Akal budi, kehendak, dan kebebasan
yang dimiliki manusia menjadikannya istimewa dibandingkan ciptaan-ciptaan
lainnya. Dengan kemampuan-kemampuan ini manusia dapat menentukan pilihan
hidupnya, menentukan dirinya sendiri, dan mau menjadi seperti apakah dirinya.
Dengan kemampuan-kemampuan ini pula harus diakui bahwa kemudian akhirnya
manusia jatuh ke dalam dosa. Dosa di sini dipahami sebagai rusaknya hubungan
antara manusia dengan Allah, sesama, dan ciptaan lainnya. Karena kehendak, akal
budi, dan kebebasannya, manusia lebih memilih untuk menjauh dari tawaran kasih
Allah. Akan tetapi kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak berarti kiamat bagi
manusia.
Dalam
Gereja Katolik, rusaknya hubungan antara manusia dengan Allah, sesama, dan
seluruh ciptaan dimungkinkan untuk dipulihkan melalui sakramen rekonsiliasi.
Sakramen rekonsiliasi bisa dipandang sebagai kekayaan Gereja Katolik, sebab hal
seperti ini tidak kita jumpai di agama atau Gereja lain. Melalui sakramen ini,
relasi manusia dengan Allah, sesama, dan alam ciptaan yang telah rusak akibat
dosa dipulihkan, dan melalui sakramen ini pula manusia kembali masuk ke dalam
persekutuan dengan Allah. Dalam
bukunya Mercy. The Essence of the Gospel
and the Key to Christian Life halaman 165-166 Walter Kasper menulis:
“The sacrament of reconciliation is a
true refuge for sinners, which all of us are. Here the burdens that we carry
around with us, are taken from us. Nowhere else do we encounter the mercy of
God so immediately, so directly, and so concretely as when we are told in the
name of Jesus: “your sins are forgiven!” certainly no one finds it easy to
humbly confess his or her sins and, often enough, to confess the same sins over
and over again. But everyone who does that and then is told “I absolve you,”
not generally and anonymously, but concretly and personally, knows of the inner
freedom, inner peace, and joy that this sacrament bestows. When Jesus speaks of
the joy in heaven over the repetance of one sinner (Luke 15:7, 10), then
whoever receives this sacrament may experience the fact that this joy is not
only in heaven, but also echoes in his or her own heart. Therefore, it is
necessary to discover this sacrament again. That is especially true for
priests. For the commission of remit sins is the commission the risen Lord gaveto
the apostles. It is every priests, therefore, a duty and a work of mercy to be
ready to administer this sacrament.”[1]
Dari
uraian tulisan Walter Kasper di atas, bisa dilihat bahwa sakramen rekonsiliasi
menjadi tempat perlindungan bagi para pendosa. Melalui sakramen rekonsiliasi
beban dosa kita dilepaskan dari diri kita, serta melalui sakramen rekonsiliasi
secara konkret kita memperoleh belas kasih Allah. Hal yang paling penting dan
tidak boleh diabaikan dalam sebuah pertobatan adalah kesadaran bahwa pertobatan
semata-mata adalah rahmat Allah. Dalam tobat orang dengan rendah hati menyadari
kelemahannya dan dengan rendah hati pula menerima pengampunan Tuhan. Dengan
demikian ia membuka diri bagi Tuhan dan itu merupakan sebuah rahmat. Tobat
pertama-tama harus dilihat sebagai jawaban
atas panggilan kerahiman Tuhan.[2]
Jelaslah hanya Allah yang mengampuni dosa. Sedangkan Gereja secara keseluruhan
menjadi tanda dan sarana pengampunan dan perdamaian yang diperoleh dari Kristus
sendiri dengan harga darah-Nya.[3] Hal
lain yang dapat kita lihat dari uraian Walter Kaper tersebut adalah pentingnya
peran imam dalam pelayanan sakramen rekonsiliasi. Pelayan perdamaian
dipercayakan oleh Kristus kepada jabatan apostolik yaitu para rasul dan
