Perjanjian Lama memberikan gambaran yang ambivalen
tentang kedudukan seorang perempuan dalam Perkawinan, misalnya saja perikop
yang satu menggambarkan nilai seorang istri yang sangat tinggi, lebih tinggi
dari permata (Ams 31:10), sementara
itu beberapa perikop lain menggambarkan kedudukan istri yang bernilai lebih
rendah daripada suami, anak-anak pria, bahkan dianggap sejajar dengan harta dan
ternak milik suaminya (Ul 4:21; 29:11), atau
juga berfungsi sebatas sebagai ibu dan istri yang bertugas melahirkan, dan
melayani kepentingan suami (Kej 16; 21:8-21; 30:1-24).
Dalam Ulangan 24:1-5 kita menjumpai kedudukan perempuan yang juga tampak
digambarkan lebih rendah daripada suaminya, yaitu mudah diceraikan dan diusir
dari rumah suaminya.
Perempuan, di antara orang-orang Ibrani, sebagaimana
sebagian besar bangsa-bangsa zaman itu, berada dalam posisi rendah. Meskipun perempuan
dalam masyarakat Ibrani diperlakukan dengan perhatian yang lebih baik ketimbang
perempuan di wilayah lain, bahkan di antara bangsa-bangsa semitik, posisinya
tetaplah termasuk inferior dan terjajah. Perempuan dalam pernikahan Ibrani
dilihat sebagai urusan bisnis, mereka dipandang sebagai “harta benda” semata.
Istri dipandang sebagai harta suami yang paling berharga. Pria dengan tanpa
syarat dan terang-terangan menjadi kepala keluarga dalam segala relasi domestik.
Hak prerogatifnya termanifestasi dalam segala bidang. Hal ini paling jelas
kelihatan dalam persoalan perceraian. Menurut hukum Musa seorang suami di dalam
keadaan-keadaan tertentu dapat menceraikan istrinya. Akan tetapi di sisi lain
amat sangat sulit bagi seorang perempuan untuk menceraikan suaminya.
Selain itu dalam masyarakat Ibrani, sebagaimana
masyarakat Timur pada umumnya, perkawinan lebih merupakan sebuah kontrak legal
dan urusan bisnis daripada buah perasaan cinta dan afeksi. Meskipun demikian, kurang
tepat juga jika dengan gampang kita beranggapan bahwa dalam sistem seperti ini
cinta yang mendalam tidak akan pernah muncul. Sang suami atau keluarganya,
menurut hukum, wajib membayar mas kawin kepada orang tua atau wali mempelai perempuan
sebelum perkawinan dilaksanakan. Dengan demikian sang perempuan dapat dipandang
sebagai “sebuah harta milik” yang dengan mudah dapat dibuang jikalau sang
suami, dengan alasan-alasan tertentu, ingin melepaskan diri dari hubungan yang
tidak menyenangkan dengannya. Keuntungan selalu ada pada pihak pria. Akan
tetapi tidak berarti perempuan sama sekali tak berdaya, sebab meskipun secara
praktis tanpa hukum legal, ia dapat membuat dirinya seakan-akan menjadi beban bagi
suaminya, sehingga sang suami dengan senang hati akan menggunakan hak prerogatifnya
untuk membuat surat cerai baginya. Demikian, meskipun tidak bisa menceraikan
suaminya, ia dapat memaksa suaminya untuk menceraikannya.
Dalam Ulangan 24:1 tertulis:“Apabila
seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian
ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh
padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan
itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya…”
“…ia tidak
menyukai lagi perempaun itu…”
(harafiah, “perempuan itu tidak mendapat kasih di matanya”). Pemakaian istilah
ini dalam konteks pembicaraan mengenai perceraian memberi kesan bahwa hak suami
dalam hal perceraian memanglah mutlak, sehingga ia tidak perlu memberi alasan
mengapa ia menceraikan istrinya, cukuplah dengan mengatakan “dia tidak mendapat kasih di hadapanku”.
