Selasa, 12 Mei 2015

Sakramen Rekonsiliasi: Tanda Kerahiman Allah


Akal budi, kehendak, dan kebebasan yang dimiliki manusia menjadikannya istimewa dibandingkan ciptaan-ciptaan lainnya. Dengan kemampuan-kemampuan ini manusia dapat menentukan pilihan hidupnya, menentukan dirinya sendiri, dan mau menjadi seperti apakah dirinya. Dengan kemampuan-kemampuan ini pula harus diakui bahwa kemudian akhirnya manusia jatuh ke dalam dosa. Dosa di sini dipahami sebagai rusaknya hubungan antara manusia dengan Allah, sesama, dan ciptaan lainnya. Karena kehendak, akal budi, dan kebebasannya, manusia lebih memilih untuk menjauh dari tawaran kasih Allah. Akan tetapi kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak berarti kiamat bagi manusia.
            Dalam Gereja Katolik, rusaknya hubungan antara manusia dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan dimungkinkan untuk dipulihkan melalui sakramen rekonsiliasi. Sakramen rekonsiliasi bisa dipandang sebagai kekayaan Gereja Katolik, sebab hal seperti ini tidak kita jumpai di agama atau Gereja lain. Melalui sakramen ini, relasi manusia dengan Allah, sesama, dan alam ciptaan yang telah rusak akibat dosa dipulihkan, dan melalui sakramen ini pula manusia kembali masuk ke dalam persekutuan dengan Allah. Dalam bukunya Mercy. The Essence of the Gospel and the Key to Christian Life halaman 165-166 Walter Kasper menulis:

“The sacrament of reconciliation is a true refuge for sinners, which all of us are. Here the burdens that we carry around with us, are taken from us. Nowhere else do we encounter the mercy of God so immediately, so directly, and so concretely as when we are told in the name of Jesus: “your sins are forgiven!” certainly no one finds it easy to humbly confess his or her sins and, often enough, to confess the same sins over and over again. But everyone who does that and then is told “I absolve you,” not generally and anonymously, but concretly and personally, knows of the inner freedom, inner peace, and joy that this sacrament bestows. When Jesus speaks of the joy in heaven over the repetance of one sinner (Luke 15:7, 10), then whoever receives this sacrament may experience the fact that this joy is not only in heaven, but also echoes in his or her own heart. Therefore, it is necessary to discover this sacrament again. That is especially true for priests. For the commission of remit sins is the commission the risen Lord gaveto the apostles. It is every priests, therefore, a duty and a work of mercy to be ready to administer this sacrament.”[1]

