I.
Dionysus
Dionysus adalah dewa Yunani, sebuah konsep yang mengalami perubahan mendalam dari karya awal Nietzsche ke karya akhirnya. Nietzsche menggunakan beberapa segi dari mitos dan praktik kultural yang diasosiasikan dengan Dionysus, sebagai poin referensi antropologis, atau sebagai simbol: anggur, kemabukan dan kematian; musim panen dan musim semi, atau keberlimpahan dan kesuburan.[1]Ada beragam versi mitologi yang menjelaskan siapa itu Dionysus. Bapak Dionysus pastinya adalah Zeus, tetapi tentang siapa ibunya terdapat beragam versi. Ada yang mengatakan bahwa ibunya adalah Demeter (dewi gandum), atau Io (dewi gandum juga), atau dione (dewi Cedar) atau Lethe (dewi kelupaan dan dewi pohon anggur) atau ada pula yang mengatakan Persephone (dewi kematian yang berbentuk ular). Versi yang paling banyak beredar mengatakan bahwa Dionysus adalah anak hasil perselingkuhan Zeus dengan Semele (manusia mortal, anak raja Cadmos dari Thebes). Nama Semele juga dikaitkan dengan nama Selene (dewi bulan) yang adalah dewi pesta orgi dalam pesta penghormatan bulan yang dipimpin oleh sembilan imam wanita.[2] Selain itu, dalam mitologi Yunani masih banyak kisah tentang sosok Dionysus, misalnya saja “kelahirannya yang kedua” dari paha Zeus karena dimasukkan Hermes demi menyelamatkan nyawa Dionysus dari kejaran Hera (istri Zeus yang cemburu karena Dionysus adalah hasil perselingkuhan Zeus dengan Semele), pernikahannya dengan Ariadne (mantan istri Theseus), kematiannya karena dicabik-cabik oleh para titan (yang disuruh oleh Hera), dsb.
Berangkat
dari kompleksitas sosok Dionysus dalam mitologi Yunani, maka menjadi sulit untuk
menjelaskan siapa sebenarnya Dionysus yang dirujuk Nietzsche. Istilah “ideal
dionysian” sendiri tidak dikenal dalam tradisi Yunani. Kemungkinan Nietzsche menggunakan
istilah Dionysus (atau Dionysian) untuk mengatakan “pemikirannya, konsepnya tentang
sesuatu”, singkatnya, menjadi simbol untuk sesuatu yang ada dalam pemikirannya.[3] Selain
itu, Dionysian adalah satu dari tiga penentu kultural dalam The Birth of Tragedy, bersama dengan Apollonian
dan Socratic. Di situ Dionysian diasosiasikan dengan kemabukkan, ekstasi, dan
dengan produksi-produksi kultural seperti lirik puisi dan beragam aspek musik
(secara khusus harmoni). Dalam Twilight
of Idols Dionysus menjadi figur kunci, tuhan yang menggoda manusia untuk
bertumbuh sehat.[4]
II.
Eksistensi yang Bertransfigurasi: Dionysian
Pertentangan antara Dionysus dengan
Yang Tersalib sudah dinyatakan Nietzsche dalam sebuah teks yang tak
dipublikasikan tahun 1888, “dua tipe: Dionysus dan Yang Tersalib”. Ia
memperkenalkan pemikiran ini dengan serangkaian pertanyaan mengenai orang
beragama, bukan agama itu sendiri. Keseluruhan potongan kemudian menyeimbangkan
antara dua sikap yang ia deskripsikan, dan keduanya lebih dekat kepada aspek
tindakan yang memahami realitas dibandingkan kebenaran positif dari tindakan
itu sendiri (yaitu agama pada dirinya).[5]
Nietzsche memperlawankan Paganisme
dengan Yudaisme. Konflik antara paganisme dengan Yudaisme (yang menjelaskan
seluruh sejarah Barat) tidak hanya disimbolkan dalam literatur Kristen tetapi
juga ditemukan dalam simbol Dionysus. Konflik antara dua tipe religius ini
diendapkan dalam oposisi antara afirmasi dan negasi. Basis dari oposisi ini
diambil dari penghargaan atas realitas yang secara samar oleh Nietzsche disebut
Keseluruhan (the Whole) - hidup, eksistensi, atau bahkan, benda-benda itu sendiri.