Atau juga bisa diartikan bahwa “ia tidak menyukai lagi perempuan itu”
dikarenakan sang suami telah menemukan perempuan yang lebih cantik dari
istrinya. Menurut Rabi Akiba frasa ini hendak menujukkan bahwa seorang suami
dapat menceraikan istrinya dengan mudah apabila ia menemukan seseorang yang
lebih cantik daripada istrinya.[1]
Dalam ungkapan “…didapatinya
yang tidak senonoh padanya…” tidak bisa dipastikan apakah dalam teks ini
dipakai sebagai kiasan, untuk menyinggung salah satu keberatan estetis, atau
suatu ketidaksopanan yang dirasakan suami dalam hubungannya dengan sang istri,
ataukah dipakai secara langsung tentang pelanggaran tertentu dalam bidang seksualitas.
Akan tetapi dapat dipastikan jika frasa “yang
tidak senonoh” bukanlah bukti perzinahan, sebab perzinahan menyangkut
hukuman mati (Ul. 22:20-22).
Selain penafsiran tentang dua frasa tersebut, di dalam
ayat pertama ini kita juga menemukan istilah “surat cerai”. Istilah ini tidak
hanya ditemukan dalam Ulangan 24:1-3, tetapi juga ditemukan dalam Yesaya 50:1
atau Yeremia 3:8, dan merupakan terjemahan dari kata ibrani cepher kerithuth. Kedua kata ini (cepher kerithuth), secara harafiah
merujuk pada sebuah dokumen atau buku yang mengatur tentang pemutusan hubungan
pernikahan, yakni surat keterangan yang diberikan suami kepada istrinya,
sehingga sang istri memiliki hak untuk menikah lagi dengan pria lain. Istilah
surat cerai juga dapat dijumpai dalam Perjanjian Baru, seperti dalam Markus 10:
4 dan Matius 5:31. Surat cerai yang diberikan suami kemudian menjadi pegangan
bagi perempuan yang diceraikan, sebab tanpa itu ia dapat dituduh berbuat zinah
apabila kemudian ia berhubungan dengan pria lain. Penyerahan surat itu harus
disaksikan pejabat pemerintah atau pejabat bait. Adanya saksi juga
menguntungkan pihak perempuan. Sedangkan kata-kata pengusiran “menyuruh dia pergi” (syillah; Ibrani) harus diucapkan secara
formal, sebelum perceraian itu dapat dianggap sah. Ketentuan ini memaksa suami untuk
berpikir sebelum bertindak.
Dalam Ulangan 24:3 tertulis “dan jika pria yang kemudian ini tidak cinta lagi
kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu
serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika pria yang kemudian mengambil
dia menjadi isterinya itu mati….”.Frasa“tidak cinta lagi” (hate; Ing.) bisa bermakna teknis dalam “perceraian” sebagaimana
dalam ephantine papyri, dan juga
dalam Hak. 15:2 dan Sir. 42:9. Akan tetapi di sini, sebagaimana dalam Ul.
21:15, frasa “tidak cinta lagi”
tampaknya lebih merupakan makna yang nonteknis, sebab frasa ini dilanjutkan
dengan pernyataan yang berakibat perceraian: menulis surat cerai dan menyuruh perempuan
itu pergi dari rumah.
Selanjutnya ungkapan“…atau jika pria yang kemudian mengambil dia menjadi
isterinya itu mati….”.
Jika suami kedua perempuan itu mati maka perempuan itu akan mendapat warisan,
sehingga kemudian dapat dijelaskan mengapa suaminya yang pertama mengingininya
kembali. Atau juga mungkin bahwa suami pertama, mengingini istrinya kembali
dengan atau tanpa warisan uang, sebab ia berkonspirasi dengan istrinya, atau
dengan orang lain, atau juga dengan keduanya untuk menyebabkan kematian suami
kedua. Atau juga si perempuan, kemudian membandingkan kedua suaminya dan
memutuskan bahwa suami yang pertama lebih baik daripada yang kedua, mungkin
ingin kembali kepada suami pertamanya.
“…maka suaminya yang
pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali
menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah
kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang
diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.” Dalam ayat ini ditampilkan larangan bagi suami
pertama untuk mengambil kembali mantan istrinya. Misnah dalam kasus-kasus tertentu mengizinkan pernikahan kembali bagi
perempuan yang diceraikan suaminya (Git. 4:7-8), tetapi tidak setelah
pernikahannya yang kedua. Frasa ini juga memiliki maksud tersendiri, yakni agar
suami tidak terburu-buru menggunakan hak cerai, melainkan berpikir matang
sebelum bertindak. Kata “dicemari” dalam
ayat ini merujuk pada “pencemaran seksual” (Kej. 34:5, 13, 27, Bil.18:20, Ul.