pengganti mereka yaitu uskup. Menurut KHK 965: “Pelayan sakramen tobat hanyalah imam.” Maka imam adalah tanda dan
sarana cinta Allah yang penuh belas kasihan kepada orang berdosa.[4]
Dalam jalan menuju pertobatan yang
sungguh seseorang sudah pasti melalui tahap kesadaran
– penyesalan dan pengakuan – berbalik -bertobat. Pertobatan hanya mungkin
terjadi pertama-tama jika seseorang “menyadari” situasi keberdosaannya. Setelah
menyadari situasi keberdosaannya maka untuk bisa sampai pada pertobatan sudah
sepantasnya ia “menyesali” dan “mengakui dengan rendah hati” dosa-dosa yang
telah dibuatnya. Karena kelemahan dirinyalah maka manusia jatuh ke dalam dosa. Penyesalan
selalu berhubungan dengan masa lampau. Di sini orang merasa gagal, frustasi,
merasa kecewa dengan perbuatannya sendiri.[5]Akan
tetapi kesadaran dan penyesalan atas situasi keberdosaan tidaklah cukup dalam
mengantar seseorang untuk bisa sampai kepada sebuah pertobatan, dan untuk itu
diperlukan sikap berikut, yakni “berbalik”. Berbalik dalam konteks ini adalah
berpaling dari situasi keberdosaan kepada Allah. Setelah seseorang berbalik
dari dosa-dosanya kepada Allah maka barulah ia sampai pada tahap terakhir,
yakni “pertobatan”. Pertobatan dalam arti ini haruslah dimengerti sebagai
sebuah hubungan pribadi, yakni terjalinnya kembali relasi dengan Allah, sesama,
dan ciptaan yang sebelumnya telah rusak akibat dosa.
Dari uraian-uraian di atas tampak
jelas peran sakramen rekonsiliasi bagi kehidupan seorang Kristen. Sebagaimana
Allah yang diimani orang Katolik, yakni Allah yang tidak pernah lelah
mengampuni, maka sakramen rekonsiliasi ini merupakan bentuk cinta kasih Allah
kepada para pendosa yang ingin bertobat. Melalui Gereja Allah senantiasa membuka
pintu kerahiman bagi mereka yang hendak kembali kepada-Nya.
Gambaran
Allah yang rahim sebagaimana diimani orang katolik dapat kita jumpai salah
satunya dalam Luk. 15:11-32. Ayah dalam kisah “anak yang hilang” menggambarkan
Allah yang rahim. Sebagaimana sang ayah yang tidak menolak kepulangan si bungsu
yang menghabiska harta warisannya bersama para pelacur, demikianlah Allah yang
kita imani juga tidak akan pernah menolak pertobatan kita para pendosa. Tawaran
kasih Allah senantiasa terbuka bagi kita yang hendak bertobat. Bahkan,
sebagaimana sang ayah dalam kisah tersebut yang kemudian mengadakan perjamuan
bagi si bungsu yang telah kembali, demikian juga Allah pasti akan bergembira
ketika kita para pendosa ini menanggapai tawaran keselamatan-Nya dengan
berbalik dari dosa-dosa kita. Dalam Luk. 15: 7 Yesus sendiri berkata: “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang
berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan
orang benar yang tidak memerlukan pertobatan."
Mengingat kerahiman Allah yang
demikian maka sudah sepantasnyalah kita para pendosa ini bergembira dan tanpa
lelah meminta pengampunan Allah atas dosa-dosa kita, serta tanpa lelah pula
hendaknya kita berjuang untuk berbalik dari dosa kita dan kembali kepada Allah
yang tidak lain adalah sumber dan tujuan hidup kita. Akhirnya pada bagian akhir
paper ini saya mengutip perkataan Paus Fransiskus dalam salah satu homilinya yang berkenan
dengan kerahiman Allah: “Allah tidak pernah lelah mengampuni, tetapi manusialah
yang lelah untuk meminta pengampunan Allah.”
Daftar Pustaka
Jacobs, Tom. Rahmat
Bagi Manusia Lemah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1987.
Tarigan,
Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta:
Cahaya Pineleng. 2011.
Walter Kasper, Cardinal. Mercy. The Essence of the Gospel and the Key to Christian Life. New York: Paulist Press. 2014.