Ini menjadi tanda keluwesan kehendak pada Nietzsche yang tidak akan mereduksi
realitas yang tak dapat dinamai sebagai konsep atau totalitas ada.[6]
Ideal asketis-yang menonjol dalam
pemikiran yahudi-kristen menjaga jarak dari hidup karena ketakutannya pada
hidup. Ideal asketis mencari sebuah alasan, makna, dan akhir dari hidup yang
dapat melayani prinsip keteraturan individu: sebuah penciptaan sewenang-wenag
yang mengatur makna hidup, namun pada kenyataannya merusak makna problematis
dari eksistensi. Sebaliknya ideal Dionysian tidak mencari pembenaran atas
hidup. Dunia bagi Dionysian melampaui finalitas; dunia bagi Dionysian adalah
chaos, yang mirip seperti sebuah laut, digerakkan oleh perubahan kekal namun
selalu merupakan daya diri identik. Ideal asketik selalu memprovokasi individu
untuk memotong diri (self-mutilation) sebagaimana ia dengan nekat mencoba untuk
keluar dari hidup dan afirmasi diri; dan dengan menyangkal afirmasi diri, ia
hanya ingin mengafirmasinya sekali lagi. Di lain sisi, ideal Dionysian
bermaksud untuk mengatasi secara real individu dengan cara metamorfosis, sebuah
transformasi diri dengan afirmasi yang tegas (yaitu Kehendak Kuasa).[7]
III.
Penderitaan dan Kematian
Perbedaan antara Dionysus dan Yang Tersalib bukan terletak pada fokus keduanya, Yang Tersalib pada penderitaan dan kematian sedangkan Dionysus pada pengagungan hidup yang melimpah. Perbedaan antara Dionysus dan Yang Tersalib bukan juga pada kemartiran; yang ada hanyalah dua makna yang berbeda. Tuhan Dionysus dicabik-cabik dan mengenal kematian. Dionysus sendiri juga mati, tetapi sama seperti tuhan-tuhan real lainnya, sebagaimana dikatakan Zarahustra, dia dilahirkan kembali dari abunya. Kematian Dionysus bukanlah argumen untuk melawan kematian. Kematiannya bukanlah untuk membesarkan kesalahan sebagaimana yang dilihat Paulus - interpretasi yang melihat dalam kesalahan terdapat keselamatan dan kekekalan - sebuah visi yang menggeser dan mengubah sifat hidup. Kematian Dionysus bukanlah kematian yang tak terduga dan tak diinginkan sebagaimana kematian Yesus.[8] Sebagai anti-tipe Yang Tersalib, Dionysus menentang Penyelamat di salib ciptaan Paulus dan obsesi terhadap kematian yang menyelamatkan. Akan tetapi Dionysus dekat dengan Yesus yang non-Paulus. Yesus mengatakan ya, ia mengafirmasi, tetapi ia tidak mengingini kematian.Yang menjadi perbedaan antara Dionysus dan Yang tersalib terletak pada makna penderitaan, sebagaimana dikatakan Nietzsche dalam teks Posthumous (1888):
Dalam
Kristiani penderitaan diartikan sebagai jalan menuju ke sebuah ada-yang-kudus,
sementara pada arti tragis penderitaan memberi nilai kepada yang ada sejauh yang ada ini sudah cukup
kudus untuk menerima lagi penderitaan lainnya secara tak terbatas. Manusia
tragis akan mengafirmasi datangnya penderitaan yang lebih pahit lagi: dia ini
cukup kuat, cukup utuh, cukup cocok untuk diilahikan karenanya; sementara orang