            Dari uraian tulisan Walter Kasper di atas, bisa dilihat bahwa sakramen rekonsiliasi menjadi tempat perlindungan bagi para pendosa. Melalui sakramen rekonsiliasi beban dosa kita dilepaskan dari diri kita, serta melalui sakramen rekonsiliasi secara konkret kita memperoleh belas kasih Allah. Hal yang paling penting dan tidak boleh diabaikan dalam sebuah pertobatan adalah kesadaran bahwa pertobatan semata-mata adalah rahmat Allah. Dalam tobat orang dengan rendah hati menyadari kelemahannya dan dengan rendah hati pula menerima pengampunan Tuhan. Dengan demikian ia membuka diri bagi Tuhan dan itu merupakan sebuah rahmat. Tobat pertama-tama harus dilihat sebagai jawaban atas panggilan kerahiman Tuhan.[2] Jelaslah hanya Allah yang mengampuni dosa. Sedangkan Gereja secara keseluruhan menjadi tanda dan sarana pengampunan dan perdamaian yang diperoleh dari Kristus sendiri dengan harga darah-Nya.[3] Hal lain yang dapat kita lihat dari uraian Walter Kaper tersebut adalah pentingnya peran imam dalam pelayanan sakramen rekonsiliasi. Pelayan perdamaian dipercayakan oleh Kristus kepada jabatan apostolik yaitu para rasul dan pengganti mereka yaitu uskup. Menurut KHK 965: “Pelayan sakramen tobat hanyalah imam.” Maka imam adalah tanda dan sarana cinta Allah yang penuh belas kasihan kepada orang berdosa.[4]
Dalam jalan menuju pertobatan yang sungguh seseorang sudah pasti melalui tahap kesadaran – penyesalan dan pengakuan – berbalik -bertobat. Pertobatan hanya mungkin terjadi pertama-tama jika seseorang “menyadari” situasi keberdosaannya. Setelah menyadari situasi keberdosaannya maka untuk bisa sampai pada pertobatan sudah sepantasnya ia “menyesali” dan “mengakui dengan rendah hati” dosa-dosa yang telah dibuatnya. Karena kelemahan dirinyalah maka manusia jatuh ke dalam dosa. Penyesalan selalu berhubungan dengan masa lampau. Di sini orang merasa gagal, frustasi, merasa kecewa dengan perbuatannya sendiri.[5]Akan tetapi kesadaran dan penyesalan atas situasi keberdosaan tidaklah cukup dalam mengantar seseorang untuk bisa sampai kepada sebuah pertobatan, dan untuk itu diperlukan sikap berikut, yakni “berbalik”. Berbalik dalam konteks ini adalah berpaling dari situasi keberdosaan kepada Allah. Setelah seseorang berbalik dari dosa-dosanya kepada Allah maka barulah ia sampai pada tahap terakhir, yakni “pertobatan”. Pertobatan dalam arti ini haruslah dimengerti sebagai sebuah hubungan pribadi, yakni terjalinnya kembali relasi dengan Allah, sesama, dan ciptaan yang sebelumnya telah rusak akibat dosa.
Dari uraian-uraian di atas tampak jelas peran sakramen rekonsiliasi bagi kehidupan seorang Kristen. Sebagaimana Allah yang diimani orang Katolik, yakni Allah yang tidak pernah lelah mengampuni, maka sakramen rekonsiliasi ini merupakan bentuk cinta kasih Allah kepada para pendosa yang ingin bertobat. Melalui Gereja Allah senantiasa membuka pintu kerahiman bagi mereka yang hendak kembali kepada-Nya.
            Gambaran Allah yang rahim sebagaimana diimani orang katolik dapat kita jumpai salah satunya dalam Luk. 15:11-32. Ayah dalam kisah “anak yang hilang” menggambarkan Allah yang rahim. Sebagaimana sang ayah yang tidak menolak kepulangan si bungsu yang menghabiska harta warisannya bersama para pelacur, demikianlah Allah yang kita imani juga tidak akan pernah menolak pertobatan kita para pendosa. Tawaran kasih Allah senantiasa terbuka bagi kita yang hendak bertobat. Bahkan, sebagaimana sang ayah dalam kisah tersebut yang kemudian mengadakan perjamuan bagi si bungsu yang telah kembali, demikian juga Allah pasti akan bergembira ketika kita para pendosa ini menanggapai tawaran keselamatan-Nya dengan berbalik dari dosa-dosa kita. Dalam Luk. 15: 7 Yesus sendiri berkata: “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan."
Mengingat kerahiman Allah yang demikian maka sudah sepantasnyalah kita para pendosa ini bergembira dan tanpa lelah meminta pengampunan Allah atas dosa-dosa kita, serta tanpa lelah pula hendaknya kita berjuang untuk berbalik dari dosa kita dan kembali kepada Allah yang tidak lain adalah sumber dan tujuan hidup kita. Akhirnya pada bagian akhir paper ini saya mengutip perkataan Paus Fransiskus dalam salah satu homilinya yang berkenan dengan kerahiman Allah: “Allah tidak pernah lelah mengampuni, tetapi manusialah yang lelah untuk meminta pengampunan Allah.”



Daftar Pustaka
Jacobs, Tom. Rahmat Bagi Manusia Lemah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1987.
Tarigan, Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng. 2011.
Walter Kasper, Cardinal. Mercy. The Essence of the Gospel and the Key to Christian Life. New York: Paulist Press. 2014.




