menata perairan yang semula
kacau menjadi ciptaan yang baik adanya (bdk. Kej. 1: 1-10), dan setelahnya
Allah duduk di atas gunungnya yang suci, di mana tidak seorang pun dapat memasukinya
(Mzm. 93).
Salah satu bagian penting dari Kitab Suci yang paling
berpengaruh bagi Teologi Sion dapat dilihat dalam Mzm. 46. Teks ini meyakini
kekuasaan Allah yang tak tergoyahkan atas seluruh manusia dan ciptaan. Mereka
yang percaya kepada Allah akan memperoleh keamanan dan kedamaian. Bagi mereka
yang meyakini Teologi Sion, Allah telah memilih untuk menetap secara permanen
di Bait Suci Yerusalem. Bangsa Israel Kuno meyakini tabut perjanjian sebagai
takhta Allah. Di mana takhta Allah hadir, maka di situ hadir pula kemuliaan dan
kekuatan Allah.
Lebih jauh dalam kaitannya dengan dinasti Daud,
diyakini bahwa selama Bait Suci dan dinasti Daud berdiri maka Allah akan
menyertai umat-Nya (2Sam.7:16). Oleh karena berpegang pada jaminan ini maka
bangsa Yehuda di kemudian hari beranggapan bahwa selama Bait Suci dan dinasti
Daud berdiri maka mereka dapat bertindak sesuka hati. Hal inilah yang kiranya
dikritik para nabi, termasuk nabi Yeremia. Bait
Suci tidak selamanya menjadi penjamin mutlak bagi kehadiran Allah. Bait Suci
melambangkan kehadiran Allah hanya sejauh umat itu menolak ilah-ilah lain dan
menaati hukum Allah yang kudus. Mikha, misalnya, mengecam para pemimpin umat
Allah yang menjadi bengis dan materialistis namun pada saat bersamaan masih yakin bahwa mereka tidak akan ditimpakan
malapetaka selama lambang kehadiran Allah masih ada di tengah-tengah mereka.
Kepada mereka Mikha bernubuat bahwa Allah akan memberi mereka pelajaran dengan
membinasakan Yerusalem dan Bait
Suci-Nya.
Hal
yang sama juga dilakukan Yeremia. Ia
menegur orang-orang Yehuda yang menyembah berhala dan bertindak tidak
adil terhadap sesama mereka dan menghibur diri dengan mengulang-ulang
kata-kata, "Inilah bait Tuhan, bait Tuhan, bait Tuhan!" (ay.4). Oleh
karena gaya hidup mereka yang fasik, Allah akan memusnahkan lambang kehadiran-Nya
(Bait Suci). Satu-satunya harapan mereka ialah memperbaiki tingkah laku mereka.
Di dalam ay. 3-7 Yeremia memberi harapan bagi umat Yehuda bahwa Allah akan
tetap tinggal bersama mereka asalkan mereka mau mengubah sikap mereka dengan
mau bertindak adil dan tidak menindas satu sama lain, serta mau meninggalkan
ilah-ilah lain.
Keseluruhan
bagian dari ay. 1-15 mengandung tiga kata kunci, baik di dalam maupun di luar
teks, yaitu: kepercayaan, nama, dan ilah lain. Ketiga kata ini digunakan
untuk menunjukkan kegagalan Israel dalam percaya kepada Allah dan kepada
namanya. Tindakan mereka berbeda dengan sikap leluhur mereka, Abraham dan
Yakub, yang percaya kepada janji dan tindakan iman mereka (Kej. 13:14-17;
15:18-21; Kel. 3:7-8).
Daftar
Pustaka
Bergant,
Dianne CSA dan Karris, Robert J. OFM (ed.). Pengantar
Perjanjian Lama. Kanisius: Yogyakarta. 2002.
Doran, Robert., dkk. New Interpreter’s Bible Volume VI.
Abingdon Press: Nashville. 1996.
Farmer,
William R., dkk (ed.). The International
Bible Commentary. The Liturgical Press: Minnesota. 1998.
Halveson,
Taylor. Ancient Israelite Zion Theology,
Judeo Christian Apocalypticism, and Biblical (Mis)interpretation: Potential
Implication For the Stability of the Modern Middle East.
http://alkitab.sabda.org.