Kristen malah justru menolak apa yang paling membahagiakan yang bisa muncul di
muka bumi ini: dia ini cukup lemah, cukup miskin, tak mampu untuk menderita
dalam kehidupan ini dalam bentuk apa pun.[9]
Dionysus, yang lebih jelas dan
ketat, ingin menjadi martir; bukan bagi dirinya, tetapi sebagai sebuah kondisi
di dalam batin untuk mengafirmasi hidup. Berbeda dengan Yang Tersalib sebagaimana
diwartakan Paulus, yang mengagungkan kematian di atas kehidupan -dekat, tapi
tidak identik dengan Yesus yang mengingini kehidupan tanpa menghadapi kematian-
Dionysus menentang kematian, keyakinan akan keberlimpahan hidup dan kekuatan
re-kreatif dirinya. Kematian, kemudian merupakan sebuah persyaratan yang mengandaikan
afirmasi seseorang atas Kekembalian yang Sama Secara Abadi melalui proses
perbedaan internal dirinya. Sebagaimana dijalani oleh para murid Dionysus, penderitaan
dan kematian bukanlah kata akhir dari segala sesuatu, sebagaimana digambarkan Nietzsche
dengan huruf X (huruf kedua sebelum terakhir).[10] Penderitaan
dengan hormat menjaga jarak dari realitas terdalam: penderitaan hanya memberi akses.
Penderitaan selalu hadir dalam setiap pengalaman manusia, tetapi maknanya
berubah: makna tragis dilawankan dengan gagasan umum kekristenan. Dalam makna
tragis penderitaan intrinsik terhadap pengudusan hidup, sebagaimana “tidak”
adalah bagian interior dari segala “afirmasi” yang tak terbatas.[11]
Sebuah
pelayaran tanpa batas dianalogikan dengan jalan dalam sebuah labirin: simbol
yang menyatukan Dionysus dengan Ariadne. Daripada berpegang pada rute yang
direncanakan, penjelajah labirin tahu bahwa, meskipun ada sebuah akhir, tidak
ada jalan langsung kepada akhir tersebut. “Labirin” adalah simbol chaos.
Seorang penjelajah labirin tidak mencari kebenaran, ia hanya selalu mencari
Ariadne. Ia tidak dengan bodoh mencoba untuk mencapai kedalaman sempurna.
Seperti “labirin”, istilah “chaos” tidak harus didefinisikan dalam cara yang
terlalu romantis atau nihilis. Chaos ada dalam diri setiap orang, sebagaimana setiap
orang hilang di dalam labirin. Afirmasi karenanya tergolong sebuah gerakan yang
mengurangi nilai diri; ini adalah sebuah undangan untuk masuk ke dalam
permainan di mana seseorang bermain bersama kita. Tetapi orang yang mengalami
semacam metamorfosis membayar harga darahnya sendiri. Mengikuti Dionysus, ia
menderita pemotongan diri dan kematian yang tak kunjung henti. Penyelamatan
tidak terjamin oleh iman seseorang melalui kematian orang lain (visi Paulus),
tetapi melalui penumpahan darah sendiri.[12]
Setiap murid Dionysus harus
menghidupi kemartirannya sendiri. Identifikasi ini adalah hasil yang wajar dari
iman sang murid; yaitu segera sesudah ia mengerti bahwa Dionysus ingin
mengafirmasi segala sesuatu dan ia sendiri masuk ke dalam momen penyaliban afirmasi.
Pada batas antara kesadaran dan ketidaksadaran, Nietzsche tetap bermain dengan
memakai topeng yang akan menyembunyikan realitas dari ketidaktampakannya.[13]
IV.
