Selasa, 19 April 2016

Tentang Perceraian (Ulangan 24:1-5)


Perjanjian Lama memberikan gambaran yang ambivalen tentang kedudukan seorang perempuan dalam Perkawinan, misalnya saja perikop yang satu menggambarkan nilai seorang istri yang sangat tinggi, lebih tinggi dari permata (Ams 31:10), sementara itu beberapa perikop lain menggambarkan kedudukan istri yang bernilai lebih rendah daripada suami, anak-anak pria, bahkan dianggap sejajar dengan harta dan ternak milik suaminya (Ul 4:21; 29:11), atau juga berfungsi sebatas sebagai ibu dan istri yang bertugas melahirkan, dan melayani kepentingan suami (Kej 16; 21:8-21; 30:1-24). Dalam Ulangan 24:1-5 kita menjumpai kedudukan perempuan yang juga tampak digambarkan lebih rendah daripada suaminya, yaitu mudah diceraikan dan diusir dari rumah suaminya.
Perempuan, di antara orang-orang Ibrani, sebagaimana sebagian besar bangsa-bangsa zaman itu, berada dalam posisi rendah. Meskipun perempuan dalam masyarakat Ibrani diperlakukan dengan perhatian yang lebih baik ketimbang perempuan di wilayah lain, bahkan di antara bangsa-bangsa semitik, posisinya tetaplah termasuk inferior dan terjajah. Perempuan dalam pernikahan Ibrani dilihat sebagai urusan bisnis, mereka dipandang sebagai “harta benda” semata. Istri dipandang sebagai harta suami yang paling berharga. Pria dengan tanpa syarat dan terang-terangan menjadi kepala keluarga dalam segala relasi domestik. Hak prerogatifnya termanifestasi dalam segala bidang. Hal ini paling jelas kelihatan dalam persoalan perceraian. Menurut hukum Musa seorang suami di dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menceraikan istrinya. Akan tetapi di sisi lain amat sangat sulit bagi seorang perempuan untuk menceraikan suaminya.
Selain itu dalam masyarakat Ibrani, sebagaimana masyarakat Timur pada umumnya, perkawinan lebih merupakan sebuah kontrak legal dan urusan bisnis daripada buah perasaan cinta dan afeksi. Meskipun demikian, kurang tepat juga jika dengan gampang kita beranggapan bahwa dalam sistem seperti ini cinta yang mendalam tidak akan pernah muncul. Sang suami atau keluarganya, menurut hukum, wajib membayar mas kawin kepada orang tua atau wali mempelai perempuan sebelum perkawinan dilaksanakan. Dengan demikian sang perempuan dapat dipandang sebagai “sebuah harta milik” yang dengan mudah dapat dibuang jikalau sang suami, dengan alasan-alasan tertentu, ingin melepaskan diri dari hubungan yang tidak menyenangkan dengannya. Keuntungan selalu ada pada pihak pria. Akan tetapi tidak berarti perempuan sama sekali tak berdaya, sebab meskipun secara praktis tanpa hukum legal, ia dapat membuat dirinya seakan-akan menjadi beban bagi suaminya, sehingga sang suami dengan senang hati akan menggunakan hak prerogatifnya untuk membuat surat cerai baginya. Demikian, meskipun tidak bisa menceraikan suaminya, ia dapat memaksa suaminya untuk menceraikannya.