5:13-14), dan ini mau menunjukkan jika perempuan tersebut sudah tidak bersih
lagi bagi suaminya yang pertama dikarenakan persatuan seksualnya dengan
suaminya yang kemudian.
Selain itu tindakan “mengambil kembali istri yang
telah diceraikan” adalah “sebuah kekejian di hadapan Tuhan”. Kata “kekejian”yang dipakai di sini hendak
mengungkapkan bahwa tindakan mengambil kembali istri yang telah diceraikan menunjukkan
“sebuah tindakan yang tidak tulus dan merupakan penghinaan terhadap institusi
perkawinan”. Sedangkan melalui kalimat “Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang
diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”hendak diungkapkan bahwa bukan hanya perempuan yang
dengan menjadi najis karena berpindah dari satu pria ke pria yang lain, tetapi “kesalahan”
juga akan turun atas tanah. “Kesalahan” (guilt;
Ing.) merujuk pada konsekuensi yang timbul akibat dosa.
Teks ini ditutup dengan larangan untuk maju berperang
serta pembebasan dari tugas militer bagi seorang pria yang baru saja menikahi perempuan
yang diceraikan tersebut. “Apabila baru saja
seseorang mengambil isteri, janganlah ia keluar bersama-sama dengan tentara
maju berperang atau dibebankan sesuatu pekerjaan; satu tahun lamanya ia harus
dibebaskan untuk keperluan rumah tangganya dan menyukakan hati perempuan yang
telah diambilnya menjadi isterinya."Waktu satu tahun bebas militer yang diberikan kepada pria yang baru saja
menikah dimaksudkan agar pria tersebut menimkati persatuan dalam perkawinan
dengan istri barunya sehingga akan mendatangkan keuntungan bagi keduanya. Hal
ini akan menumbuhkan dan menguatkan perasaan saling cinta di antara mereka, sebab
jika tidak sang perempuan, sementara suaminya berada di medan pertempuran, bisa
saja jatuh cinta terhadap pria lain, dan begitupun dengan sang suami, bisa saja
ia tergoda untuk mengingini perempuan lain sebagaimana lazim terjadi di dalam
peperangan. Satu tahun juga memberi waktu bagi lahirnya seorang anak yang akan
membantu perkembangan populasi bagi generasi berikutnya, sebab dalam masa
perang jumah populasi bisa saja berkurang karena banyak yang mati terbunuh.
Dari uraian di atas memang secara eksplisit tampak
bahwa kedudukan pria dalam perkawinan lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
Akan tetapi kurang tepat pula untuk mengatakan jika perempuan dengan demikian
sama sekali dirugikan dengan ketentuan-ketentuan dalam perkawinan masyarakat
saat itu, sebab ada celah bagi perempuan untuk “menceraikan” suaminya, yaitu
dengan bertindak sedemikian rupa sehingga ia menjadi beban bagi suaminya, dan
dengan itu ia akan diceraikan suaminya. Selain itu, larangan untuk mengambil
kembali istri yang telah diceraikan membuat seorang pria untuk tidak
terburu-buru menceraikan istrinya, mengingat sang pria sudah membayar mahar
untuk meminang istrinya. Di samping itu, keberadaan surat cerai dalam
perceraian paling tidak membantu seorang perempuan yang diceraikan untuk bisa
menikah lagi dengan pria lain, sebab tanpa surat ini ia akan dituduh berzinah
apabila ia kembali menjalin relasi dengan pria lain, dan apabila hal demikian
terjadi ia akan dikenai hukuman mati.
Daftar Pustaka
Dr. I. J. Cairns. Tafsiran
Alkitab Ulangan 2 Fasal 12-34.Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1986.
Lundbom,
Jack, R. Deuteronomy: a commentary.
Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company. 2013.
http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=790&res=jpz
http://www.biblestudytools.com/encyclopedias/isbe/divorce-in-the-old-testament.html