Dionysus dan Kekembalian Abadi
Berangkat dari
makna penderitaan dalam perspektis tragis, kita dapat menempatkan relasi antara
Dionysus dan Kekembalian Abadi. Melalui kematian Dionysus hidup dapat
diafirmasi: “hidup itu sendiri, kesuburan dan kekembaliannya yang kekal,
termasuk kesakitan, destruksi, kehendak untuk membinasakan diri.” Sebagai
seorang tuhan, Dionysus menyerahkan kepada Kekembalian Abadi: kehendak untuk
tanpa henti kembali dari penderitaan dan kematian dirinya secara tepat demi
mengafirmasi hidup. Begitu juga para pengikutnya harus mencoba untuk tidak
mengkekalkan saat sekarang, tetapi untuk mematahkannya, sehingga kekekalan akan
terus bergelora daripadanya.[14]
Dalam filsafat Yunani,
Kekembalian Abadi dipahami sebagai keabadian dalam bentuk lingkaran (ide siklis
yang seolah-olah mengatakan bahwa tidak ada yang baru sama sekali karena
semuanya akan terulang secara abadi, bahkan kita pun kekal karena kita akan
muncul kembali secara persis sama). Tafsir ini berseberangan dengan seluruh
filsafat Nietzsche yang mau mengafirmasi kehidupan, yang mengagungkan kreasi
seniman dengan grand style yang tidak
pernah mau menciptakan sesuatu yang identik.[15]
Pemikiran ini juga mirip dengan Kehendak
Kuasa, karena Kehendak Kuasa memberi sifat (qualifies) kehendak yang
mengkehendaki Kekembalian Abadi: kehendak yang tajam dan murni (yaitu tanpa
nostalgia atau dendam) mengkehendaki sebuah keabadian yang sama. Namun,
afirmasi Kekembalian Abadi tidak identik dengan Kehendak Kuasa. Untuk memahami
pemikiran ini, atau untuk mengkehendaki sebuah keabadian yang sama (yang
mensyaratkan Kehendak Kuasa), ialah untuk menyatakan sebuah afirmasi murni
bukan dari sebuah hal partikular, tapi dari penebusan kekal atas segala hal.[16] Kekembalian
Abadi bukanlah sebuah pengulangan yang monoton dari suatu kejadian yang identik.
Kekembalian Abadi adalah afirmasi yang selalu membutuhkan “ya” lain:
Kekembalian Abadi membutuhkan sebuah kekembalian, tetapi sebuah kekembalian
yang tidak lagi berkeras dan melemahkan masa lalu manusia yang penuh dendam.[17]
Tuhan penggoda (Dionysus) terkadang
datang untuk mengunjungi dia yang menantinya, dia yang selalu mengharapkan kedatangannya
dan bersiap untuk mengafirmasinya. Reafirmasi -pengulangan ya- mengantisipasi
apa yang mungkin datang, dan kemungkinan kedatangannya sudah cukup untuk
“membenarkan” seluruh realitas. Tetapi karena si pengunjung lewat tanpa
mendatangkan kekerasan atas para pengikutnya, tanpa dengan tajam menatap para
pengikutnya, sebagaimana dilakukan Tuhan lama/tua (the old God), setiap
penjagaan membutuhkan sebuah persiapan baru dan penegasan kembali “ya” sebagai inti
paling dalam kondisi tersebut. Di sini ilusi-ilusi yang dapat memahami setiap
tanda harus mati: Dionysus adalah dia sebagaimana adanya, sebuah tanda, sebuah
jejak. Dia yang “berdevosi” kepada tuhan ini tidak dicabut dari kondisinya,
tetapi diperkaya dan diperdalam oleh pemakluman kemungkinan kunjungannya. “Ucapan-ya”
membutuhkan kekembalian, “waktu yang pertama” mengkehendaki “waktu yang kedua”,
dan sebuah “kekekalan waktu”, dan dengan demikian menolak kehendak untuk
mengakhirinya, aspirasi-aspirasi atas nihilisme “sekali untuk selamanya”.[18]
Dionysus membimbing para muridnya
kepada doktrin Kekembalian Abadi. Ia melakukannya tidak dalam cara tuhan yang
bastrak, tetapi sebagai tuhan yang tragis (tragic god), sebab ia membimbing
kepada sebuah realitas yang padanya ia berserah. Demikian, sekali lagi,
Dionysus melawan tuhan versi Paulus (yang membatasi segalanya pada iman yang
mengganti kematian yang lain) dan juga pada tuhannya Yesus (yang jernih dan
segera memperlemah segalanya). Sementara Allah Kekristenan membiarkan anaknya