Dalam Ulangan 24:1 tertulis:Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya…”
“…ia tidak menyukai lagi perempaun itu…” (harafiah, “perempuan itu tidak mendapat kasih di matanya”). Pemakaian istilah ini dalam konteks pembicaraan mengenai perceraian memberi kesan bahwa hak suami dalam hal perceraian memanglah mutlak, sehingga ia tidak perlu memberi alasan mengapa ia menceraikan istrinya, cukuplah dengan mengatakan “dia tidak mendapat kasih di hadapanku”. Atau juga bisa diartikan bahwa “ia tidak menyukai lagi perempuan itu” dikarenakan sang suami telah menemukan perempuan yang lebih cantik dari istrinya. Menurut Rabi Akiba frasa ini hendak menujukkan bahwa seorang suami dapat menceraikan istrinya dengan mudah apabila ia menemukan seseorang yang lebih cantik daripada istrinya.[1]
Dalam ungkapan “…didapatinya yang tidak senonoh padanya…” tidak bisa dipastikan apakah dalam teks ini dipakai sebagai kiasan, untuk menyinggung salah satu keberatan estetis, atau suatu ketidaksopanan yang dirasakan suami dalam hubungannya dengan sang istri, ataukah dipakai secara langsung tentang pelanggaran tertentu dalam bidang seksualitas. Akan tetapi dapat dipastikan jika frasa “yang tidak senonoh” bukanlah bukti perzinahan, sebab perzinahan menyangkut hukuman mati (Ul. 22:20-22).
Selain penafsiran tentang dua frasa tersebut, di dalam ayat pertama ini kita juga menemukan istilah “surat cerai”. Istilah ini tidak hanya ditemukan dalam Ulangan 24:1-3, tetapi juga ditemukan dalam Yesaya 50:1 atau Yeremia 3:8, dan merupakan terjemahan dari kata ibrani cepher kerithuth. Kedua kata ini (cepher kerithuth), secara harafiah merujuk pada sebuah dokumen atau buku yang mengatur tentang pemutusan hubungan pernikahan, yakni surat keterangan yang diberikan suami kepada istrinya, sehingga sang istri memiliki hak untuk menikah lagi dengan pria lain. Istilah surat cerai juga dapat dijumpai dalam Perjanjian Baru, seperti dalam Markus 10: 4 dan Matius 5:31. Surat cerai yang diberikan suami kemudian menjadi pegangan bagi perempuan yang diceraikan, sebab tanpa itu ia dapat dituduh berbuat zinah apabila kemudian ia berhubungan dengan pria lain. Penyerahan surat itu harus disaksikan pejabat pemerintah atau pejabat bait. Adanya saksi juga menguntungkan pihak perempuan. Sedangkan kata-kata pengusiran “menyuruh dia pergi” (syillah; Ibrani) harus diucapkan secara formal, sebelum perceraian itu dapat dianggap sah. Ketentuan ini memaksa suami untuk berpikir sebelum bertindak.
            Dalam Ulangan 24:3 tertulis dan jika pria yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika pria yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati….”.Frasa“tidak cinta lagi” (hate; Ing.) bisa bermakna teknis dalam “perceraian” sebagaimana dalam ephantine papyri, dan juga dalam Hak. 15:2 dan Sir. 42:9. Akan tetapi di sini, sebagaimana dalam Ul. 21:15, frasa “tidak cinta lagi” tampaknya lebih merupakan makna yang nonteknis, sebab frasa ini dilanjutkan dengan pernyataan yang berakibat perceraian: menulis surat cerai dan menyuruh perempuan itu pergi dari rumah.
            Selanjutnya ungkapan“…atau jika pria yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati….”. Jika suami kedua perempuan itu mati maka perempuan itu akan mendapat warisan, sehingga kemudian dapat dijelaskan mengapa suaminya yang pertama mengingininya kembali. Atau juga mungkin bahwa suami pertama, mengingini istrinya kembali dengan atau tanpa warisan uang, sebab ia berkonspirasi dengan istrinya, atau dengan orang lain, atau juga dengan keduanya untuk menyebabkan kematian suami kedua. Atau juga si perempuan, kemudian membandingkan kedua suaminya dan memutuskan bahwa suami yang pertama lebih baik daripada yang kedua, mungkin ingin kembali kepada suami pertamanya.