[1] Walter Kasper, Cardinal, Mercy. The Essence of the Gospel and the Key to Christian Life, New York: Paulist Press, 2014, hal. 165-166.
[2] Tom Jacobs, Rahmat Bagi Manusia Lemah, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987, hal. 36.
[3] Jacobus Tarigan Pr, Memahami Liturgi, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hal. 171.
[4] Jacobus Tarigan Pr, Memahami Liturgi, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hal. 171.
[5] Tom Jacobs, Rahmat Bagi Manusia Lemah, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987, hal. 14.

Perjanjian dalam Perjanjian Lama




Perjanjian (berit, Ibr.) merupakan kesepakatan antara dua orang (atau kelompok) atau lebih demi memperjelas relasi di antara mereka.Ungkapan bahasa Ibrani untuk membuat perjanjian adalah “memotong” perjanjian. Mungkin ini menunjuk kepada praktik memotong seekor hewan kurban menjadi dua bagian dan kemudian pihak yang mengadakan perjanjian berjalan di antara kedua bagian itu sebagai ungkapan kesetiaan kepada perjanjian (Kej.15:7-21, Yer. 34:18-19). Perjanjian biasanya diakhiri dengan makan bersama (Kej.26:26-31), memberikan sesuatu sebagai kenang-kenangan (1Sam.18:3-4), mendirikan sebuah timbunan batu sebagai peringatan (Kej.31:43-55), melepaskan sandal sebelah dan memberikannya kepada orang lain (Rut.4:7-8), atau berjabat tangan saja (2Raj. 10:15). Perjanjian dimaksudkan untuk membangun kesetiaan di antara pihak-pihak terkait. Melanggar perjanjian merupakan suatu perkara serius.
Dalam Perjanjian Lama (PL) ditemukan beberapa kisah perjanjian antara Allah dengan manusia. Setelah peristiwa air bah Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh (Kej.9:9-17). Perjanjian antara Allah dengan Nuh merupakan perjanjian yang unik sebab yang terlibat dalam perjanjian tersebut bukan hanya Allah dan Nuh, tetapi juga meliputi ciptaan lain. Tanda perjanjian dalam kisah tersebut adalah busur Allah yang ditaruh di langit (pelangi, Kej.9:12-15).
Kisah mengenai perjanjian juga dapat ditemukan dalam kisah Abraham. Terhadap Abraham Allah menjanjikan tiga hal, yaitu tanah (Kej. 15:7,18;17:6-8), keturunan (Kej. 15:8, 18; 17:6-8), dan berkat (Kej. 12:3). Berbeda dengan perjanjian Nuh, dalam kisah Abraham yang terikat pada perjanjian ini hanyalah Allah dengan Abraham beserta keturunannya.Sunat (Namal, Ibr.) menjadi tanda dalam perjanjian ini (Kej.17:10).
Perjanjian lain yang dapat dilihat dalam PL adalah Perjanjian Sinai. Ini merupakan perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan. Pengangkatan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan bukanlah karena kehebatan bangsa Israel, tetapi semata-mata karena kemurahan hati Allah (Kel.2:25; Ul.4:37). Dalam kisah ini yang terlibat dalam perjanjian adalah Allah dan bengsa Israel, dan pelaksanaan hukum sabat menjadi tanda perjanjian antara Allah dan bangsa Israel (Kel.19:5,24:7-8).
Terakhir adalah perjanjian antara Allah dengan Daud. Perjanjian antara Allah dengan Daud berciri mesianik.Dalam 2Sam 23:5, Daud sendiri berbicara mengenai "suatu perjanjian kekal" yang dibuat Allah dengan dirinya. “Perjanjian kekal” yang dimaksud mengacu kepada 2Sam. 7:1-16. Perjanjian ini memberi pengharapan kepada bangsa Israel akan kedatangan seorang Mesias (Mzm 89:3-5, 36-37, 132:11; Yes. 11:1-2, 10).