mati, tanpa membiarkan dirinya sendiri yang mati, tuhan Dionysus melampaui
kematian: sebagai sebuah tanda autensitas ia harus mengkehendaki penghapusan
dan ketidaktampakkan dirinya. Kehadirannya haruslah menjadi ketiadaan atas
afirmasi untuk terjadi sekali lagi.[19]
Terhadap realitas yang merupakan
perpaduan antara kebenaran dan kesalahan, antara kebaikan dan kejahatan, sikap
yang harus diambil oleh para pengikut Dionysus adalah menghadapinya sebagaimana
adanya, tanpa “mengapa” dan “untuk apa”. Melalui doktrin Kekembalian Yang Sama secara Abadi Nietzsche menunujukkan jalan
untuk menghadapi realitas sebagaimana adanya dengan menghindarkan diri dari
fiksasi dan hasrat untuk berhenti di satu titik karena godaan kelelahan. Kekembalian Yang Sama secara Abadi
menjadi penggerak bagi manusia untuk mengkehendaki sesuatu secara baru apa pun
yang telah ia taklukan sebagai kosmos. Tiap kosmos adalah sebuah
ketakterbatasan baru, dan tiap ketakterbatasan akan mengundang peng-kosmos-an
tentatif, demikian seterusnya secara abadi. Dunia adalah ketakterbatasan, bukan
kosmos yang sekali tercipta lalu fixed.[20]
Akhirnya, Dionysus sendiri
sebenarnya adalah konsep, kata untuk
membuat kita paham mengenai sesuatu. Ia sebenarnya tetap tinggal enigmatis, tak
terpahami, tak bisa di-kata-kan. Ia
asing dan tak dikenal, datang mengunjungi sesukanya, tidak mengharapkan apa-apa
dan tidak menuntut apa-apa dari pengikutnya. Figur Dionysus diambil Nietzsche
untuk menolong pembaca sampai kepada pemahaman tersebut. Kultus Nietzsche
kepada Dionysus adalah kultusnya kepada realitas itu sendiri, yakni realitas
sebagai perpaduan antara kebaikan dan kejahatan, antara kesalahan dan kebenaran.
Sikap menerima realitas sebagaimana adanya dilihat Nietzsche sebagai sikap yang
saleh. Dionysus sendiri, oleh
Nietzsche, dilihat sebagai tipe tuhan, bukan
Tuhan ultim atau Tuhan sebagai idée fixe.[21]
Daftar
Pustaka
Allison, David
B. (ed). The New Nietzsche. New York:
Dell Publishing Co. 1977.
Burnham,
Douglas. The Nietzsche Dictionary.
London: Bloomsbury Academic. 2015.
Wibowo, Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta:
Galang Press. 2004.
[1]
Douglas Burnham,The Nietzsche Dictionary,
London: Bloomsbury Academic, 2015, hal. 101.
[2]
Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche,
Yogyakarta: Galang Press, 2004, hal. 165.
[3]
Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal.
167.
[4]
Douglas Burnham, The Nietzsche Dictionary,
hal. 102.
[5]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, dalam David B. Allison (ed.), The New Nietzsche, New York: Dell Publishing Co, 1977, hal. 247.
[6]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 247.
[7]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 248.
[8]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 250.
[9]
Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal.
352.
[10]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 250.
[11]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 250.
[12]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 251.
[13]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 252.
[14]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 253.
[15]
Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal.
340.
[16]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 254.
[17]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 254.
[18]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 255.
[19]
Paul Valadier, Dionysus Versus The
Crucified, hal. 257.
[20]
Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal.
341-342.
[21]
Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hal.
355-356.