“…maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. Dalam ayat ini ditampilkan larangan bagi suami pertama untuk mengambil kembali mantan istrinya. Misnah dalam kasus-kasus tertentu mengizinkan pernikahan kembali bagi perempuan yang diceraikan suaminya (Git. 4:7-8), tetapi tidak setelah pernikahannya yang kedua. Frasa ini juga memiliki maksud tersendiri, yakni agar suami tidak terburu-buru menggunakan hak cerai, melainkan berpikir matang sebelum bertindak. Kata “dicemari” dalam ayat ini merujuk pada “pencemaran seksual” (Kej. 34:5, 13, 27, Bil.18:20, Ul. 5:13-14), dan ini mau menunjukkan jika perempuan tersebut sudah tidak bersih lagi bagi suaminya yang pertama dikarenakan persatuan seksualnya dengan suaminya yang kemudian.
Selain itu tindakan “mengambil kembali istri yang telah diceraikan” adalah “sebuah kekejian di hadapan Tuhan”. Kata “kekejian”yang dipakai di sini hendak mengungkapkan bahwa tindakan mengambil kembali istri yang telah diceraikan menunjukkan “sebuah tindakan yang tidak tulus dan merupakan penghinaan terhadap institusi perkawinan”. Sedangkan melalui kalimat “Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamuhendak diungkapkan bahwa bukan hanya perempuan yang dengan menjadi najis karena berpindah dari satu pria ke pria yang lain, tetapi “kesalahan” juga akan turun atas tanah. “Kesalahan” (guilt; Ing.) merujuk pada konsekuensi yang timbul akibat dosa.
Teks ini ditutup dengan larangan untuk maju berperang serta pembebasan dari tugas militer bagi seorang pria yang baru saja menikahi perempuan yang diceraikan tersebut. Apabila baru saja seseorang mengambil isteri, janganlah ia keluar bersama-sama dengan tentara maju berperang atau dibebankan sesuatu pekerjaan; satu tahun lamanya ia harus dibebaskan untuk keperluan rumah tangganya dan menyukakan hati perempuan yang telah diambilnya menjadi isterinya."Waktu satu tahun bebas militer yang diberikan kepada pria yang baru saja menikah dimaksudkan agar pria tersebut menimkati persatuan dalam perkawinan dengan istri barunya sehingga akan mendatangkan keuntungan bagi keduanya. Hal ini akan menumbuhkan dan menguatkan perasaan saling cinta di antara mereka, sebab jika tidak sang perempuan, sementara suaminya berada di medan pertempuran, bisa saja jatuh cinta terhadap pria lain, dan begitupun dengan sang suami, bisa saja ia tergoda untuk mengingini perempuan lain sebagaimana lazim terjadi di dalam peperangan. Satu tahun juga memberi waktu bagi lahirnya seorang anak yang akan membantu perkembangan populasi bagi generasi berikutnya, sebab dalam masa perang jumah populasi bisa saja berkurang karena banyak yang mati terbunuh.
Dari uraian di atas memang secara eksplisit tampak bahwa kedudukan pria dalam perkawinan lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi kurang tepat pula untuk mengatakan jika perempuan dengan demikian sama sekali dirugikan dengan ketentuan-ketentuan dalam perkawinan masyarakat saat itu, sebab ada celah bagi perempuan untuk “menceraikan” suaminya, yaitu dengan bertindak sedemikian rupa sehingga ia menjadi beban bagi suaminya, dan dengan itu ia akan diceraikan suaminya. Selain itu, larangan untuk mengambil kembali istri yang telah diceraikan membuat seorang pria untuk tidak terburu-buru menceraikan istrinya, mengingat sang pria sudah membayar mahar untuk meminang istrinya. Di samping itu, keberadaan surat cerai dalam perceraian paling tidak membantu seorang perempuan yang diceraikan untuk bisa menikah lagi dengan pria lain, sebab tanpa surat ini ia akan dituduh berzinah apabila ia kembali menjalin relasi dengan pria lain, dan apabila hal demikian terjadi ia akan dikenai hukuman mati.


Daftar Pustaka
Dr. I. J. Cairns. Tafsiran Alkitab Ulangan 2 Fasal 12-34.Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1986.
Lundbom, Jack, R. Deuteronomy: a commentary. Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company. 2013.
http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=790&res=jpz
http://www.biblestudytools.com/encyclopedias/isbe/divorce-in-the-old-testament.html






[1]Deutero, 670